Chapter 19 - Pearl
"Meskipun kamu paling kecil, Ibu tahu kamu anak yang tegar. Ibu yakin kakak-kakakmu akan melindungimu."
Nasihat terakhir sang ibu untuk adiknya, Pearl, terngiang-ngiang di benak Emerald. Kemudian air matanya kembali turun, entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah. Emerald tidak peduli. Ia sangat terpukul akan kematian Pearl, nyaris menjadi gila. Ia tidak mau bertemu siapa pun. Emerald akan mulai berteriak-teriak dan mengutuk siapa saja yang memasuki kamarnya.
Para pelayan hanya berani menaruh nampan makanan di meja dekat pintu saat keadaan di dalam kamar cukup tenang, pertanda Emerald jatuh tertidur akibat kelelahan setelah bersedih sepanjang hari.
Kadang makanan itu akan disentuh Emerald, kadang tidak sama sekali. Tiap kali ia merasa putus asa hingga ingin mati menyusul adiknya, kebencian di dalam hatinya muncul menguatkan dirinya. Keinginan untuk menyerah dan keinginan untuk balas dendam datang silih berganti, membuat kondisi Emerald tidak stabil.
Emerald benci semua yang ada di istana Innist itu. Para pelayan dan prajurit yang mengacuhkan mereka ataupun bangsawan yang menutup mata akan keadaan putri Naz. Namun, tentu saja yang paling ia benci adalah Raja Azkhar. Raja yang egois dan biadab yang membiarkan adiknya mati. Bahkan Emerald menuduh sang raja yang menyuruh seorang laki-laki Tzaren untuk menyiksa adiknya, laki-laki Tzaren berwajah bengis yang tidak akan pernah dilupakan Emerald. Ia selalu mengutuk mereka di sela-sela tangisannya setiap hari sambil membayangkan apa yang akan ia lakukan andai dirinya mempunyai kesempatan balas dendam.
Sekelebat bayangan Pearl menyusup kembali dalam benak Emerald. Senyum sang adik, suara riang bocah itu, hingga langkah-langkah kaki Pearl yang ringan seperti sedang menari, masih teringat jelas di benaknya. Kenangan-kenangan ketika kehidupan mereka masih baik-baik saja di Kota Suci Verhalla ikut bermunculan. Adiknya yang satu itu mudah sekali menangis, seringnya karena dijahili Lazuli yang umurnya tidak jauh dari Pearl. Kemudian Pearl akan mengadu padanya yang hampir selalu berbaring di tempat tidur atau pada kakaknya, Sapphire, yang selalu merawatnya dengan tekun.
Lalu bayangan-bayangan itu berganti pada kondisi mereka di menara istana Innist. Wajah pucat Pearl. Tubuh kecilnya yang lebam di sana sini. Pandangannya yang kosong. Seolah semua keceriaan dan semangat hidup Pearl lenyap ditelan lumpur isap.
Emerald pun berteriak frustrasi lagi dan lagi hingga ia jatuh pingsan.
***
"Di mana bangsawan itu?"
"Aku memenjarakannya di penjara istana. Ikuti aku."
Oukha yang telah sampai di istana kakak kembarnya di Innist, mengikuti sang kakak menuruni sebuah lorong gelap yang sempit dan berpenerangan minim. Mereka lalu tiba di ruangan besar yang gelap nan lembap. Ruangan itu terbagi dalam bilik-bilik berjeruji besi di kanan juga kiri. Bau ruangan bercampur antara kotoran manusia, darah, dan jamur. Bau yang sangat tidak tertahankan itu membuat Azkhar muntah begitu memasukinya.
Oukha dengan cepat menutup hidungnya dengan sapu tangan yang sudah diberi wewangian. Ia sudah menduga baunya akan sangat parah semenjak ia memasuki ibu kota Innist. Jalan-jalan ibu kota yang berlumpur, pemukiman kumuh, dan rakyat yang tidak terurus tersebar di ibu kota lebih banyak dibandingkan ibu kota mana pun yang pernah dilihat Oukha. Benar-benar sebuah kerajaan miskin.
"Aku tidak kuat berlama-lama di sini," keluh Azkhar sembari menahan isi perutnya kembali keluar.
