SEPULUH
"Semua ini sulit untuk kita terima, Halmar. Papa hidup serumah dengan Mama, tapi nggak pernah tahu Mama sakit. Bahkan Mama sendiri, beliau nggak tahu kalau sedang sakit. Bukan Elmar nggak meminta Mama untuk berobat ke luar negeri.
"Elmar sudah menawarkan, sudah mencari tahu, sudah siap berangkat kapan pun Mama mau. Tapi memang Mama ingin berobat di sini. Nggak mau jauh dari rumahnya. Dari orang-orang yang mencintainya. Jadi, Halmar, jangan menyalahkan siapa-siapa, bahkan dirimu sendiri. Jangan. Oke? Itu sangat ... tidak sehat.
"Mama nggak suka melihat anak-anaknya nggak akur. Berpura-pura baik kepada satu sama lain, tapi di dalam hati menyimpan benci. Aku akan menyarankan pada Elmar supaya dia bicara padamu, dari hati ke hati. Saat dia melakukannya, Halmar, aku harap kamu bisa menerima niat baiknya dengan pikiran terbuka. Suatu hari nanti semoga kalian akan saling memaafkan."
***
"Sorry, Re, aku telat." Jeff menarik kursi dan duduk di depan Renae. "Ada kecelakaan tadi dan harus mutar cari jalan lain. Kamu sudah pesan?"
Renae tersenyum dan menunjuk gelas di depannya. "Cuma minum."
"Mau bicara dulu, apa makan dulu?"
"Kita bicara dulu. Sambil pesan makanan, kayaknya nunggunya agak lama." Kalau sedang ingin makan dengan santai, tidak berpakaian terlalu bagus dan formal, dulu Renae dan Jeff selalu datang ke sini. Restoran yang menyediakan makanan-makanan khas Indonesia. Dari ujung barat hingga timur.
"Gimana kabarmu, Re?" tanya Jeff setelah mereka memesan makanan.
"Baik." Renae diam sejenak. "Tadi aku ke makam Maika."
"Aku juga ke sana tadi sore." Jawaban Jeff di luar dugaan Renae, yang berpikir Jeff tidak pernah ke sana. "Aku tidak akan pernah melupakan Maika, Renae. Maika anak pertamaku. Akan selalu menjadi yang pertama. Dia ... sangat berarti."
Nama Maika tercetus begitu saja dari bibir Renae ketika terpaksa melahirkan anaknya empat bulan lebih cepat. Jeff tidak memiliki usulan nama dan menyetujui nama dari Renae. Setelah menerima surat keterangan lahir dari rumah sakit dan mengumpulkan saksi, Jeff mendaftarkan anak mereka untuk mendapatkan akta lahir. Semakin cepat terdaftar, semakin cepat pula hak-hak Maika dijamin negara. Namun sayang, belum sempat Renae melihat dokumen tersebut, Maika sudah lebih dulu pergi.
Selain akta kelahiran, kini Maika juga memiliki sertifikat kematian. Renae menelan ludah, berusaha membersihkan kerongkongannya yang mendadak tersekat. Pada minggu kedua puluh empat kehamilan, Renae melahirkan anaknya. Bukan tidak ada upaya untuk mempertahankan agar bayi tersebut tetap berada di Rahim ibunya, tapi apa daya, tubuh Renae berkata lain. Dokter juga tidak pesimis, Maika memiliki kesempatan hidup di atas lima puluh persen walaupun lahir sangat prematur. Katup jantung Maika, yang tidak bisa membuka dan menutup dengan benar, bisa diperbaiki melalui operasi. Namun, paru-paru Maika berhenti berfungsi dua kali. Infeksi pada saluran pernapasanlah yang akhirnya mengakhiri hidup Maika.
"Kehilangan Maika nggak mudah juga untukku, Re. Hatiku hancur saat aku menguburkan anak kita. Aku ingin ikut mati bersamanya. Aku merasa nggak berguna karena nggak bisa melindungi kalian berdua." Jeff meraih tangan Renae, lalu menggenggamnya. "Aku nggak melakukan apa-apa untuk membebaskanmu dari rasa sakit itu ... untuk membahagiakanmu dengan ... membuat Maika tetap hidup. Ada banyak hal yang kusesali. Sering aku berharap seandainya semua berbeda."
