Chapter 25 - Kerajaan Zetaya: Mahkota yang Berdarah
Tarkh berhasil melalui gerbang istana Zetaya dengan selamat. Kuda-kuda baru telah disiapkan untuknya dan prajurit-prajurit elitenya. Mereka kemudian diarahkan menuju barisan belakang pasukan, di mana Oukha dan Azkhar menunggunya di atas kuda.
Oukha menyambut Tarkh dengan wajah khawatir. "Bagaimana bisa kau seceroboh ini, Kak? Dengan sedikit pasukan mengonfrontasi Kak Khrush."
Tarkh mengembuskan napas keras. "Aku tidak menyangka saudaraku sendiri berniat membunuhku."
Nyaris saja Oukha tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan tersebut. Ia terkejut akan kenaifan kakaknya itu.
"Sebaiknya kita cepat pergi dari Zetaya!"
"Lebih baik kita hancurkan saja Khrush sekarang!" balas Tarkh.
"Dan membiarkan Innist kehilangan hampir semua tentaranya? Itu sangat tidak bijak," tolak Oukha.
"Bukankah kau membawa banyak pasukanmu dari Ez ...." Kata-kata Tarkh terputus setelah melihat sekeliling. Apa yang ada di balik jubah-jubah merah khas tentara Ezze adalah prajurit-prajurit kurus dengan rambut gelap yang ditutupi pelindung kepala.
"Oh, ayolah kak. Kau tidak berpikir aku benar-benar membawa pasukan Ezze sebanyak ini, bukan? Ketika berangkat dari Ezze, aku tidak tahu jika Kak Khrush akan mempunyai rencana jahat."
"Kau memalsukan prajurit Innist menggunakan jubah-jubah prajurit Ezze?!" Tarkh masih terperangah.
Sebagian besar prajurit berjubah merah khas Ezze saat itu ternyata memakai zirah tipis dan wajah serta warna rambut mereka tertutup oleh helm besi milik prajurit Innist. Hanya kain merah yang dapat membuat orang-orang salah menduga meski prajurit Ezze yang asli memang tampil di barisan terdepan.
"Yah ... ini ide yang datang tiba-tiba. Untung saja persediaan kain merah di Innist cukup banyak. Lihatlah lambang Kerajaan Ezze yang dibuat asal-asalan itu! Sungguh jelek! Untung saja Kak Khrush tidak pintar menyadarinya. Nah ... ayo kita pergi secepatnya sebelum trik ini disadari Kak Khrush!"
***
Saat mendekati perbatasan Innist, Tarkh menoleh pada Oukha. "Kita berpisah di sini. Aku akan langsung kembali ke Tzaren."
"Berhati-hatilah di jalan, Kak!" balas Oukha dan Azkhar berbarengan.
"Pasti! Ah ... sedari perjalanan tadi aku bertanya-tanya, mengapa tidak ada satu pun prajurit Zetaya yang berjaga di perbatasan ataupun pos-pos pemantau yang tersebar di seantero Zetaya? Bahkan jembatan-jembatan mereka yang krusial tidak dijaga. Di kota juga tidak tampak satu pun prajurit." Tarkh mengungkapkan kerisauannya.
"Itu juga membingungkanku, Kak," jawab Oukha. "Tadinya kami sudah siap berperang karena kedatangan kami seharusnya sampai ke telinga Kak Khrush. Tapi justru kami bisa memasuki ibu kota dengan mulus tanpa perlawanan yang berarti. Prajurit-prajurit yang mengawasi pekerja paksa juga terkejut melihat barisan pasukan kami. Aneh, mereka menjatuhkan senjata begitu saja tanpa melawan."
"Sepertinya Khrush sudah menarik pasukan agar terpusat di ibu kota untuk menjalankan khayalan sintingnya. Baguslah! Kalau begitu aku akan kembali secepatnya ke Zetaya dengan pasukan Tzaren untuk menyeret si gila itu."
Tarkh pun berpisah dengan Oukha dan Azkhar. Ia bergegas kembali ke Tzaren dengan kemarahan yang besar pada adiknya, Khrush. Namun, ternyata dirinya tidak akan kembali ke Zetaya lagi.
***
Tidak ada yang menyangka kalau seorang pangeran Zetaya berhasil selamat dari pembantaian besar-besaran keluarga raja pada perang besar yang dilakukan Tarkh dahulu. Tidak ada pula yang mengira hilangnya prajurit penjaga pos pemantau dan prajurit penjaga jembatan adalah bagian dari perubahan rencana Pangeran Luthe.
