🌺 ꒰07꒱ :: Satu pertanyaan.
Beberapa saat lalu. Di gedung asrama SMK Jujutsu.
Gojo duduk di anak tangga luar gedung asrama. Mendongak, melihat langit malam. Menikmati kesejukan dari angin yang berembus lembut.
“Satoru? Apa yang kau lakukan di situ? Kupikir kau berada di rumahmu.”
Si surai putih menoleh. Menemukan Geto berdiri di anak tangga paling atas. Rambutnya ia gerai, juga memakai kaos warna putih.
“Kau sudah pulang dari misi ternyata,” ucap Gojo. Mengalihkan pandangan. “Aku datang mau nongkrong denganmu.”
“Ho ....” Geto turun. Lantas duduk di anak tangga pula—di samping Gojo.
“Sudah berapa kali kita nggak melakukan misi bareng, ya?” Gojo mengernyit.
“Entahlah. Dengan kemampuanmu yang sekarang, kau sudah bisa menyelesaikan semua sendirian.” Geto tersenyum kecil.
Ia tiba-tiba mengernyit. Ah, tak ada lagi julukan Duo Terkuat. Sekarang hanya ada ...
... Gojo yang terkuat.
“Suguru, aku punya firasat buruk.”
Geto membelalak. “Huh?”
“Entah untuk siapa ..., tapi sesuatu yang besar benar-benar akan terjadi.”
“Yah, kau percaya diri sekali, ya.”
“Ha?”
“Tidak ada.” Geto mendongak. “Omong-omong, kau masih kepikiran [Name]?”
“Sekarang pun aku tetap memikirkannya.”
Geto terkekeh. “Kau terdengar seperti seseorang yang lagi jatuh cinta.”
Ia langsung bungkam sesaat setelah merasakan aura mencekam. Sedikit meringis dan tertawa kecil, lantas berkata, “Baiklah. Maafkan aku, Satoru.”
“Tidak mungkin aku merasakan itu. Kau pikir aku ini apa?”
“Kau juga manusia, Satoru.”
Gojo bungkam. “Firasatku sangat buruk, Suguru.”
“Begitu.”
“Rasanya aku mau lari dan mengecek gadis itu.”
Geto kembali membelalak. Lantas melirik Gojo. Mendapatinya mengernyit, wajahnya pun mengeras.
“Aku pergi dulu!” Gojo berlari. Meninggalkan Geto ...
... pria yang sedang terperangah itu.
꒰Flashback end꒱
“Terima kasih lagi, Kak.”
[Name] melirik Gojo. Hendak melihat ekspresinya. Namun, surai putih lelaki itu menutupi bagian mata—ditambah kacamata hitam hingga membuat diri tak bisa menangkap raut wajah pria itu.
Sang gadis menghela napas. Mengalihkan pandangan ke pagar rumah. Ia berterima kasih sekali lagi pada Gojo karena telah mengantarnya.
“Aku mau pergi. Kau juga masuk saja. Dadah.” Gojo berbalik. Beranjak dengan santai.
“Kakak ... percaya reinkarnasi?”
Gojo sedikit tersentak, juga berhenti melangkah. Berbalik untuk menatap sang gadis. Menemukannya melempar pandangan serius.
“Kenapa bertanya hal aneh seperti itu?” tanya Gojo.
[Name] menggeleng. “... Kemarin aku baca buku dan tertarik dengan temanya. Karena itu aku bertanya pendapat Kakak.”
Gojo memutar tubuh, membelakangi [Name]. “Yah ... penyihir saja ada di dunia. Orang yang bereinkarnasi bukan sesuatu yang mustahil untuk terjadi ... kupikir.”
“Oh.”
[Name] menatap kepergian pria itu. Setelah dia menghilang sesudah berbelok, sang gadis buru-buru membuka pagar dan masuk area pekarangan. Berlari ke arah pintu dan membuka, segera menuju ruangan Haruto.
“PAMAN!”
Haruto—yang sedang mewarnai buku gambar—tersentak. Bahkan menyentuh dada dengan satu tangan saking terkejutnya.
“[Name]-chan?!”
[Name] meringis. “Maaf, aku tak mengira Paman bakalan kaget ....” Ia mendekat dengan hati-hati, dan menatap buku gambar juga pensil warna di meja depan Haruto.
“Ah, tak masalah ..., tapi tumben kamu buru-buru begitu?” Haruto mengelus dada. Menenangkan detak jantungnya yang kencang sebab terpacu adrenalin.
“Paman mewarnai?” tanya [Name] sembari duduk.
“Iya, pelepas stres.” Haruto mengambil pensil berwarna merah, lantas kembali melakukan kegiatannya. “Jadi? Kenapa kamu keliatan buru-buru begitu?”
“Aku punya pertanyaan.”
“Pertanyaan apa?”
“Selama aku sekolah ... kak Gojo selalu bereaksi aneh tiap aku dalam bahaya.”
Haruto bungkam.
“Aku sangat yakin dia seorang reinkarnasi. Maksudku ... seseorang tetap bisa dikatakan reinkarnasi walau dia tak mengingat kehidupan sebelumnya, 'kan?”
