Bab. 16

"Mayang, besok tidak ada acara, kan? Ikut jalan-jalan cari bunga ke Batu, ya. Ibu sama bapak ikut juga kok. Besok jam tujuh dijemput, ya?"

Sebuah pesan dari Endah Sulistyorini masuk ke ponsel Mayang saat gadis itu baru saja meletakkan sepatunya di rak sepatu rumahnya sepulang ia dari kampus sore ini. Mayang tak segera membalas pesan itu. Ia pergi ke dapur untuk mencuci tangan sebelum meneguk air segelas penuh. Benar-benar hari yang melelahkan. Sejak pagi jadwalnya begitu padat. Beruntung besok adalah libur hari besar, jadi ia bisa lebih santai setelah seminggu ini dijejali pekerjaan yang tak ada surutnya.

"Siap, Bu!" Mayang mengetikkan pesan balasan tanpa bertanya banyak hal.

"Oh ya, bawa baju ganti, ya. Siapa tahu sampai malam." Satu pesan kembali masuk ke ponsel Mayang. Gadis itupun mengetikkan pesan balasan dengan mengiyakan permintaan Endah. Sudah cukup lama ia tidak menyegarkan pikiran, setidaknya ia bisa mencari tanaman hias untuk mempercantik halaman mungil rumahnya dan mungkin sesuatu yang menarik yang bisa ia beli besok.

Selepas membersihkan tubuh di kamar mandi, Mayang merebahkan tubuh di sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi. Tanpa sadar ia terlelap karena kelelahan hingga kemudian terbangun saat hari sudah berubah gelap. Saat menyalakan lampu, Mayang begitu terkejut saat melihat jam dinding. Pukul dua dini hari dan ia bahkan tak menikmati makan malamnya.

Gadis itu segera mencari ponselnya. Memeriksa apakah ada pesan yang masuk atau siapapun yang menghubunginya. Dan benar saja, beberapa pesan masuk ke ponselnya termasuk dari Mahesa. Pria itu menanyakan keadaan Mayang karena seharian ini mereka tak saling berkirim pesan. Setelah membahas pesan Mahesa, Mayang pindah ke kamar untuk melanjutkan tidurnya.

***
"Lo, Bapak yang menjemput? Saya kira Bu Endah," tanya Mayang kebingungan saat Darmawan tiba-tiba saja sudah ada di depan pintu rumahnya. Pria itu terlihat segar dengan polo shirt dan celana selutut yang terlihat pas ditubuhnya. Kesan formal yang biasa Mayang lihat dari pria itu lenyap tak bersisa.

"Mobil Endah penuh. Dia bawa asisten rumah tangganya juga untuk menjaga anak-anak."

Mayang mengangguk paham. Endah memiliki tiga orang anak dan salah satunya, Vela, yang masih duduk di taman kanak-kanak.

"Berarti nanti bakal ramai, ya, Pak. Pasti menyenangkan."

"Iya. Adik saya, Herman yang berada di Surabaya juga datang." Darmawan adalah sulung dari tiga bersaudara. Sedangkan Endah adalah si bungsu.

"Wah, lebih ramai lagi. Saya terakhir bertemu Pak Herman dan Bu Arin saat ulang tahun Vela. Hampir tiga tahun lalu. Pasti anak-anak beliau sudah besar-besar semua sekarang. Dulu sewaktu si bungsu baru masuk SMP, saya hanya setinggi telinganya."

"Nanti kamu bisa mengukur, seberapa jauh ketinggalan kamu," ucap Darmawan dengan nada menggoda.

"Sepertinya cuma saya yang tidak tumbuh ke atas. Tapi setidaknya saya bersyukur meskipun tidak tumbuh ke atas saya masih tumbuh juga meskipun ke samping."

Darmawan akhirnya meloloskan tawanya. Hal yang begitu jarang Mayang lihat. Pria itu selalu memasang wajah terlalu serius. Yah, mungkin efek jabatan yang diemban pria itulah yang menjadi penyebabnya.

"Oh, ya ampun. Saya sampai lupa. Bapak kok dibiarin di sini. Mari silakan masuk." Mayang tiba-tiba saja ingat jika ia belum mempersilakan pria ini masuk.

Darmawan pun mengekori Mayang lalu duduk di ruang tamu.

"Kamu sudah sarapan, Yang?" tanya Darmawan saat Mayang hendak berpamitan menuju kamar. Ia akan bersiap.

"Belum." Mayang terdiam sejenak. "Sebenarnya sih memang saya berencana tidak sarapan."

"Kamu mau tidak jika membatalkan rencana kamu itu?" tanya Darmawan membuat kening Mayang berkerut.

"Rencana apa? Tidak sarapan?"

"Iya."

Mayang masih bingung.

"Kita sarapan setelah ini, ya. Saya sudah lumayan lapar. Kamu mau kan membatalkan niat diet kamu?"

Mayang tiba-tiba saja tersenyum lebar. Hampir saja terbahak.

"Saya tidak pernah diet, Pak, meskipun tubuh saya melebar atas bawah. Anggap saja cadangan jika tiba-tiba saya kekurangan uang dan tidak bisa membeli jajanan yang enak di luar sana." Kalimat Mayang sontak lagi-lagi membuat Darmawan terbahak. Hal asing yang belum pernah Mayang lihat sebelumnya. Pria yang biasa terlihat kaku dan begitu formal itu ternyata bisa terbahak hanya dengan kalimat tak bermutu yang baru saja ia lontarkan. Benar-benar pria yang memiliki selera humor yang buruk.