Pangeran Luthe awalnya ingin langsung menyerbu istana. Namun, berita kedatangan Tarkh yang tiba-tiba diikuti barisan gabungan pasukan Ezze dan Innist membuat Pangeran Luthe memundurkan rencana penyerangan ke istana.
Pangeran Luthe dan pasukannya yang bergerak dalam kelompok kecil-kecil menghabisi terlebih dahulu pasukan penjaga yang jumlahnya memang sudah lebih sedikit dibandingkan sebelumnya karena beberapa dari pasukan tersebut telah bergabung dengan pasukan Pangeran Luthe.
Itulah sebabnya Khrush tidak menyadari kedatangan pasukan Ezze dan Innist. Ia hanya memperkirakan kedatangan Tarkh yang akan berangkat langsung dari pemakaman Pearl.
Tidak ada yang melaporkan pergerakan di luar ibu kota pada Khrush. Sama seperti saat pasukan pemberontak Pangeran Luthe yang terdiri dari mantan prajurit, bandit, dan rakyat yang melarikan diri dari cengkeraman Khrush, bergerak memasuki ibu kota sehari setelah pasukan Ezze dan Innist bertolak dari ibu kota Zetaya.
Khrush tidak mengantisipasi serangan mendadak tersebut. Ia sedang rapat dengan pemimpin pasukan Zetaya tentang bagaimana cara menghadapi Tarkh jika Tarkh kembali datang membawa pasukan dan tiba-tiba pintu ruang kerjanya didobrak paksa pasukan pemberontak.
Tidak ada yang melawan selain Khrush. Seolah-olah seisi istana dan seisi ibu kota pasrah menyerahkan diri pada pasukan pemberontak. Tidak ada pula bangsawan dan jenderal yang tersisa di samping Khrush untuk dijadikan tameng. Sebagian bangsawan telah ia gantung, sebagian yang masih hidup memilih kabur atau bergabung dengan Pangeran Luthe.
Khrush semakin terkejut saat pemimpin pasukan Zetaya yang baru menggantikan Jenderal Zetaya yang ia bunuh, dengan cepat berada di sisi Pangeran Luthe lalu berlutut di hadapan pangeran berbaju rakyat tersebut.
"Saya menyambut Pangeran Luthe, pemegang sah takhta Raja Zetaya," ucap si pemimpin pasukan Zetaya.
"Sialan! Bagaimana bisa masih ada keluarga kerajaan Zetaya yang tersisa?!" Khrush tetap mengumpat sekalipun telah tersudut. Di hadapannya terdapat wajah-wajah penuh dendam yang siap mencabiknya hidup-hidup.
"Kau berutang banyak pada Zetaya, Yang-Mulia-Khrush," balas Pangeran Luthe. Alih-alih menjawab Khrush, ia mengucapkan tiga kata terakhir dengan nada mengejek.
Khrush meludah. "Cuih! Utang apa? Bukankah wajar orang-orang terbelakang seperti kalian menjadi bawahan kami, bangsa Tzaren yang hebat?"
"Kau tidak paham posisimu saat ini ya?" Pangeran Luthe tampak tenang dengan nyawa musuhnya sudah di ujung jurang kematian.
"Kalian ingin menghabisiku? Silakan! Hahaha! Nikmati kesenangan singkat kalian itu sebelum pasukan Tzaren datang kemari. Oh ... sebaiknya kalian membiarkanku hidup sebagai bahan negosiasi dengan Raja Tzaren." Khrush tersenyum miring. Tampaknya ia yakin nyawanya masih bisa selamat dengan beberapa pemikiran picik.
"Sayangnya ... kau akan berakhir di sini, Khrush." Terdengar suara tegas wanita dari kerumunan belakang pasukan pemberontak. Beberapa pasukan pemberontak yang berada di tengah pun mundur, membuka jalan bagi seseorang.
Khrush membelalakkan matanya, seolah sedang melihat hantu.
"A-Alex ...." Tangan Khrush terjulur ke arah Alexandrite. Ia melangkah perlahan mendekati wanita pujaan yang membuatnya tergila-gila. Ia mengira Alexandrite telah mati. Setelah kepergian Alexandrite, Khrush merasa ada kekosongan di dalam hatinya yang tidak bisa diisi wanita mana pun meski ia sudah memiliki seluruh wanita di Kerajaan Zetaya. Ia kemudian memahami perasaan kakaknya, Tarkh, yang tergila-gila pada seorang putri Naz hingga membuat perang besar meletus. "Ka-kau ... masih hidup?"
