Chapter 18 - Lazuli

"Lazuli, kamu anak Ibu yang paling cerdas. Kamu cepat belajar. Gunakan kelebihanmu itu untuk membantu saudara-saudaramu yang lain."

Lazuli memegang erat nasihat terakhir ibunya. Bagaikan takdir, ia diberikan pada raja muda yang menduduki Kerajaan Bielinca.

Bielinca adalah sebuah kerajaan yang cukup unik di tengah daratan besar. Meski kerajaan itu cukup damai dan nyaris tidak pernah terlibat perang dalam sejarahnya, tetapi Bielinca merupakan penghasil senjata terbesar di daratan tersebut. Pandai besinya sangat terkenal dalam memproduksi senjata berkualitas bagus dengan cepat. Hampir seluruh senjata yang tersebar di kerajaan-kerajaan lain merupakan produksi Bielinca. Karena hal itu pula, Bielinca menjadi daerah kedua setelah Kota Suci Verhalla yang dijaga kenetralannya oleh kerajaan-kerajaan sekitar. Menyerang Bielinca diartikan sebagai membunyikan genderang perang ke seluruh kerajaan dan dianggap ingin memonopoli persenjataan. Hal yang tentu saja akan ditentang seluruh kerajaan.

Meskipun Bielinca dalam sejarahnya tentu pernah sedikit berpihak pada salah satu kerajaan yang sedang berperang, tapi tentu saja tidak terlibat secara terang-terangan. Sering bermain di balik layar dan menerima bayaran lebih dari kerajaan yang sedang berperang agar lebih banyak menyuplai kerajaan tertentu menjadikan Bielinca banyak dipenuhi oleh orang-orang korup.

Di sisi lain, sebagai kerajaan yang paling dekat dengan Kota Suci Verhalla membuat banyak pula orang-orang Bielinca yang berusaha hidup lurus dan taat beragama. Bahkan Bielinca disebut benteng Kota Suci Verhalla karena menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki akses aman jalur darat menuju Kota Suci Verhalla, sementara akses dari Kraalovna dan Aritoria melewati pegunungan terjal dengan banyak hewan buas hingga sukar dilalui, sama seperti akses dari laut.

Dua wajah yang berbeda itu menjadikan Bielinca memiliki dua kubu besar yang berseberangan.

Setelah penaklukan Tarkh, kubu bertambah satu lagi, yakni markas militer Tzaren di Bielinca yang disamarkan dengan sebutan pasukan penjaga perdamaian. Pasukan tersebut menjaga benteng utara yang menjadi akses ke Kota Suci Verhalla. Di bawah tekanan Tarkh, bangsawan-bangsawan Bielinca terpaksa menyetujui penandatanganan kesepakatan militer antar dua kerajaan sehingga Tzaren memiliki basis militer yang besar di Bielinca.

Lazuli memiliki pandangan jika kedamaian justru terasa sangat rapuh setelah Raja Tarkh membagi-bagikan kerajaan pada adik-adik sang raja, alih-alih menyatukan seluruh kerajaan. Perang dapat terjadi lagi dan ia merasa harus melindungi saudari-saudarinya jika suatu saat ada saudarinya yang membutuhkan bantuannya.

Lazuli tidak suka perasaan tidak berdaya seperti yang ia rasakan ketika mereka dipajang dan dibagikan bagai harta rampasan perang. Saat itulah ia merasa kekuasaan dibutuhkan untuk melindungi orang-orang yang ia cintai.

Lazuli mungkin baru berusia tiga belas tahun. Namun, ibunya sendiri bahkan takut akan pemikiran-pemikirannya sedari masih sangat muda.

Lazuli kecil banyak berbicara dan membaca buku tentang peperangan, senjata, sejarah kerajaan, sosial, dan banyak buku lain yang berkaitan. Ibunya selalu melarangnya berbicara hal tersebut karena sangat tidak pantas bagi seorang putri Naz berbicara tentang perang. Meski cerdas, ibunya beranggapan Lazuli adalah cobaan yang harus diluruskan pemikirannya. Akibatnya Lazuli sering menyendiri dengan buku-bukunya karena tidak ada yang bisa ia ajak bertukar pikiran. Setiap pagi pun dia memiliki kelas khusus dengan kepala pendeta bersama kakaknya, Alexandrite, yang gemar belajar berpedang. Kelas khusus itu mengajarkan pentingnya perdamaian, juga berperilaku dan berhati lurus.

