Chapter 26 - Kerajaan Tzaren: Kabar Bahagia
"Kita harus merebut kembali Zetaya!" seru Tarkh.
"Untuk apa? Kerajaan itu tidak akan berguna lagi bagi Tzaren setelah dikeruk habis-habisan oleh Raja Khrush." Seorang bangsawan tua yang duduk di seberang Tarkh membalas dengan cepat.
"Rakyatnya pun sudah diperas habis tenaganya. Saya dengar banyak nyawa orang Zetaya yang melayang melebihi nyawa yang hilang dalam kondisi perang. Mereka mungkin lebih memilih mati daripada diperbudak." Bangsawan yang duduk di sebelah kiri bangsawan tadi ikut bersuara.
Seseorang dengan kacamata tebal membaca gulungan kertas di hadapannya. Suaranya terdengar serapuh fisiknya yang berada di penghujung usia. "Laporan terakhir dari regu pengintai yang kita kirim ke Zetaya mengatakan jika mereka menghancurkan semua jembatan kecuali jembatan yang menghubungkan ibu kota dengan tiga kota terdekat. Tidak mudah membangun jembatan dan jika ingin mencapai ibu kota, maka kita harus membangun banyak jembatan untuk menuju ke sana. Itu tidaklah murah dan tidak sebanding dengan apa yang mungkin bisa kita dapatkan dari Zetaya."
"Regu pengintai juga melaporkan kalau kota yang lain benar-benar ditinggalkan."
"Ya ampun! Mereka hanya mempertahankan ibu kota dan tiga kota? Berarti hanya tinggal sedikit sekali penduduk Zetaya."
"Kita bisa menyerang melalui laut!" Tarkh masih memperjuangkan pendapatnya agar diterima para bangsawan dewan penasihat raja.
Kemudian mulai banyak ungkapan ketidaksetujuan disampaikan beberapa bangsawan.
"Tidak banyak kapal Tzaren yang tersisa setelah perang besar ketika menghadapi armada kapal Kraalovna saat itu. Yang Mulia mungkin tidak tahu, tapi alasan Zetaya menempatkan ibu kotanya di ujung tenggara wilayahnya sejak dahulu adalah karena tidak ada kapal besar bisa mendekati tebing di mana ibu kota Zetaya berada. Tempat itu berarus deras dan ada banyak titik-titik dangkal di sekitar tebing." Suara itu berasal dari seseorang yang berbadan lebih besar dari Tarkh dengan kulit yang lebih gelap.
"Mungkin dengan mengerahkan upaya, kita bisa menyerang dari laut. Tapi apakah hasilnya akan sepadan setelah mendapatkan Zetaya?" cetus dewan penasihat raja yang lain.
"Pfftt ... mungkin malah lebih baik kita mencari sisa kekayaan yang Zetaya buang ke laut." Seorang bangsawan tersenyum miring.
Tarkh membanting genggaman tangannya di atas meja, menciptakan suara besar. Siapa pun yang mendengar tentunya menyadari apabila sang raja tidak suka dengan hasil pembicaraan tersebut. Namun, para penasihat raja adalah bangsawan-bangsawan tua berpengalaman yang sudah biasa menangani berbagai macam emosi raja. Gertakan seperti itu tidaklah berarti apa-apa.
"Jadi kalian akan menyerah tentang Zetaya?" tanya Tarkh.
Bendahara Tzaren menyampaikan tekanan lain. "Pihak bangsawan tidak ada yang tertarik akan Zetaya. Hanya ada kerugian di sana. Andaikan Raja Khrush tidak melakukan kerusakan separah itu, Zetaya mungkin masih sedikit menguntungkan mengingat hasil lautnya yang lebih kaya dibanding Tzaren."
Tarkh mengurut keningnya. "Apakah kalian tidak ingin menumpas pemberontak itu? Mereka bisa saja menjadi ancaman suatu hari nanti."
Seorang bangsawan tertawa. "Maaf, Yang Mulia. Tapi mereka saja memutus semua hubungan dengan dunia luar. Emas mereka sudah mereka buang meski sejak dulu rakyat mereka susah payah menyambung hidup, apalagi saat ini. Saya bahkan ragu apakah Zetaya masih merupakan kerajaan sekarang."
"Tapi kerajaan lain akan memandang remeh Kerajaan Tzaren yang tidak membalas kematian keluarga Raja Tzaren!"
"Kalau kita membalas kematian Raja Khrush, sama saja dengan Yang Mulia menyetujui kelakuan adik Yang Mulia di Zetaya."