***
Mayang meletakkan sebuah tas jinjing yang telah ia isi dengan baju ganti dan perlengkapan pribadinya di bagasi mobil Darmawan. Tas punggung mungil berisi ponsel dan dompet tak lupa ia bawa serta.

Setelah memastikan rumah terkunci dengan benar, mereka pun berangkat. Lima belas menit kemudian Darmawan membelokkan mobilnya di sebuah rumah makan sederhana, tapi terlihat cukup ramai meskipun hari masih pagi.

"Kita makan di sini, ya. Tidak apa-apa, kan?" tanya Darmawan saat mobil berhenti di halaman parkir rumah makan.

"Apa saja saya mau, Pak." Mayang menyunggingkan senyuman. "Kelihatannya masakan di sini enak, kok sampai ramai sekali." Mayang mengamati suasana di depannya.

"Rasanya lumayan meskipun tempatnya sederhana. Lagi pula menunya lengkap. Mau sarapan apa saja ada."

Mayang menganggukkan kepala.

"Ayo." Darmawan membuka pintu mobil yang diikuti Mayang. Berdua, mereka berjalan beriringan memasuki rumah makan dengan bangunan berbentuk joglo. Darmawan menyeberangi deretan kursi yang sebagian besar telah terisi pengunjung menuju meja panjang tempat makanan bisa dipesan.

Mayang nyaris meneteskan air liurnya saat deretan hidangan yang terlihat lezat dan beraroma menggoda itu memasuki hidungnya. Darmawan benar-benar pintar mencari tempat untuk makan. Mayang nyaris berkeinginan memesan semua hidangan itu. Hal yang tak mungkin ia lakukan. Perutnya tak akan mampu menampung semua makanan itu.

"Pak, kok saya baru tahu tempat ini, ya. Seandainya saya tahu dari dulu, pasti sudah sering makan di sini. Apalagi letaknya tidak begitu jauh dari rumah."

"Syukurlah jika kamu suka. Ayo kamu mau pesan yang mana?"

"Semuanya saya suka. Sampai bingung mau makan yang mana." Mayang terkikik sendiri. "Masak mulai dari soto, rawon, pecel, sampai sate dan onderdil dalam ada semua. Sayurannya juga lengkap."

Mendengar ucapan Mayang, Darmawan hanya bisa tersenyum lebar. Keputusannya tak salah saat mengajak Mayang untuk sarapan. Gadis itu bukanlah seorang yang pemilih.

Akhirnya mereka pun memesan beraneka jenis sayuran juga udang, paru, kikil, dan beberapa jenis sate. Mayang dengan lahap menikmati makanan di hadapannya. Ia tak perlu malu meskipun berhadapan dengan pria nomer satu di kampus itu.

"Suatu saat jika saya sempat, saya ingin memasak yang seperti ini di rumah. Lalu saya akan mengundang Bapak dan seluruh keluarga seperti tempo hari. Pasti sangat menyenangkan." Mayang berucap setelah menandaskan beras kencur di gelasnya. Ia memang memesan minuman tradisional itu untuk melengkapi sarapan mereka.

"Lebih baik jangan." Darmawan menyela ucapan Mayang.

"Kenapa? Masakan saya tidak enak, ya?" Mayang tersenyum kikuk menahan malu.

"Bukan. Kamu pasti akan kerepotam saat melakukannya. Apalagi kamu kerja sendirian tanpa dibantu siapapun."

Mayang mengulas senyuman. "Memasak zaman sekarang tidak terlalu merepotkan. Ada blender, ada bumbu dan bahan siap pakai. Apalagi kalau memang direncanakan jauh hari sebelumnya. Jadi pekerjaannya bisa dicicil."

Darmawan melebarkan senyuman mendengar jawaban Mayang, "Anak rajin," ucapnya.

"Padahal di kampus semuanya memanggil saya Bu." Mayang mencebik.

"Saya bahkan sering kali lupa jika kamu sudah bukan mahasiswa lagi. Yang saya ingat adalah kamu yang sering mondar-mandir di rumah Endah menemani anak-anak bermain, bahkan saya masih ingat kelucuan kamu yang mengendap-endap setelah mencuci wajah di tempat wudlu musala rumah Endah setelah mata kamu terkena bumbu sea food bakar yang kamu makan. Yang lebih aneh lagi, setelah itu kamu justru berkeliling menambah sea food bakar, es krim, juga es buah untuk kamu nikmati. Saya heran kenapa saat saya menyapa kamu, kamu seolah ketakutan? Benar-benar khas anak-anak." Darmawan tak bisa menutupi tawanya. Membuat Mayang melotot ngeri seketika.

Demi apa coba? Peristiwa yang terjadi sekita dua setengah tahun lalu itu ternyata masih diingat pria ini. Ia bahkan mengira pria ini tak tahu apa-apa saat dirinya mengendap-endap setelah mencuci muka. Alis gundulnyalah yang menjadi penyebab. Ia terlalu malu saat ada orang memergokinya tanpa mekap apalagi dengan alis gundulnya yang mengerikan.

###

Sampai sejauh ini, sinyal apa yg sudah bisa ditangkap? 😜😜😜

Di karyakarsa babnya sudah lengkap. Kalau mau meluncur, langsung aja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top