Akan tetapi, Lazuli justru berada di Kerajaan Bielinca, pusat senjata yang akan memenuhi hasratnya sekaligus kebutuhannya untuk menjadi pelindung dari saudari-saudarinya. Namun, sebelum hal tersebut tercapai, Lazuli sadar ia harus memegang kendali akan tiga kubu tak terlihat yang menguasai Kerajaan Bielinca. Jika dia tidak mampu melakukannya, maka Raja dan Ratu Bielinca hanya akan berakhir menjadi boneka kubu tertentu. Ia tentu tidak bisa berharap pada Rakha untuk menjadi raja sekuat Raja Tarkh.

Sebagai seorang putri Naz, kubu orang-orang beriman tentu akan mudah Lazuli pegang. Sementara itu, ia harus mencari dan menemukan siapa yang memegang kendali dua kubu lainnya sebelum mulai bertindak lebih jauh.

"Apa yang kau pikirkan, Lazuli? Wajahmu serius sekali?"

Sebuah suara ramah mengagetkan Lazuli yang sedang bermain-main sendiri dengan pion catur. Papan catur terbentang di atas meja di hadapan Lazuli, tapi tidak ada lawan main di seberang meja.

"Ah, Rakha! Kau mengagetkanku!" seru Lazuli riang. Ia menatap Rakha dengan senyum lebar. Ia sudah terbiasa berpura-pura lugu dan polos seperti itu sejak kecil agar terhindar dari kekhawatiran berlebihan ibunya yang beranggapan Lazuli akan menjadi penjahat jika pemikirannya tidak diluruskan segera.

Sesungguhnya Lazuli merasa kasihan dengan Rakha. Anak lelaki itu menjadi tumbal kakaknya dengan ditempatkan di kerajaan seperti Bielinca agar mudah dikendalikan. Dari semenjak pertemuan pertama, Lazuli dapat menilai jika Rakha adalah seorang lelaki yang lugu dan berpikiran lurus. Nilai yang diharapkan ibunya ada pada dirinya, justru dimiliki pasangannya.

Akan tetapi, justru kepribadian Rakha yang seperti itulah yang membuat Lazuli bersimpati. Dari simpati itu tumbuh benih-benih cinta seorang gadis remaja yang sebelumnya tidak menaruh perhatian pada hubungan romantis.

"Rakha yang polos itu akan dimakan orang-orang tamak di dunia yang kejam ini," batin Lazuli. Ia sudah mempunyai gambaran bahwa Rakha akan menjadi boneka yang diperebutkan di sana sini. Lazuli bertekad ia akan melindungi raja muda tersebut dari intrik politik kotor.

Seandainya bukan Rakha yang berpasangan dengannya, Lazuli tidak akan peduli jika Raja Bielinca menjadi bulan-bulanan perebutan antar kubu. Namun, ia tidak bisa membiarkan begitu saja Rakha yang sangat baik dan perhatian padanya.

"Maaf, aku sudah memanggil-manggil tapi tidak kau respons."

"Ah ... aku sedang memikirkan cara untuk uji coba senjata baru yang selesai dibuat divisi penelitian senjata."

Salah satu hal yang Lazuli lakukan semenjak kedatangannya di Bielinca adalah menemukan senjata baru yang jauh lebih maju dari senjata yang ada sebagai pertahanan lebih. Senjata itu hanya akan dimiliki oleh Kerajaan Bielinca.

"Wah! Akhirnya selesai?!" Rakha tersenyum lega mendengar hal tersebut. Artinya tidak akan ada lagi ruangan yang menjadi korban ledakan percobaan senjata yang sangat ditekuni oleh calon ratunya itu. "Kita bisa mencobanya di pinggir kota."

