Bab. 24

Masih ada yg nunggu, gak?

Mana bintangnya?

Mana suaranya?

Happy reading.

###

Nyeri terasa di sekujur tubuhnya. Bahkan saat ia menggerakkan kepala, rasa pening perlahan ia rasakan. Pelan, ia mencoba membuka mata hanya untuk mendapati dirinya berada di sebuah ruangan asing entah di mana. Aroma obat entah kenapa tercium oleh hidungnya.

Mayang kembali berusaha membuka mata. Mengerjab berkali-kali untuk memperjelas pandangannya. Saat ia akan mencoba mengucek mata, tangannya begitu sulit digerakkan. Ada sesuatu yang seolah menimpa tangannya. Ia pun mengalihkan pandangan perlahan untuk melihat benda apa yang membuat tangannya tak bisa digerakkan.

Dan... Saat matanya menatap sesosok pria yang menggenggam tangannya sambil merebahkan kepala di brankar yang ia tiduri, Mayang seketika tersentak. Segera ditarik tangannya yang masih tergenggam oleh pria itu lalu bergerak mundur. Menjauh.

Membuat pria yang masih terlelap dalam tidurnya itu akhirnya tersentak dan terbangun. Mata mereka saling beradu. Sejenak pria itu berusaha mengumpulkan kesadarannya yang tercecer. Lalu beberapa saat kemudian senyuman tercetak di wajahnya. Ia pun berucap, "Mayang, syukurlah kamu sudah bangun. Bagaimana keadaan kamu?"

Mayang bergeming. Mulutnya terkunci rapat. Matanya menatap waspada pada pria di hadapannya itu. Tanpa sadar ia meremas selimut yang semula menutup tubuhnya, menariknya pelan demi menutup dada dan bagian depan tubuhnya tanpa sedetik pun mengalihkan pandangan dari pria di hadapannya.

"Apa yang kamu rasakan, Yang?" Mahesa kembali berucap. Namun, tak ada respons yang ia dapat. Perlahan tubuhnya seolah berubah dingin. Ia sudah mendengar cerita Akbar semalam. Apakah kali ini Mayang akan melakukan hal yang sama?

"Kamu aman, tidak ada yang akan menyakiti kamu. Saya janji." Mahesa bergerak. Tangannya terulur untuk menyentuh Mayang yang masih menatapnya dengan ketakutan. Namun, sepertinya Mayang tak begitu saja percaya dengan ucapan pria itu. Ia semakin bergerak menjauh hingga nyaris terjatuh dari brankar jika saja Mahesa tak segera menarik tubuh gadis itu agar tetap di tempatnya.

Yang terjadi berikutnya adalah teriakan ketakutan Mayang pun terdengar. Gadis itu meronta-ronta berusaha melepaskan tangan Mahesa dari tubuhnya dan memukulinya membabi-buta. 

"Mayang. Tolong tenang. Ini saya. Saya tidak akan menyakiti kamu. Mayang." Mahesa berusaha mengusai tubuh Mayang. Pria itu berusaha menahan tangan Mayang yang terus menerus memukulinya.

"Tatap saya Mayang. Lihat. Ini saya Mahesa yang ada di depan kamu. Mayang." Pria itu berusaha mengunci tubuh Mayang lalu meraih kepala gadis itu agar memandangnya. Hal yang begitu sulit karena Mayang terus menerus melawan. Hingga pada akhirnya tentu saja Mayang yang kalah. Ia tak cukup mempunyai tenaga untuk melawan pria itu.

"Lihat Mayang, ini saya. Mahesa Sastrawijaya yang ada di depan kamu. Tidak akan ada yang menyakitimu lagi. Saya jamin. Saya bersumpah kamu tidak akan pernah disakiti oleh siapapun," ucap Mahesa serak diiringi isakan Mayang yang menyayat. Membuat pria itu tanpa sadar meneteskan cairan di matanya melihat keadaan Mayang yang begitu menyedihkan. Saat tak ada lagi pemberontakan dari Mayang, pria itu kemudian menenggelamkan Mayang dalam pelukan. Berusaha memberikan ketenangan yang ia bisa. Mereka tergugu bersama meresapi rasa sesak yang entah kapan akan sirna.