"Jangan bilang setelah kau memenjarakannya, tidak pernah sekali pun kau kunjungi."
Azkhar tampak takut saat mengiakan hal tersebut.
"Sial!" Oukha menarik kerah salah satu prajurit pembawa obor yang menemani mereka lalu mendorong prajurit kurus tadi ke depan. "Tunjukkan sel tahanan bangsawan itu!"
Dengan gerakan kaku, prajurit tersebut melangkah ke depan dan berhenti di salah satu sel. Ia mengeluarkan suara terkejut, begitu pula dengan rombongan yang mengikutinya.
Di salah satu sel, seorang pria kurus berkumis tipis terkulai dengan mata membelalak. Darah kering menodai pakaiannya di sekitar dada. Wajahnya pucat dan ekspresinya menandakan hal terakhir yang dilihatnya telah mengejutkannya.
"Kita terlambat," gumam Oukha. Ia berpaling pada salah satu prajurit. "Periksa penyebab kematiannya! Laporkan segera!"
Nada dingin Oukha terdengar sangat menekan prajurit-prajurit yang mendengarnya.
Entah karena aura Oukha yang mengintimidasi atau karena raja mereka sendiri tampak tidak berdaya di hadapan Oukha, para prajurit itu dengan cepat melaksanakan perintah Oukha.
Oukha lantas keluar dari area penjara itu lalu menarik Azkhar yang sebelumnya tidak sanggup untuk ikut bersamanya lebih jauh ke dalam penjara.
***
"Maafkan aku! Aku tidak tahu kalau ada yang akan mengincar nyawanya." Azkhar duduk melorot di kursi dan tampak lemas. Isi perutnya sudah kosong dan ia masih merasa lelah setelah perjalanan panjang dari pernikahan kakaknya di Aritoria. Oukha telah memaksanya langsung mendatangi penjara begitu mereka menginjakkan kaki di istana.
BRAK!—Oukha membanting gelas perak dengan keras setelah meminum cairan di dalamnya hingga suara gelas itu memenuhi ruangan santai istana yang bernuansa ungu.
Memangnya apa yang kau tahu dengan otak kecilmu itu?! Oukha menghela napas keras. "Tidak ada gunanya aku mendebat hal itu. Baiklah, di mana Nona Emerald?"
Azkhar langsung menegakkan duduknya. "Eh ... kau mau menemuinya sekarang?"
"Tentu saja! Lebih cepat lebih baik. Hei, kamu!" Oukha memanggil pelayan yang siaga di ruangan. "Tunjukkan kamar Nona Emerald!"
Pelayan yang ditunjuk tampak kebingungan diperintah oleh seseorang yang bukan rajanya.
Melihat respons pelayannya yang lambat, Azkhar berteriak frustrasi. "Apa yang kau tunggu, bodoh? Tunjukkan kamar Nona Emerald pada saudaraku!"
"Se ... sebelah sini, Tuan." Dengan ketakutan, pelayan itu membuka pintu dan berjalan dengan kikuk diikuti Oukha dan Azkhar.
Sesampainya di depan kamar Emerald, Azkhar dan pelayan yang menunjukkan kamar menghela napas lega. Suasana kamar sedang sepi, pertanda Emerald sedang tertidur.
"Kau bisa berkunjung besok, Oukha. Nona Emerald sedang tidur."
"Aku akan menunggunya bangun." Oukha membuka pintu dengan pelan. Ia berhenti sebentar lalu menoleh ke belakang. "Kalian ...."
***
Emerald membuka matanya yang terasa berat. Menangis berhari-hari telah membuat matanya bengkak. Dari pandangannya yang masih kabur ia dapat melihat sosok berambut merah duduk di tempat tidurnya. Emerald lantas duduk dengan cepat.
Raja Azkhar sialan!
Akan tetapi, setelah pandangannya fokus, Emerald menyadari jika di hadapannya bukanlah lelaki yang dibencinya setengah mati. Laki-laki itu memang mirip. Namun, aura dan tatapannya berbeda. Pakaiannya pun sangat berbeda, jauh lebih bersih dan berkelas.
"Siapa kau?!" Emerald mencoba mengingat saudara-saudara Raja Azkhar saat mereka memilih dan menghina kehormatan para putri Naz, tetapi ia terlalu muak untuk meneruskannya.