Ini hanyalah pikiran liar sang gadis. Ia tak punya bukti, cuma mengandalkan firasat dan penilaian. Namun, bisa saja seseorang lahir kembali, bereinkarnasi, tanpa tahu ia punya kehidupan sebelumnya, bukan?
“Aku yang mengingat kehidupanku dulu bisa dikatakan sebagai keberuntungan, 'kan?” Mata [Name] tampak berbinar. Ia sedikit menemukan jawaban—jika perkiraannya yang tiba-tiba ini benar. “Kalau begitu, kak Gojo termasuk orang yang tidak ingat, dong?”
Haruto mengatup bibir. Membahas ini membuat suasana hatinya jadi buruk. Yah, dia punya masalah yang belum selesai dan berkaitan dengan [Name] dan Gojo.
Namun ... melihat Sang Keponakan begitu bersemangat seperti ini ... membuat nuraninya sakit.
Aduh, tidak tahan aku. Haruto rasanya ingin menangis.
“Omong-omong, kenapa [Name]-chan memusingkan hal itu?” tanyanya dengan nada pasrah.
[Name] mengerjap. Kenapa dia memusingkan hal ini? Tentu saja. Dia sangat bingung dengan tingkah aneh Gojo. Semua perasaan khawatir pria itu, sungguh membuatnya bertanya-tanya.
“Kak Gojo ... sangat peduli padaku, tapi anehnya dia juga bingung dengan perasaannya sendiri.” Tangan [Name] mengepal. Mengingat kejadian tadi ... di mana Gojo berteriak kasar padanya karena kebingungan.
“Wajar saja. Anak itu aneh sekali, tahu?” balas Haruto malas.
“Lalu? Apa pendapatku tentang reinkarnasi tanpa mengingat kehidupan lalu itu benar?” [Name] memiringkan kepala.
Haruto menopang dagu. “Yah, seseorang dikatakan reinkarnasi jika jiwa mereka masuk ke dalam tubuh baru dan terlahir. Mengingat kehidupannya dulu atau tidak, itu tergantung takdir.”
Tapi dalam kasus [Name] dan Gojo ... hanya ada satu orang yang mengingat. Padahal ... mereka diberi kesempatan untuk mewujudkan cinta baru, bukan? Haruto mengernyit. Apa aku harus jadi Mak comblang?
Ia bersedekap. Atau maksud dari cinta baru itu ....
“Paman kenapa?”
Haruto tersentak. “Oh, tidak apa-apa.”
“Omong-omong, selain mengingat. Apa perasaan seseorang dari kehidupan sebelumnya juga tersalurkan pada kehidupan yang baru? Seperti ... perasaan lama yang hidup kembali.”
“Bisa.” Haruto mengambil pensil warna biru. “Kita hanya punya satu jiwa. Saat bereinkarnasi, jiwa kita masuk ke tubuh baru. Semua perasaan yang ada dalam jiwa itu pun akan terbawa juga.”
[Name] membelalak. “Apa itu sebabnya kak Gojo bereaksi aneh tiap aku berada dalam radarnya? Karena aku punya hubungan dengannya di masa lalu?”
Ah ... anak ini sudah tahu terlalu jauh. Mari kita hentikan. Haruto meletakkan pensil warna biru itu agak kasar. Lantas menyungging senyum hingga mata tertutup. “Entahlah. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang takdir.”
Yah, tidak ada yang tahu ... selain utusan Dewa.
꒰꒰꒱꒱
“SUGURU! AKU JADI ANEH BENERAN?!”
“... Huh?”
“Ha?” Gojo mengernyit. Lantas menghampiri sang kawan yang tengah duduk di anak tangga gedung asrama. “Kau kenapa? Keliatan murung begitu?”
“Ah.” Geto tersenyum. “Bukan apa-apa. Omong-omong, tadi kau bilang apa?”
Aneh, padahal aku tadi sudah berteriak keras. Gojo mengusap tengkuk. “Saat aku pergi tadi ... aku kepikiran [Name] lagi dan malah menemukannya dikepung preman brengsek.”
“Oh ....”
Gojo duduk di samping Geto. “Dan aku berteriak keras padanya.”
“Eh? Kenapa?” Geto mengerjap.
“Yah ... refleks saja. Aku benar-benar tak bisa mengendalikan diriku untuk tidak bertanya pada dia.” Gojo merebahkan tubuh. Menatap langit malam berhias bulan.
“Begitu, ya ....”
Gojo melirik sang kawan. Menemukan lelaki itu menunduk, rambutnya menutupi wajah hingga Gojo tak bisa melihat ekspresinya.
“Hei, kau baik-baik saja? Tumben sekali kau murung begini.” Gojo bangun, tak jadi bersantai. Melempar tatapan khawatir pada Geto.
“Aku hanya kelelahan. Satoru, aku akan masuk duluan. Selamat malam.” Geto berdiri. Lantas melangkah pergi.
Aneh ... kenapa dia tiba-tiba begitu? Padahal tadi baik-baik saja .... Gojo mengernyit. Ia punya firasat buruk.
Ah, ternyata ... firasat buruknya belum hilang.
Aku nggak tahu, ya, Gojo pas SMA tuh tinggal di mana, tapi di sini ... anggap saja dia tinggal di kediamannya.
Omong-omong, Abang Suguru 🥺
Ann White Flo.
8 Oktober 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top