***
"Saya akan menemui dokter dulu, ya. Kamu tidak apa-apa saya tinggal sebentar?" Mahesa berucap setelah menit demi menit mereka lewati.

Beberapa saat yang lalu dokter telah memeriksa Mayang dan pria baya itu meminta Mahesa menemuinya untuk membicarakan kondisi Mayang.

Mayang tak membuka mulutnya, gadis itu hanya mengangguk pelan tanpa suara pun tak berani memandang Mahesa. Membuat Mahesa benar-benar merasakan sesak luar biasa.

Setelah insiden bangun tidur tadi, meskipun bisa tenang tapi Mayang sama sekali tak membuka mulutnya. Gadis itu membisu dan lebih banyak meringkuk ketakutan di atas brankarnya. Saat Mahesa berusaha mengajaknya berkomunikasi, hanya respons singkat yang gadis itu berikan. Mengangguk atau juga mengeleng. Hanya itu saja. Setidaknya hal itu sudah Mahesa syukuri, Mayang mau meresponsnya.

"Mayang..." Mahesa mengulang demi bisa mendapatkan respons Mayang. Namun, gadis itu tak juga membalasnya. Saat Mahesa menyentuh lengannya, gadis itu seketika berjengit kaget lalu mengangguk berulang kali. Semakin menunjukkan jika gemetar masih tak juga sirna dari tubuhnya.

"Baiklah. Saya keluar sebentar, ya. Akan ada perawat yang menjaga kamu. Jangan khawatir." Setelah mengucapkan hal itu Mahesa berjalan keluar ruang rawat Mayang. Saat akan menutup pintu, dari kejauhan Mahesa melihat adik dan ibunya berjalan mendekat. Mahesa mengernyit heran. Sepagi ini mereka sudah berada di sini. Dan kenapa ibunya juga datang ke tempat ini?

"Kenapa kalian ke sini?" Kalimat itulah yang keluar dari mulut Mahesa saat ibu dan adiknya tiba di hadapannya.

"Bagaimana keadaan Mayang? Apa dia lebih baik dari semalam?" Widyawati Sastrawijaya, ibu Mahesa bertanya pada putra sulungnya tanpa berbasa-basi. Semalam ia memang telah mendengar apa yang telah terjadi di antara Mayang dan Rico, cucunya. Cucunya itu yang mengatakannya dan beberapa jam kemudian Akbar yang ia hubungi menceritakan peristiwa itu.

"Entahlah." Mahesa mendesah lelah. "Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya, Bu. Dia masih tidak bisa diajak berkomunikasi. Tadi dia masih ketakutan saat melihatku. Untung saja sekarang sudah bisa tenang makanya aku akan menemui dokter untuk membicarakan hal ini."

"Hal yang wajar. Siapa yang tidak trauma saat mendapat perlakuan seperti itu. Rico benar-benar keterlaluan. Dia bisa saja membunuh Mayang. Gadis itu pingsan saat Rico mencekiknya. Tak hanya itu, ia juga menganiaya dan melecehkan Mayang.  Ya Allah. Dia benar-benar kerasukan setan." Widyawati meremas tangannya kuat tak mampu menyembunyikan emosinya.

"Sekarang di mana Rico, Bu?"

"Hanya duduk termenung di teras belakang sejak semalam. Ia bahkan belum tidur hingga detik ini. Semalam dia terus menerus menangisi Mayang. Dia benar-benar menyesal dengan ulahnya yang bisa saja membuat Mayang kehilangan nyawa. Dia benar-benar mencintai gadis itu. Dia tersakiti dengan ulah kalian." Wanita itu memandang si sulung dengan tatapan tajam.

Mahesa tak mampu menjawab kata-kata ibunya. Ia tahu dirinya yang bersalah.

"Pergilah, kalau kamu ingin menemui dokter. Ibu yang akan menjaga Mayang. Semoga saja dia tidak ketakutan melihat ibu."

