SATU
Halo, ada cerita baru dariku. Kalau kamu mengikuti aku di Instagram, Twitter, FB ikavihara atau kita pernah berkomunikasi dengan WhatsApp 0895603879876, kamu mungkin sudah tahu alasanku kenapa aku mengunggah Just A Wedding Away padahal ceritaku yang lain, Sepasang Sepatu Untuk Ava, belum tamat XD
Selamat menikmati kisah Halmar dan Renae ya. Semoga ini bisa menemanimu selama kamu menahan diri untuk tidak berkegiatan di luar rumah. Dan semoga bisa memberikan manfaat untuk kita semua. Jangan lupa tinggalkan komentar dan berikan bintang untukku ya.
Love, Vihara
***
Tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Renae selalu memercayai itu. Setelah malam berakhir, pagi datang menggantikan. Hujan tidak terus-menerus turun. Begitu mendung selesai menjatuhkan bebannya, matahari akan kembali bersinar terang. Penderitaan yang dirasakan setiap manusia, lambat-laun akan berkurang. Bahkan bisa jadi hilang. Tetapi sayang, waktu tidak bisa menghapus kenyataan.
Kenyataan bahwa kini Renae telah sendiri, tanpa memiliki anak dan suami, tidak akan mudah dihilangkan begitu saja dari sejarah hidupnya. Tragedi itu akan selalu menjadi bagian dirinya. Ke mana pun Renae melangkah, mau tidak mau, Renae harus selalu membawa dua kegagalan itu. Setiap mengingatnya, ulu hati Renae bagai ditusuk belati berkali-kali. Rasa sakitnya sungguh tak terperi. Bahkan Renae bersumpah, pada saat tersakit, Renae bisa melihat jiwanya tergeletak berlumuran darah. Tidak bisa bergerak. Tidak bisa berteriak.
Dengan hati hancur Renae memandangi foto pernikahan yang telah diturunkan dari ruang tengah dan kini bersandar di tembok kamar tidur utama. Permukaannya diselimuti debu tipis. Mungkin Jeff menurunkan bingkai besar ini begitu pulang dari memakamkan Maika dulu. Perlahan jemari Renae bergerak menelusuri wajah suaminya. Mantan suami, Renae meralat. Sebab Renae telah resmi berpisah dengan seseorang yang pernah dia cintai. Atau masih.
Betapa bahagianya Renae pada hari itu. Pada hari pernikahannya. Renae tersenyum lebar, dari telinga ke telinga, bersama suami barunya. Wajah Renae sangat berseri, dan—di foto tersebut—lebih berisi. Jauh berbeda dengan penampilan Renae saat ini. Waktu itu, Renae ingat betul, ibunda Jeff memeluk Renae erat sekali, berkali-kali berterima kasih kepada Renae karena berkat Renae, beliau berkesempatan mendapatkan menantu luar biasa untuk anak laki-laki satu-satunya. Sejak hari pertama dikenalkan, Renae dekat sekali dengan ibu mertuanya.
Sayangnya, pada tahun ketiga pernikahan dan selanjutnya, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat. Ibu mertua menilai sang menantu tidak lagi luar biasa, sebab memiliki satu cela besar yang seharusnya tidak dipunyai oleh seorang wanita; sulit hamil. Lebih-lebih hingga tahun keempat pernikahan, Renae tidak kunjung bisa memberikan cucu yang lama dinantikan oleh mertuanya.
Pada tahun terakhir pernikahan, hubungan Renae dan ibu mertuanya memburuk. Bagaikan sodium dan air, mereka berdua meledak ketika berada dalam satu tempat. Walaupun dokter meyakinkan bahwa tidak ada masalah pada diri Renae, ibu mertua Renae—beserta banyak anggota keluarga besar Jeff—tetap menganggap Renaelah yang bertanggung-jawab atas kegagalan Jeff memperoleh keturunan. Sedangkan Jeff sendiri tidak ambil pusing dengan ketidakadilan yang diterima istrinya, justru meminta Renae untuk mengabaikan saja komentar-komentar tersebut.
