SEBELAS
Halo, teman. Tanggal 26 Agustus kemarin adalah hari ulang tahunku. Dan aku ingin membagi keseruan denganmu, yaitu dengan memberikan 2 buku A Wedding Come True kepada 2 orang yang beruntung. Untuk bisa berpeluang mendapatkannya, kamu cukup menuliskan kalimat positif, nasihat, harapan, untukku di instagram ikavihara. Cari foto buku A Wedding Come True dengan tulisan give away ya.
A Wedding Come True itu cerita dengan tokoh utama Elmar--kakaknya Halmar--dan Alesha--sahabatnya Renae. Cerita pernikahan mereka fenomenal hehehe.
Semoga ceria-ceritaku bermanfaat untukmu ya.
Love, Vihara(IG/Twitter/FB/TikTok ikavihara, WhatsApp 0895603879876)
***
If something cost you your happiness, it's too expensive. Satu kesimpulan tersebut didapat Renae dari pembicaraan dengan psikiater hari ini. Kebahagiaan Renae terlalu berharga untuk dikorbankan demi pernikahan atau apa pun juga, termasuk status istri. Lebih baik hidup sendiri daripada menderita tak berkesudahan di dalam sebuah pernikahan. Tidak akan tercapai kebahagiaan bersama di dalam suatu pernikahan jika salah satu pihak merana. Lebih baik mengakhiri penikahan dan menjadi janda, tapi bisa tidur nyenyak setiap malam tanpa harus memikirkan cara memuaskan ibu mertua.
Sekarang Renae semakin bahagia karena dia bisa mengunjungi psikiater tanpa khawatir akan membuat ibu mertuanya kebakaran jenggot. Tidak kunjung hamil saja—yang jelas-jelas di luar kuasa Renae—dianggap sebagai kecacatan, apalagi ditambah mengalami gangguan kesehatan mental.
"Kadang-kadang kita harus menemui ahli kesehatan mental, karena setiap hari kita berurusan dengan orang-orang yang seharusnya menemui ahli kesehatan mental," kata Alesha dulu saat Renae menceritakan dampak perseteruannya dengan mantan ibu mertua. "Sering orang datang padaku, awalnya dia nggak memiliki masalah apa-apa, tapi perkataan dan tekanan orang-orang di sekitarnya membuatnya stres, cemas, insomnia, dan lain-lain."
Bukan hanya kematian Maika yang membuat Renae memerlukan bantuan profesional. Tetapi juga runtuhnya kepercayaan diri dan menganggap dirinya manusia tak berguna, akibat segala perkataan yang keluar dari bibir ibu mertuanya. Bagaimana Renae disebut menyia-nyiakan umur suaminya karena tidak cepat hamil, bagaimana Renae hidup mewah dengan uang Jeff tanpa pernah membalasnya dengan memberikan keturunan, dan macam-macam lagi yang terus diulang hingga membuat Renae percaya ada yang salah dengan dirinya.
Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Renae tidak memiliki kuasa menentukan apakah pernikahannya dengan Jeff akan dilengkapi dengan anak atau tidak. Membebani diri dengan menyesali hal-hal yang terjadi di luar kendalinya hanya membuat Renae sakit—baik fisik maupun mental.
Renae mendorong pintu kaca La Papeterie. Suara lonceng di atas pintu membuat Sari, yang tengah merapikan display, menoleh. Ada tiga pembeli di dalam toko.
"Hai, Mbak." Sari tersenyum kepada Renae.
Renae membalas sapaan Sari lalu melangkah menuju tangga.
"Eh, Mbak...." Sari memanggil tapi urung melanjutkan kalimat ketika Renae berhenti di ujung tangga. "Nggak jadi deh, Mbak. Bukan apa-apa, kok."
Begitu menginjakkan kaki di lantai dua, Renae langsung disambut sepasang mata yang mengingatkan Renae pada salah satu pantai yang pernah dia kunjungi di pulau Sisilia. Indah, jernih, dan tenang. Sangat memesona dan menggoda. Membuat siapa saja yang melihatnya ingin menenggelamkan diri di sana. Tidak ingin pulang. Tidak ingin ke mana-mana. Wanita mana yang tidak betah seharian duduk saja, membiarkan diri mereka berenang dalam sepasang mata yang berbinar hangat layaknya air laut di musim panas?
