Bab. 17

"Apa nih kadonya, Om?" Suara salah satu gadis seumuran Mayang yang Mayang duga adalah sepupu Rico.

Mahesa Sastrawijaya mengulas senyuman lalu mengedipkan sebelah matanya pada sang istri. Indriana segera meraih kotak mungil di depannya. Memberikannya pada putra tunggalnya.

Rico menerima kotak itu dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya. "Apa ini, Pa?"

"Buka aja," jawab sang ayah.

Tergesa Rico membuka kotak mungil itu lalu beberapa detik kemudian bersorak senang. Tangannya terangkat tinggi menggenggam benda mungil berujung runcing. Menunjukkan benda itu kepada semua orang. Kunci sebuah mobil.

"Makasih, Pa, Ma. Kalian memang paling tahu. Aku bisa ngajakin Mayang keluar tanpa takut kehujanan." Rico memeluk ayah dan ibunya bergantian.

Sorak sorai kembali terdengar, kali ini nama Mayang yang disebut. Semua orang ingin melihat kado apa yang akan Mayang berikan pada Rico. Hal yang membuat Mayang seketika salah tingkah. Bukannya apa, ia malu dengan apa yang akan ia berikan pada Rico. Bukan benda mahal seperti yang baru saja Rico dapatkan. Namun setidaknya, ia memikirkan kegunaan benda itu untuk Rico.

Akhirnya dengan diiringi tatapan ingin tahu semua orang, Mayang membuka tas mungilnya. Mengambil kotak persegi yang terbungkus kertas kado biru muda yang telah ia siapkan semalam. Sebuah jam tangan yang Mayang beli menggunakan uang tabungannya sendiri.

"Wah, Makasih banyak, Yang. Bagus. Aku suka." Rico memakai jam itu setelah membuka kotaknya. Setelah benda itu melingkar di pergelangan tangannya ia seketika meraih tubuh Mayang dalam pelukannya. Membuat Mayang begitu terkejut karena pemuda itu tadi sudah memeluknya.

***
"Kalian kok bisa sih buat kejutan yang aneh banget kayak gini." Rico menelan makanan di mulutnya sebelum melontarkan kalimatnya.

"Tuh si Mayang tanya," tunjuk Indriana lalu menusuk brokoli di piringnya.

"Jadi kamu yang ngerencanain semua ini, Yang?" tanya Rico dengan raut berbinar luar biasa.

"Tante tuh ada aja. Saya kan cuma bawa Rico ke sini. Tante dan Om kan yang merencanakan semuanya."

"Tuh kalian pada enggak mau ngaku."

"Papa kamu dan Mayang tuh yang banyak terlibat. Mereka yang cari tempat dan mengurus semuanya. Mama nyiapin kue dan hidangannya."

"Kapan? Aku kok enggak tahu."

"Beberapa hari lalu papa kamu dan Mayang ke sini. Memesan ini dan itu hingga akhirnya semuanya terjadi seperti sekarang."

Rico mengalihkan pandangan pada sang ayah.

"Papa benar-benar luar biasa. Makasih pokoknya. Rico janji akan berusaha lebih baik lagi untuk bahagiain papa dan mama."

"Skripsi, Co. Jangan lupa." Mayang mengulum senyum jahilnya.

"Tentu aku akan cepat-cepat selesaiin, Yang. Biar bisa melamar kamu. Kalau aku enggak cepat-cepat lulus bisa-bisa keduluan pria-pria sukses nan mapan yang bakal menghalalkan kamu kapan aja."

Sontak saja Mayang tersedak. Membuat Rico tersenyum jahil lalu mengulurkan gelas berisi air kepada Mayang. Sedangkan ayah dan ibu Rico hanya saling pandang melemparkan senyuman.

***
"Foto di ponsel nanti aku kirim kalau sudah di rumah ya? Tapi foto lainnya mungkin masih besok atau lusa soalnya papa pakai jasa fotografer," ucap Rico saat menghentikan mobil baru hadiah ayahnya di depan pagar indekost Mayang. Mobil sang ayah yang ia pinjam saat menjemput Mayang ia tinggal di hotel. Ayahnya yang akan membawanya pulang.

Mayang mengangguk pelan sambil mengulas senyuman.

"Kamu kenapa tadi kok nangis, Yang?"

Mayang mengerutkan kening, ternyata pemuda itu tahu saat ia menangis di tengah pesta tadi.

"Aku enggak nangis kok." Mayang mengulas senyum.

