Bab. 17
Bab. 17
Mayang tak menyangka, sebelumnya ia mengira jika ajakan Endah ke Batu adalah untuk membeli beberapa pot bunga lalu mungkin akan menghabiskan waktu mereka di vila yang telah keluarga wanita itu sewa.
Namun, apa yang Mayang lihat ternyata jauh dari itu. Mereka ternyata mendatangi sebuah perkebunan apel yang cukup luas. Dan setelah berkendara untuk beberapa saat melalui jalanan beraspal tak begitu lebar yang diapit pepohonan apel, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah peristirahatan yang tidak bisa dikatakan sederhana. Dari pembicaraan singkat Darmawan dengan seorang pria sebelum mereka memasuki area perkebunan,---yang Mayang yakini adalah penjaga tempat itu---perkebunan apel juga rumah peristirahatan itu adalah milik keluarga Darmawan. Entah pastinya milik siapa. Apakah milik orang tua Darmawan, atau pria itu dan saudara-saudaranya.
"Mereka semua sudah sampai terlebih dahulu," ucap Darmawan setelah menghentikan mobilnya di area carport di samping bangunan yang menjulang di perbukitan itu. Mayang yang sedari tadi sibuk dengan pikirannya sendiri akhirnya tergeragap. Ia mengulas senyum lalu mengangguk mengiyakan.
"Kita tadi sarapan dulu. Jadi akhirnya datang terlambat." Mayang mencoba memberikan alasan.
"Ayo turun." Darmawan membuka pintu disusul Mayang. Pria itu lalu mengambil tas jinjing Mayang di bagasi dan membawanya memasuki rumah dari teras samping. Terselip rasa tak nyaman di dada Mayang. Ia meminta tas jinjing yang dibawa Darmawan untuk ia bawa sendiri. Namun, pria itu tak menggubrisnya.
Saat Mayang menginjakkan kaki di teras samping rumah dan Darmawan mengucapkan salam, keriuhan seketika terjadi dari dalam rumah. Vela, anak bungsu Endah disusul sang kakak berlarian menghampiri. Dua anak yang Mayang perkirakan seusia anak ke dua dan pertama Endah mengikuti mereka. Mayang duga kedua anak itu adalah anak Herman, adik Darmawan. Mayang pernah bertemu mereka beberapa kali tapi ia tak begitu ingat wajah mereka.
"Kak Mayang, kata mama kalau sudah sarapan boleh renang." Si kecil Vela yang berucap lalu gadis kecil itu bergelayut di kaki Mayang. Membuat Mayang mau tak mau mengangkat tubuh mungil itu dalam gendongannya. Sejenak Mayang mengeryit, tak paham dengan ucapan gadis itu.
"Mayang, jangan digendongin Velanya. Dia sudah besar. Nanti jadi tambah manja." Suara Endah terdengar dari dalam rumah. Gadis kecil itupun akhirnya merosot turun dari gendongan Mayang sambil berbisik, "Mama sukanya ngelarang-larang, deh. Vela suka sebel." Gadis itu mencebik yang seketika membuat pipi gembilnya makin lucu.
"Kak Mayang suka lupa kalau Vela sekarang sudah TK. Kalau sudah sekolah enggak boleh minta gendong terus." Mayang menjawab sambil menarik pipi Vela. Bocah itu lagi-lagi mencebik.
"Ayo, Kak, renang. Kata mama kalau sudah sarapan boleh renang. Vela sudah makan barusan."
Mayang menaikkan alisnya. "Kita lihat dulu apa kata mama, ya." Mayang menepuk pipi gadis itu lalu menuntunnya memasuki rumah untuk menyapa semua orang di sana. Di ruang keluarga yang terhubung dengan teras samping, semua orang tampak berkumpul. Kedua orang tua Darmawan, juga adik-adik dan iparnya. Mayang menghampiri mereka semua lalu menyalami satu-persatu.
"Kalian sarapan dulu sana, nanti kita coba metik apel sekalian ambil bunga." Endah berucap setelah Mayang duduk di sofa kosong di ruangan itu. Darmawan berdiri di sisi sofa.
"Saya sudah sarapan, Bu." Mayang berucap sambil menolehkan kepala kepada Darmawan. Namun, pria itu tak memberikan respons apapun.
"Mas Darmawan aja kalau begitu. Kamu temani, ya, Yang." Kalimat itu bernada perintah meskipun diucapkan pelan.
