Bab. 8

Halooo.... Masih ada yang nunggu cerita ini?

Kalau masih ada taburin bintangnya dulu dunk biar penulisnya semangat update.

###

Pagi ini Mayang memeriksa stok lemari esnya. Beruntung ia menemukan daging, ayam, udang, juga beberapa sayuran dan buah. Sepertinya ia tak perlu berbelanja terlalu banyak di supermarket nanti. Mungkin yang perlu ditambahkan adalah beberapa jenis kue dan camilan untuk mereka semua nanti.

Siang nanti memang keluarga Endah akan berkunjung ke rumah Mayang. Rencana beberapa hari lalu untuk berkunjung ke rumah Mayang akhirnya benar-benar akan terlaksana.

Tengah hari, Endah Sulityorini, suami dan ketiga anak wanita itu datang ke rumah Mayang. Mayang sempat berpikir jika Bu Maryam tidak akan datang. Namun, beberapa menit kemudian, pasangan sepuh itu datang dengan membawa kotak-kotak yang Mayang duga berisi kue-kue dan makanan. Sama halnya seperti Endah tadi yang membawa puding dan buah untuk mereka semua.

Mayang mempersilakan semua orang masuk ke rumahnya yang mungil. Endah dan ibunya langsung menuju dapur berniat membantu Mayang . Namun, hal itu tak terwujud karena Mayang sudah menyelesaikan urusan dapur.

"Ini kamu sendiri yang masak?" tanya Endah tak percaya saat melihat deretan piring saji di meja makan rumah Mayang.

Mayang hanya tersenyum malu-malu lalu mengangguk. "Tapi kalau rasanya tidak enak, jangan dimuntahkan ya, Bu."

Endah berdecak. Sedangkan Bu Maryam seketika melirik anak bungsunya. "Tuh, Ndah. Masih kecil sudah pintar masak."

Endah seketika memeluk ibunya manja. Seolah berniat agar sang ibu tak menunjukkan kekurangan-kekurangannya. Hal yang selalu membuat Mayang benar-benar menyukai hubungan akrab anak dan ibu itu.

"Terus itu esnya siapa yang buat?" tunjuk Endah. Mayang mengangkat telunjuknya malu-malu.

"Tidak usah mencari-cari kelemahan Mayang di sini, Ndah," ucap Bu Maryam sedikit ketus lalu disambut tawa keras sang anak.

"Es buah gampang kok, Bu. Tinggal potong-potong buah terus ditambah susu sama sirup saja."

"Tapi dia tidak bisa, Yang," cibir Bu Maryam pada anaknya. "Oh ya, ini kamu apa tidak terlalu banyak menunya, Yang? Masih ada kue, es, jus." Bu Maryam mengamati meja makan yang penuh dengan makanan rumahan sederhana yang Mayang buat. Rendang, gulai ikan, capcay, mie goreng, ayam goreng juga beberapa makanan sederhana lainnya.

"Kan yang makan banyak, Bu."

"Tapi kamu jadi repot. Apa lagi semuanya dikerjakan sendiri."

"Saya juga memakai bumbu kemasan, Bu. Waktunya tidak akan cukup jika saya membuat bumbu sendiri. Seperti itu," tunjuk Mayang pada rendang dan gulai ikan.

"Mohon maaf jika menunya tidak nyambung. Saya hanya memasak yang saya bisa." Mayang tersenyum malu-malu.

"Tidak ada yang namanya makanan tidak nyambung. Kita bukan lagi datang ke restoran fine dining kok. Ini mirip menu di lesehan langganan keluarga kita biasanya ya, Ndah." Bu Maryam menoleh kepada Endah. "Kamu juga pernah ikut kok, Yang. Yang belokan itu."

Mayang tersenyum lalu mengangguk. "Oh ya. Bagaimana kalau sekarang saja, Bu, kita makannya? Em... Tapi maaf. Apa kita pindah ke ruang tengah saja? Soalnya kursi meja makannya hanya empat." Mayang meringis memandang meja makan mungilnya itu yang penuh dengan makanan. Bahkan puding dan es ia letakkan di dapur karena tidak ada ruang untuk meletakkan makanan pencuci mulut itu.

"Nah itu ide yang bagus. Di karpet saja lebih leluasa." Endah langsung mengiyakan lalu mulai membawa makanan ke ruang tengah. Satu jam kemudian ruangan itu telah kembali seperti semula setelah semua orang menyelesaikan makan siang mereka.

"Ayo, saya bantu cuci piringnya, Yang." Tiba-tiba saja Endah memasuki dapur saat Mayang merapikan makanan yang masih tersisa. Wanita itu sudah menyingsingkan lengan bajunya.

"Tidak usah, Bu. Saya bisa sendiri. Ibu ke depan saja. Saya sebentar lagi selesai. Cuma memindahkan ke wadah-wadah yang lebih kecil saja kok biar lebih ringkas," jawab Mayang lalu cepat-cepat menghentikan pekerjaannya saat Endah sudah di depan tumpukan piring kotor lalu menyalakan kran. Mayang segera menarik tangan wanita itu lalu mendorong pelan membawanya kembali ke ruang tengah tempat semua orang berbincang. Mayang tahu bagaimana Endah. Wanita itu tak pernah menyentuh pekerjaan seperti mencuci piring atau pekerjaan rumah lainnya. Nasib menjadi anak bungsu dari keluarga berada. Sejak kecil sepertinya Bu Maryam dan Pak Baharudin juga kedua kakaknya memanjakan Endah.

"Kamu ini kebiasaan, Yang." Endah tak terima.

