🌺 ꒰17꒱ :: Regret.

[Name] menatap bangunan bandara sedikit gelisah. Bibir bawah ia gigit, jari-jari tangan saling bertaut memainkan satu sama lain.

“Santai saja. Ini bukan pertama kalinya kita pergi, 'kan?” ucap Haruto. Tidak peka.

[Name] hanya menanggapi dengan senyuman. Lantas membuka pintu mobil dan keluar. Angin lembut menerpa wajahnya, agak menyejukkan. Namun, tidak berhasil menenangkan hatinya yang gundah.

Haruto pun hendak keluar. Namun, saat ia hampir membuka kunci pintu, suara dering ponsel bergetar dalam saku celananya, membuat ia berhenti bergerak. Memilih menarik benda pipih itu keluar, melihat nama sang penelepon.

Dewa.

“Kenapa ....” Haruto mengernyit. Lantas mengintip lewat jendela—yang tertutup—untuk melihat sang ponakan. Mendapatinya berdiri agak jauh dari mobil.

Haruto menerima telepon itu. Saat ia mendekatkan ponselnya ke telinga, suara berat mengalun dalam pendengaran. Terdengar begitu tenang, pembawaan yang bijak.

“Ada apa?” tanya Haruto. “Aku sudah mau berangkat.”

“Aku punya firasat tidak baik.

Haruto bersandar. Melirik [Name]. Gadis itu masih jauh dari mobil.

“Firasat apa?”

Jangan biarkan keponakanmu dan anak dari klan Gojo bertemu untuk terakhir kalinya. Sesuatu yang tak bisa kukendalikan adalah perasaan. Aku sendiri pun tak tahu ... apa yang akan terjadi jika saja mereka bertemu terakhir kali, berbicara mengenai perpisahan mereka. Terlebih, kedua anak itu dipastikan akan bertemu di masa depan.”

“Oh ... memangnya si Gojo mau ke sini?”

“Perasaan itu ... sulit untuk dilawan, Haruto.”

Suara sambungan telepon terputus masuk ke telinga. Haruto menjauhkan ponselnya dan menatap benda itu aneh. Kenapa Dewa langsung menghentikan pembicaraan dengan kalimat ambigu?

Apa itu artinya Gojo bakalan ke sini? batin Haruto. Menghela napas, juga mengusap tengkuk.

“Sesuatu yang bahkan Dewa tak bisa kendalikan, ya ....” Haruto berdiam diri sesaat. Lantas keluar dari dalam mobil.

Manusia punya perasaan. Itu artinya ... Beliau tak bisa mengendalikan semua manusia? Haruto mengernyit. Yah, dipikir bagaimanapun ... aku tak akan paham.

“[Name]-chan! Ayo ambil barang kamu!” teriak pria bermata hijau itu sembari melambai.

[Name] berbalik. Menyungging senyum sebentar, kemudian melangkah mendekat.

“Tapi ... bukankah kita terlalu cepat ke sini?” [Name] menarik kopernya. “Masih subuh banget, lho.”

“Tidak apa-apa. Menunggu lebih baik dibanding ketinggalan!”

꒰💧꒱

“Pukul enam, ya ....”

Gojo melirik jam dinding di kamarnya. Masih jam lima pagi. Pikirannya sudah dipenuhi oleh kepergian sang gadis. Apakah ia harus pergi untuk melihatnya terakhir kali?

“Memangnya hubunganku dengan dia apa? Teman juga bukan.” Gojo cemberut.

Ia menutup mata. Mencoba untuk tidur, mengalihkan pikiran dari [Name]. Namun, itu pilihan yang salah. Wajah sang gadis malah terbayang dalam pikiran, suaranya yang sedikit teredam karena bunyi kendaraan yang berlalu saat itu.

“SIALAN!” Gojo berdiri dari kursi. Kemudian mengusap surainya kasar. “Aku ini kenapa, sih?!”

Suara pintu yang diketuk menyapa pendengaran. Membuat Gojo menoleh ke arah penghalang ruangan itu. Mengizinkan siapa pun itu untuk masuk.

“Satoru.” Yaga berdiri di bingkai pintu.

“Oh ... Sensei?” Gojo memasukkan tangan dalam saku. “Ada apa ke sini?”

Yaga melirik jam dinding. “Kau tak pergi? Sudah hampir jam enam.”

“Untuk apa aku pergi? Dia bukan siapa-siapa buatku, tahu?” Gojo mengernyit. Cemberut juga.

“Kau bilang begitu setelah kemarin pergi seperti orang gila mencarinya, huh?” kata Yaga dengan nada sarkas. Padahal, ia lihat dengan jelas ekspresi Gojo saat dia bilang [Name] pindah hari ini. Lalu? Kenapa dengan remaja ini sekarang?

“Sudahlah. Kemarin aku cuma terkejut saja.”

“Itu bukan sekadar 'terkejut saja'. Satoru ... kau bukan orang yang akan memasang ekspresi seperti itu jika [Name] bukan siapa-siapa bagimu.”

Gojo bungkam.

Yaga menghela napas. “Sudahlah. Kalau kau memang tidak mau pergi. Aku tak akan memaksa, tapi ... jangan menyesal dengan keputusanmu ini.”

Jujur saja. Yaga jarang melihat interaksi Gojo dan [Name]. Ia bahkan tak tahu apa saja yang mereka sudah lakukan bersama. Namun, alasan kenapa Yaga bisa mengerti ... karena ia memahami Gojo. Sesederhana itu.