"Semua itu sudah berlalu, Jeff. Aku nggak ingin menangis lagi. Kalau mata kita terus penuh dengan air mata, bagaimana kita akan bisa menatap masa depan dengan jelas?" Renae mengulang salah satu nasihat ayahnya. Air mata memang masih sering menggenangi wajah Renae, tapi tidak setiap saat seperti dulu.
"Apa artinya masa depan kalau aku nggak bisa bersamamu, Re?"
"Jeff...." Renae menatap mantan suaminya putus asa, setelah menarik tangannya. "Masa depanmu memang harus kamu lalui tanpa diriku. Aku nggak akan kembali padamu. Kita nggak akan kembali bersama. Aku nggak mau menjalani hidup dengan dibebani harapan ibumu yang nggak bisa kupenuhi."
Seandainya Jeff tahu apa yang dikatakan ibunya kepada Renae di rumah sakit, sesaat setelah Maika meninggal.
"Dulu Mama kira dengan menikahi wanita yang jauh lebih muda, Jeff bisa punya dua atau tiga anak. Ini satu saja tidak beres. Apa kamu tidak sadar, Renae, umur suamimu semakin bertambah? Apa kamu ingin waktu anak kalian lahir, dia sudah terlalu tua? Kalau kamu memang tidak bisa segera memberikan anak, Renae, berikan kesempatan kepada wanita lain. Berpisah saja, biarkan Jeff mencari istri lain."
Saat itu luka di hati Renae sangat baru dan menganga lebar setelah kematian anaknya. Ibu mertuanya, sesama wanita, sesama seorang ibu, justru tega menabur garam di atasnya. Wanita mana yang tidak ingin ikut merangkak ke liang lahat dan tidak keluar dari sana selama-lamanya, ketika di tengah rasa duka karena ditinggal mati anaknya, masih saja dipersalahkan karena dinilai tidak becus mempersembahkan satu anak yang sehat dan hidup?
Tetapi Jeff tahu pun tidak akan berdampak apa-apa. Semenjak ibunya terkena serangan jantung ringan, Jeff tidak mau mendebat ibunya. Setiap kali Renae mengeluhkan perkataan dan perlakuan ibu mertuanya yang menyakitkan, Jeff meminta Renae mengalah dan bersabar. Jeff tidak berupaya membela Renae. Bahkan menurut Renae, Jeff sengaja membiarkan Renae dipersalahkan atas tidak kunjung hadirnya anak dalam pernikahan mereka. Dengan begitu nilai Jeff tetap sempurna di mata ibunya.
Kalau menilik sejarah, menurut Renae, pihak Jeff-lah yang sulit memiliki anak. Kakek Jeff dari pihak ayah hanya punya satu anak. Ketika ayah Jeff menikah, juga hanya punya satu keturunan, Jeff saja. Sedangkan di sisi Renae, banyak anak dilahirkan. Kakek Renae dari pihak ibu maupun ayah masing-masing punya enam dan lima anak. Kedua orangtua Renae memiliki tiga orang anak. Renae tahu itu semua, bisa jadi, tidak ada pengaruhnya terhadap masalah sulit hamil yang dia alami. Namun demi menghibur diri sendiri setelah mendengar kalimat tak mengenakkan dari ibu mertuanya, Renae mengingat fakta tersebut.
Tidak ada gunanya Renae berdebat dengan ibu Jeff atau yang lain. Sebab di dunia ini, mau siapa pun yang kurang sempurna organ reproduksinya, tetap istri yang dilabeli gagal—mandul—oleh orang-orang berpikiran sempit itu. Kenapa orang sulit sekali menerima, bahwa sangat mungkin seorang laki-laki tidak memproduksi cukup sperma yang mampu bertahan lama hingga berhasil membuahi sel telur istrinya?
"Jadi, kita mau ngomongin apa, Jeff? Masalah rumah? Aku sudah bilang terserah kamu mau diapakan. Dulu kamu yang membelinya. Pakai uangmu." Dalam pesan yang diterima Renae tadi, Jeff bilang ingin membicarakan suatu hal penting. Apa pun itu, Renae ingin segera menyelesaikan urusan dengan Jeff dan kembali ke toko.
"Aku masih tinggal di sana. Belum siap menjualnya. Tinggal di sana membuatku merasa ... dekat denganmu." Karena tidak ada tanggapan dari Renae, Jeff melanjutkan. "Apa kamu ingat, Re, setiap ulang tahunmu dan ulang tahun pernikahan kita, aku membeli saham atas nama dirimu? Berapa jumlah totalnya, kamu masih ingat?"