Tarkh menyadari kekalahannya pada para bangsawan dewan penasihat raja. Ia tidak bisa memenangkan argumennya. Para penasihat raja tersebut saling dukung untuk mematahkan kata-katanya. Entah mengapa rasanya dari hari ke hari ia semakin sulit mengontrol bangsawan-bangsawan itu. "Baiklah. Baiklah. Kita lepas Zetaya. Tapi tempatkan pos tambahan di perbatasan Zetaya, kalau-kalau ada pergerakan sekecil apa pun di sana."
"Baik, Yang Mulia."
"Yang Mulia ...." Seorang bangsawan menarik perhatian Tarkh. "Semoga ketertarikan Yang Mulia pada Zetaya hanya sekadar kekhawatiran akan pergolakan kecil dari Zetaya, bukan perasaan bersalah karena adik Yang Mulia telah berbuat kekacauan yang menyebabkan kehancuran Zetaya."
Kalimat-kalimat itu bagai pisau yang menghunjam Tarkh. Ia terdiam. Kemudian Tarkh bangkit dari kursinya dengan cepat setelah membubarkan rapat itu, meninggalkan bisik-bisik dewan penasihat raja di belakangnya.
***
"Ada yang merisaukanmu?" Suara Taaffeite begitu lembut terdengar di telinga Tarkh.
Selepas pertemuan dengan dewan penasihat raja, Tarkh langsung mendatangi Taaffeite di kamar mereka. Begitu melihat senyum indah ratunya, segala tekanan yang dirasakan saat pertemuan tadi seolah menguap ke udara. Hati Tarkh yang sedingin udara Tzaren kembali menghangat. Tarkh, seorang raja keras yang seolah tidak takut apa pun itu, sedang meringkuk bagai anak kecil di pangkuan Taaffeite.
"Seperti biasa, orang-orang kolot yang serakah itu melawan keputusanku. Apa mereka pikir aku masih anak kecil yang belum siap menjadi raja karena ditinggalkan orang tuanya terlalu cepat sehingga kurang pengalaman?" Tarkh merasa eksistensinya semakin tergerus. Padahal ia adalah raja yang sempat menaklukkan seluruh kerajaan di daratan itu.
" ... Dia tidak cukup jeli melihat musuh dalam selimutnya." Kata-kata kakaknya, Ruby, terngiang di benak Taaffeite.
Tarkh meminta Taaffeite mengurut keningnya yang langsung dilakukan oleh sang ratu.
"Aku merasa jauh lebih sulit mengatur bangsawan saat ini dibanding ketika memaksa mereka mendukung perang besar dulu." Tarkh kembali mengungkapkan kekhawatirannya.
"Kesuksesannya saat itu juga didapat karena semua bangsawan Tzaren mendukungnya. Kerajaan Tzaren ... sudah lepas dari genggaman Raja Tarkh. Hanya saja ia tidak mengetahuinya."
Taaffeite menggigit bibirnya sembari membatin. "Apakah kata-kata Kak Ruby seluruhnya benar? Aku takut untuk mengakui itu benar adanya. Hanya saja ... apa yang bisa kuperbuat untuk membantu Tarkh?"
"Apakah semua bangsawan susah diatur?" Entah mengapa Taaffeite malah bertanya hal yang konyol. Namun, Tarkh justru tertawa kecil mendengar kepolosan pertanyaan ratunya.
"Bangsawan memang susah diatur. Mereka akan menjadi begitu penurut apabila menguntungkan bagi mereka. Hanya beberapa yang kurasa benar-benar di pihakku."
"Oh ... siapakah orang-orang itu?" Taaffeite menaruh harapan jika Tarkh mengetahui dengan baik orang-orang yang bukan musuhnya.
"Pamanku-pamanku yang sedang kukirim jauh dari sini, juga beberapa adik-adikku. Aku sangat memercayai Zakh, Oukha, Azkhar dan Rakha. Azkhar memang bodoh dan manja, tapi aku yakin bocah itu tidak akan mengkhianatiku. Sejujurnya aku bahkan tidak menyangka saat Khrush menghunuskan pedang padaku."
Seketika itu pula harapan Taaffeite sirna. Tarkh tidak lebih tahu dari dirinya sebelum mendapatkan penjelasan Ruby. Tapi aku pun tidak akan menyangka jika suatu saat adikku sendiri ingin membunuhku. Bagaimana bisa ada orang yang ingin membunuh keluarganya sendiri?!
"Paman?"