"Saya bisa sendiri. Ibu duduk di sini saja. Tidak sampai lima menit saya sudah duduk di sini lagi." Mayang akhirnya secepatnya kembali ke dapur dan tak lama kemudian kembali berkumpul di ruang tengah.

"Anak-anak katanya mau les, Ndah. Jam berapa masuknya?" Bu Maryam tiba-tiba mengingatkan.

"Jam dua, Bu. Sebentar lagi berangkat. Endah melihat jam dinding yang tergantung di ruangan itu masih menunjukkan pukul setengah dua.

"Darmawan katanya ikut tapi sampai sekarang kok tidak datang-datang." Lagi-lagi Bu Maryam berucap.

"Mungkin kurang cepat keluar rumahnya. Makanya keduluan tamu masuk." Endah terkikik membayangkan sang kakak. Akhir-akhir ini, semenjak menjabat sebagai rektor, sang kakak memang lebih banyak mendapatkan tamu di rumahnya. Hal yang membuat pria itu begitu sulit mendapatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga.

"Tapi dia tidak menghubungi lagi kan, Ndah?" Bu Maryam kembali bertanya.

"Tidak ada. Berarti dia akan datang, Bu. Tidak usah khawatir." Endah menyeringai. Tak lama kemudian wanita itu menyuruh anak-anaknya bersiap-siap lalu berpamitan kepada Mayang. Mereka harus les dan sekalian pulang.

Sepeninggal anak dan cucu-cucunya, Bu Maryam dan suaminya pun juga berpamitan. Sebelum meninggalkan rumah Mayang, wanita itu berpesan jika mungkin saja si sulung akan datang ke rumah Mayang meskipun saat ini tak ada kabar. Mayang hanya mengiyakan lalu melambai melepas kepergian pasangan sepuh itu.

Mayang mengulas senyum lega. Lalu memasuki rumahnya. Membereskan kekacauan yang masih belum tersentuh tangannya. Mencuci peralatan makan yang kotor juga merapikan meja makan kembali. Hingga tiga puluh menit kemudian saat ia berhasil membereskan semua kekacauan itu, Mayang mendengar bel rumahnya berbunyi. Tergopoh Mayang menghampiri pintu lalu membuka benda persegi itu.

Benar saja, sosok itu akhirnya datang juga. Darmawan Wirayuda. Dengan senyum canggungnya ia menyapa lalu mengulurkan sebuah paper bag ke hadapan Mayang. Membuat gadis itu mengerutkan alis heran.

"Apa ini, Pak?"

"Camilan, siapa tahu kamu suka," jawab pria itu dengan canggung. Mayang seketika melebarkan senyuman.

"Bapak tidak usah repot-repot. Tadi Bu Maryam dan Bu Endah sudah bawa makanan. Sekarang Bapak juga bawa."

"Siapa tahu bisa dinikmati sambil minum kopi atau teh."

Mayang mengangguk lalu mempersilakan pria itu memasuki rumah.

"Kita langsung makan saja ya, Pak. Sudah semakin sore." Mayang berjalan menyeberangi ruang tamu dan ruang tengah menuju meja makan.

"Kita? Kamu belum makan?"

"Belum. Sekalian makan bersama Pak Darmawan saja. Kalau Bapak makan sendirian saya khawatir Bapak merasa canggung."

"Kayak anak kecil saja sampai canggung." Darmawan tersenyum.

"Ini kamu semua yang masak?" tanya Darmawan saat sudah duduk di ruang makan dan melihat hidangan di meja yang cukup bervariasi.

"Iya, Pak. Tapi maaf. Rasanya agak kacau."

"Oh ya? Kacau seperti apa yang kamu maksud?" Darmawan tersenyum jahil.

"Bapak coba saja sendiri. Mayang mengulurkan piring yang telah ia isi dengan nasi. Gadis itu menawarkan sejumlah lauk dan sayur kepada pria itu. Dengan sabar Darmawan menerima apapun yang ditawarkan Mayang. Membuat Mayang kegirangan karena pria itu terlihat lahap menikmati masakannya.

"Ternyata kamu terampil juga ya urusan rumah tangga."

"Masak maksud, Bapak?"

Pria itu mengangguk. "Masakan kamu bisa dibilang lumayan."

"Soalnya saya memakai bumbu kemasan siap masak, Pak. Bukan saya sendiri yang meracik."

Darmawan menggeleng. "Meskipun bumbu siap masak kan masih harus dipadu dengan bumbu-bumbu tambahan dan bahan pelengkap. Takaran komposisinya juga harus tepat, bukan? Itu setahu saya sih."

Mayang mengangguk.

"Lagi pula, jika kamu tak mempunyai keterampilan di dapur. Tak mungkin semua makanan ini bisa tersaji di sini. Apalagi kamu mengerjakannya sendiri. Benar-benar kerja keras yang luar biasa."

Mayang mengulas senyuman. Wajahnya perlahan memanas mendengar pujian pria itu.

Mereka menikmati makan siang itu dalam suasana akrab hingga setelah makan siang berakhir, mereka berpindah ke ruang tengah.

Secangkir kopi dan kue kering yang beberapa saat lalu dibawa Darmawan menemani obrolan akrab mereka. Hingga saat hari bergulir semakin sore, Darmawan pun berpamitan. Pria itu memgucapkan terima kasih dan berharap bisa menikmati makan siang atau makan malam bersama Mayang di lain hari. Hal yang Mayang jawab dengan jawaban iya.

###

Gimana? Gimana? Apakah radar kalian menemukan sesuatu? Wkekwk....

Pendukungnya Pak Rektor di buku 1 masih ada kan? Angkat tangannya 🤣🤣🤣

Nia Andhika
Ditulis Maret 2022
Publish 30 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top