"Tidak, Rakha. Aku ingin senjata itu tidak diketahui kerajaan lain, bahkan aku ingin hanya divisi penelitian senjata saja yang mengetahuinya ... dan kau."

"Mengapa?"

"Aku tidak mau Tzaren memiliki senjata itu. Itu akan menjadi senjata rahasia kita."

"Ah ...." Rakha menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia masih heran mengapa Lazuli bersikeras melakukan semua itu seolah-olah akan ada perang selanjutnya dalam waktu dekat. Bukankah semua sudah mencapai perdamaian karena kakak-kakaknya mengambil alih kerajaan? Tidak mungkin kakak-kakaknya akan saling menyerang. Namun, Lazuli begitu keras kepala dan ia sulit membantah gadis itu.

"Baiklah. Kau tentu bisa menemukan cara terbaik dalam uji cobanya," lanjut Rakha. "Aku datang kemari karena ingin mengajakmu."

"Rakha akan mengajakku bepergian? Ke mana?"

"Pernikahan kakakmu, Jade. Kak Tarkh sudah mengizinkan untuk membawa serta para putri Naz."

Kabar tersebut membuat perasaan Lazuli membuncah. Ia akan bertemu saudari-saudari yang sangat ia rindukan itu!

"Kau terlihat sangat senang."

"Tentu saja! Biarpun aku sering menyendiri untuk membaca buku, tapi saudari-saudariku sangat baik dan perhatian padaku ... sama seperti Rakha. Ah ... bagaimana kabar Kak Jade ya? Dia sangat baik dan selalu menghiburku jika ibu kesal padaku. Aku juga rindu pada Pearl yang imut. Dia berutang padaku satu cubitan di pipi!" Tanpa sadar Lazuli menceritakan perihal saudari-saudarinya pada Rakha sampai kemudian ia tampak murung. "Aku juga rindu Kak Alex ...."

Air mata Lazuli turun tanpa bisa ia bendung.

Rakha yang melihat calon ratunya menangis pun menjadi gelagapan. "Aduh ... Lazuli jangan menangis. Kemarilah." Rakha pun mendekap Lazuli yang masih terisak pelan.

"Inilah ... yang harus kulindungi. Aku tidak ingin ada kematian saudariku yang lain!" Lazuli bertekad dalam hati.

***

Selepas pesta pernikahan Jade dan Zakh, Lazuli kembali ke Kerajaan Bielinca. Namun, kali itu saudari tertuanya ikut bersama dengannya.

"Nona Lazuli, aku titip calon ratuku. Ada yang harus kuurus di Tzaren," kata Raja Oukha pada Lazuli saat mengantar Ruby menaiki kereta kuda mereka.

Lazuli nyaris tidak bisa menahan tawa begitu melihat kegugupan Rakha ketika mereka bertiga duduk di kereta kuda yang sama. Ruby memang memiliki aura yang bisa mengintimidasi dan tatapan tajam tanpa perlu bersusah payah untuk terlihat seperti itu.

Lazuli sebenarnya bertanya-tanya apa yang dipikirkan Ruby hingga wajah kakaknya tampak begitu serius. Namun, ia merasa tidak tepat jika bertanya di hadapan Rakha. Pasti ada sesuatu yang merisaukan Ruby. Ia tahu Ruby adalah jenis orang yang bertindak dingin dengan penuh perhitungan. Tidak mudah membuat Ruby risau karena sering kali kakaknya tersebut bisa mengatasi berbagai macam masalah dengan baik. Sejauh itu, Ruby merupakan satu-satunya orang yang bisa ia ajak untuk berdiskusi banyak hal.

Sepanjang perjalanan, Ruby lebih banyak diam dan memandang jauh keluar jendela. Hanya Lazuli yang mencoba memecah suasana dengan mengajak Rakha bercengkerama membahas pesta pernikahan kedua kakak mereka.

Sesampainya di istana Bielinca, Ruby beristirahat dua hari di sana. Ia menyempatkan diri berkeliling istana bersama Lazuli. Istana Bielinca tampak megah meski hanya terdiri dari satu bangunan besar, berbeda dengan kerajaan lain yang istananya terdiri dari banyak bangunan terpisah.

