Bab. 3
"Co, ngapain papa sama mama kamu ke sini?" tanya Mayang sedikit panik. Terus terang ia tak ingin jika kedekatan yang ia jalin dengan siapapun saat ini sampai berbuntut panjang. Mayang bukannya anti keseriusan. Namun, ia sepenuhnya sadar kemana hubungannya dan Rico akan bermuara. Bukan pemuda seperti Rico yang Mayang inginkan untuk menjadi sandaran hidupnya kelak. Rico hanyalah salah satu dari sekian banyak pemuda yang hanya akan menjadi deretan mantan kekasih---jika mereka berkomitmen---atau mungkin juga hanya sekadar teman hang out yang menyenangkan.
"Kebetulan hari ini Anniversarynya papa sama mama. Udah dua puluh tiga tahun lo mereka bersama. Luar biasa banget kan. Papa meskipun kayak gitu bucin banget sama mama...." Kalimat panjang Rico seketika membuat Mayang bernapas lega. Syukurlah, orang tua Rico datang ke tempat ini bukan untuk dipertemukan dengannya. Ugh betapa absurd bin ge-er dirinya. Mayang mengumpat dalam hati.
"Terus kenapa kok ke sini? Mau ngadain anniversary di sini?"
Rico mengangguk. "Yups, benar banget makanya aku ngajak kamu ke sini sekalian biar bisa aku kenalin ke mereka."
Mayang meringis. "Ngapain aku harus dikenalin?"
"Yah, biar papa sama mama tahu, gadis seluar biasa kamu yang sekarang lagi dekat sama aku."
Mayang seketika ingin muntah. Dasar play boy cap kadal. Dikira Mayang bakal jatuh bangun saat mendengar kalimat manis Rico.
"Nilai Bahasa Indonesia kamu dulu kayaknya selalu di atas rata-rata deh, Co."
Rico mengerutkan kening tak paham.
"Dari kita ketemuan, kamu pintar banget bermain kata," lanjut Mayang.
"Aku bahkan nggak tahu cara berucap manis."
Mayang seketika meringis. Rico benar-benar ingin membuatnya mengepalkan tangan lalu melabuhkannya tepat di hidung mancung pemuda itu.
"Yuk, ah habisin makanannya nanti kita sapa papa sama mama." Rico melanjutkan menikmati makanannya yang diikuti Mayang. Lima menit kemudian mereka telah menyelasaikan makan malam mereka. Rico tak sabar membawa Mayang dengan langkah tergesa menemui orang tuanya yang terlihat berbincang dengan beberapa orang di meja panjang berisi tak lebih dari sepuluh orang.
Keriuhan seketika terdengar saat Rico memperkenalkan Mayang sebagai teman dekat bukan pacar atau kekasih. Hal yang patut Mayang syukuri karena ia tak ingin orang tua Rico salah paham pada hubungannya dengan sang anak.
Satu jam kemudian acara penuh keriuhan itu berakhir. Mayang berpamitan kepada orang tua Rico juga beberapa kerabat yang kebetulan datang. Pelukan hangat ia dapatkan dari mama Rico. Wanita itu benar-benar luar biasa. Diusianya yang tak lagi muda pesonanya tak berkurang sedikitpun. Wajah cantik wanita itu mengingatkannya pada aktris cantik Wulan Guritno.
Begitupun dengan papa Rico. Jika rata-rata pria di usianya sudah mulai membuncit atau juga tanda-tanda kebotakan sudah mulai muncul, pria itu justru sebaliknya. Sepertinya penuaan tidak berlaku untuk tubuh dan juga wajahnya.
Mungkin hal itu yang menyebabkan Rico juga terlihat begitu luar biasa tampan. Orang tuanya saja berwajah di atas rata-rata. Anaknya pun akhirnya mewarisi kelebihan itu. Mayang berharap, semoga saja di masa depan ia berjodoh dengan pria yang tak hanya baik hatinya tapi juga menawan rupanya. Setidaknya ia bisa memperbaiki keturunan.
"Eh!" Mayang seketika sadar, ia menebas pikirannya yang mulai keluar dari jalur yang seharusnya. Huh! Salahkan saja kedua orang tua Rico yang terlihat begitu mesra di hadapan semua orang hingga membuat Mayang setika ikutan baper juga sedikit ngiler dengan kemesraan mereka.
Akhirnya, di sepanjang perjalanan pulang Rico dan Mayang lebih banyak diisi oleh kebisuan. Rico yang beberapa kali melontarkan pertanyaan, hanya dijawab ala kadarnya saja oleh Mayang. Gadis itu masih enggan banyak berbicara. Otaknya masih terisi dengan pemandangan indah orang tua Rico beberapa waktu sebelumnya.
Benar-benar serasi, pasangan impian, jadi pengin kayak mereka...." Kalimat-kalimat itu muncul begitu saja di kepala Mayang. Ia masih tak henti-hentinya bermimpi. Jangan salahkan Mayang jika ia seketika jatuh cinta pada pasangan suami istri itu.