"Tadi kamu nangis, Yang. Aku lihat tadi papa ngomong sesuatu ke kamu terus akhirnya kamu kembali foto-foto lagi."

Senyum Mayang patah. Namun ia kembali berucap, "Aku cuma terharu aja, Co."

"Aku minta maaf, Yang. Tadi aku begitu terkejut dan begitu antusias. Apalagi pesta kejutan itu ada karena ada campur tangan kamu. Aku begitu senang."

"Sama akupun begitu."

"Untung saja papa memperhatikan kamu terus saat aku sibuk sendiri. Aku tahu, pasti kamu merasa canggung berada di tengah-tengah keluargaku. Keluarga yang tidak kamu kenal sama sekali."

Rico salah. Bukan perasaan itu yang sebenarnya Mayang rasakan. Namun, rasa terharu, bahagia yang bercampur aduk dengan rasa iri. Iri karena Rico begitu sempurna mendapatkan kebahagiaan dan kasih sayang keluarga. Sedangkan Mayang tak akan pernah merasakannya.

"Enggak apa-apa kok. Aku kan cepat berbaur."

"Tapi kalau namanya pertama kan pasti canggung, Yang." Rico mendesah pelan. "Tapi setidaknya papa mengatasi semuanya. Papa memang terbaik. Kamu bisa menganggap papa sebagai orang terdekat kamu selain aku, Yang. Sama seperti aku dan mama yang bersandar sepenuhnya pada papa."

Mayang yang sedari tadi merasakan matanya berkaca-kaca akhirnya tak mampu membendung perasaannya. Cairan bening itu luruh juga. Membuat Rico diserang rasa panik. Bingung harus melakukan apa.

"Makasih banyak ya, Co. Aku pikir kamu tuh cowok play boy tengil yang tahunya cuma tebar pesona. Tapi ternyata kamu lebih dari itu." Mayang mengusap air matanya. Menghalau tangan Rico yang hendak mendaratkan jemari untuk mengusap air mata Mayang.

"Kamu ngapain sampai nangis, Yang. Jangan kayak gini lagi." Rico meremas jemari Mayang, berusaha membuat gadis itu menghentikan tangisannya.

"Makasih banyak karena sudah mengenalkan aku pada keluarga kamu."

Rico menganggukkan kepalanya. "Sudah ya. Jangan pikirkan hal itu lagi. Aku juga merasa senang melakukan hal itu."

Sejenak kemudian mereka berdua terdiam hingga akhirnya Mayang mengusik keheningan.

"Aku masuk dulu ya. Kamu hati-hati di jalan. Selamat ulang tahun. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu." Tangan Mayang bergerak hendak meraih gagang pintu mobil. Namun tangan Rico bergerak menghentikan gerakan tangannya.

"Sebentar, Yang."

Mayang menghentikan gerakannya. Ia melepas tangannya dari gagang pintu lalu membalikkan posisinya menghadap Rico.

"Sebentar aja ya. Aku pengin ngomong sama kamu." Rico terlihat memohon yang disambut Mayang dengan anggukan.

"Ini mengenai yang tadi, Yang," mulai Rico pelan. Membuat Mayang mengernyit bingung.

Tarikan napas kuat Mayang dengar sebelum seuntai kalimat terucap dari bibir Rico, "Aku cinta sama kamu, Yang. Aku ingin kamu jadi bagian dalam hidupku."

Bola mata Mayang membulat. Jadi kalimat itu lagi. Mayang kira Rico tak akan membahasnya.

"Untuk saat ini aku pengin jadi orang terdekatmu, Yang. Kita pacaran dulu."

"Co." Mayang menyela kalimat Rico.

"Tunggu aku selesaiin kalimatku, Yang," ucap Rico sambil mengangkat telapak tangannya. Berharap Mayang tak menghentikan apapun yang sudah berada di ujung lidahnya.

Mayang menurut. Ia menutup mulutnya demi mendengarkan kalimat yang akan Rico lontarkan.

"Aku tahu kedekatan kita masih belum terlalu lama. Namun, aku ingin memperjelas semuanya. Semakin hari semakin aku mengenal kamu. Rasa di dadaku semakin besar. Rasa ini jauh berbeda dengan apa yang aku rasakan saat berdekatan dengan gadis-gadis lain sebelumnya. Pasti kamu tidak akan percaya kan? Aku juga baru menyadarinya. Selama berada di dekat kamu aku merasa nyaman dan tak ada yang lebih aku inginkan selain hal itu. Jadi, Mayang. Beri aku kesempatan untuk selalu di dekat kamu. Kita jalani hubungan yang lebih dari sekadar teman. Aku harap kamu bersedia."

