Bab. 1

Versi lengkap sudah ada di Karyakarsa.

###

Mayang melihat jam di pergelangan tangannya. Sebentar lagi ia akan meninggalkan kota ini dan kembali pulang. Pulang ke kampung halaman dan mungkin juga akan kembali ke Malang.

Ya, pada akhirnya ia harus tetap kembali ke kota itu. Setelah menempuh program magisternya di kota ini selama dua tahun dan masih enggan kembali, pada akhirnya ia memang harus benar-benar angkat kaki dari kota ini. Kota yang mampu mengalihkan dunianya agar tidak hanya terpaut pada satu nama saja. Nama yang lebih dari dua tahun ini tak berani ia sebut.

Mayang mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya kakinya melangkah pergi. Pergi dari kenyamanan yang selama ini ia rasakan. Matanya memejam sejenak demi meredakan debar berisik yang membuat tangannya basah karena sedikit panik. Ditariknya napas dalam-dalam.
Ya Tuhan. Ia hanya akan pulang ke kampung halamannya, bukan untuk bertemu dengan pria itu. Kenapa hal itu begitu mengerikan baginya? Padahal kemungkinan untuk bertemu pria itu begitu kecil. Meskipun nantinya ia akan kembali ke Malang.

Suara wanita dari pengeras suara kembali terdengar. Hal yang membuat Mayang harus segera bangkit dari kursi yang ia duduki. Dengan berat hati Mayang melangkah menuju pintu keberangkatan. Selamat datang kenyataan, dalam hati Mayang berbisik pelan.

***
"Selamat datang kesayangan, ibu. Dua tahun lebih tidak melihatmu langsung, kamu terlihat makin bersinar." Endah Sulistyorini memeluk tubuh Mayang erat begitu gadis itu tiba di rumahnya sore itu. Wanita yang dua tahun lalu menjadi dosennya itu terlihat begitu bersuka cita atas kedatangan Mayang.

Setelah tiba di bandara dua minggu yang lalu, Mayang memang langsung pulang ke kampung halamannya. Berkumpul kembali dengan Ardhan, sang kakak dan juga keponakan mungilnya. Sepeninggal Mayang, pria itu memang melangsungkan pernikahannya tanpa dihadiri Mayang. Dan kini seorang bocah mungil berusia sembilan bulan telah hadir melengkapi kebahagiaan mereka semua. Pagi tadi Mayang berangkat ke Malang dengan diantar oleh sang kakak, langsung menuju indekostnya yang lama.

Beberapa bulan lalu Mayang memang menghubungi pemilik indekost untuk bisa menyewa salah satu kamar lagi dan beruntungnya kamarnya yang lama kebetulan tidak berpenghuni. Penyewa sebelumnya telah wisuda beberapa bulan yang lalu sehingga Mayang bisa menyewa kamar itu untuk sementara sebelum ia mencari rumah yang akan ia sewa sebagai tempat tinggal selama ia di Malang.

Keberuntungan berikutnya adalah karena Rena, teman indekostnya dua tahun lalu secara kebetulan masih menjadi penghuni indekost itu. Gadis itu mengambil cuti selama satu tahun dan baru beberapa bulan ini melanjutkan kuliah dan skripsinya setelah sekian lama pulang ke kampung halamannya karena ada masalah keluarga.

"Terima kasih, Bu. Jika bukan karena Ibu saya tidak akan seperti sekarang," ucap Mayang sambil melepas pelukan Endah. Wanita yang sudah ia anggap keluarga. Wanita yang begitu berjasa mendampinginya dalam berbagai hal. Baik akademik hingga finansial saat Mayang masih menempuh program strata satunya dua tahun lalu. Ia masih begitu ingat masa-masa saat masih bekerja dibutik Endah sebelum akhirnya pindah bekerja di firma hukum milik pria itu. Pria yang tak mampu Mayang sebut namanya.

"Kamu yang berusaha, Yang. Ibu hanya memberi dorongan." Wanita itu berdecak.

"Ibu terlalu merendah. Ibulah yang paling berjasa." Mayang terdiam sejenak. "dan ... Pak Darmawan tentu saja." Mayang menyebut kakak Endah. Pria yang menjabat sebagai rektor Mayang dua tahun lalu hingga detik ini.

"Itu kamu ditungguin di dalam. Ibu dan bapak juga ada di sini. Ibu sudah tidak sabar bertemu dengan kamu. Begitu mendengar kamu akan datang ke sini, ibu segera saja berangkat." Endah menyebut kedua orang tuanya.

Mayang tersenyum haru mendengarkan penuturan mantan dosennya itu. Matanya perlahan merebak berkaca-kaca. Kehangatan Endah dan keluarganya lagi-lagi kembali menghangatkan harinya.

"Saya sudah tidak sabar untuk bertemu mereka semua." Mayang lalu mengikuti langkah Endah memasuki rumah menyeberangi ruang tamu menuju ruang keluarga.