Sejak kecil ia tumbuh tanpa mengenal sosok orang tua lengkap. Ia sudah kehilangan kasih sayang ibunya saat usianya belum genap lima tahun. Ia hidup dibesarkan oleh ayahnya seorang diri bersama satu orang kakak laki-laki yang kini sudah bekerja. Saat ia baru menginjak bangku sekolah menengah pertama, ayahnya menyusul sang ibu. Ayah Mayang meninggal mendadak saat beliau hendak mengantarkan Mayang ke sekolah. Pria itu tiba-tiba saja roboh setelah mengunci pintu pagar rumahnya. Benar-benar ujian berat untuk Mayang dan Ardhan, kakaknya.
"Yang, udah sampai nih." Suara Rico seketika menyadarkan Mayang dari lamunannya. Dengan tergeragap gadis itu segera turun dari boncengan Rico.
"Kamu diam aja dari tadi, kenapa?" tanya Rico pelan. Mayang hanya mengulas senyum lalu menggeleng.
"Pasti senang banget ya, Co, punya papa sama mama yang masih lengkap."
Sejenak Rico mengerutkan keningnya heran. Namun, detik berikutnya bibirnya menampilkan senyum lembut. Pemuda itu ingat pembicaraannya dengan Mayang sebelum kedatangan orang tuanya. Mayang adalah seorang gadis yatim piatu.
"Kamu bisa menganggap mama sama papaku sebagai orang tua kamu, Yang. Aku kan enggak punya saudara cewek."
Mayang meringis. Setidaknya ia menghargai usaha Rico untuk menghiburnya.
"Makasih, Co. Tapi enggak mungkinlah."
"Kenapa enggak? Kita akan sering-sering main ke rumah buat ketemu mama sama papa," tawar Rico antusias.
"Kayaknya enggak deh, Co." Mayang sadar dengan resiko yang akan terjadi jika ia menerima tawaran itu. Saat ini ia tak mempunyai hubungan apapun dengan Rico dan tentu saja Rico bukanlah pria impian yang ia harapkan akan menjadi masa depannya. Terlalu beresiko jika ia sampai menjadikan pemuda play boy yang predikatnya tidak terlalu bagus di mata para mahasiswi di kampusnya itu. Yah, meskipun masih tak sedikit gadis-gadis di kampus Mayang yang masih begitu keras kepala mengharapkan kedekatan dengan pemuda itu.
"Okey deh. Masih banyak waktu. Aku bisa nunggu sampai kamu mau kok." Akhirnya Rico memgambil jalan tengah.
"Emm.... Sudah malam. Kamu balik aja ya, Co. Makasih banyak makan malamnya. Makasih juga sudah dikenalin dengan papa sama mama kamu." Mayang akhirnya memutuskan menyudahi pertemuan mereka. Hari sudah semakin larut.
"Aku yang seharusnya berterima kasih. Jangan nolak kalau aku ajak lagi ya." Rico lagi-lagi memberikan senyum lebarnya. Membuat wajah pemuda itu berkali lipat lebih menawan.
Mayang hanya mengulas senyum kecil lalu mendorong helm pink berwarna norak itu ke tangan Rico.
"Eh? Ngapain dikasih ke aku?"
"Kan helm kamu."
"Sejak jam tujuh tadi sudah jadi milik kamu. Bawa aja. Nanti kalau kita keluar bisa kamu pakai," jawab Rico santai.
"Tapi ini mahal, lo, Co." Mayang berkeras mengembalikan. Ia tak terbiasa menerima sesuatu yang mahal dari seorang pria. Apalagi ia tidak mempunyai hubungan apapun. Ia tak ingin disebut memanfaatkan kesempatan apalagi sampai disebut matre. Yah, setidaknya ia masih menyukai jika hanya sekadar makan malam atau siang gratis.
"Bawa, Yang. Lagian siapa yang mau pakai helm warna pink? Masak aku. Itu juga sudah ada nama kamu." Rico kembali mengingatkan pada stiker yang tertempel di helm itu.
"Enggak ada namaku, Co. Tapi namamu. Nih," tunjuk Mayang pada stiker bertuliskan Rico's girl.
"Kan sama aja. Itu kan kamu." Rico lagi-lagi mengumbar senyuman. Ia lalu kembali menaiki motornya. "Sana masuk dulu. Sudah malam. Langsung tidur, ya. Jangan begadang. Dan ingat! Jangan lupa mimpiin aku." Dengan kalimat itu Rico menghidupkan sepeda motornya lalu memacu kendaraan itu meninggalkan Mayang tanpa repot-repot memperhatikan ringisan di wajah Mayang.
Baru aja mau dipuji baik hati eh ternyata jiwa play boynya kembali muncul.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top