Sikap acuh tak acuh Jeff membuat mereka sering bertengkar. Renae ingin Jeff bicara kepada ibunya, memberi pengertian bahwa Renae dan Jeff sudah berusaha sekuat tenaga, namun Tuhan belum setuju dengan rencana mereka. Tiap-tiap rezeki semua makhluk yang bernapas sudah diatur dan tidak ada yang tahu masing-masing akan mendapat seberapa banyak.
Renae sering berpikir, mungkin saja tertekan dan tersiksa karena mendengar kata mandul dan sejenisnya dilontarkan ibu mertuanya adalah salah satu faktor yang membuat diri Renae susah hamil. Tetapi Renae menelan sendiri pendapat tersebut, karena Jeff tidak akan suka ibunya disebut menekan Renae, walau kenyataannya demikian.
"Kamu bisa tinggal di sini, Re." Suara Jeff, dari ambang pintu kamar, memutuskan rangkaian gerbong pikiran Renae. "Biar aku tinggal di apartemen kita."
"Rumah ini terlalu besar untukku." Semenjak Maika—anak perempuan mereka—meninggal, ini adalah kali pertama Renae kembali ke rumahnya. Untuk mengemasi barang-barang pribadinya.
Rumah ini dibeli bersama Jeff setelah mereka bersepakat untuk menikah. Terlalu banyak kenangan di rumah ini dan mengikuti saran Jeff untuk tinggal di sini hanya akan membuat Renae tidak bisa cepat melangkah maju.
"Kalau begitu, tinggallah di apartemen. Letaknya kan dekat dengan tokomu. Jadi kamu nggak perlu capek-capek nyetir setiap hari." Jeff melangkah masuk ke kamar.
No! Aku ingin memulai hidup baru, tanpa melibatkanmu sama sekali di dalamnya! Renae berteriak dalam hati. Menggunakan harta benda pemberian Jeff hanya akan membuat kemerdekaan Renae tidak murni. Lagi pula apa kata ibu Jeff kalau sampai mendengar, bahwa setelah bercerai dari Jeff, Renae masih bergantung pada Jeff?
"Kalau kamu perlu rumah baru, Re, izinkan aku membelikannya."
"Kamu sudah banyak membantuku selama ini, Jeff." Penghasilan Renae cukup untuk biaya hidup. Tabungan Renae sudah terkumpul agak banyak. Karena selama mereka menikah, Jeff membiayai hidup Renae sehingga Renae bisa menyimpan semua pendapatannya. "Aku nggak menginginkan apa-apa dari perceraian kita, selain ... kalau nanti kamu menikah dan punya anak ... aku berharap kamu nggak melupakan Maika."
"Aku nggak akan menikah dengan wanita lain, Re."
"Kalau sudah nggak ada lagi yang harus kita bicarakan, aku mau pulang dulu." Lalu tidur seharian. Seandainya mudah melakukan itu. Setelah melihat wajah anaknya untuk terakhir kali, sebelum dikafani, Renae tidak pernah bisa memejamkan mata tanpa bermimpi buruk. Tanpa teringat pada gadis kecilnya. Kalaupun Renae tertidur, itu karena tubuhnya menyerah dan hatinya tidak kuat lagi menahan rasa sakit.
"Kalau begitu bawa mobilmu, Re. Nggak ada yang pakai juga di sini. Paling nggak aku tenang kamu punya alat transportasi."
"Aku nggak mampu bayar pajaknya." Selama ini Renae tidak pernah membiarkan dirinya kecanduan dengan segala kemewahan yang dia dapatkan setelah menikah dengan Jeff. Memang sesekali Renae menikmatinya, karena tidak bisa dihindari, tapi tidak sampai mendewakan. Melepaskan semua itu bukan perkara sulit. Toh awalnya Renae berasal dari keluarga sederhana.
"Kamu nggak perlu memikirkan itu. Kalau ada masalah dengan mobil itu, kamu bisa menelepon bengkel resmi, biar diambil dan diservis, atau menelepon sales person untuk minta mobil baru."
"Baiklah. Aku akan membawanya." Renae menurut, sebab tidak ingin memperpanjang pembicaraan dan menyeret koper besar keluar kamar. "Biar aku pikirkan sendiri gimana bayar pajaknya."
