TIGA BELAS

Dukung aku untuk terus bisa menayangkan cerita gratis dengan membaca ikavihara yang lain di aplikasi Gramedia Digital(Fiction package Rp 45.000 bisa baca novel sepuasnya selama sebulan), Google Play, maupun meminjamnya di aplikasi iPusnas milik perpustakaan nasional. Buku-bukuku juga tersedia di toko-toko buku kesayanganmu. Ada juga di Shopee/Tokopedia ikavihara. Sebab untuk menulis cerita aku perlu biaya, untuk riset dan banyak lagi. Uangnya kudapat dari penjualan karya sebelumnya :-)

Love, Vihara(IG,FB,Twitter,TikTok ikavihara, WhatsApp 0895603879876)

***

Melihat Jeff hendak membuka mulut, Renae mengangkat kedua tangannya, melarang Jeff bicara. "Aku bercerai denganmu demi kebaikanmu. Aku nggak mau membuatmu memilih antara aku atau ibumu. Sepanjang pernikahan kita, aku terus mengutamakan kebahagiaanmu dan sekarang, setelah aku bebas, aku nggak akan lagi melakukannya."

"Memilih? Kenapa aku tidak sadar kalau aku harus memilih, Renae? Aku mencintaimu dan aku juga mencintai Mama, semua laki-laki melakukan itu."

"Saat kamu menolak memberi pengertian kepada ibumu, bahwa aku akan hamil atau nggak itu kehendak Tuhan, dan malah menyuruhku diam dan bersabar menghadapi ibumu, itu artinya kamu memilih ibumu. Jangan pura-pura lupa, Jeff! Selama dua tahun sebelum aku hamil, aku menangis setiap habis bertemu ibumu.

"Kamu dengar. Kamu lihat. Ibumu sengaja membuatku terlihat seperti wanita yang nggak berguna. Istri yang nggak memberi nilai tambah apa-apa padamu. Pada anaknya yang sempurna. Tapi apa yang kamu lakukan? Nggak ada! Kamu nggak menegur ibumu! Kamu nggak membesarkan hatiku! Kamu nggak melakukan apa-apa!

"Padahal aku sudah membuatmu bahagia. Aku memudahkan hidupmu. Aku melakukan segalanya untukmu. Aku berkontribusi atas kesuksesanmu. Aku bersamamu saat kamu menjamu orang-orang kaya dan pasangan mereka dari seluruh Indonesia dan dunia. Di sini, di luar negeri. Karena aku pandai mengambil hati orang, membuka mata mereka untuk melihat diri suamiku dari sisi yang lain.

"Aku menunjukkan kepada mereka bahwa kamu bisa dipercaya. Kalau istrimu saja memercayakan hidup dan kebahagiaannya kepadamu, mereka akan yakin memercayakan uangnya kepadamu. Tapi apa itu semua itu cukup di mata ibumu?

"Nggak! Nggak peduli gimana aku berusaha keras meninggikan nama baikmu, nama baik keluargamu, nggak peduli aku jadi istri yang baik untukmu, yang tetap mencintaimu dalam kondisi apa pun, itu semua nggak berarti apa-apa di mata ibumu. Karena aku punya satu cacat besar; aku nggak bisa kasih kamu anak!

"Kamu dengar ibumu menghinaku, kamu dengar ibumu mengatakan lebih baik kamu menikah dengan wanita bodoh, wanita yang nggak bisa membawa diri di depan orang kaya dari negara gurun. Asalkan wanita itu bisa memberimu anak segera setelah menikah. Tapi kamu diam, nggak melakukan apa-apa! Kamu nggak membelaku!"

"Renae, aku—"

"Aku bukan pohon, Jeff." Renae tidak memedulikan tanggapan Jeff. "Yang nggak bisa pindah dari lingkungan yang nggak membuatnya tumbuh subur menghijau. Aku manusia! Aku punya pilihan untuk mejauhi sumber racun! Menjauh dari orang-orang yang menjatuhkan kepercayaan diriku, yang membuatku merasa menjadi wanita paling nggak berharga di dunia. Aku memang pernah mencintaimu. Tapi sekarang aku lebih mencintai diriku sendiri."

