Bab. 12
Friends, cuplikan dialog di atas ada di bab 18, lo. Siapa sih kira2 yg melamar Mayang?
Yuk, buruan intip2 ke karyakarsa. Kalau teman2 bacanya lompat2 pasti bakal bingung sama alurnya. So, kalau baca urutin babnya, ya.
###
Bab. 12
"Nak Mayang jangan lupa, besok acara akad di rumah Pak Burhan." Bu Aisyah berucap sore itu sebelum Mayang pulang ke rumahnya.
"Maksudnya gimana Bu? Akad apa? Kok saya tidak tahu," ucap Mayang yang memang tidak paham dengan ucapan seniornya itu.
"Lo!? Nak Mayang masak tidak dapat undangan. Kita semua dapat kok."
Mayang makin kebingungan.
"Saya bahkan tidak tahu undangan apa itu, Bu."
"Akad nikah putrinya Pak Burhan besok pagi. Terus malamnya resepsi. Undangannya ada di meja masing-masing kok. Sudah sejak beberapa hari yang lalu. Coba saja dicari. Siapa tahu tertumpuk atau terselip di antara buku-buku itu," tunjuk Aisyah pada tumpukan buku di meja Mayang.
Gadis itu sontak mencari benda yang Aisyah maksud. Memilah buku-buku di mejanya demi bisa menemukan undangan yang katanya ada di sana. Yang membuat Mayang heran, kenapa ia sama sekali tak tahu dengan keberadaan undangan itu.
"Nah itu undangannya yang warna merah." Aisyah menunjuk benda persegi yang terselip di antara tumpukan buku Mayang.
"Duh, kok saya baru tahu ya, Bu. Untung saja Ibu memberi tahu. Kalau tidak pasti saya melewatkan undangan ini." Mayang meraih undangan itu lalu membuka pembungkus plastiknya kemudian membaca isinya.
"Pak Burhan itu sebenarnya dosen mana ya, Bu? Kok tidak pernah terlihat di ruangan ini. Apa mungkin saya yang sedang di kelas saat beliau ada di sini? Saat saya kuliah di sini dulu saya belum pernah mengikuti mata kuliah beliau." Mayang melontarkan keheranannya.
"Pak Burhan sebenarnya dosen fakultas hukum. Hanya saja karena saat ini beliau menjabat sebagai wakil rektor dua bidang administrasi umum, personalia dan keuangan, maka beliau berkantor di kantor pusat di rektorat. Beliau memang jarang ke ruangan ini. Biasanya langsung datang ke kelas." Mayang menganggukkan kepala paham.
"Untung saja besok tanggal merah kemudian keesokannya berlanjut akhir pekan. Jadi meskipun pulang malam setelah resepsinya sih enak-enak saja." Aisyah berbinar.
"Wah, sepertinya Ibu sudah punya agenda untuk jalan-jalan nih."
"Iya, Nak Mayang. Nurutin kemauannya anak-anak dan cucu."
"Wah, selamat berlibur ya, Bu."
Aisyah hanya tersenyum simpul. Setelah obrolan hangat itu mereka pun berjalan beriringan meninggalkan kantor fakultas. Aisyah yang kebetulan sudah dijemput suaminya memaksa untuk mengantarkan Mayang pulang. Hal yang akhirnya disetujui Mayang meskipun gadis itu merasa sungkan. Untung saja rumah Mayang tidak terlalu jauh dari kampus. Jadi Mayang tak terlalu merepotkan.
***
"Mayang, besok pagi kamu diundang ke acara akad nikah putrinya Pak Burhan, kan? Ibu bareng ya. Temani ibu. Endah kebetulan keluar kota, mengunjungi mertuanya."
Sebuah pesan masuk ke ponsel Mayang sebelum gadis itu memejamkan matanya untuk beristirahat.
Mayang heran, kenapa Bu Maryam juga diundang? Ah, mungkin saja orang tua sang rektor itu kenal. Hal yang sangat wajar karena Pak Burhan dan Darmawan berada dalam lingkup yang sama.
"Iya, Ibu. Siap!"
"Besok jam setengah delapan dijemput ya. Kamu siap-siap saja."
"Iya, Ibu. Terima kasih." Mayang mengetikkan pesan balasan. Setelah tidak ada lagi notifikasi pesan masuk. Mayang pun mulai memejamkan mata lalu terlelap tak lama kemudian.