"Re—"
"Jeff, please, kita sudah ... nggak bersama lagi. Aku nggak ingin dengar ibumu atau keluargamu yang lain berkomentar yang nggak-nggak. Sudah cukup ibumu memperingatkan, aku nggak berhak mendapatkan apa-apa dari perceraian kita. Aku nggak ingin dosaku di mata keluargamu bertambah." Mobil yang dimaksud Jeff tadi dibeli sebagai hadiah ulang tahun Renae yang ketigapuluh. Banyak orang yang mengetahui cerita itu. Jadi masih akan terlihat wajar kalau Renae membawanya.
"Kamu bisa menginap di sini malam ini." Jeff mengikuti Renae. "Untuk terakhir kali?"
"Kita sudah bukan suami istri. Sudah nggak bisa tinggal serumah." Kamar utama yang baru saja dia tinggalkan menyimpan kenangan menyenangkan sekaligus menyakitkan.
Di sanalah Renae dan Jeff memadu kasih sebagai suami istri. Di sanalah Renae menangis putus asa, karena harus memberi tahu suaminya bulan itu Renae menstruasi. Di sanalah Renae tertawa bahagia bersama Jeff, membicarakan segala sesuatu terkait kedatangan anak pertama mereka ke dunia, lalu menit berikutnya dilarikan ke rumah sakit dan tidak pernah lagi kembali ke sini.
"Kamu hanya bawa itu, Re? Kamu nggak ingin bawa semua tas dan sepatumu?"
Langkah Renae terhenti di depan pintu kamar. Kesal karena Jeff terus menahan langkah Renae. "Semua dibeli pakai uangmu, Jeff. Kalau kamu mau, aku bisa membantumu untuk menjualnya kembali."
"Bukan itu maksudku, Re. Seisi rumah ini milikmu. Kamu boleh membawa apa saja. Mungkin kamu perlu menggunakan tas, sepatu, jam tangan, perhiasan, atau apa pun itu, sewaktu-waktu. Jadi kamu nggak susah mengambilnya. Nggak bolak-balik ke sini."
Seisi rumah ini boleh menjadi miliknya, kecuali suaminya. Renae tersenyum pahit. "Aku belum memerlukannya. Mungkin nggak memerlukannya. Nggak akan ada lagi acara yang harus kudatangi sebagai istrimu atau menantu keluargamu."
"Aku nggak yakin apa aman menyimpan barang-barang mahal di rumah baruku. Istrimu ... bisa memakainya nanti. Atau kalau menurutmu dia nggak mau atau kamu keberatan aku menitipkan itu semua di sini, nanti aku akan membawanya sedikit demi sedikit ke rumah ayahku." Menyimpan jam tangan seharga setengah milyar di rumah barunya sama saja dengan mengirim undangan ekskusif kepada perampok untuk menyatroni rumahnya.
"Sudah kubilang, menikah lagi nggak termasuk dalam rencana hidupku. Kecuali ... denganmu." Jeff terus mengikuti Renae hingga ke teras depan. "Aku nggak tahu kenapa kamu ngotot ingin kita berpisah, Re. Kita bisa kembali membangun pernikahan kita. Mama ... menyarankan supaya ... kita berpisah saat Mama sedang sedih kehilangan cucu satu-satunya, seperti kita semua. Nanti juga Mama akan berubah pikiran."
"Buat apa kita terus menikah, kalau ibumu nggak akan pernah bisa memaafkanku? Kalau selamanya ibumu membenciku karena menurutnya aku membunuh cucunya? Karena aku menghalangi anaknya untuk punya keturunan?
"Aku setuju sama ibumu, Jeff. Kalau kamu menikah sama wanita lain, kesempatanmu punya anak mungkin lebih besar. Nggak cuma satu, wanita yang lebih muda dariku bisa memberimu lima. Jujur saja padaku, Jeff, kamu sepemikiran dengan ibumu. Kamu juga menyalahkanku hari itu. Saat kita menguburkan anak kita."
(Bersambung)
Apa kamu sudah pernah dengar nama Renae atau Halmar sebelumnya? Di ceritaku yang manakah mereka pernah muncul? :-)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top