Tarkh tersenyum. "Ya ... adik-adik ayahku. Mereka memang seorang pangeran, tapi memilih terjun ke medan perang dan menjadi jenderal."
Paman? Jenderal?
Tarkh melanjutkan. "Kau tidak perlu mengurusi kerajaan tapi akan kuberi tahu perihal keluargaku. Kakekku, raja sebelumnya, memiliki tiga anak. Anak pertama adalah ayahku, kedua adalah pamanku yang saat ini menjadi Jenderal Tengah dan yang ketiga adalah bibiku yang tidak terlalu kusukai. Tapi sebenarnya ... ada satu anak lagi, hasil hubungan gelap kakekku dan seorang istri bangsawan. Anak itu ditolak mentah-mentah oleh ratu dan para bangsawan saat itu. Anak dari selir saja tidak bisa mendapat gelar dan tidak bisa menjadi pewaris takhta, apalagi anak dari istri bangsawan lain. Tapi tetap saja kakekku diam-diam membantunya agar ia menjadi mandiri dan dihormati tanpa perlu mengemis pengakuan sebagai anak sah raja. Anak itu adalah Jenderal Kanan."
"Eh ... jadi ada banyak jenderal?" Taffeite bertanya dengan wajah bingung. Ia sama sekali tidak mengerti tentang kerajaan. Ia dibesarkan dengan hanya mengetahui tentang Kota Suci, para pendeta, Naz, dan Ahurz. Bahkan sepengetahuannya hanya ada satu pemimpin tentara kota yang menjaga keamanan Kota Suci.
Tarkh tertawa. "Tentunya ada lebih dari satu jenderal untuk menjaga stabilitas keamanan kerajaan. Tzaren memiliki tiga jenderal besar dengan gelar masing-masing. Jenderal Kiri menjaga daerah barat Tzaren, Jenderal Tengah menjaga bagian tengah kerajaan, dan Jenderal Kanan menjaga daerah timur kerajaan. Jenderal Tengah dan Jenderal Kanan adalah paman-pamanku."
"Raja Sirgh ...." Tanpa sadar Taaffeite mencetuskan nama yang mulai sering menghantui pikirannya.
"Ah ... Raja Sirgh merupakan pamanku. Ia sebelumnya adalah Jenderal Kanan. Sekarang posisi itu sedang kosong, tapi kendali sebagian pasukannya yang masih ada di timur kerajaan ia percayakan pada istana."
Taaffeite bergetar ketakutan dan memegang lengannya.
"Fe?" Tarkh bingung dengan reaksi ratunya. "Kau gemetaran?"
"Raja ... Sirgh .... A-aku takut padanya ...." Taaffeite menelan bulat-bulat penjelasan dari kakaknya yang sudah di ujung lidah.
"Jika kau memperingatinya, ia akan berbuat ceroboh dengan emosinya yang meledak-ledak itu. Nyawa kalian bisa terancam jika perang meletus sebelum waktunya!"
Tarkh tertawa kecil. "Yah ... wajahnya memang seram dan bengis. Tapi aku bisa meyakinkanmu, dia orang yang baik."
"Tarkh ...."
"Hmm ...."
"Boleh aku tanya sesuatu?"
"Tanyakan apa saja, Ratuku."
"Mengapa kau membagi-bagikan kerajaan dibanding memimpin satu kerajaan besar? Semua orang sepertinya heran dengan keputusanmu itu. Dan mengapa Raja Sirgh yang bukan adikmu mendapat bagian?"
"Tentang itu ...." Tarkh menutup matanya. Terjadi keheningan yang cukup panjang sebelum ia melanjutkan. "Aku hanya akan menceritakan ini padamu. Aku tidak pernah memberi tahu pemikiranku ini pada siapa pun sebelumnya. Dulu tujuanku memang menyatukan kerajaan agar bisa mendapatkanmu. Kau tahu, kerajaan lain akan menentang keras jika seorang anak dari Naz terikat dengan salah satu kerajaan.
"Karena itu aku memutuskan untuk menyatukan semua kerajaan yang ada. Tapi di tengah-tengah masa perang, aku melihat perlakuan orang-orangku sendiri pada kerajaan yang takluk. Saat itulah aku sadar, seperti apa nasib mereka seandainya semua kerajaan menjadi satu di bawah bangsa Tzaren.
