Bab. 6
Selamat tahun baru!
Cerita ini adalah cerita yg pertama kalinya diupdate di tahun 2022 ini. Semoga saja tahun ini bisa lebih lancar update & lebih banyak cerita yang bisa ditamatin. Terima kasih bagi teman2 yg masih mengikuti cerita ini. Happy reading & jangan lupa tinggalin jejak ya.
###
"Mari, Pak. Saya duluan." Mayang menundukkan kepala sekilas lalu mengangkat piring kotor dan sisa-sisa makanannya dari meja. Sangat tak sopan jika sudah menikmati makanan itu, tapi ia membiarkannya begitu saja---di samping kakak bu Endah yang masih menikmati makanannya---meskipun ada beberapa petugas katering yang terlihat berkeliling membersihkan meja. Mayang tak mungkin meninggalkan piring kotor di depan pria itu. Setidaknya ia akan menyingkirkannya terlebih dahulu sebelum pergi.
"Silakan," ucap pria itu sambil mengulum senyum teduhnya. Membuat Mayang yang salah tingkat seketika membalas senyuman itu. 'Orang cakep kenapa suka senyum-senyum, bikin iman goyah aja, Pak,' ucap Mayang dalam hati sambil berpamitan pergi.
Tiga hari kemudian di hari Sabtu malam saat hendak merebahkan diri di ranjangnya, ponsel Mayang berdering. Ia pun segera meraih ponsel sambil menyamankan posisi tubuhnya di atas ranjang.
"Assalamualaikum, Yang, besok jangan lupa, ya. Siap-siap, kita jalan jam enam pagi. Sopir akan jemput kamu setengah enam." Suara lembut memasuki pendengaran Mayang begitu ia menerima panggilan telepon itu. Bu Maryam yang menghubunginya setelah kemarin mengingatkan. Sepertinya wanita itu khawatir jika Mayang sampai melupakan acara mereka Minggu pagi nanti.
"Waalaikum salam. Iya, Bu. Saya akan pasang alarm agar tidak terlambat bangun," balas Mayang bersemangat.
"Ya sudah kalau begitu. Ibu bisa tenang. Setelah ini kamu istirahat aja, ya. Biar besok bangunnya tidak telat. Oh ya, Bapak juga sepertinya mau ikutan. Teman-teman bapak kebetulan tidak bisa bersepeda. Makanya bapak bisa ikut kita."
Mayang menganggukkan kepala paham meskipun wanita di ujung sana tak mungkin melihatnya. Suami Bu Maryam memang sering kali bersepeda di hari Minggu bersama teman-temannya. Teman-teman sebaya yang masih begitu bugar di usia yang tak lagi muda.
"Wah, pasti menyenangkan jika bapak ikut juga, Bu. Seperti dulu." Ya, suami Bu Maryam memang pernah beberapa kali menemani Bu Maryam dan Mayang jalan pagi di hari Minggu.
"Ibu sudah ngajak Endah. Tapi dia tidak mau. Ya sudah. Kita bertiga saja. Nanti ibu akan coba mengajak Darmawan, siapa tahu dia mau. Lebih ramai lebih menyenangkan."
Mayang melotot kaget. Demi apa coba?! Bapak rektor, Darmawan Wirayuda akan diajak bu Maryam untuk jalan santai besok pagi?! Mayang pasti salah dengar.
"Memangnya Pak Darmawan tidak sibuk ya, Bu, kalau pagi-pagi diajak jalan-jalan?" tanya Mayang penasaran. Ya ampun! besok pagi ia akan jalan santai dengan pria nomer satu di kampus. Sepertinya Mayang harus menebalkan muka untuk mengambil foto-foto mereka besok. Ia akan memamerkannya pada teman-temannya. Pasti mereka semua akan melotot tak percaya. Belum apa-apa Mayang sudah berkhayal. Ia pun terkikik menutup mulutnya. Berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh bu Maryam di seberang sana.
"Kamu lupa kalau besok itu hari Minggu? Dia kan libur."
Mayang mengangguk lagi. Meskipun ia tahu Bu Maryam tak akan melihatnya. Akhirnya ia pun berucap, "Saya pikir meskipun hari Minggu beliau masih akan sibuk." Mayang terkekeh.
"Harus mau meluangkan waktu, Yang. Masak mau kerja terus menerus. Tubuh dan otak kan juga perlu diberi suntikan nutrisi. Kalau kerja tanpa henti, ujung-ujungnya tumbang. Justru tidak bisa bekerja lagi, kan?"
"Iya, Ibu benar."
"Sama kayak kamu juga, Yang. Selain kuliah dan bekerja, kamu juga butuh bersenang-senang. Mumpung masih muda. Setidaknya ibu ngajak kamu jalan agar kamu bisa sedikit saja menyegarkan pikiran."
