Bab. 13 (1)

Mana bintangnya?

Mana suaranya?

Selamat membaca!!!!!

###

Bab. 13

"Hotel? Memangnya mau ngapain, Pak?" tanya Mayang pelan diiringi rasa tak nyaman.

"Iya. Ke resepsi pernikahannya putri pak Burhan."

Astaga! Mayang ingin sekali menenggelamkan dirinya. Malu pada diri sendiri yang sudah berpikiran terlalu jauh.

Ditariknya napas sejenak lalu ia kemudian berucap, "Nanti justru merepotkan, Bapak." Mayang tak ingin merepotkan pria itu. Apalagi dalam konsep urusan di luar kampus atau pekerjaan.

"Hotelnya kan searah, Yang. Tidak akan merepotkan."

"Tapi..." Mayang bingung bagaimana mengucapkannya. Yang benar saja? Ia harus datang ke acara resepsi itu bersama orang nomer satu di kampus? Apa pandangan orang-orang yang sudah pasti sebagian besar yang hadir adalah para dosen dan karyawan di kampus nanti? Tak semua orang mengetahui kedekatannya dengan keluarga pria itu dan Endah. Ah, baru memikirkan saja Mayang sudah merasa segan.

"Kenapa, Yang? Kamu keberatan? Atau mungkin sudah ada janji?"

Mayang menahan napas. Otaknya memikirkan jawaban yang paling masuk akal untuk pria itu.

"Saya tidak keberatan atau juga mempunyai janji dengan yang lain. Hanya saja..." Mayang menjeda sejenak. "Saya merasa segan, Pak. Rasanya pasti canggung sekali saat datang bersama, Bapak."

"Canggung?" Darmawan mengerutkan alisnya.

"Iya. Bapak kan orang nomer satu di kampus. Kemudian tiba-tiba saja datang ke acara itu bersama saya. Pasti rasanya terdengar aneh. Saya merasa tak pantas." Akhirnya Mayang mampu mengutarakan keberatannya.

Desahan lega seketika terdengar dari mulut Darmawan. "Oh cuma itu. Saya pikir apa, Yang." Pria itu mengulas senyuman.

"Kenapa kamu harus meributkan hal yang belum tentu dipikirkan orang? Lagi pula apa yang salah jika datang ke acara itu bersama kamu? Tidak ada, kan?"

Mayang tersenyum canggung. Sepertinya memang benar apa yang pria ini katakan. Otaknya saja yang terlalu jauh berpikir. Yah, salahkan saja dirinya yang pernah menjalin hubungan dengan pria dewasa yang tanpa kata atau komitmen. Namun, tiba-tiba saja menjadi semakin dekat bahkan saling bertukar saliva dan mendesah dalam keadaan tak berbusana.

Hentikan Mayang!

Mayang memperingatkan dirinya sendiri agar tidak membawa ingatan itu saat ini. Ia harus tetap waras.

"Benar, Pak. Kalau Bapak tidak masalah, saya juga begitu."

"Saya jemput kamu setengah jam sebelum acara dimulai, ya." Pria itu menegaskan yang diiyakan Mayang. Beberapa menit kemudian mereka pun berangkat menuju rumah Pak Burhan dan tiga puluh menit kemudian mereka tiba di lokasi.

Mereka berpisah di pintu masuk. Darmawan menuju sekumpulan pria sedangkan Mayang bergabung dengan para wanita yang sepertinya hanya keluarga dan rekan kerja Pak Burhan saja.

Lambaian tangan Bu Maryam dari kejauhan yang tertangkap mata Mayang seketika membuat Mayang mendekat. Wanita itu ternyata duduk di deretan depan. Tepat di belakang sekelompok wanita yang mengenakan baju yang sama yang Mayang duga adalah keluarga mempelai. Tak jauh dari Bu Maryam, dekorasi cantik untuk akad nikah dan foto bersama terlihat mengagumkan.

Mayang seketika tersenyum. Kapan ia akan merasakan kebahagiaan sebagai seorang mempelai? Hidupnya sudah kacau sejak dua tahun lalu. Orang yang dicintainya begitu sulit untuk ia gapai. Entah kenapa saat memikirkan hal itu suasana hatinya tiba-tiba saja memburuk.

"Kamu barusan sama Darmawan, kan, Yang?" Bu Maryam langsung bertanya saat Mayang duduk di sebelahnya.

"Iya, Bu. Saya jadi sungkan sama beliau karena merepotkan. Seandainya Ibu lupa, saya kan bisa naik taksi ke sini, Bu."