"Ngapain kamu di sini?" Ada setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan Renae. Kalau Halmar duduk di sini, Renae tidak akan bisa mengerjakan apa pun, karena mata Renae sudah pasti akan terus bergerak ke arah Halmar.
"Numpang kerja." Santai sekali Halmar duduk di sofa lalu mengangkat tangan untuk meregangkan badan.
"Sudah berapa kali kubilang, Halmar," Renae mengembuskan napas frustrasi,"tokoku bukan coworking space. Yang boleh bekerja di sini cuma pegawai."
"Aku kangen sama kamu. Habis dari mana saja kamu? Aku menelepon, tapi kamu nggak menjawab. Aku khawatir kalau kamu nggak ada kabar. Jadi aku menunggu di sini, sambil aku menyelesaikan beberapa hal—"
"Halmar, aku sudah bilang kita nggak bisa punya hubungan lebih dari teman. Jadi kita nggak perlu bersikap seperti kita pacaran atau apa." Saking banyaknya urusan hari ini, Renae hanya sekali atau dua kali menyentuh ponselnya. "Aku nggak perlu lapor-lapor padamu."
"Kenapa nggak bisa?" Halmar menutup laptopnya lalu berdiri mendekati Renae.
"Aku bukan wanita yang tepat untukmu, sudah kubilang itu alasannya." Karena tidak mau menatap wajah Halmar—atau Renae akan terhipnotis oleh sepasang mata seksi yang sanggup mengisap seluruh akal sehat—Renae terpaksa mengamati dada Halmar.
Pilihan yang salah. Dada bidang Halmar justru membuat Renae ingin menyandarkan kepala di sana. Pasti nyaman dan aman. Juga hangat. Membayangkan lengan kukuh Halmar melingkupi punggungnya dan bibir Halmar mencium puncak kepalanya membuat Renae mendesah bahagia. Semua hal yang mengganggu pikiran Renae pasti akan hilang begitu Halmar membelai rambutnya.
Renae tertawa pahit dalam hati. Bagaimana mungkin Renae berharap apa pun—atau siapa pun—yang mengganggu pikirannya bisa hilang di dalam pelukan seseorang yang paling mengganggu pikirannya? Keluar dari dekapan Halmar, bisa-bisa malah Renae tidak bisa memejamkan mata di malam hari, karena berharap Halmar ada di atas tempat tidurnya. Berbagi mimpi indah yang sama.
Tulisan di kaus Halmar kali ini adalah 'single cell, single cell, single all the way'. Renae membaca berulang demi mencegah tubuhnya meloncat ke pelukan Halmar. Lalu berbaring bersama Halmar di sofa dan melupakan semua masalah yang menderanya.
"Menurutmu siapa wanita yang tepat untukku?"
"Siapa pun, asal bukan aku." Renae benar-benar tidak bisa berpikir dengan jernih karena Halmar semakin merapat padanya, memerangkap Renae di antara dinding dan tubuhnya.
Setelah memejamkan mata dan mengusir jauh-jauh keinginan untuk melarikan telapak tangannya di sepanjang bagian depan tubuh Halmar, dari atas hingga bawah mengikuti setiap lekuk ototnya, baru Renae bisa menyusun kalimat dengan benar. "Kamu berhak mendapatkan wanita yang bisa memberimu kebahagiaan. Aku bukan wanita itu."
"Aku sudah bilang, Renae, akulah satu-satunya orang yang bisa memutuskan apa, siapa, yang terbaik untuk diriku. Untuk hidupku. Untuk kebahagiaanku. Yang terbaik adalah kamu. It won't change, Angel." Jemari Halmar bergerak di sisi kanan wajah Renae. "Kamu boleh menghindar, Renae, atau melawanku. Tapi kamu harus tahu. I never can pass up a challenge. Semakin kamu berusaha keras menolakku, aku akan semakin kencang mengejarmu."