***

Akan sangat sempurna jika dua orang manusia bisa menjalani hubungan tanpa gangguan dari masa lalu. Kalau masing-masing pihak tidak punya mantan kekasih. Sayangnya, kondisi ideal semacam itu jarang terjadi pada seseorang yang sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun. Salah satu di antara mereka bahkan mungkin telah pacaran lebih dari satu kali. Atau sudah pernah menikah. Yang lebih tidak menyenangkan daripada itu semua adalah, mantan pacar tinggal sekota. Mantan suami, kalau dalam kasus Renae. Sehingga tidak akan mungkin hidup seseorang sepenuhnya lepas dari mantan kekasih yang pernah mengisi hati dan hidup mereka.

Halmar bisa membaca arti tatapan Jefferson kepadanya tadi. Sekarang boleh saja dia bersamamu, tapi lebih dulu dia adalah milikku, semacam itu kira-kira kalau diterjemahkan. Mantan suami Renae itu beruntung Halmar ingat nasihat ayahnya; jika kamu menganggap sesuatu—atau seseorang—tidak lebih dari sekadar sampah, jangan mengotori tanganmu dengan menyentuhnya. Kalau tidak, Halmar sudah menghancurkan rahang laki-laki tidak tahu diri itu.

Apa laki-laki tidak tahu diuntung itu menganggap Renae sama dengan sebuah barang, yang akan kehilangan separuh atau sebagian banyak nilai ketika tidak lagi terpakai? Harganya turun ketika jatuh ke tangan pemilik kedua? Jadi Jefferson merasa dirinya lebih baik daripada laki-laki mana pun karena dia menikahi Renae untuk pertama kali, lalu menganggap suami Renae berikutnya hanya mendapatkan sepahnya? Benar-benar tidak bisa dipercaya! Bagaimana Renae bisa jatuh cinta pada laki-laki seperti itu, menikah lebih-lebih, Halmar tidak habis pikir.

Seandainya saja laki-laki kurang ajar itu tahu bahwa kualitas Renae sudah meningkat beberapa derajat, setelah berhasil melalui semua cobaan. Cobaan bernama Jeff dan keluarganya, yang merasa diri mereka adalah manusia paling sempurna di dunia. Manusia yang tidak memiliki cela apa-apa. Dari mana Halmar tahu? Tentu saja dia sudah mengorek keterangan dari Alesha. Meskipun harga yang dibayar tidak murah. Untuk sebuah informasi yang tidak mendetail, selama satu jam penuh Halmar harus mendengarkan ceramah Alesha—disertai ancaman—untuk tidak menyakiti Renae baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Atau Halmar harus berhadapan langsung dengan Alesha.

"Apa dia sering menemuimu?" tanya Halmar begitu Renae kembali ke lantai dua.

Renae memasukkan tablet dan benda lain ke tas besarnya. "Setelah bercerai, itu pertemuan kedua kami. Aku juga nggak ingin ketemu dia. Tapi kayaknya sulit. Nggak mungkin aku melarangnya beli barang di sini. I could use some money."

Renae tidak menikmati pertemuan dengan mantan suaminya. Justru Renae terganggu. Semua bahasa tubuh Renae menunjukkan demikian. Dan Halmar, sebagai laki-laki dewasa, berusaha tidak memperlihatkan insecurities ketika tahu Renae masih berkomunikasi dengan mantan suaminya. Karena Halmar yakin dirinya lebih baik daripada Jefferson. Kalau Jefferson adalah laki-laki terbaik di dunia, Renae pasti tidak bercerai dari Jefferson.

"Apa kamu akan menganggapku keterlaluan kalau aku bilang aku bahagia kalian bercerai?" Halmar mendekati Renae. "Karena dengan begitu, aku jadi punya kesempatan bersamamu. Untuk mendapatkan hatimu."