Mayang terenyuh mendengar kalimat panjang Rico. Apapun yang hendak ia lontarkan beberapa saat lalu lenyap sudah.

"Co... Aku... Aku enggak tahu harus jawab apa." Hanya itu yang Mayang lontarkan.

"Kamu bisa mengambil waktu untuk berpikir."

"Tapi aku tak yakin kita akan mendapatkan kecocokan."

"Bukankah sejauh ini kita sudah begitu dekat."

Mayang mengangguk. "Aku tidak seperti kamu, Co."

"Maksudnya?" Rico menautkan alis tak paham.

"Aku bukan siapa-siapa, Co. Banyak gadis di luar sana yang memiliki segalanya. Seperti mantan-mantan pacar kamu dulu."

"Tapi mereka hanya berakhir menjadi mantan saja kan, Yang. Karena mereka enggak seistimewa kamu."

Mayang menggelengkan kepala.

"Aku tidak bisa, Co. Aku tidak berani."

"Tidak berani bagaimana? Sejauh ini kita nyaman kan saat bersama? Kamu jangan berpikir terlalu rumit, Yang. Kita adalah dua orang yang saling mengisi. Dari kamu aku banyak belajar tentang bagaimana menghargai hidup, bagaimana bersyukur dan bekerja keras. Pun sebaliknya kamu. Kamu sudah menjadi bagian keluargaku. Kami menyayangimu."

"Entahlah, Co. Aku masih tidak yakin."

"Yang, kita punya banyak waktu untuk meyakinkan hati kamu. Termasuk memupuk perasaan kamu."

Mayang menggeleng lemah, "Aku tahu ini tidak adil buat kamu. Apalagi saat ini adalah hari istimewa kamu. Tapi aku benar-benar tidak bisa, Co. Jujur saja aku menyayangi kamu. Aku merasa bahagia berada di dekat kamu dan keluarga kamu. Tapi aku rasa semua itu tidaklah cukup untuk menjadi alasan untuk menaikkan status kita."

"Lalu kenapa kamu bersikap seolah-olah kamu begitu mencintaiku, Yang? Jika bahkan untuk mencoba saja kamu enggan."

"Aku tidak bersikap seperti itu, Co. Apa yang aku lakukan sejauh ini karena aku nyaman berada di dekat kamu. Nyaman berada di sisi kamu."

"Lalu apa alasan kenyamanan kamu itu?"

"Karena kamu adalah temanku. Layaknya kakak bagiku."

"Hanya kakak, Yang?" ucap Rico memelas.

"Aku sayang kamu, Co."

"Tapi aku enggak cukup hanya dengan rasa sayang yang kamu miliki, Yang."

Mayang terdiam. Ia tak mampu menatap wajah kecewa Rico yang satu jam lalu masih berbinar bahagia.

"Aku ngerusak kebahagiaan ulang tahun kamu. Maafin aku, Co," ucap Mayang memelas.

Rico masih tak menjawab. Pemuda itu terlihat mencengkeram erat kemudi. Berusaha menahan emosi yang menjalar di dadanya.

"Rico..." Mayang kembali berucap. Jujur saja Mayang merasa begitu berat jika harus berjauhan dengan pemuda ini. Ia sudah begitu nyaman di dekat Rico. Namun, untuk rasa yang dinamakan cinta. Sedikit pun tak ada untuk pemuda ini. Hanya perasaan sayang yang mengakar di hatinya.

"Kamu enggak mau ngomong, ya? Enggak apa-apa. Aku tahu kamu perlu waktu. Lagi pula sekarang sudah malam. Aku masuk, ya. Kamu hati-hati di jalan." Setelah mengucapkan kalimat itu, Mayang bangkit dari jok yang ia duduki lalu mendekatkan kepala pada Rico yang masih mematung memegang roda kemudi, menatap lurus ke depan. Lalu sebuah kecupan Mayang daratkan di pipi pemuda itu.

"Selamat ulang tahun, Co. Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu," ucap Mayang lalu memutar tubuh untuk membuka gagang pintu. Namun, tiba-tiba saja Mayang merasakan tubuhnya terdorong. Menempel pada pintu. Lalu kejadian berikutnya benar-benar di luar dugaannya.

###
Nia Andhika
20012022

Masih ada yang nungguin cerita halu ini gak?
Enggak? 😆😆😆😆
Kasihan banget deh aku.

Seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya friends.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top