"Aku adalah Raja Oukha dari Ezze. Azkhar adalah kakak kembarku."
Mendengar nama Azkhar disebut, darah Emerald mendidih.
"Apa urusanmu di sini? Apa kau akan menyiksaku seperti raja biadab itu?!" Suara Emerald makin meninggi dan melengking.
"Aku tidak berniat seperti itu," jawab Oukha datar.
"Bohong! Kalian para Tzaren semua sama saja! Kalian bukan manusia! Dasar makhluk terkutuk!" Emerald mulai memaki, menggeram, dan menangis. Ia melempar bantal pada Oukha yang ditepis dengan cepat. "Akan kubunuh kalian! Kalian harus menemani adikku di kematiannya!"
Saat Emerald mulai mengambil barang-barang keras dari nakas di samping tempat tidurnya, Oukha dengan cepat memegang tangan Emerald dan menyudutkan gadis itu.
"Apa kau sudah selesai? Kau kira aku akan diam saja diperlakukan seperti itu?" geram Oukha.
"Kenapa? Tidak suka? Bunuh aku! Ayo bunuh!"
Plak!—Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Emerald. Namun, Emerald justru tertawa keras.
"Bagus! Tampar lagi sampai kau puas!"
Oukha terdiam sejenak lalu melepas tangan Emerald. Ia berdiri dan mengambil semangkuk sup yang sudah dingin dari salah satu meja, makanan yang sudah disiapkan pelayan berjam-jam lalu atas perintahnya.
Oukha lantas berjalan kembali ke arah Emerald dan duduk di tempat tidur. Ia menyodorkan sesendok sup pada Emerald. "Kau butuh makan."
"Tidak!" Sontak Emerald menepis mangkuk sup yang dipegang Oukha hingga sup tersebut tumpah ke lantai.
Oukha hanya diam sebentar lalu tersenyum sinis. Senyum yang langsung disadari Emerald jika pemiliknya adalah orang yang patut diwaspadai.
"Ah ... sayang sekali. Kakakmu, Ruby, sudah berkorban tangan menyiapkan sup untuk adik tercintanya." Oukha memandang bengis pada Emerald seolah Emerald adalah kelinci kecil yang bisa dibunuh kapan saja sekadar untuk bersenang-senang.
Ruby? Tangan? Emerald menoleh ke arah sup yang tumpah di lantai. Napasnya tercekat.
Di antara kuah sup berwarna kecokelatan, terdapat seonggok tangan putih tak bertuan yang kontras dengan warna kuah sup yang tumpah. Tangan itu jelas dulunya dimiliki oleh seorang wanita. Pergelangan tangan yang menjadi pangkal tampak baru saja dipotong, setidaknya di pagi hari itu.
Emerald menjerit. "Biadab! Apa yang sudah kau lakukan pada Kak Ruby?!" Ia sontak turun dari tempat tidurnya dan merengkuh tangan tersebut, tidak peduli jadi sekotor apa gaun tidurnya. Matanya nyalang menatap Oukha.
"Diamlah! Kau berisik sekali!" Oukha menuangkan air ke gelas perak di meja tempat ia mengambil sup sebelumnya dan menyodorkan gelas perak tadi ke Emerald. "Minum!"
Emerald menggeleng cepat.
"Minum atau kukirimkan bagian tubuh kakakmu yang lain!" ancam Oukha.
Emerald tersentak. Dengan gemetaran ia menerima gelas tersebut lalu meminumnya dengan tergesa-gesa hingga sedikit terbatuk.
Oukha menyunggingkan senyum miring lalu mengambil kembali gelas dari tangan Emerald. "Duduklah kembali di tempat tidurmu sebelum ancaman yang sama kuberikan lagi!"
Emerald menuruti kata-kata Oukha dengan dada sesak. Apa yang sudah terjadi pada Ruby?
Berbagai pikiran mengerikan berkecamuk di kepala Emerald. Ia memeluk tangan di dekapannya dengan lebih erat lagi seolah itu adalah bagian dari dirinya.
Oukha melangkah santai menaruh gelas di atas meja lalu kembali ke tempat tidur Emerald. Ia duduk di hadapan putri Naz itu.