"Tzaren adalah bangsa yang sangat bangga pada diri sendiri sehingga menganggap bangsa lain lebih rendah derajatnya. Bisa-bisa kekacauan terjadi di mana-mana. Kau tahu kan kejadian di Zetaya? Akibat dari kelakuan bodoh adikku. Kemungkinan keadaan seperti itu bisa terjadi di banyak tempat lain andaikan keluarga bangsawan-bangsawan Tzaren ikut berpindah menjadi penguasa wilayah untuk daerah taklukan lainnya dan jika bangsawan asli kerajaan itu kehilangan kekuasaan juga, dipastikan bangsa aslinya akan menderita.
"Itulah sebabnya aku mengirim adik-adikku menjadi raja di kerajaan baru dengan tetap mempertahankan hierarki di sana selain keluarga kerajaan. Bangsawan di sana akan tetap memiliki hak yang mereka punya sejak dulu. Aku terpaksa menghabisi seluruh anggota kerajaan agar tidak muncul pemberontakan. Tapi aku tahu, kemungkinan pemberontakan tetap akan terjadi apabila adikku tidak cakap dalam memerintah. Karenanya aku menyuruh mereka untuk mengambil putri Naz sebagai ratu. Rakyat tentunya akan segan untuk memberontak seorang putri Naz. Ah ... aku minta maaf untuk hal itu, Fe. Aku pikir saudari-saudarimu akan bahagia dijadikan seorang ratu."
Taaffeite mengigit bibir dan membatin, "Bahkan aku pun mengalami kesulitan yang tidak kau sadari, Tarkh. Kemewahan yang diberikan gelar ini ... apakah sebanding dengan tekanannya?"
Tarkh yang tidak sadar akan kegelisahan Taaffeite pun melanjutkan jawabannya. "Tzaren sangat menjaga kemurnian darah bangsa Tzaren. Karena itulah orang-orang Tzaren sulit menerima orang asing ataupun berbaur. Aku pikir dengan adik-adikku menjadi raja, mereka akan membawa beberapa orang Tzaren bawahan mereka. Kemudian dengan seiringnya waktu darah Tzaren akan tercampur dengan bangsa lain. Seandainya suatu saat tidak ada lagi yang membangga-banggakan kemurnian keturunan tertentu, tentunya akan lebih mudah menyatukan semua orang. Jika di satu kerajaan kita bisa menemukan banyak warna rambut, kupikir tidak akan masalah untuk menjadi satu imperium besar. Namun, kondisi sekarang masih jauh untuk itu. Tidak ada kedamaian yang tercipta jika aku bersikeras menjadikan Tzaren pemimpin imperium besar. Kondisinya kurang lebih akan seperti ... rambut merah adalah golongan atas dan selain itu adalah golongan hina."
Taaffeite terharu mendengar pernyataan Tarkh. Ia tidak menyangka Tarkh adalah raja yang mempunyai visi jauh ke depan dan memperhatikan hal-hal yang tidak berkaitan dengan bangsanya. Ia pun menyetujui pemikiran suaminya tersebut. Lantas Taaffeite teringat hal lain. "Bagaimana dengan Raja Sirgh? Mengapa kau menjadikannya raja?"
Tarkh mengembuskan napas. "Aku sudah menyebut sebelumnya, Sirgh adalah anak haram kakekku dengan istri seorang bangsawan rendah di sebuah kota kecil. Itu hanya hubungan semalam yang mengubah segalanya. Bangsawan rendah tersebut memberikan istrinya saat kakekku berkunjung ke kota mereka. Tidak lama setelah itu, mereka datang ke istana dengan membawa seorang bayi dan mengatakan bahwa itu adalah anak dari raja. Ternyata bangsawan rendah tersebut mandul sehingga tidak mungkin itu anak darinya. Anak itu bermata biru yang sering dimiliki oleh keturunan raja dan umurnya pun cocok. Ratu saat itu murka tapi kakekku memberi mereka banyak uang dan rumah megah di ibu kota.
"Singkat cerita si bangsawan rendah dan istrinya meninggal karena sebab yang tidak diketahui, kemudian Sirgh diambil oleh kakekku untuk tinggal di lingkungan istana. Ia ikut belajar di istana bersama dengan keturunan raja dan bangsawan-bangsawan tinggi lainnya. Kakekku bahkan berbuat jauh dengan melanggar peraturan, beliau memberi Sirgh gelar pangeran meski Sirgh tidak mendapat satu pun kenyamanan yang seharusnya didapatkan gelar tersebut. Banyak yang menindasnya dan mengatainya. Mereka berani melakukan itu karena ratu tidak akan membantu dan raja tidak bisa menunjukkan kepeduliannya terang-terangan. Sirgh benar-benar sendirian di lingkungan istana yang keras tanpa kerabat yang mendukung dan melindunginya.