Kepala Halmar semakin turun, semakin dekat dengan bibir Renae. Meski tidak melihat, Renae tahu. Sebab hangat napas Halmar kini membelai wajah Renae. Wangi maskulin yang menguar dari tubuh Halmar—tidak terlalu kuat namun bisa tercium—membuat otak Renae berhenti bekerja. Ingin mencari tahu di mana sumber aroma memabukkan tersebut. Mencari tahu dengan bibirnya. Atau lidahnya. Apakah berpusat di nadi yang berdenyut di leher Halmar? Atau dari aftershave yang dipakai Halmar setelah bercukur tadi pagi?
Dengan hati berdebar Renae menanti bibir Halmar mendarat di bibirnya. Apakah ciuman Halmar akan sama kuatnya dengan tekad Halmar dalam memenangkan hati Renae? Apakah melalui ciumannya, Halmar akan membuktikan kesungguhan cintanya yang, walau tidak secara eksplisit, berkali-kali diutarakan? Renae menggelengkan kepala. Seharusnya Renae mendorong jauh-jauh tubuh Halmar. Bukan berharap Halmar segera menciumnya.
"Kalau kamu menolakku hari ini, Renae," bisikan Halmar terdengar semakin dekat, "aku akan kembali lagi besok. Untuk meyakinkanmu bahwa kita tepat untuk satu sama lain. Aku nggak peduli berapa banyak waktu yang kuperlukan untuk mendapatkanmu. Karena aku bukan orang yang mudah menyerah."
"Apa ... kamu ... mengancamku...?" Renae berusaha memalingkan wajah. Berciuman dengan Halmar saat ini, sepertinya bukan ide yang bagus. Itu hanya akan membuat segalanya semakin rumit. Namun tangan kanan Halmar kini berada di bawah dagu Renae. Mengarahkan bibir Renae tepat segaris dengan bibir Halmar.
"Ini bukan ancaman. Ini adalah janjiku kepadamu." Bibir Halmar kini hanya berjarak satu sentimeter saja dari bibir Renae. "Aku adalah orang yang nggak pernah ingkar janji."
Renae hanya bisa mendesah tertahan saat bibir Halmar menguasai bibirnya. Hati Renae melayang jauh ke awan. Kapan terakhir kali ada laki-laki yang bisa membuat kupu-kupu—yang telah mati bersama hangusnya buku nikah—kini hidup kembali di perut Renae? Renae tidak ingat. Tetapi itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah, Renae tidak boleh kehilangan kesempatan bersentuhan dengan Halmar.
Berteman dengan Halmar tidak akan cukup, Renae menyadari, kalau sedikit sentuhan seperti ini saja membuat Renae menginginkan lebih.
"Renae!"
Mendengar ada yang memanggil namanya dengan keras, dengan penuh amarah, bukan suara Halmar yang sarat perhatian, Renae menoleh ke sumber suara. Kepala Renae sampai membentur hidung Halmar, yang belum menjauh dari wajah Renae.
"Aku mau beli kado!" Jeff berdiri di ujung tangga. Memandang Renae dan Halmar dengan tatapan yang sulit diartikan.
Renae menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum bersuara. Jantungnya tidak mau berhenti menggedor tulang rusuk, seperti sedang berdemo karena tidak suka keintiman dengan Halmar terganggu. Kenapa Sari memperbolehkan Jeff naik ke lantai dua, padahal Sari tahu area ini terlarang bagi pengunjung. Sekarang status Jeff sama dengan semua pembeli, yang hanya diperbolehkan berada di lantai toko.
Dalam hati Renae mentertawakan dirinya sendiri. Kalau dia longgar menerapkan peraturan hingga membiarkan Halmar—yang juga bukan siapa-siapa—menciumnya di lantai dua, kenapa Renae tidak sekalian membuka lebar-lebar pintu menuju lantai dua dan menyilakan semua pengunjung naik ke sini?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top