Begitu menginjak ruang keluarga, suara riuh seketika terdengar. Anak-anak Endah menyergapnya. Mereka bergantian bergelayut pada tubuh Mayang. Setelah memberikan pelukan hangat, Mayang menghampiri Bu Maryam, ibu Endah. Mencium punggung tangan dan memeluk wanita itu lalu beralih ke Arman, Suami Endah dan Pak Baharudin, ayah Endah. Terakhir Mayang menghampiri Darmawan Wirayudha, sang rektor sekaligus kakak Endah yang tak henti mengulas senyumannya.

"Terima kasih atas bantuan dan bimbingan Bapak selama dua tahun ini. Dua tahun lebih. Semoga Bapak tidak pernah bosan membimbing saya," ucap Mayang lalu mencium punggung tangan pria itu.

"Mas Darmawan tidak akan pernah bosan membimbing kamu, Yang. Jangankan dua tahun. Dua belas tahun, dua puluh tahun, bahkan seumur hidup tidak akan pernah bosan." Endah tiba-tiba menyahut. Mayang hanya mengulas senyuman lalu duduk di sebelah rektornya itu setelah sebelumnya mengedarkan pandangan ke sekeliling dan semua sofa telah terisi. Hanya sofa di sebelah Darmawan yang masih kosong.

"Kamu sekarang tinggal di mana, Yang? Sudah dapat tempat tinggal?" Bu Maryam bertanya sambil menyodorkan nastar ke hadapan Mayang. Gadis itu mengambil tapi tak segera menikmati kue kering itu.

"Untuk sementara saya tinggal di indekost saya yang lama sebelum mendapatkan rumah untuk saya sewa."

"Kenapa tidak tinggal sama ibu saja, Yang. Banyak kamar kosong di rumah. Kamar lamanya Endah, Darmawan, dan Herman tidak ada yang menempati. Terus masih ada kamar tamu juga. Semuanya kosong." Bu Maryam menyebutkan nama ketiga anaknya.

"Terima kasih, Bu. Saya tidak ingin merepotkan Ibu. Lebih baik saya mencari rumah sewa saja yang tidak terlalu jauh dari kampus. Saya kan tidak bisa naik kendaraan. Biar enak bisa jalan kaki." Sebenarnya bukan cuma itu saja yang membuat Mayang menolak tawaran Bu Maryam. Kenyamananlah yang utama. Ia tidak ingin terlalu banyak berhutang budi pada keluarga ini. Yah, tentu saja pengecualian urusan kampus. Tinggal di rumah Bu Maryam berarti ia harus siap menerima apapun peraturan di dalamnya. Sedangkan Mayang lebih suka kebebasan.

"Kalau begitu jangan sungkan untuk menghubungi ibu jika kamu mengalami kesulitan ya. Kamu punya keluarga juga di sini," lanjut wanita itu dengan senyum tulusnya.

"Tentu saja, Bu. Terima kasih banyak."

"Oh ya, Yang. Dua minggu lagi kamu sudah mulai mengajar. Sudah siap kan?" Endah kembali bersuara.

Mayang tersenyum sangsi. "Antara siap dan tidak, Bu. Kalau berdasarkan keilmuan, saya sudah siap seratus persen, tapi kalau di tanya urusan batin, saya masih demam panggung." Kalimat Mayang disambut gelak tawa oleh semua orang.

"Semua orang pasti mengalami masa-sama seperti kamu saat mereka menjadi yang pertama. Saya juga mengalami hal itu ketika pertama kali menjadi dosen. Apalagi jika mahasiswa kita lebih tua dari kita. Pak rektor juga pernah mengalami." Endah melirik sang kakak. "Kita semua kan berproses dari yang bukan siapa-siapa kemudian menjadi seperti saat ini. Kamu pun nantinya begitu."

Mayang menarik napas lega. Sore itu setelah berbincang akrab dengan keluarga Endah, Mayang juga menghabiskan makan malam dengan mereka semua. Saat malam semakin larut Mayang berpamitan pulang.

"Kamu pulang sama saya saja, Yang. Sudah terlalu larut jika harus naik kendaraan umum."

"Terima kasih, Pak. Tapi tidak usah. Nanti malah merepotkan. Rumah Bapak berlainan arah dengan indekost saya." Mayang menolak tawaran Darmawan.

"Sama-sama keluar kan sekalian saya antar kamu pulang."

"Betul, Yang. Bareng Mas Darmawan saja. Lebih aman." Endah menyahut.

"Sana, cepat berangkat, nanti semakin malam lo. Jangan ngebut kalau nyetir." Bu Maryam berpesan seolah Mayang sudah menyetujui untuk di antar oleh anak sulungnya itu.

"Ayo Mayang."

Akhirnya Mayang tak mampu menolak. Ia berpamitan kepada semua orang lalu memasuki mobil Darmawan.

"Dua tahun lebih saya meninggalkan kota ini perubahannya begitu signifikan ya, Pak." Mayang mulai membuka obrolan begitu mobil Darmawan bergabung dengan kemacetan.