Lazuli pun menjelaskan proyek senjata baru yang sedang diteliti dan meminta Ruby merahasiakannya dari siapa pun. Gadis lincah itu juga mengenalkan Ruby pada kepala divisi penelitian senjata yang banyak membantu juga menghibur Lazuli bagai seorang ayah yang menyayangi anaknya.

Ruby bersyukur Lazuli mendapatkan sosok pengganti ayah. Bagaimanapun dewasanya Lazuli, adiknya tersebut masih di usia yang membutuhkan sosok orang tua.

Kegiatan keliling istana itu diakhiri dengan minum teh bersama sembari menikmati senja di salah satu balkon lantai atas yang menghadap matahari terbenam. Sinar matahari jingga menyinari mereka dengan nuansa kenangan.

"Lazuli ...."

Mendengar namanya dipanggil, Lazuli lantas mendongak menatap Ruby.

"Apa kau mencintai raja muda itu ... Rakha?"

Pertanyaan itu membuat pipi Lazuli bersemu. "Eh, aku ... tidak tahu."

Ruby menatap adiknya yang menunduk, berpura-pura sibuk dengan cangkir teh di tangan. Ia tersenyum sedih. "Tidak apa. Aku sudah tahu jawabannya."

***

Dalam perjalanan kembali ke Kerajaan Ezze, rombongan Ruby melewati wilayah Kraalovna. Seperti yang biasa dilakukan iring-iringan keluarga kerajaan, rombongannya menuju istana Kraalovna sebagai bentuk sopan santun. Keluarga kerajaan mana pun pada umumnya akan mendatangi istana dari kerajaan yang sedang mereka lewati, kecuali mereka sudah memberi tahu melalui surat resmi kalau sedang terburu-buru dan hanya sekadar lewat tanpa menyempatkan diri bertamu ke istana.

Akan tetapi, sesampainya di istana Kraalovna, mereka ditolak oleh pihak istana dengan alasan: Raja Sirgh memerintahkan untuk menolak siapa pun yang memasuki istana tanpa izinnya. Sementara Raja Sirgh belum kembali dari pernikahan di Kerajaan Aritoria.

Kesatria pengawal rombongan Ruby memprotes perlakuan tidak menyenangkan itu. Mereka sudah mengambil rute lebih jauh dengan pergi ke ibu kota alih-alih langsung menuju Kerajaan Ezze, tetapi malah tidak dijamu dengan baik. Hal tersebut bisa diartikan penghinaan karena memandang remeh Kerajaan Ezze dengan menolak calon ratu kerajaan. Namun, Ruby menahan para kesatria Ezze yang emosinya sudah di ubun-ubun.

"Kita menginap di penginapan ibu kota saja."

Dengan perasaan jengkel, rombongan Ruby menuju ke penginapan terbesar di ibu kota kerajaan itu. Mereka memesan seluruh kamar dan mengusir tamu-tamu yang ada dengan ancaman diusir paksa atau keluar baik-baik dan mengambil uang ganti rugi dua kali lipat biaya kamar yang mereka bayarkan.

"Pelayan! Keluarkan makanan dan minuman kalian yang paling enak! Orang-orangku sedang kesal dan mereka butuh sesuatu untuk menyenangkan hati mereka."

Para kesatria dan pelayan Ezze bersorak di lobi yang juga berfungsi sebagai tempat makan. Mereka berterima kasih pada Ruby yang sangat memperhatikan mereka dan mengumpat ketidaksopanan Kerajaan Kraalovna pada mereka.

Padahal ada etika penting tidak tertulis, yakni: jika ada anggota kerajaan lain berkunjung, selama bukan musuh atau bukan masa perang, akan dijamu dan diberikan tempat beristirahat di istana kerajaan yang dikunjungi.

Tampaknya status Ruby yang belum resmi menjadi ratu menghalanginya mendapatkan perlakuan istimewa itu, apalagi Ruby bukanlah bangsawan suatu kerajaan.