Mahesa mengangguk.

"Aku temani, Mas." Akbar menambahi lalu mengikuti langkah sang kakak.

"Pak Mahesa, apa kabar? Masih ingat dengan saya, bukan?" Dokter paruh baya itu menyapa Mahesa setelah di ruang perawatan Mayang tadi tak sempat beramah-tamah. Mahesa tampak berpikir sejenak. Lalu senyumnya mengembang.

"Dokter Hendro? Maaf saya lupa. Sudah lama sekali kita tidak pernah berkomunikasi." Mahesa mengulurkan tangan untuk bersalaman yang langsung disambut oleh dokter Hendro. Mahesa seketika ingat. Beberapa tahun lalu pria di depannya ini pernah menjadi kliennya.

"Pasti karena saya sudah memutih jadi Pak Mahesa sudah lupa. Beda dengan Pak Mahesa yang masih tetap awet," ucap dokter itu yang ditanggapi dengan senyuman.

"Oh ya. Pak Mahesa keluarga pasien?"

Mahesa menggangguk. "Benar, dokter. Saya keluarga Mayang."

Dokter Hendro terlihat mengangguk-anggukkan kepala lalu terdiam sejenak seolah berpikir. "Jadi, begini. Menurut hasil pemeriksaan dari dokter di IGD ditambah pemeriksaan lanjutan yang telah dilakukan, pasien mengalami kekerasan fisik dan seksual. Pak Mahesa pasti sudah tahu tentang hal ini, bukan? Dokter di IGD pasti sudah menjelaskannya."

Mahesa mengangguk. Tubuhnya meremang. Meskipun ia tahu bagaimana kondisi Mayang tapi tetap saja saat ada orang yang menyampaikan hal itu di depannya selalu membuat dadanya begitu nyeri. Tangannya mengepal mencoba menahan emosinya. Pelaku dan korban adalah dua orang yang tak mungkin bisa ia pilih salah satunya.

"Ada bekas cekikan dan gigitan di leher, dada dan beberapa bagian tubuh lainnya. Kemudian ada lebam bekas tamparan di pipi juga lebam di kaki, punggung, dan paha. Tak hanya itu, bibir dan kening pasien juga memar dan berdarah."

Mahesa memejam sejenak mencoba tetap berkonsentrasi pada ucapan pria baya itu.

"Untuk pemeriksaan forensik, kami tidak menemukan cairan ejakulasi di tubuh pasien. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti pasien tidak mengalami pemerkosaan." Dokter Hendro menjeda kalimatnya. Ia pun merasakan sesak yang sama seperti yang dialami pria di hadapannya.

"Saat dibawa ke rumah sakit, pasien hanya mengenakan gaun tidur tanpa lengan dengan kardigan yang menutupinya. Pasien juga tidak mengenakan baju dalam dan saat datang dalam keadaan pingsan."

Embusan napas berat terdengar dari mulut Mahesa. Pria itu mengusap wajahnya kasar. Membuat sang adik yang sedari tadi mendengarkan penjelasan dokter menepuk pundaknya menenangkan.

"Saya sarankan, hal ini dilaporkan kepada pihak berwajib agar diproses dan pelaku segera ditangkap. Saya tahu hal ini akan menjadi aib. Karena lagi-lagi pihak perempuan yang selalu mendapat imbasnya dan selalu dirugikan. Namun, setidaknya pelaku pelecehan itu bisa ditangkap agar tidak kembali melakukan hal yang sama entah itu kepada pasien atau orang lain di luar sana."

Mahesa seolah linglung. Tak tahu harus melakukan apa. Jika saja pelaku pelecehan itu bukan Rico ia pasti dengan segera menyeret pria kurang ajar itu lalu menjebloskannya ke balik jeruji besi. Namun, apa yang harus ia lakukan jika pelaku itu adalah anak kandungnya sendiri? Anak yang melakukan pelecehan itu dengan tujuan untuk membuat Mayang menjauh dari Mahesa.