Renae berdiri tegak dan menarik napas. "Bersama ... as in ... exclusive relationship?"

"Aku nggak melihat adanya kemungkinan lain, kecuali kamu mau menikah denganku." Jika Renae bilang sudah siap menikah, Halmar akan melakukannya besok.

"Halmar...," bisik Renae penuh permohonan. "Aku masih patah hati. Perasaanku sedang rapuh karena ... aku baru kehilangan orang-orang yang berarti dalam hidupku. Aku nggak ingin menambah rumit dengan ... menerima ajakanmu untuk memulai hubungan serius. Bukan berarti karena kamu menganggap aku wanita yang tangguh, lalu kamu boleh mengetes seberapa kuat aku untuk ... menghadapi patah hati lagi." Perkenalan mereka terjadi sekitar tiga bulan setelah perceraian Renae dan pertemanan mereka sudah berjalan hampir setengah tahun. Cukup lama, namun Renae tidak ingin tergesa-gesa membuat keputusan yang melibatkan keselamatan hatinya.

"Jadi selama ini kamu pikir aku jauh-jauh menemuimu, berusaha keras masuk ke hidupmu, hanya untuk menyakitimu? Untuk mematahkan hatimu?" Halmar tersinggung mendengar asumsi Renae. "Selama ini kamu selalu berprasangka buruk padaku?"

"Aku nggak tahu, Halmar. Aku hanya takut aku—"

"Aku menyukaimu, Renae. Sangat ... menc ... menyayangimu." Sayang. Halmar sengaja memilih kata tersebut. Sebab mengucap cinta sekarang hanya akan membuat Renae ketakutan dan semakin meninggikan pagar berduri—lengkap dengan aliran listrik—di sekeliling hatinya. "Aku nggak akan menyakitimu. Kamu harus percaya. Karena menyakitimu sama dengan menyakiti diriku sendiri."

"Halmar—"

"Kendali kuserahkan padamu. Kamu boleh menentukan berapa kecepatan yang kamu inginkan. Mau pelan-pelan atau secepat kilat perkembangan hubungan kita, terserah kamu. Aku akan mengikuti. Nggak masalah kalau kamu nggak bisa memberikan hatimu padaku. Tapi aku minta waktu darimu. Waktu dan kesempatan. Apa kamu akan memberikannya padaku?"

Renae menunduk, tidak mau menatap mata Halmar. Atau dia akan menyetujui apa saja yang diminta Halmar. "Masih ada residu dari pernikahanku dengan Jeff. Nggak akan adil untukmu, kalau aku menerima perasaanmu, sedangkan aku nggak bisa membalasnya. Hatiku belum sepenuhnya kembali padaku."

"Aku akan membersihkan sisa sampah itu." Halmar menangkup wajah Renae dengan kedua telapak tangan. Memaksa Renae untuk menatap tepat ke pusat kedua bola mata Halmar. "Hatimu yang patah itu, aku juga akan memperbaikinya. Aku akan mengobati lukamu. Aku akan membuatmu tersenyum kembali."

Halmar berharap Renae bisa membaca kesungguhan di mata Halmar. Kesungguhan dan janji. Bahwa Halmar tidak punya tujuan selain membahagiakan Renae. Selama satu menit Halmar tidak melepaskan pandangannya dari wajah Renae. Wajah yang, sejak pertemuan terakhir mereka, sebelum Halmar kembali ke Swedia, terus menghiasi siang dan malamnya.

Kedua ibu jari Halmar mengusap lembut air mata yang kini mengalir di pipi Renae.

"Aku akan membuat hatimu utuh kembali," bisik Halmar. "Yang sudah dia ambil darimu, apa pun itu, aku akan menggantinya. Dengan sesuatu yang baru. Yang lebih baik. Yang lebih indah. Yang aku perlukan hanya satu. Kesempatan darimu."

***

Catatan:

HALMAR, kalau Renae nggak mau, aku mau hahaha. Uhuhuhu Halmar itu ngeselin tapi sweet gak sih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top