Makanan-makanan mewah pun dikeluarkan. Pemilik penginapan tersebut ternyata mantan koki istana sehingga rasa masakannya sungguh lezat. Bir-bir dan anggur-anggur terbaik penginapan juga dikeluarkan. Semua tenggelam dalam suasana semi pesta. Beberapa mulai mabuk dan tidur di atas makanan mereka. Satu ... dua ... hingga akhirnya semua orang-orang Ezze itu tertidur. Mereka tersebar di sepanjang lobi penginapan.

"Payah sekali pengamanan keluarga kerajaan Ezze. Bagaimana bisa kesatria pengawal tidak awas di kerajaan asing?" Sebuah suara terdengar seiring kemunculan seorang wanita cantik berambut perak yang menjadi ciri khas bangsa Kraalovna dengan luka melintang di salah satu sisi wajahnya.

Pelayan-pelayan penginapan yang berkumpul di lobi tertawa.

"Bersyukurlah. Dengan sifat mereka yang seperti itu, kita bisa bertemu tanpa hambatan." Ruby memasang wajah serius. Tidak ada yang menyadari jika Ruby nyaris tidak minum sama sekali. Ia telah dibisiki untuk tidak minum setetes pun minuman yang dihidangkan karena di dalamnya terdapat obat bius. "Aku yakin ada bawahan Raja Oukha di dekatku untuk mengawasiku, tapi aku belum tahu siapa. Karena itu lebih aman jika semua orang Ezze yang kubawa tidak mendengar percakapan kita."

Putri Freyja mendorong seorang kesatria Ezze yang tertidur dengan kepala terkulai di atas daging panggang yang baru dimakan setengah hingga jatuh dengan wajah mencium lantai penginapan. Ia menarik kursi si kesatria dan duduk di dekat Ruby.

"Apa orang-orang di penginapan ini dapat dipercaya?" tanya Ruby.

Putri Freyja tersenyum. Ruby merasa aneh karena pada hari pertama mereka bertemu, Putri Freyja tampak sangat tidak menyukainya.

"Tentu saja. Pemilik penginapan ini adalah mantan koki istana yang mengundurkan diri karena ingin merawat suaminya yang sakit keras." Tangan Putri Freyja mengarah pada seorang wanita bertubuh gemuk dan berwajah teduh yang berdiri di belakang bar. "Sementara pelayan-pelayan di sini adalah prajurit-prajuritku yang masih bisa kupercaya. Ah, sebelum kita melanjutkan ... ada seorang lagi yang ingin kuperkenalkan."

Putri Freyja menepuk tangan dua kali. Pintu di samping bar pun terbuka.

Seorang pria masuk lalu melepas penutup wajahnya. Rambutnya pirang dengan perawakan kekar. Wajahnya cukup tampan tapi tampak tidak terurus dan sorot mata tajamnya seolah-olah ingin membakar siapa pun yang ia lihat.

"Perkenalkan, Jenderal Ezze yang muda dan berbakat , Jenderal Rozz. Dan ini Ruby, putri Naz yang sebentar lagi akan menjadi Ratu Kerajaan Ezze."

Ruby meneliti pria di hadapannya. Laki-laki yang baru diperkenalkan itu menatapnya dengan pandangan muak. Ia menggali informasi di kepalanya dan dengan cepat menyadari bahwa laki-laki tersebut adalah jenderal yang tidak sempat kembali ke Ezze saat pertahanan ibu kota Ezze ditembus. Sebagian besar pasukan Jenderal Rozz kembali ke Ezze dengan isyarat menyerah, sementara si jenderal dan segelintir pasukannya yang tersisa membantu Kraalovna pada perang terakhir di Perbukitan Akra. Selepas itu tidak ada yang mengetahui kabar sang jenderal.

"Kau bilang akan memperkenalkan seorang yang penting untuk mencapai tujuan kita. Aku tidak menyangka yang dimaksud adalah putri Naz yang menjadi penyebab segala perang," ucap Jenderal Rozz.

Ruby pun yakin laki-laki tersebut benar-benar membencinya. Sikap si jenderal sama seperti Putri Freyja saat pertama kali mereka bertemu.