"Eh, jangan! Kalau cantik-cantik begini jangan naik kendaraan umum," ucap Bu Maryam mengamati penampilan Mayang pagi ini.

"Kan tidak jadi, Bu. Sudah dijemput Pak Darmawan." Mayang terkekeh. Mereka pun terlibat obrolan ringan hingga acara kemudian dimulai. Mayang menyaksikan akad nikah itu dengan perasaan berdebar. Seolah dialah sang mempelai yang duduk di depan sana. Dalam hati ia berdoa, semoga di waktu mendatang ia akan mendapatkan kebahagiaan dan kesempatan seperti layaknya pasangan berbahagia di depan sana. Semoga ia bisa menjalani masa depan dengan seseorang yang begitu dicintai dan mencintainya. Dan semoga kelak mereka hanya akan mendapatkan kebahagiaan hingga menua bersama dan maut yang memisahkan. Ya, semoga.

"Lihat Darmawan di depan sana kok ibu jadi merasa sesak ya, Yang." Kalimat itu tiba-tiba mengusik Mayang. Menariknya dari lamunan. Mayang menoleh. Dilihatnya wanita di sebelahnya terlihat memandang sendu pada prosesi akad nikah di depan sana. Dan hei! Kenapa rektornya juga duduk di sana? Bersama kedua mempelai dan juga Pak Burhan.

"Pak Darmawan kok duduk di sana ya, Bu?" Mayang melontarkan rasa penasarannya.

"Darmawan diminta menjadi saksi pernikahan mereka," ucap Bu maryam masih dengan pandangan ke depan.

Mayang hanya menganggukkan kepala.

"Kapan Darmawan akan duduk sebagai mempelai? Sudah sebelas tahun dia sendirian. Tanpa anak tanpa istri." Bu Maryam lagi-lagi berbicara masih dengan memaku pandangan pada sang anak.

Mayang kembali menoleh. Diamatinya wajah muram wanita sepuh itu.

"Usianya sudah tidak muda lagi. Empat puluh enam. Kalau misalnya dia menikah dan langsung mempunyai anak betapa beruntungnya."

"Wanita manapun pasti begitu berbahagia jika mendapatkan lamaran Pak Darmawan, Bu. Tinggal beliaunya saja yang memilih."

"Tidak semudah itu, Yang. Kesuksesan tidak dapat menjamin seseorang akan dengan mudah menemukan jodohnya. Apalagi usia Darmawan sudah tidak muda lagi."

"Apa sebelumnya Pak Darmawan pernah mendapatkan penolakan saat melamar seorang wanita?" Mayang mulai penasaran dengan kisah orang nomer satu di kampus itu.

"Belum pernah. Hanya Darmawannya saja yang sepertinya enggan untuk kembali berumah tangga. Alasannya dia sibuk terus. Apalagi semenjak menjabat sebagai rektor. Makin jauh saja harapan untuk menikah."

Mayang meringis. Pria super sibuk seperti Darmawan pasti begitu sulit membagi waktu untuk urusan pribadi.

"Mungkin Ibu pernah mencoba mengenalkan beliau kepada seseorang. Terkadang kan seusia beliau perlu sedikit dorongan." Entah kenapa Mayang seolah merasa begitu berpengalaman. Padahal ia sebenarnya nol besar.

"Dulu sih pernah. Lama-lama ibu capek. Semenjak menjabat sebagai rektor, ibu dan adik-adik Darmawan sudah tak pernah mengenalkannya kepada satu orang wanita pun. Ibu hanya berharap dan berdoa semoga saja dia segera menemukan tambatan hatinya dan kembali berumah tangga. Ibu tak mempermasalahkan siapa wanita itu. Yang penting Darmawan mencintainya dan wanita itu mampu membahagiakan anak ibu, itu sudah cukup."

Cukup sederhana sebenarnya. Asal yang bersangkutan bersedia. Namun, jika kenyamanan yang didapat justru datang dari seseorang yang terlarang, maka semuanya tentu akan begitu rumit. Sama halnya hubungannya dengan Mahesa. Entah sampai kapan hubungan mereka mengambang.

###

Okey friends. Bagaimana penerawangan kalian sejauh ini?

Apakah syudah dapat gambaran? Wkwkwkkwk....

Moga aja kalian enggak muntah apalagi sampai mabok baca cerita ini.

Sedikit bocoran bab berikutnya.


Yang pengin segera lanjut baca bisa langsung meluncur ke Karyakarsa ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top