“Oh, iya. Aku hampir lupa.” Yaga merogoh sakunya.

Sensei kenapa belakangan ini jadi pikun, sih?” ucap Gojo dongkol.

“Maklum. Aku tidak semuda dirimu lagi.” Ia mengeluarkan sebuah gelang hitam berhias gantungan cokelat. “Ini dari [Name].”

“... Kau mau pamer benda itu padaku?”

“Tidak. Kenapa kau pikir aku akan memakai gelang ini?” Yaga mengulurkan benda itu. “Ini untukmu dari [Name]. Dia menitipkannya padaku.”

Gojo bergeming. Melihat gelang itu selama beberapa saat dengan pikiran kosong. Kenapa? Untuk apa gadis itu ....

“Dia tidak tahu kapan kiranya akan kembali ke Jepang. Karena [Name] menganggapmu penting, makanya ia memberikan ini sebagai kenangan.”

“Ha? Apa-apaan ....”

“Kau ini tidak tahu cara memperlakuk—”

Gojo menyambar gelang di telapak tangan Yaga. Lantas berlari kencang meninggalkan kamarnya.

“Susah sekali membujuk anak itu ....” Yaga menghela napas lelah.

꒰💧꒱

Haruto tersentak. Spontan menoleh ke arah jalan keluar area bandara—melalui jendela kaca bangunan. Firasat buruk mendatanginya. Sesuatu yang besar, hal yang sulit dihentikan.

Gojo, ya? batin Haruto. Lantas menatap sang ponakan yang tengah duduk di kursi. Melamun.

Pandangannya teralihkan pada jam tangan. 25 menit lagi mereka berangkat.

Dia tak akan sempat, sih. Sudah waktunya buat boarding, batin Haruto. Melangkah menghampiri [Name].

“[Name]-chan, ayo pergi. Sudah saatnya,” ucap Haruto. Menarik kopernya.

“Ah ... oke.” Gadis itu mengangguk.

Haruto menyentuh kedua bahu sang ponakan agar gadis itu tak bisa menoleh ke belakang. Mata hijau pria ini menilik area luar gedung ... di mana ia menemukan Gojo.

Perasaan itu ... memang luar biasa, ya? batin paman [Name]. Mengamati raut muka sang surai putih yang tak biasa.

Ah, perkataan Dewa benar. Beliau tak bisa mengendalikan perasaan seseorang.

Gojo menoleh kanan dan kiri. Beberapa kali melangkah dan kadang berlari hingga ia mencapai batas di mana orang yang bukan penumpang dilarang masuk.

Ia tak menemukan [Name].

Matanya melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan. Sudah pukul enam. Dia berlari dan mencari selama apa?

“Aku tak menemukannya ....”

Ia tidak menunduk, tapi surai putihnya berhasil menutup area mata hingga tak terlihat jelas ia mengukir ekspresi apa. Namun, perasaan di mana diri pernah ditinggal kembali menyergap. Kekosongan sekali lagi menghampiri dadanya. Menyesakkan.


Segala emosi itu menyadarkan dirinya. Memberi jawaban atas tingkah dan perasaan yang ia rasakan pada sang gadis dulu. Membuat pikirannya terbuka.

Perempuan itu penting untuknya.

Keegoisan membuatnya menolak kenyataan itu, dan ... dia menyesal sekarang.

Tangannya menggenggam erat gelang pemberian sang gadis. Ia masih bergeming, tak sedikit pun bergerak.

Gojo ... tenggelam dalam kesedihan. Untuk yang kedua kalinya.

Seorang pria—yang berada jauh dari Gojo—menghela napas. “Itulah sebabnya kalian berdua tak boleh bertemu sekarang.”

Laki-laki berambut emas yang digerai bebas, memakai kimono putih beserta mantel hitam. Berdiri di lantai dua bandara. Di mana ia dengan jelas dapat melihat Gojo di bawah sana.

Ia tersenyum. Ukiran yang begitu tenang. Ekspresinya pun tampak lembut. Membuat siapa pun akan nyaman melihat itu.

“Namun sayang sekali ... aku tak dapat mengendalikan perasaan manusia. Yah, ikatan kedua anak itu pun sangat kuat, baik di masa lalu, maupun di masa sekarang,” katanya dengan nada ringan.

Pria itu tak memiliki nama. Namun, orang-orang yang dapat 'melihat' lelaki ini memanggilnya ...

“Dewa.”

“Hm?”

Beliau menoleh. Menemukan salah satu utusannya berdiri tak jauh darinya.

“Sudah saatnya kita pergi. Haruto sudah menyelesaikan tugasnya, bukan?” kata lelaki bersurai pirang.

“Ah, baiklah.” Dewa berbalik, tapi untuk terakhir kalinya melirik ke arah remaja surai putih. “Mulai sekarang, kamu harus melalui semuanya sendirian. Tanpa adanya sandaran, sampai waktunya tiba, Nak.”

Beliau beranjak. Tangannya saling menggenggam di punggung. Berjalan penuh wibawa.

“Sampai jumpa di waktu yang akan datang, Penyihir Terkuat. Gojo Satoru,” ucap Dewa untuk terakhir kalinya.

CHAPTER YANG KUTUNGGU-TUNGGU EHE :333

Dewa muncul, Guys.

Btw, aku lagi ujian 😭😭😭

Ann White Flo.
29 November 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top