Beberapa orang lantas berdiri di depan Alexandrite, menghalangi Khrush mendekati putri Naz yang berada di pihak mereka.
Khrush berusaha menerobos pagar manusia tersebut. "Minggir kalian makhluk hina! Biarkan aku menyentuh Alex-ku!"
"Pegang dia!" perintah Pangeran Luthe.
Beberapa orang lantas memegangi kedua lengan Khrush. Mereka cukup kerepotan saat Khrush yang berbadan besar meronta-ronta ingin melepaskan diri.
"'Alex-ku' katamu?! Aku bukan milikmu, Khrush!" balas Alexandrite dengan nada tinggi.
"Oh, gadisku .... Kau selalu menjadi milikku, Alex! Milikku!"
"Kau terlalu tenggelam dalam halusinasimu." Alexandrite justru tersenyum aneh. Ia mengitari Khrush yang sedang dipegang oleh beberapa orang. "Apa pun yang kau katakan, kau tidak akan meninggalkan ruangan ini dalam keadaan hidup, Khrush. Bahkan jika kematianmu membawa pasukan Tzaren kemari dengan kekuatan penuh, orang-orang ini telah siap mati. Mereka sudah sangat siap mati setelah kau mengambil wanita-wanita mereka dan membuat neraka di Zetaya."
Alexandrite mengeluarkan pedangnya dan maju mendekati Khrush. Pedang tersebut ia letakkan tepat di atas bahu Khrush. Alexandrite menatap Khrush dengan kebencian yang terlihat jelas. Tanpa aba-aba, mendadak Alexandrite mengayunkan pedangnya sekuat tenaga. Pedang yang sudah dia asah selama itu agar selalu tajam, lantas memutus lengan Khrush hingga terpisah dari badan raja yang sedang digulingkan itu.
"Itu untuk ayahku yang sudah kau bunuh, Bajingan!" teriak Alexandrite terengah-engah. Ia kembali menegakkan tubuhnya, memandang rendah Khrush yang meraung kesakitan setelah lengan raja itu putus.
Alexandrite tidak memedulikan sumpah serapah yang dilontarkan Khrush. Ia membalikkan badan sambil berkata, "Aku ingin sekali mencabik tubuhmu dan memenggal kepalamu, Khrush! Tapi aku sudah mengambil bagianku lebih besar dari korban lain yang ingin balas dendam padamu."
Alexandrite pun berlalu, menghilang di antara kerumunan pemberontak. Kemudian satu persatu para pemberontak melingkari Khrush yang sudah tidak berdaya.
"Biarkan ia melihat apa yang akan terjadi padanya! Sisakan kepalanya untuk kita kirimkan ke Tzaren!" ucap Pangeran Luthe sebelum pergi menyusul Alexandrite.
Seorang pemberontak menarik rambut Khrush hingga membuat Khrush terdongak. Mau tidak mau Khrush bertatapan dengan para pemberontak yang sudah sangat tidak sabar ingin melampiaskan kebencian yang selama itu terpendam.
Seorang pemberontak lainnya meludahi wajah Khrush. Kemudian seolah-olah dikomando, para pasukan pemberontak bergerak maju ke arah Khrush. Mereka mencabik apa yang bisa dicabik, meludahi ketidakberdayaan sang raja, melemparkan kotoran, mencakar setiap permukaan kulit yang dapat diraih, atau menendang dan meninju sudut-sudut tubuh raja singkat mereka.
Tangisan dan teriakan Khrush terdengar bagai musik yang indah di telinga para manusia yang sudah dikuasai kebencian tersebut. Permohonan tolong hingga ampunan yang diteriakkan pun seolah menjadi tabuhan genderang untuk berbuat lebih beringas lagi.
Para pemberontak itu masih belum puas, tetapi sudah tidak ada yang tersisa dari sang raja kecuali kepala yang meninggalkan jejak ekspresi jika neraka adalah hal terakhir yang dilihatnya.
***
Sehari setelah Tarkh sampai di istana Tzaren, seorang utusan dari Zetaya datang meminta untuk bisa menghadap di saat Tarkh mengadakan rapat dadakan bersama para penasihat raja perihal adiknya, Khrush.
Tarkh langsung menemui utusan tersebut. Ia duduk di singgasananya sementara para bangsawan penasihat raja lainnya berdiri di kedua sisi singgasana raja.
Biasanya, banyak utusan berdiri gemetar atau berpura-pura tegar padahal lupa menahan napas ketika berhadapan dengan Tarkh yang sedang duduk di singgasana dan menatap mereka di bawah. Pandangan Tarkh yang setajam pedang sangat mengintimidasi seolah akan kehilangan nyawa jika salah sedikit saja dalam berucap.