Mayang mengulas senyum lebarnya. Inilah hal menyenangkan yang ia dapatkan saat bergabung dengan keluarga Bu Endah. Mayang merasa memiliki keluarga kembali. Ia tak merasakan sendirian lagi di kota ini.
Perbincangan itu berlangsung tak lebih dari lima menit kemudian. Setelah pembicaraan berakhir, Mayang mencoba memejamkan matanya untuk bisa tidur. Ia tidak ingin bangun terlambat besok pagi.
***
Keesokan harinya, pukul setengah enam pagi, sesuai janji Bu Maryam semalam, mobil yang menjemput Mayang sudah terparkir di depan indekost. Mayang yang sebelumnya sudah siap segera memasuki mobil yang kemudian melesat membawa Mayang ke rumah Bu Maryam.
Tiga puluh menit kemudian Mayang tiba di rumah Bu Maryam. Wanita itu ternyata sudah duduk di anak tangga menuju teras rumahnya. Sepertinya sudah tak sabar untuk berangkat. Saat mobil berhenti di carport rumah. Mayang segera berlari menghampiri wanita itu lalu mencium punggung tangannya.
"Ibu kok duduk di luar?" sapa Mayang setelah melepas tautan tangannya.
Wanita itu berdecak, "Kamu ini sok tidak tahu. Biar kita cepat berangkat dong. Ayo kita berangkat sekarang!"
Mayang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Bukankah semalam wanita ini mengatakan jika mereka akan berangkat bertiga termasuk suami Bu Maryam, Pak Baharudin? Jika memungkinkan putra sulung mereka Pak Darmawan juga akan ikut serta. Namun, kenapa saat ini hanya ada mereka berdua?
"Bapak tidak jadi ikut ya, Bu?" Dari pada mati penasaran, lebih baik Mayang bertanya.
"Ikut dong. Itu tadi mereka di sana," tunjuk wanita itu pada pintu pagar rumahnya. "Tadi Bapak dan Darmawan lari-lari buat pemanasan, katanya. Memangnya kamu tidak ketemu di depan tadi?"
Mayang menggeleng. "Saya tidak melihat Bapak dan Pak Darmawan kok, Bu."
"Oh, mungkin mereka ambil arah berlawanan dengan kedatangan kamu. Udah yuk, kita berangkat sekarang. Mereka pasti sudah menunggu." Bu Maryam menyeret tangan Mayang untuk mengikutinya.
Matanya sekilas melihat penampilan Mayang pagi ini. Celana panjang dilengkapi kaus berlengan panjang membuat Mayang terlihat manis. Apalagi sebuah tas punggung mungil yang Mayang pakai makin menunjukkan berapa umur Mayang saat ini.
"Kamu kok sampai bawa tas sih, Yang? Nanti punggung kamu pegal, lo." Bu Maryam melontarkan. Keberatannya.
"Oh." Mayang menggerakkan tasnya menggunakan bahu lalu tangannya sigap membuka tasnya. "Ini ada air mineral untuk kita bertiga, Bu. Maaf cuma tiga, karena saya masih tidak tahu Pak Darmawan akan bergabung dengan kita atau tidak. Jadi bawanya cuma ini," tunjuk Mayang pada tiga botol kecil air mineral. "takutnya kita nanti kehausan dan tak menemukan penjual minuman, makanya mending saya bawa air. Terus ada ponsel dan dompet saya juga biar kita bisa foto-foto," ucap Mayang antusias.
Bu Maryam terbahak. "Kamu siap banget, ya, Yang. Benar-benar gadis yang tangguh. Ibu tak salah mengajak kamu. Kalau ibu tiba-tiba saja macet dijalan kamu sudah benar-benar siap."
Mayang tersenyum lebar lalu mengenakan kembali tas ke punggungnya.
"Ibu jangan ngomong yang jelek-jelek, dong. Harus semangat, harus sehat." Tangan Mayang mengepal ke atas memberi semangat.
Begitu mereka keluar pagar rumah. Dari kejauhan tampak dua orang pria berjalan ke arah mereka. Mayang langsung bisa mengenali. Pria berambut putih adalah Pak Baharudin sedangkan di sebelahnya adalah sang anak. Siapa lagi kalau bukan Darmawan Wirayuda. Rektor yang membuat mahasiswi seisi kampus heboh saat melihatnya.
Mayang mendesah dalam hati. Ah... Betapa beruntungnya dia. Bisa begitu dekat dengan pria ini. Tunggu saja sampai Mayang bisa mengambil gambar pria ini atau jika berani dan sedikit tak tahu malu, ia nanti bisa meminta foto bersama.
Baru membayangkan saja sudah membuat Mayang melebarkan garis bibirnya. Ia tak sabar ingin memamerkan foto-foto khayalannya itu kepada teman-temannya. Ugh... Pasti mereka kejang-kejang saking kagetnya.
###
01012022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top