"Me ... mengapa? Hiks. Mengapa kau menyiksa Kak Ruby?" Air mata Emerald turun meski ekspresinya masih menunjukkan kemurkaan yang terlihat sangat jelas. "Apa salah kami hingga kalian begitu kejam?!"
"Aku datang jauh-jauh kemari tidak untuk menyiksamu."
"Tapi kau menyiksa Kak Ruby!"
"Aku hanya memperingatinya. Dia sama berisiknya dengan dirimu saat pertama kali kami bersama. Tenang saja, sekarang dia baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini."
"Un-untuk saat ini? A-apa maksudmu?"
"Aku akan mengajukan penawaran. Keselamatan kakakmu bergantung pada keputusanmu."
"Penawaran? Apa yang kau inginkan?"
"Sederhana saja. Pertama-tama, aku ingin kau merahasiakan penyebab kematian adikmu, Pearl. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu selain orang di istana ini, Azkhar, kau, dan aku. Terutama Ruby, ia tidak boleh tahu sama sekali!"
Emerald menggeram pelan. "Mengapa kau melakukannya? Apa putri Naz sehina itu hingga kami tidak bisa kami mendapatkan keadilan atas kematian salah satu dari?!" Emerald nyaris berteriak.
"Sssttt .... Aku tidak suka orang berisik." Oukha menempelkan satu jarinya di bibir. "Aku tidak bilang selamanya. Kau hanya perlu merahasiakannya sampai tujuanku tercapai."
"Dan apa yang akan kudapatkan untuk itu?"
"Keadilan. Kau bebas menghakimi siapa pun yang berkaitan dengan kematian Nona Pearl ... atau mungkin juga penghakiman pada orang yang menyebabkan kematian saudarimu yang lain."
Deg! Emerald mengernyit, berharap pendengarannya salah. "Kematian saudariku ... yang lain?"
Oukha balas memandang Emerald dengan heran. Ia lalu menggelengkan kepalanya. "Azkhar benar-benar keterlaluan! Ia tidak memberitahumu tentang kematian Nona Alexandrite?"
Seluruh tubuh Emerald langsung terasa lemas. Ia menatap Oukha dengan pandangan tak percaya. "K-kau bercanda kan?"
"Aku tidak pernah bercanda tentang kematian, Nona."
"Azkhar tidak menyinggung apa pun tentang Kak Alexandrite ...." Emerald sudah melupakan tata krama kerajaan sama sekali. Ia sudah sampai di tahap jika mati pun bukan perkara besar baginya.
Oukha tampak mengurut pelipisnya. "Ternyata dia lebih bodoh dari yang kuduga."
Emerald mencondongkan tubuhnya mendekati Oukha. "Ceritakan padaku apa yang terjadi!"
"Tentu. Jika kau berjanji tidak lepas kendali."
Emerald tampak terpukul setelah mendengar penjelasan Oukha. "Kak ... Alex ...." Ia menutup mulutnya sambil gemetaran pertanda tangisnya sebentar lagi akan meledak.
Oukha mendekat, ia berkata sangat dekat tepat di samping telinga Emerald. "Aku hanya akan menawarkan ini sekali. Jika kau bersedia bekerja sama denganku, ikutlah sarapan bersamaku besok. Jika tidak, maka jangan menampakkan dirimu sama sekali. Kalau kau bekerja sama denganku, aku akan menjamin kenyamanan Ruby dan dirimu. Setelah tujuanku tercapai, akan kupenuhi semua permintaanmu bahkan jika kau ingin membalas dendam pada saudara-saudaraku. Tenang saja, aku pun membenci mereka. Namun, jika kau tidak berkenan untuk bekerja sama denganku ...."
Oukha menegakkan tubuhnya hingga ia memandang Emerald di bawahnya dengan tatapan kejam yang sangat mengintimidasi. "... Akan kusuruh Azkhar mengurungmu dan memaksamu makan potongan-potongan tubuh saudari-saudarimu. Hingga ketika tidak ada lagi saudarimu yang tersisa, aku akan membunuhmu dengan sangat perlahan."
***
Oukha baru memakan setengah sarapannya ketika seorang pelayan mengatakan apabila Emerald sudah tiba di depan ruang makan keluarga raja.
"Suruh dia masuk!"