Akan tetapi, utusan di hadapan Tarkh berdiri dengan tegap. Senyum tidak bisa lepas dari wajahnya meski kantung gelap matanya adalah jejak bekas kesedihan yang panjang. Setelah mengucap salam pun, utusan tersebut kembali berdiri tegap, mendongak menatap Tarkh di singgasana raja yang terletak beberapa tangga di atas lantai.
Selama itu, yang mempunyai kepercayaan diri dan ketenangan serupa adalah utusan dari kerajaan kuat yang merasa sekuat Tzaren sehingga menjadi kehinaan bagi kerajaannya apabila ia yang merupakan perwakilan raja menundukkan kepala selain untuk kepentingan salam.
"Cepat juga si bodoh itu mengambil keputusan. Jadi apa yang Khrush inginkan kali ini? Apa dia ingin meminta maaf atau ingin menantangku berperang?" tanya Tarkh dengan suara mengancam.
"Saya rasa tidak keduanya," jawab sang utusan yang memancing keheranan Tarkh.
"Lantas?"
"Yang Mulia Raja Tarkh tentu telah melihat keadaan sebenarnya di Kerajaan Zetaya di bawah kuasa Raja Khrush. Betapa rakyat Zetaya yang sudah hidup susah semakin terpuruk dan semakin diperas oleh Raja Khrush. Sebagian rakyat Zetaya dibiarkan kelaparan, sebagian lainnya dipekerjakan secara paksa, dan wanita-wanitanya kehilangan kehormatan. Tidak ada yang menolong rakyat Zetaya. Bahkan bangsawan-bangsawan Zetaya sendiri pun menderita dan kehilangan nyawa juga harta. Entah apa yang Yang Mulia Raja Tarkh inginkan dengan menempatkan raja semacam itu di Zetaya. Apakah Yang Mulia ingin membalas dendam atas kesalahan masa lalu yang mungkin tidak disadari oleh Zetaya atau sekadar tidak tahu jika adik Yang Mulia akan berbuat seperti itu? Bagaimanapun juga, rakyat Zetaya sudah sangat menderita hingga di tahap lebih baik mati daripada hidup di neraka. Sehingga wajar jika rakyat Zetaya kemudian bertindak."
Tarkh mendengarkan dengan perasaan aneh. "Apa yang kau katakan? Bukankah kau datang sebagai perwakilan Khrush?"
"Ah ... sepertinya ada kesalahan pada pengantar pesan Yang Mulia. Saya datang atas nama bangsa Zetaya, bukan Raja Khrush. Meski Yang Mulia bisa juga menyebut demikian jika Yang Mulia ingin. Karena saya juga merupakan perwakilan yang membawa Raja Khrush." Kalimat terakhir sang utusan membuat Tarkh semakin heran. Utusan Zetaya itu pun mundur sedikit ke belakang, memperlihatkan kotak kulit yang biasa digunakan untuk menyimpan barang ketika bepergian. Ia membuka kotak tersebut lalu menggelindingkan isinya.
Seluruh orang di aula terkejut dan menatap ngeri pada kepala Khrush yang di wajahnya terpampang penderitaan seolah-olah berteriak meminta tolong pada kakaknya, Tarkh.
Tarkh sontak berdiri dan berteriak, "Pengawal! Tangkap utusan itu!"
Sebelum prajurit Tzaren sempat bergerak, sang utusan mengambil sebuah botol kecil dari saku celana dan meminumnya dengan gerakan cepat. Sesaat setelah para prajurit Tzaren memegang kedua lengannya, ia memuntahkan darah segar lalu tertawa di sela-sela napasnya yang tersengal-sengal.
Utusan tersebut sekarat dan Tarkh menyadari hal itu. Karenanya ia turun dari singgasana dan mendekati sang utusan. "Kalian sadar akan ada konsekuensi dari pembunuhan anggota keluarga Raja Tzaren? Apa kalian tidak takut Tzaren menyerbu dan menghabisi setiap rakyat Zetaya?!"
Sang utusan justru tertawa lebih kencang.
"Para wanita kalian akan diperbudak dan diperlakukan hina!" Tarkh masih mengancam.
Sang utusan masih tertawa sambil tersengal-sengal.
"Aku tidak sekadar ...."
"—Yang Mulia ...," potong sang utusan. Tarkh tidak jadi melanjutkan kata-katanya. "Bukankah adik Yang Mulia telah melakukan ... semua yang Yang Mulia ... ancamkan?"