"Pak Darmawan juga sudah, Bu."
Endah mengerutkan alisnya.
"Sebelum ke sini tadi kami sempat sarapan."
"Ooh..." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Endah, tapi Mayang sempat menangkap seringai singkat di wajah mantan dosennya yang kini menjadi rekannya itu.
"Ya sudah kita langsung metik aja sekarang."
"Vela tadi minta renang, Bu." Mayang merasa tak nyaman jika mengabaikan bocah mungil itu yang tadi terlihat bersemangat.
"Nanti saya yang ngomong ke dia. Setelah ambil bunga dan metik apel baru kalian bisa renang. Sekalian biar agak siang. Sekarang udaranya dingin dan masih terlalu pagi."
Akhirnya Mayang mengiyakan. Lalu tak lama kemudian semua orang berjalan meninggalkan rumah menuju bagian belakang rumah yang dikelilingi oleh pagar tinggi yang memisahkan antara area pekarangan rumah dan kebun.
Pertama kali yang tertangkap mata Mayang adalah deretan bunga krisan dan mawar saat kakinya melangkah keluar pintu pagar belakang.
"Kamu pilih saja bunga yang kamu mau, Yang. Nanti minta bapak-bapak yang di sana," tunjuk Endah pada sekumpulan orang yang sepertinya adalah para pekerja. "untuk mengambil dan memasukkan ke dalam polibag."
Mayang mengangguk tapi mulutnya berkata lain, " Saya bisa kok, Bu melakukannya sendiri. Saya cuma butuh polibag saja." Mayang tak mungkin merepotkan orang-orang di sini. Ia yang akan melakukan semua hal itu.
"Ya sudah, nanti minta bantuan Mas Darmawan saja kalau gitu buat milih tanamannya." Wanita itu melirik sang kakak yang berdiri di belakang Mayang. Mayang hanya menyunggingkan senyum canggung. Yang benar saja. Masak ia meminta orang nomer satu di kampus untuk menyentuh tanah dan berkotor-kotor setelahnya? Tentu tidak, bukan. Hal yang pasti tidak sopan.
Menit berikutnya Mayang habiskan untuk memilih krisan dan Mawar yang akan ia bawa pulang. Darmawan mengekorinya di belakang. Menjawab apapun yang gadis itu tanyakan. Mayang terkikik dalam hati. Pada akhirnya ia tetap merepotkan pria itu. Meskipun satu orang pekerja membantu mereka menyiapkan tanaman untuk Mayang bawa pulang.
Setelah menyelesaikan kegiatannya, Mayang dan Darmawan bergabung dengan keluarganya. Semua orang ikut turun memetik apel yang kebetulan sedang dipanen oleh beberapa orang pekerja. Mayang yang tak pernah melakukan hal itu tentu saja begitu bersuka cita.
Hingga saat hari mulai terik, mereka semua akhirnya meninggalkan area perkebunan dan kembali ke rumah. Kali ini Vela, bungsu Endah menagih janji untuk berenang. Hal yang tentu saja diiyakan oleh Mayang. Namun, karena tidak membawa baju renang, tidak mempunyai lebih tepatnya, Mayang sempat kebingungan.
Untung saja Endah menawarkan baju renang miliknya yang kebetulan selalu ada di rumah peristirahatan itu, Mayang akhirnya menerima.
"Ibu tidak ikut berenang?" tanya Mayang saat menerima baju renang yang Endah berikan.
"Saya lagi berhalangan. Kamu saja yang menemani anak-anak, ya. Anak-anak Mas Herman juga ikut kok."
"Bu Arin?" Mayang menyebut istri Herman.
"Mbak Arin dan ibu Menyiapkan makan siang untuk kita. Kamu saja dan Mas Darmawan yang menemani anak-anak."
Mayang melongo mendengar kalimat mantan dosennya itu. Yang benar saja? Ia harus berenang dengan pria itu? Sebenarnya tidak masalah. Baju renang yang Endah berikan cukup tertutup meskipun tentu saja menempel erat di tubuh Mayang, tapi berenang dengan seorang pria di dekatnya baru kali ini Mayang lakukan. Tentu akan sangat canggung. Apalagi pria itu adalah orang nomer satu di kampus.
###
Bab berikutnya bisa diakses di Karyakarsa, ya. Sudah tamat juga.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top