"Dan aku tidak menyangka mengapa Putri Freyja mengajak jenderal yang melarikan diri demi menyelamatkan hidupnya. Aku tidak yakin dia bisa membantu. Jangan-jangan suatu saat ia malah akan menjual kita demi keselamatannya," balas Ruby dengan sengit.

"Kau!" Jenderal Rozz sudah hendak menyerbu Ruby tapi dengan cepat Putri Freyja berdiri di antara mereka dengan menarik setengah pedang dari sarungnya.

"Ingat tujuanmu yang ingin menghancurkan Tzaren! Kau harus berpikir jernih! Kita berada di pihak yang sama," ujar Putri Freyja pada Jenderal Rozz dengan nada tegas.

"Tapi dia dan saudari-saudarinya penyebab keluargaku mati!" hardik Jenderal Rozz, nyaris berteriak.

"Akan selalu ada hal yang bisa dijadikan penyebab perang, Jenderal. Kami hanyalah kambing hitam untuk perang kali ini. Kau pikir dengan tidak adanya para putri Naz, kedamaian bisa bertahan abadi?" balas Ruby dingin. Ia sendiri muak kembali disalahkan atas perang yang baru terjadi.

Jenderal Rozz membuang muka.

"Aku tidak menyukaimu dan kau pun tidak menyukaiku. Aku bahkan belum tahu apakah kau berguna atau tidak, bagaimanapun kau sudah tidak punya pasukan. Tapi selama kita mempunyai tujuan yang sama—atau setidaknya hampir sama, aku tidak masalah bekerja sama denganmu," lanjut Ruby.

"Aku tidak yakin kau mengerti perasaan dan apa yang kami, para korban kebiadaban Tzaren, perjuangkan," tukas Jenderal Rozz. Nada suaranya tidak lagi sekasar sebelumnya.

"Setidaknya keluargamu mati tanpa rasa sakit, Jenderal. Sementara adikku mati setelah disiksa terlebih dahulu." Sorot mata Ruby menerawang ke arah istana kokoh Kraalovna. "Dan adikku yang lain ... ada yang sedang mendambakan kematian cepat tanpa rasa sakit berkepanjangan seperti kematian keluarga kalian."

***

"Sebuah kehormatan bagi saya bisa menjamu putri Naz di kediaman saya." Seorang bangsawan dengan rambut ikal yang sudah memutih menyilangkan tangannya di depan dada dan sedikit menunduk hormat.

Lazuli mengangkat kedua sisi gaunnya dan sedikit menekuk kaki. "Sayalah yang harus berterima kasih karena seseorang yang penting seperti Anda mau menerima saya."

"Anda sangat rendah hati. Sifat terpuji Naz sungguh diturunkan pada putri-putri beliau. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya mendukung Anda dan akan saya kabarkan pada beberapa kolega saya. Meski begitu ... ada beberapa bangsawan yang ...."

"Saya tahu ada beberapa bangsawan yang memiliki kepentingan dan tujuan berbeda," tukas Lazuli sambil tersenyum.

"Berhati-hatilah, Nona! Mereka bisa saja menekan Anda dan Raja Rakha karena kalian masih sangat muda."

"Terima kasih untuk peringatannya. Sudah larut malam, saya permisi dulu."

Lazuli memasang tudung cokelatnya dan berlalu dalam kegelapan malam.

"Putri Naz yang menjanjikan. Ia sudah bersiap sedini mungkin dan pemikirannya jauh melampaui usianya. Aku harus melakukan yang kubisa untuk mencegahnya diperalat oleh pihak lain," gumam bangsawan tua tadi.

Sementara itu, Lazuli melepas jubah setelah kembali ke kamarnya.

"Baiklah. Kubu Orang Beriman itu sudah kupegang. Selanjutnya adalah para bangsawan berotak dagang itu."

Lazuli menjatuhkan diri di atas tempat tidur empuknya dan memandang langit-langit kamar yang terlukis indah. Tangannya mengarah ke atas lalu terkepal seolah dapat menggenggam udara.

"Jika mereka tidak bisa kukuasai, lebih baik kuhancurkan saja sebelum menjadi duri dalam daging."





***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top