"Tentu saja. Di mana-mana ada pembangunan gedung-gedung baru dan tentu saja kemacetan yang semakin memburuk."

Mayang menyunggingkan senyuman.

"Kamu sudah punya gambaran rumah yang ingin kamu sewa?" Darmawan mengubah topik pembicaraan mereka.

"Sudah ada. Lokasinya di komplek sebelah kampus. Sekilas saya tahu rumah itu tapi belum melakukan transaksi harga. Kemarin saya sudah menghubungi pemiliknya. Namun, dari penjelasan yang diberikan, rumah itu saat ini sedang direnovasi setelah habis masa sewa sebelumnya. Mungkin paling cepat satu bulan lagi rumah itu selesai direnovasi. Sepertinya saya akan mengambil yang itu saja. Rumahnya mungil, suasananya asri dan tidak jauh dari kampus." Mayang berucap dengan mata berbinar.

"Jika kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk mengatakan kepada saya."

"Terima kasih, Pak. Apa yang Bapak dan Bu Endah lakukan selama ini sudah lebih dari cukup."

Darmawan hanya menyunggingkan senyuman. Lalu kembali fokus pada jalanan di depannya. Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di indekost Mayang dan setelah menurunkan gadis itu ia melesat pergi. Mayang mendesah lega saat memasuki pintu pagar indekostnya. Hari yang melelahkan tapi ia begitu lega karena sudah mampu melewatinya. Esok masih banyak hal yang perlu ia kerjakan.

***
Hari pertama Mayang bekerja di kota ini benar-benar membuat Mayang berdebar. Ada perasaan khawatir tapi juga terselip rasa bahagia yang luar biasa. Pagi ini ia akan kembali ke kampusnya yang telah ia tinggalkan dua tahun lalu. Ia mengira tidak akan kembali lagi ke tempat ini. Namun, takdir berkata lain. Ia justru kembali ke Malang bahkan menjadi dosen di kampusnya sendiri.

"Wah ini nih anaknya Bu Endah. Akhirnya kembali lagi kamu yo, Nduk," sapa Sudirman---pria baya yang saat ini menjabat sebagai dekan fakultas hukum---dengan logat jawa yang khas. Pria itu baru satu tahun terakhir menjabat sebagai dekan dan termasuk salah satu dosen kesayangan Mayang saat menempuh strata satu di kampus ini dua tahun silam.

"Saya tidak bisa melupakan Bapak. Makanya saya kembali ke sini," gurau Mayang yang disambut gelak tawa beberapa dosen yang pagi itu mengerubuti Mayang.

"Saya dulu mengira kamu akan mengambil Pendidikan Khusus Profesi Advokat karena kamu pernah bekerja di firma hukum Pak Mahesa Sastrawijaya. Tenyata kamu justru mengambil beasiswa dan terbang ke Monash. Benar-benar di luar dugaan. Tapi saya salut sama kamu. Kamu itu paket lengkap. Kuliah jadi yang di depan, gaul tidak ketinggalan, dan bekerja tidak mengenal lelah. Beruntung suami kamu nanti. Oh ya sudah ada bule-bule yang nyantol sampai sini, ndak?" Gurauan pria baya itu makin meriuhkan suasana. Hal yang awalnya membuat Mayang ikut tertawa. Namun, saat nama pria itu disebut semuanya seolah lenyap. Ia hanya bisa menyunggingkan senyum kaku.

"Saya masih jomlo, Pak. Bule-bule di sana tidak ada yang mau sama gadis berkaki pendek seperti saya." Meskipun canggung Mayang masih berusaha membalas gurauan dekannya itu.

"Mayang sudah dikontrak Pak Mahesa seumur hidup jadi tidak akan ada yang berani mendekat." Kalimat yang terlontar dari salah satu dosen di ruangan itu benar-benar membuat Mayang tersentak seketika.

"Oh iya ya. Saya dulu sering kali melihat Mayang bersama putranya Pak Mahesa, mahasiswa teknik itu." Satu dosen lain menyahut.

Mayang menahan napas. Sepertinya tingkah lakunya di masa lalu masih terus diingat semua orang. Termasuk kedekatannya dengan Rico. Bahkan para dosennya pun tahu akan hal itu.

"Saya kebetulan cuma berteman saja kok, Bu," balas Mayang ingin menjelaskan.

"Oalah. Saya pikir sudah serius. Apalagi Mayang sudah kembali."

Mayang lagi-lagi hanya mengulas senyum canggung. Obrolan ringan itu tak lama berlangsung karena sesaat kemudian semua orang mulai sibuk menyongsong jadwal yang akan dimulai tiga puluh menit lagi. Sudirman pun begitu, setelah berpesan beberapa hal pada Mayang, pria itu memasuki ruangannya. Meninggalkan Mayang yang berkali-kali menarik napas demi melegakan dadanya yang berdebar akibat obrolan pagi ini. Demi Tuhan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja dan ia sudah mendengar nama pria itu disebut sepagi ini. Benar-benar cobaan.

###

Ditulis, Maret 2022
Publish, 13 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top