"A-apa yang kau lakukan padanya kemarin hingga dia mau keluar dari kamarnya?" Azkhar memandang Oukha tidak percaya. Ia pikir Emerald akan terus berteriak, menangis, dan mengurung diri di kamarnya hingga menjadi gila.
Oukha mengambil gelasnya dan minum tanpa sedikit pun menoleh pada Azkhar. "Sesuatu yang tidak akan sanggup kau pikirkan."
Begitu pintu ruang makan terbuka, masuklah Emerald yang tampak lebih terurus dari yang terakhir Oukha lihat di kamar. Tampaknya pelayan sudah sedikit mempersiapkan Emerald sebelum putri Naz itu menemui Oukha. Ia telah dimandikan juga dipakaikan gaun hitam sederhana yang terlihat berkelas ketika dipakai oleh seorang putri Naz yang cantik jelita meskipun wajahnya masih sembap.
"Hidangkan makanan untuk Nona Emerald!" Seisi istana seolah telah terbiasa diperintah Oukha alih-alih Azkhar yang merupakan raja mereka.
"Aku harap kau menikmati makanannya, Nona Emerald. Tidak buruk, tapi tentu saja masakan di kerajaanku jauh lebih enak. Suatu hari akan kujamu kau dengan makanan Ezze yang luar biasa enak. Untuk sementara bersabarlah menikmati hidangan Innist," ujar Oukha dengan suara ramah dan senyum lebar.
Emerald yang duduk di seberang Oukha memandang raja tersebut dengan tajam. Ia paham kata-kata sang raja memiliki arti lain.
Ekspresi Oukha yang santai dan cerah sungguh berbeda dengan ekspresi pria itu tadi malam, seolah yang sedang makan di hadapan Emerald adalah orang yang sama sekali berbeda. Ia menyadari, Oukha memiliki wajah yang banyak dan sanggup mengatur ekspresi juga emosi, tipe yang sangat berbahaya.
Selepas sarapan, Oukha mendekati Emerald dan mengulurkan tangan. "Akankah putri Naz memberiku kehormatan untuk berjalan-jalan bersama menikmati pagi yang indah ini?"
Seandainya Emerald tidak mengetahui wajah lain Oukha, ia pasti akan terpesona oleh tingkah lembut dan penuh hormat lelaki itu. Emerald memaksakan diri tersenyum dan menyambut uluran tangan Oukha, meninggalkan tatapan penuh kebingungan dari Azkhar.
"Pagi yang cerah, bukan? Suasana pagi ini seolah mencerminkan isi hatiku yang senang dengan keputusanmu, Nona Emerald," ucap Oukha sambil membiarkan Emerald meletakkan tangan di lengannya saat mereka memutari taman bunga istana.
"Apa Yang Mulia akan menjelaskan rencana Anda?" Tampaknya Emerald memutuskan untuk kembali pada tata krama kerajaan yang selama itu ia abaikan semenjak kematian Pearl. Ia mati-matian menahan diri untuk menjaga sikap dari orang yang telah memotong tangan kakaknya demi melihat kemungkinan cara balas dendam lainnya.
Oukha tersenyum. "Terlalu banyak telinga yang tidak kuketahui di sini. Aku akan membahasnya di tempat lain untuk pembicaraan lebih lanjut. Untuk sementara ada yang harus kau lakukan sebelumnya."
"Apa itu?"
"Bagaimana pemakaman Nona Pearl?" Alih-alih menjawab, Oukha justru bertanya hal yang membuat roman Emerald kembali sedih.
"Menyedihkan. Pearl ditaruh begitu saja dalam peti dan dikuburkan dengan hanya sedikit orang yang menghadiri. Bahkan yang mendoakannya hanya saya saat itu, tidak ada pendeta satu pun! Seolah-olah yang mati adalah anjing jalanan!" Hati Emerald sangat sakit mengingat pemakaman ala kadarnya untuk Pearl. Bahkan rakyat jelata masih diantar oleh doa pendeta umum.
"Aku akan menyuruh Azkhar untuk mengadakan pemakaman ulang yang lebih layak dan kali ini akan kusuruh dia mengundang seluruh kerajaan. Sudah seharusnya pemakaman seorang putri Naz sama besarnya dengan upacara pernikahannya."