Keesokan harinya, pukul tujuh pagi, Mayang sudah siap dengan mekap natural andalannya. Dari dalam kamarnya ia mendengar suara mobil yang berhenti di depan pagar. Ia pun mengintip dari jendela kamar. Memastikan siapa yang datang. Saat ini masih pukul tujuh. Tak mungkin Bu Maryam sudah datang menjemput. Namun, saat melihat mobil yang telah berhenti di depan rumahnya itu, Mayang melotot tak percaya. Demi apa, Darmawan Wirayuda yang menjemputnya.
Pria nomer satu di kampusnya itu menjemputnya? Atau mungkin di dalam mobil itu ada Bu Maryam dan Pak Baharudin? Ah, dari pada terus menduga-duga lebih baik ia segera membuka pintu dan mendapatkan jawabannya.
Dan jawaban tak terdugalah yang Mayang dapatkan saat membuka pintu untuk pria bertubuh menjulang itu. Darmawan Wirayuda menjemputnya seorang diri. Tanpa kedua orang tuanya.
"Ibu sama bapak tidak ikut sekalian, Ya, Pak?" tanya Mayang setelah mempersilakan pria itu memasuki ruang tamunya.
"Ibu bilang suruh jemput kamu dulu."
"Berarti setelah ini kita ke rumah ibu?"
Darmawan menggeleng. "Ngapain ke sana, Yang. Kalau ke rumah Pak Burhan kan lebih dekat dari sini." Mayang melongo. Maksud pria ini apa, ya?
"Terus nanti ketemuannya dengan ibu di mana?" Mayang kebingungan. Bukankah Bu Maryam memintanya menemaninya?
"Tentu saja di rumah Pak Burhan. Kan kita mau ke sana. Nanti kamu juga akan bertemu ibu di sana." Mayang mulai sangsi. Entah kenapa jawaban-jawaban Darmawan terdengar aneh.
"Ibu memang bilang gimana, Pak, saat meminta Bapak menjemput saya?"
"Ibu bilang sudah terlanjur berangkat terlebih dahulu, lupa kalau kemarin janjian sama kamu untuk berangkat bersama. Tadi beliau menghubungi saya untuk meminta tolong sekalian menjemput kamu." Lagi-lagi Mayang melongo. Apa benar ibu pria ini memang benar-benar lupa?
"Oh begitu ya," ucap Mayang canggung. Bingung harus mengatakan apa. "Emm... Tapi ini masih terlalu pagi, Pak. Masih pukul tujuh." Mayang meringis. Menunjukkan gigi-gigi putihnya yang rapi.
"Tidak masalah. Kalau kamu belum selesai silakan lanjutkan. Saya bisa menunggu." Pria itu mengulas senyuman yang entah kenapa terlihat berbeda di mata Mayang. Senyum lembut yang terlihat tulus dan menenangkan.
Mayang mengerjab untuk sesaat akibat terseret oleh senyuman lembut pria itu. Ia pun akhirnya mengangguk lalu ia berpamitan menuju dapur. Tadi ia membuat roti bakar untuk sarapan dan satu teko kecil teh. Ia membawanya ke ruang tamu dan menyuguhkannya untuk Darmawan.
"Kamu kok repot banget, Yang. Tapi kebetulan sekali saya memang belum sarapan. Nanti kan juga makan di acara akad."
Mayang mengulas senyuman. "Sama sekali tidak repot kok, Pak. Tadi pagi saya membuat roti bakar dan teh agak banyak." Mayang meletakkan nampan berisi sepiring persegi roti bakar juga cangkir dan teko berisi teh." Gadis itu lalu duduk di sofa menemani Darmawan.
"Kamu sudah selesai?" Pria itu menelisik penampilan Mayang yang terlihat sempurna. Gadis itu tak pernah sekalipun terlihat tanpa cela. Cantik dan selalu menarik bahkan saat dalam keadaan terkonyolnya sekalipun seperti beberapa tahun lalu ketika menikmati makan malam di rumah sang adik.
"Sudah, Pak. Tinggal berangkat saja."
Darmawan mengangguk lalu mulai menikmati roti bakar buatan Mayang. Tak ingin didera kecanggungan, Mayang menyalakan televisi di depan mereka.
"Nanti malam saya jemput kamu kalau ke hotel, ya?"
Mayang yang sedang mengarahkan remote televisi membeku seketika. Sedetik kemudian ia menolehkan kepala pada pria di sampingnya.
Entah kenapa rasa tak nyaman merasuki dada. Menyebut kata hotel membuat Mayang mengingat beberapa hal pada pria yang selalu ada di dalam hati Mayang.
"Hotel? Memangnya mau ngapain, Pak?" sebut Mayang pelan.
###
Sinyal apakah yang sudah tertangkap oleh radar teman2?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top