"Sampai kemudian aku cukup umur untuk ikut belajar bersama di istana, aku bertemu dengan Sirgh. Aku melihatnya dipukuli dan ia tidak melawan. Sosoknya semasa muda sangat rapuh, tidak seperti sekarang, sehingga aku merasa kasihan dan melerai perkelahian tidak imbang tersebut. Sejak saat itu aku menemaninya setiap hari sehingga anak-anak yang lain menjadi segan untuk mengganggunya. Kami sudah sangat dekat layaknya saudara. Ratu tidak menyukai hal tersebut sehingga mengatur agar Sirgh mulai dikirim ke medan perang terlepas dari usianya yang masih sangat muda. Ia bahkan selalu berada di garis depan, tapi selalu kembali dengan selamat. Bakatnya mulai terlihat di bidang militer yang membuat kakekku makin senang padanya. Kakek diam-diam membantu Sirgh dalam meniti karir di militer.
"Hubunganku dengan Sirgh pun tetap berjalan baik. Aku sering mengunjunginya selepas ia kembali dari peperangan. Bahkan saat aku mulai terjun ke medan perang, Sirgh sudah berkali-kali menyelamatkanku dari kematian. Aku tidak bisa menghitung berapa banyak aku sudah berutang nyawa padanya. Ia hidup begitu sulit di istana sejak kecil tapi masih melindungiku berkali-kali. Kupikir Sirgh sebagai keturunan raja seharusnya mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari yang sudah dia jalani. Itulah yang membuatku merasa harus membayar utang budi dan utang dari perlakuan keluarga raja terdahulu padanya. Itu pula yang membuatku memberikan satu wilayah kerajaan padanya. Dari sedikit orang yang bisa kupercaya, Sirgh adalah salah satunya. Ia tidak pernah meninggalkanku sekalipun kami terkepung musuh dan ia tidak pernah mengkhianatiku."
Taaffeite terdiam. Andaikan ia mendengar hal tersebut tanpa mendapatkan penjelasan dari kakaknya terlebih dahulu, sudah pasti ia akan begitu menghormati Raja Sirgh. Kata-kata kakaknya, Ruby, berputar di kepala seolah memperingatinya.
"Ia tidak tahu jika Raja Sirgh ternyata diam-diam berencana menguasai seluruh kerajaan yang ada dan sudah mulai menjalankan rencananya."
Tarkh kembali mengutarakan pujian-pujian pada Raja Sirgh sementara Taaffeite berkutat dengan pikiran-pikirannya.
Tarkh yang merasa Taaffeite tidak menaruh perhatian pada apa yang ia ucapkan pun memanggil nama Taaffeite berulang kali hingga ratunya sadar jika sedang dipanggil.
"Ah ... maafkan aku ...."
"Kau terlihat banyak melamun akhir-akhir ini. Apa kau baik-baik saja, Fe?" Tarkh membelai pipi Taaffeite.
Baru saja Taaffeite hendak menjawab, rasa mual yang belakangan terjadi tiba-tiba kembali menyerang. Ia menutup mulutnya dan mengernyit.
Tarkh yang melihat itu lantas terduduk dan memandang dengan khawatir. "Fe, kau sakit?"
"Aku hanya ... mual ... ugh."
Tarkh lantas berteriak menyuruh dayang untuk memanggil tabib istana secepat mungkin.
Tabib istana pun muncul dengan cepat dan langsung memeriksa sang ratu.
Tarkh menunggu diagnosa tabib dengan berdiri di dekat tempat tidur yang justru memberi tekanan tersendiri bagi tabib tersebut. Namun, sejurus kemudian tabib istana itu membelalakkan matanya dan tersenyum pada Tarkh.
Si tabib berdiri mendekati dayang, menanyakan beberapa hal pada dayang-dayang yang melayani Taffeite, lalu menuju Tarkh dan membungkukkan badannya yang justru membuat Tarkh bingung.
"Apa yang terjadi pada Ratu?"
"Yang Mulia Ratu baik-baik saja. Ini adalah gejala umum yang normal terjadi pada wanita yang sedang mengandung."
Tarkh terdiam kaku. "Mengandung ...."
"Benar, Yang Mulia. Selamat! Yang Mulia Ratu sedang hamil. Saya sudah mengonfirmasi tanggal terakhir periode bulanan ratu pada para dayang dan tanggalnya cocok. Kandungan Yang Mulia Ratu sudah memasuki usia tiga bulan."