Emerald berhenti berjalan dan memandang Oukha dengan tatapan tidak percaya. "Yang Mulia bercanda? Saya pikir kematian Pearl akan ditutup-tutupi karena akan mengacaukan entah rencana apa yang sedang Yang Mulia susun."
"Oh, tidak sesederhana itu, Nona Emerald. Musuh kita tidak akan berdiam melihat kita menutupi kematian Nona Pearl. Aku rasa mereka akan memancing hingga kematian itu terkuak."
"Musuh?"
Emerald menurut saja ketika Oukha menggiringnya kembali berjalan.
"Azkhar memang bodoh. Tapi ia tidak sekejam itu menyuruh seseorang untuk menyakiti putri Naz seperti apa yang menimpa Nona Pearl. Aku sudah menyelidiki semuanya. Hal paling kejam yang ia lakukan adalah menendangmu di depan umum dan menaruh kalian berdua di menara istana. Meski demikian, kesalahannya itu membuat kalian rentan karena tanpa penjagaan sama sekali hingga akhirnya berujung pada insiden yang mengerikan, memberikan musuh kita kesempatan untuk memberikan pukulan telak."
Emerald terkejut mendengarnya. "Apakah ada yang berencana menyakiti para putri Naz?"
"Tujuan inti mereka bukan itu. Tapi ya ... salah satu caranya adalah dengan menyakiti para putri Naz dan membuat raja dari putri Naz yang disakiti sebagai kambing hitam untuk melemahkan posisi raja tersebut."
Emerald tidak mengerti maksud dari semua yang dikatakan Oukha. "Mengapa?"
"Untuk menguasai semuanya. Di mata mereka, para putri Naz hanyalah tumbal dan umpan."
Amarah membara dalam dada Emerald mendengar serendah itu nilainya dan saudari-saudarinya. "Katakanlah pada saya siapa 'mereka' yang Yang Mulia maksud!"
"Belum saatnya kau tahu. Tapi kau akan menemukan satu di antaranya dipastikan tidak akan membawa putri Naz pada pemakaman Pearl nanti. Ah, sebelah sini."
Mereka ternyata telah sampai di gerbang kerajaan. Sebuah kereta kuda tampak siap untuk dikendarai.
"Kau tidak keberatan ku ajak berjalan-jalan keluar istana, kan?
Emerald memasuki kereta kuda yang pintunya dibukakan oleh seorang kusir. Kereta kuda itu pun bergerak setelah Oukha ikut memasukinya.
Tidak berapa lama setelah keluar dari gerbang istana, Emerald terkejut akan penampakan ibu kota. Saat pertama kali ia sampai di ibu kota Innist dulu sudah menjelang tengah malam sehingga wajah buruk ibu kota yang terlihat pada siang hari tersembunyi dengan baik dalam kegelapan.
Emerald menatap betapa banyaknya pengemis di pinggir jalan, baik yang sudah tua maupun yang masih baru bisa berjalan. Jalanan penuh lumpur, pertanda jalan-jalan ibu kota tidak dibangun dengan baik hingga tanah mencuat di sela jalanan yang rusak ditambah saluran air yang dibangun asal-asalan menyebabkan selokan meluap, menguarkan bau busuk hasil kotoran manusia. Rumah-rumah seolah hanya terdiri dari dua tipe, rumah si kaya milik bangsawan dan si miskin milik rakyat jelata. Baju juga wajah rakyat yang berlalu-lalang di jalanan terlihat kotor dan kumal, seolah mereka tidak mengenal kata mandi.
"Mengenaskan, ya?" Oukha menikmati ekspresi simpatik Emerald yang menatap kejamnya dunia dari balik jendela kecil kereta kuda. "Padahal mereka sudah memberontak pada keluarga kerajaan yang lama, tapi penggantinya tidak jauh berbeda."
Emerald hanya terdiam. Ia sedang terkejut oleh realitas baru karena dulu dirinya hanya terkurung di puri Naz dengan tubuh yang tidak berdaya. Namun, sejauh yang diingatnya kehidupan di Kota Suci Verhalla yang sederhana jauh lebih baik dibandingkan ibu kota Kerajaan Innist itu.