Tarkh tersentak.
"Sila ... kan ... datang ke ... Zetaya. Tidak ada ... harta tersisa. Kami ... sudah ... buang ke laut. Yang Mulia hanya akan ... menemukan ... orang-orang yang ... telah ditindas habis-habisan oleh ... adik Yang Mulia dan mereka ... sudah siap mati ... dibandingkan kembali ... dikuasai ... Tzaren. Sungguh ... terkutuklah kalian ... bangsa Tzaren ... terkutuk ...." Bersamaan dengan kata terakhir yang menyerupai kutukan tersebut, sang utusan mengembuskan napas terakhirnya.
***
"Ini adalah jembatan terakhir yang akan segera diruntuhkan. Kami hanya menyisakan satu jembatan, yaitu jembatan yang memisahkan tiga kota terdekat dari ibu kota dengan tebing di mana ibu kota berdiri. Tidak banyak rakyat yang selamat dari kebiadaban Khrush sehingga kami tidak mengambil kota lain untuk penjagaan yang sia-sia. Tiga kota sudah cukup menampung sisa rakyat yang ada. Rakyat yang tersisa pun tidak memiliki harapan banyak. Kota Suci Verhalla sudah ditutup, tidak ada jalan keluar lagi bagi kami. Aku justru mendukung keputusanmu untuk pergi dibanding terkurung bersama kami di sini. Ke mana kau akan pergi setelah ini?"
Pangeran Luthe mengantar kepergian Alexandrite hingga ke sebuah jembatan besar. Di belakang sang pangeran berdiri beberapa pasukan pemberontak yang sudah bersiap dengan berbagai macam alat untuk menghancurkan sebuah jembatan besar.
Alexandrite mengelus-elus kuda yang diberikan padanya. Kuda cokelat itu tampak kotor tapi justru itulah yang diinginkannya. Kuda yang tidak akan menarik perhatian, bahkan pelananya pun sudah usang. "Sepertinya aku akan berkeliling melihat keadaan saudari-saudariku dari dekat tanpa menyapa mereka."
"Mengapa tidak?"
"Aku ingin mereka sudah menganggapku mati. Aku akan mengawasi dan menjaga mereka dari jauh. Jika keadaan mereka baik-baik saja, aku akan mencari jalan kembali ke Kota Suci Verhalla. Tapi jika mereka dalam bahaya, akan kusingkirkan yang mengancam mereka."
"Aku mengerti. Berhati-hatilah di jalan. Bahkan jika wajahmu dikotori oleh lumpur pun orang lain masih bisa melihat kecantikanmu. Aku berharap yang terbaik untukmu." Pangeran Luthe mencoba tersenyum meski terlihat mengerikan. Namun, ketulusan senyuman itu dapat dirasakan oleh Alexandrite.
"Aku pun berharap yang terbaik untukmu dan Zetaya. Percayalah ... Ahurz akan menerima kalian yang melawan kebiadaban dengan tangan terbuka dan mereka yang berdosa akan diberikan akhir yang menyakitkan."
"Terima kasih, Nona Alexandrite."
"Tidak. Akulah yang berterima kasih, Pangeran Luthe. Kau membawaku keluar dari genggaman Khrush yang terkutuk itu dan memberikanku kesempatan balas dendam. Aku harap aku bisa membalas budi padamu."
"Kau sudah membalasnya. Dengan mengobarkan semangat pasukanku, menguatkan para rakyat yang melarikan diri dan saran-saran darimu pun cukup berguna. Kita sudah impas." Pangeran Luthe kembali tersenyum lebar.
Alexandrite tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia pun mengenakan syal yang menutupi sebagian wajahnya.
"Aku pergi dulu, Pangeran Luthe ...." Alexandrite menatap ke arah belakang sang pangeran, orang-orang Zetaya tersenyum padanya meski harapan sudah hilang dari wajah mereka. "Terima kasih pula atas segalanya. Kalian orang-orang Zetaya adalah orang-orang yang baik. Aku bersyukur bisa mengenal kalian."
"Kau tahu cara menghubungi kami. Jika ada keajaiban sehingga kami bisa bertahan dan kau perlu tempat untuk bersembunyi, kabarilah kami."
Alexandrite mengangguk dan tersenyum meski sehelai kain menutupi senyumnya. Ia menaiki kuda yang telah diisi perbekalan ala kadarnya lalu memacu kuda tersebut.
Dari kejauhan terdengar suara orang-orang Zetaya berusaha merobohkan jembatan terakhir yang menghubungkan mereka dengan kerajaan lain.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top