Tarkh terperangah, mulutnya terbuka dan pupil matanya membesar. Ia mengalihkan pandangannya pada Taaffeite. Ratunya itu juga membalas tatapannya dengan ekspresi tidak percaya.
Sontak Tarkh menghambur ke arah Taaffeite, memeluk ratunya dengan erat kemudian melepas pelukannya untuk mencium bertubi-tubi pipi merona di hadapannya.
"Aku masih tidak memercayainya!" Tarkh berseru senang.
"Aku juga begitu." Taaffeite tersenyum lebar. Hatinya membuncah oleh kabar bahagia tersebut. Ia sedang mengandung anak dari laki-laki yang amat mencintainya.
"Oh ... Fe .... Kau selalu memberikan kebahagiaan. Betapa beruntungnya aku memilikimu." Sang raja pun mencium kening Taaffeite.
Kabar kehamilan Ratu Tzaren tersebut menyebar begitu cepat ke seluruh penjuru kerajaan, bahkan hingga ke kerajaan lainnya.
***
'Prang!'
Pelayan-pelayan Putri Kleih terdiam ketakutan saat majikannya membanting barang-barang pecah belah di kamar. Ekspresi sang putri begitu menakutkan hingga membuat pelayan-pelayan yang ada di sekitar tempat itu hanya bisa menatap lantai sambil gemetaran. Tidak ada yang berani bergerak meski sebuah vas keramik dilemparkan ke arah mereka. Mereka tahu jika menghindar hanya akan menambah murka Putri Kleih.
"Apa kau sudah selesai melampiaskan kemarahanmu?" Sebuah suara berat dengan nada berwibawa terdengar dari arah pintu masuk kamar Putri Kleih.
Putri Kleih menoleh sambil terengah-engah. Begitu menyadari siapa yang masuk, ia lantas menghempaskan badannya ke sebuah kursi berlengan. "Maafkan keadaan kamarku yang berantakan, Ayah. Silakan masuk."
Bendahara kerajaan Tzaren melangkah masuk ke kamar putrinya. Ia mengisyaratkan agar para pelayan yang ada di ruangan itu untuk pergi.
Dengan sepelan mungkin para pelayan beringsut pergi dari ruangan tersebut dengan kelegaan menghiasi wajah mereka.
Sang bendahara duduk di kursi yang paling dekat dengan Putri kleih, mengabaikan kondisi kamar yang seperti medan perang dengan pecahan kaca, kristal, juga keramik tersebar di mana-mana.
"Kau sudah mendengar berita kehamilan ratu?"
"Ya ... memang cepat atau lambat jalang itu akan hamil. Tapi tetap saja aku kesal ketika mendengar berita tersebut diumumkan seolah-olah setiap sudut kerajaan wajib mendengarnya." Putri Kleih mengembuskan napas keras.
Sang bendahara tertawa.
Putri Kleih menoleh heran. "Apa yang ayah tertawakan?"
"Oh putriku .... Kau seperti gadis yang sedang cemburu." Kemudian suara sang bendahara terdengar begitu tajam dan serius. "Apakah seperti itu sikap calon ratu imperium besar? Marah pada bayi yang belum lahir? Kau mengecewakanku, Kleih."
Putri Kleih menegakkan badannya. "Maafkan aku, Ayah. Aku hanya mengalami lonjakan emosi sesaat. Aku akan bersikap lebih baik ke depannya."
"Bagus .... Kau tahu kau lebih baik daripada orang asing berambut hitam yang tidak pantas sama sekali menjadi ratu itu."
Putri Kleih menyunggingkan senyum tipis. "Tentu saja aku tahu nilaiku. Ah ... bagaimana dengan bangsawan-bangsawan lain yang mendengar kabar ini? Apa mereka terlihat goyah?"
"Tampaknya ada sedikit dengungan tidak penting. Akan ayah bereskan pada pertemuan selanjutnya." Sang bendahara meneliti wajah putrinya. "Apakah kau punya sesuatu di pikiranmu?"
Putri Kleih tersenyum lebih lebar. "Ya, Ayah. Pikiranku langsung bekerja begitu mendengar kabar tersebut. Aku hanya perlu melampiaskan sedikit emosi tak berguna untuk menjadikan pikiranku lebih jelas lagi."
Sang bendahara kerajaan ikut tersenyum. Ia memahami putrinya. Gadis itu memang sedikit meledak-ledak, tapi cerdas dan licik seperti dirinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top