Kereta kuda berbelok memasuki sebuah gerbang dari besi berulir hitam yang besar dan tinggi. Di balik gerbang tersebut terdapat halaman luas yang terawat dengan baik dan sebuah rumah putih besar yang tampak mewah.
Mereka diturunkan di depan pintu utama berwarna biru langit. Emerald baru menyadari jika prajurit berlambang kerajaan Ezze tersebar di area rumah itu.
Seorang prajurit membukakan pintu utama dan Oukha kembali menggandeng lengan Emerald, menuntun Emerald untuk mengikutinya.
Keadaan di dalam sungguh berbanding terbalik dengan penampakan dari luar. Cipratan darah menghiasi dinding, lantai, hingga perabot di sana sini. Meja-meja dan kursi-kursi terbalik. Hiasan dinding miring, nyaris copot dari tempatnya. Pecahan kaca dan keramik tersebar di seluruh penjuru. Beberapa lemari tidak lagi berdiri tegak dengan isinya yang berhamburan di lantai.
Emerald bertanya-tanya apa yang sudah terjadi di rumah mewah itu.
"Hati-hati melangkah, tempat ini belum dibereskan dengan benar," ucap Oukha.
Oukha dan Emerald masuk lebih dalam menuju ruang tengah, menghampiri sebuah sofa dekat perapian yang dijaga dua orang prajurit Ezze di setiap sisi.
Di atas sofa, duduk seorang wanita sebaya berambut merah yang kondisinya mengenaskan. Badannya tampak kurus dan lebih tua dari seharusnya. Jejak air mata yang mengering menambah kesan menyedihkan. Begitu melihat Oukha, wanita itu berlutut dan memeluk kaki Oukha.
"Yang Mulia ampuni saya. Saya mohon! Saya tidak tahu apa-apa. Sungguh!" Suara serak wanita itu menjadi pertanda bahwa ia telah memohon hal yang sama berulang kali.
Oukha mengacuhkan wanita tersebut lalu menendangnya hingga ia jatuh tersungkur. Namun, si wanita kembali bersimpuh di kaki Oukha.
Emerald lantas bersimpati. Ia mengingat seperti itulah dirinya ketika ia memohon pada Raja Azkhar untuk menyelamatkan Pearl.
"Siapa wanita ini?"
Oukha menoleh pada Emerald dan tersenyum. "Dia adalah pemilik tangan dari sup yang kau buang malam itu."
Emerald tersentak. Ia baru menyadari wanita berambut merah di kaki Oukha kehilangan sebelah kepalan tangan. Mendadak isi perut Emerald nyaris berhamburan keluar.
"Ya-Yang Mulia bilang ...."
"Itu hanya agar kau mendengarkan kata-kataku. Aku tidak sama seperti Azkhar, aku memperlakukan Ruby dengan baik. Tidak mungkin tangan putri Naz yang berharga kupotong begitu saja untuk ancaman belaka."
Sebuah beban seolah diangkat dari dada Emerald, ia nyaris kehilangan keseimbangan. Betapa bersyukurnya Emerald mendengar kata-kata Raja Oukha yang ia harap kali itu bukan lagi sebuah kebohongan untuk mengancamnya.
Rasa penasaran Emerald kembali pada wanita tadi. "Mengapa Yang Mulia menyiksa wanita ini?"
"Tahukah kau siapa yang membawa seorang Tzaren untuk memerkosa adikmu? Kau tentunya ingat dengan bangsawan berkumis tipis yang sering terlihat di istana."
Emerald mengingat dengan jelas bangsawan berkumis tipis yang menemuinya di ruang kerja raja. Bangsawan itu ....
"Bangsawan itu adalah kaki tangan dari musuh kita. Ia yang menyelundupkan laki-laki Tzaren tersebut dan wanita ini ...." Oukha menjambak rambut merah wanita di hadapannya hingga wanita itu mendongak dan menjerit kesakitan. "... Adalah kekasih si bangsawan berkumis tipis sekaligus perantara perintah."
Oukha lalu mendorong wanita berambut merah tadi hingga jatuh tersungkur. Ia menarik sebuah belati dari pinggang dan menyodorkannya pada Emerald.
"Ini hadiah kecil dariku untuk kesediaanmu bekerja sama. Lakukanlah apa yang kau mau pada jalang itu."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top