Renae mengangguk. Walaupun selama ini Renae tidak pernah berusaha mencari tahu seperti apa keuntungan atau kerugian yang dia derita, apakah portofolionya terbakar atau bagaimana, tapi Renae ingat jumlah awalnya. Selebihnya Renae tidak memeriksa. Karena dia memercayakan segalanya kepada Jeff.
"Selama kita menikah, aku yang jadi financial advisor dan investment manager untuk uangmu. Sekarang, apa kamu masih ingin aku mengelola investasimu? Atau kamu ingin memindahkan kepada orang lain, Aleks mungkin?" Jeff, dan salah satu sepupunya, Aleks, awalnya bersama-sama mengelola investasi keluarga besar mereka. Lambat laun mereka dipercaya banyak orang dan memiliki badan hukum sendiri.
Tidak ada alasan untuk tidak memercayakan saham tersebut kepada Jeff. Seandainya Jeff menggelapkan uang tersebut juga tidak masalah. Karena pada dasarnya semua itu milik Jeff. "Aku ingin kamu tetap mengelolanya. Kecuali kamu nggak mau."
"Aku hanya berpikir ... mungkin kamu nggak ingin berurusan denganku lagi." Jeff berhenti bicara karena pelayan meletakkan makanan di meja.
"Masalah saham itu nggak setiap hari kita harus mendiskusikannya, kan?"
Jeff tidak mengatakan apa-apa.
Renae berusaha memasukkan makanan, sedikit demi sedikit, ke dalam mulutnya. Setiap kali makan bersama Halmar, Renae selalu bisa menghabiskan isi piringnya. Tetapi duduk bersama Jeff dan membicarakan masa lalu membuat Renae teringat wajah Maika sebelum dikafani. Sedari tadi Renae menghindari bertatapan terlalu lama dengan Jeff. Atau Renae tidak akan bisa tidur nanti malam. Di mata Renae, wajah Maika mirip sekali dengan Jeff.
Ponsel Renae di dalam tas berbunyi pendek. Renae memeriksa sebentar. Siapa tahu Rima membutuhkannya di toko. Hari ini hari orang gajian. Biasanya La Papeterie ramai dikunjungi pegawai yang ingin membeli alat tulis untuk memberi penghargaan kepada diri sendiri, supaya lebih bersemangat bekerja di bulan baru nanti. Tetapi bukan Rima yang mengirim pesan.
Senyum Renae mengembang tanpa bisa dicegah ketika melihat nama Halmar tertera di layar ponselnya. Setiap hari Halmar mengingatkan hari Minggu nanti mereka akan 'jalan-jalan tapi bukan kencan'. Judul acaranya menggelikan sebab Halmar bersikeras mereka berkencan tapi Renae tidak mau memaknainya lebih dari sekadar jalan-jalan bersama teman.
Namun kali ini bukan itu pesan yang dikirim Halmar
Did you smile when you saw my name pop up on your phone just now?
Tidak penting sama sekali. Memang Halmar sering mengirim pesan remeh seperti itu kepada Renae. Kadang berisi gambar meme, kadang tautan video lucu, kadang pertanyaan yang tidak perlu dijawab seperti di atas, dan banyak lagi. Semuanya selalu berhasil membuat senyum di bibir Renae terbit.
"Dari siapa, Re?"
Renae menyimpan kembali ponselnya dan tidak menjawab pertanyaan Jeff. Sebab Renae tidak punya kewajiban untuk melapor kepada Jeff dengan siapa Renae berteman.
"Apa dulu kamu tersenyum seperti itu juga saat menerima pesan dariku, Re?"
"Kalau kita sudah selesai, Jeff, aku harus pergi." Renae bangkit dari duduknya.
Sia-sia waktu yang terbuang untuk bertemu Jeff hari ini. Kalau hanya untuk bertanya apakah Renae akan terus memakai jasa Jeff terkait investasi, kenapa Jeff tidak menuliskan di WhatsApp atau menelepon Renae saja? Dengan begitu mereka tidak perlu buang-buang bensin. Dan Renae tidak perlu lelah batin karena teringat masa lalu.
Jeff menyentuh tangan Renae. "Kalau kamu punya kekasih baru, Re, apa kamu akan memberitahuku lebih dulu? Jadi aku bisa langsung tahu darimu, bukan dari orang lain?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top