"Kami akan membicarakan hal ini dengan Mayang, Dokter. Karena kami juga harus mempertimbangkan kondisi psikisnya." Bukan Mahesa yang mengucapkan kalimat itu, tapi Akbar. Pria itu tahu jika sang kakak tak akan mampu berpikir untuk saat ini.

"Nah. Hal itu juga yang menjadi perhatian kami. Kami akan merekomendasikan salah satu dokter untuk memantau kondisi psikis pasien."

"Tolong lakukan apapun yang terbaik untuk Mayang, Dokter. Pastikan dia bisa pulih seperti sedia kala."

"Kami pasti akan memberikan yang terbaik, Pak Mahesa. Dan saya harap anda memikirkan kata-kata saya tadi."

Mahesa mengernyit.

"Melaporkan kejadian ini kepada pihak berwajib," ucap dokter itu saat menyadari jika Mahesa tak paham. Mahesa pun lunglai. Lalu mengangguk pelan.

Perbincangan serius itu berlangsung cukup lama. Hingga setelah semua hal mereka bahas hingga tuntas, akhirnya Mahesa dan Akbar berpamitan.

"Jadi gimana, Mas?" Pertanyaan itu langsung terlontar setelah mereka hanya berdua saja. Desahan keras terdengar dari mulut Mahesa. Pria itu mengusap wajahnya kasar lalu menghempaskan dirinya di atas kursi besi di depan ruang rawat Mayang.

"Jangan tanyakan hal itu kepadaku, Bar. Karena aku juga tak tahu harus melakukan apa," jawab Mahesa dengan suara kalut.

"Bicaralah pada Rico. Tanyakan dengan jelas keinginannya. Selama ini kalian hanya saling mendiamkan. Bicaralah dari hati ke hati."

Mahesa mengangguk. Memang hal itulah yang akan ia lakukan. Namun, ia harus memastikan Mayang baik-baik saja.

"Jika disuruh memilih, apakah kamu bisa memilih salah satu di antara mereka?"

Mahesa membeku. Ia terdiam beberapa menit sebelum kemudian melontarkan kalimatnya. "Dua tahun ini aku sudah hidup tanpa mereka berdua. Mungkin di masa depan aku bisa menjalaninya."

"Kamu pasti bisa, Mas. Dan apapun itu aku harap kamu bisa memilih keutuhan keluargamu. Bukan orang asing yang tiba-tiba datang lalu mengusik dan merebut perhatianmu."

Mahesa mendesah. Ia dongakkan kepala bersandar pada dinding dibelakangnya.

"Apa kamu mencintai gadis itu?"

Mahesa tak menjawab.

"Dua tahun lalu mungkin kamu tak sampai berhubungan terlalu jauh dengan gadis itu dan terlanjur ketahuan Mbak Indri. Tapi sekarang, kalian sudah beberapa bulan bertemu kembali. Dia sudah bukan gadis ingusan seperti dulu. Dia sudah berubah menjadi wanita dewasa yang menarik dan sudah pasti membuat pria yang melihatnya menginginkannya---"

"Kamu mau ngomong apa, Bar. Kenapa berputar-putar," potong Mahesa. Demi tuhan saat ini ia tak butuh diceramahi oleh siapapun, termasuk adik kandungnya sendiri.

Akbar tertawa lalu mencibir. "Bukankah Mayang saat ini tinggal sendirian di rumah yang ia sewa? Kau pun tinggal seorang diri di rumah barumu. Seberapa sering kalian menghabiskan waktu bersama? Jika dua tahun lalu kalian tidak melakukan hal itu, mungkin saat ini kalian sudah sering kali melakukannya, bukan? Kalian sama-sama sendiri."

Tak ada jawaban dari Mahesa. Akbar mendengus. "Jika kamu sudah melakukannya dengannya, maka kamu harus menikahinya, Mas. Rebut hati Rico agar dia bisa menerima kehadirannya dan memaafkan semua kesalahan kamu. Jangan sampai ada korban lagi untuk saat ini. Belajarlah dari pengalaman.

###

Versi lengkap bisa diakses di karya karsa. Di wp akan dipublish sampai bab 29.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top