DUA PULUH TUJUH

Hello sahabatku semua, terima kasih doa-doa yang sudah kamu panjatkan untukku. Dan juga pesan-pesan yang kamu kirimkan lewat DM Wattpad ataupun WA. Aku sudah sembuh, alhamdulillah. Semoga kita semua sehat selalu ya. Love, Vihara(IG/Twitter/FB/TikTok ikavihara WhatsApp 0895603879876)

***

"Kita makan di sini saja." Halmar mengusulkan ketika mereka berhenti di bawah pohon mahoni besar di tepi danau buatan. Beberapa sepeda air berbentuk angsa terparkir di tepi danau.

Setelah birdwatching, menggambar, dan bersepeda, mereka berjalan santai menikmati angin sepoi, udara sejuk, cuaca cerah, dan hangatnya sinar matahari. Tangan kiri Halmar menggandeng tangan Renae. Di tangan kanannya Halmar membawa keranjang piknik.

"Oke." Renae membantu Halmar menggelar tikar. "Ini akan jadi pertama kali aku piknik. Makan di bawah pohon di atas tikar." Hati Renae menghangat sepanjang hari ini. Wanita mana yang hatinya tidak melambung kalau ada laki-laki yang sungguh-sungguh berusaha membuat kencan pertama mereka berkesan dan tak terlupakan?

"Masa? Di halamana rumahmu sendiri juga nggak pernah?"

"Nggak. Eh, nanti aku mau naik angsa itu." Renae melepas sepatunya dan duduk.

"Kalau kamu mau naik itu, kamu harus membantu mengayuh. Kalau kamu nggak mau mengayuh, kita akan terapung-apung di situ sampai malam."

"Siapa bilang aku mau naik bareng kamu? Aku mau sendiri."

"Ya sudah, kalau begitu kamu beli makan siang sendiri." Halmar membongkar isi keranjang pikniknya dan menjauhkan dari jangkauan Renae.

"Kok, begitu? Kan, tadi malam kamu bilang aku nggak perlu bawa apa-apa."

"Katamu mau sendiri." Halmar membuka kertas cokelat pembungkus sandwich. "Hmm ... ini enak banget. Mau? Janji dulu naik sepeda sama-sama dan kamu akan ikut mengayuh."

"Iya. Iya. Sini. Aku lapar." Renae merebut sandwich dari tangan Halmar, tapi Halmar menjauhkannya dari jangkauan Renae.

"Ah, ah, kiss first." Halmar menyembunyikan sandwich di balik punggungnya.

Renae memutar bola mata, mengembuskan napas dengan dramatis, lalu memajukan wajah dan menyentuhkan bibirnya di bibir Halmar

"Kamu kok kepikiran mau pergi ke sini, sih, Halmar?"

Acara mereka hari ini melewati perencanaan yang matang, Renae yakin. Bagaimana menentukan lokasi, pukul berapa harus berangkat, apa saja yang akan mereka lakukan di sana, sampai makanan apa yang mudah dibawa dan tidak gampang basi, tentu melewati proses riset yang tidak cukup dilakukan selama sepuluh menit. Ditambah meminjam mobil kepada Elmar dan Alesha. Pasti Halmar sudah merencanakan jauh-jauh hari. Usaha Halmar untuk membuat kencan ini berkesan terlihat sekali.

"Ah, ini saran Elmar. Menurutnya biar kencan kita spesial, aku harus mengajak kamu ke tempat-tempat yang belum pernah kamu datangi sama suamimu. Kalau melihat suamimu waktu itu, aku tahu dia tipe orang seperti apa. Nggak mungkin membawamu ke sini."

"Hmm ... dia tipe seperti apa?"

"Pompous ass."

Renae tertawa keras. "Dia nggak separah itu."

"Di Swedia, aku sering datang ke taman. Duduk-duduk. Dan selalu ketemu orang pacaran menikmati musim panas atau gugur. Mereka makan dan tertawa bersama. Berjalan bergandengan tangan. Sederhana tapi ... mereka kelihatan bahagia." Halmar menggigit makan siangnya. "Tapi begitu mau kupraktikkan di sini, aku harus nyetir sampai tiga jam buat dapat taman yang luas seperti ini."

"Lalu kamu memasak sejak subuh." Roti lapis buatan Halmar sempurna, seperti buatan koki ternama. Renae tidak melewatkan kesempatan untuk memotretnya. Kapan lagi ada laki-laki luar biasa yang mau repot-repot membuatkannya makan siang istimewa?

Sampai siang ini, sudah banyak foto yang diambil Renae. Termasuk beberapa foto selfiecellfie kata Halmar—mereka berdua. Karena ini adalah acara yang tidak biasa, Renae mengizinkan Halmar mengunggah salah satu foto mereka—yang sama-sama sedang tersenyum lebar dari telinga ke telinga—ke media sosial.

"Sausnya enak banget." Renae menjilat ujung jarinya.

Untuk bahan utama roti lapis, Halmar membelah french bread—yang renyah di luar dan lembut di dalam—menjadi dua bagian sama panjang. Kemudian membelah lagi masing-masing sisi menjadi dua bagian tipis. Di tengahnya Halmar menaruh tuna, irisan telur rebus, anchovies, dan irisan tomat. Dari aromanya, Renae juga bisa mengenali wangi bawang putih dan sedapnya lada hitam.

"Aku menyiapkan semuanya tadi malam. Sandwich sudah kubungkus aluminium foil, kusimpan di kulkas, jadi tadi pagi tinggal dipanaskan. Minuman juga kubikin kemarin." Halmar menghabiskan makan siangnya. "Aku beli lemon dan blueberry bars dari bakery Edna kemarin. Yang kubikin mendadak tadi pagi cuma salad semangka."

Halmar membawa ice chest untuk menyimpan salad dan minuman. Seperti apa bentuk salad semangka buatan Halmar, yang terdengar menggiurkan dinikmati di tengah hari, Renae belum tahu. Semuanya masih tersimpan di dalam wadah tertutup yang tidak bening.

"Kayaknya ini akan jadi kencan terakhir kita. Aku nggak mau kencan sama kamu lagi. Bisa-bisa berat badanku makin naik."

"Hmmm...." Halmar mengamati Renae. Dari ujung kepala hingga kaki.

Benar-benar mengamati sampai Renae jengah dan menyesal kenapa dia membawa-bawa berat badan. Sekarang Halmar jadi menyadari Renae gemuk. Kalau Renae tidak membahasnya, Halmar tidak akan tahu berat badan Renae semakin bertambah, setelah duka di hatinya sedikit memudar dan nafsu makannya kembali.

"Menurutku nggak ada yang salah dengan tubuhmu. Dengan berat badanmu. You are built the way a woman should be. Semua sempurna." Halmar mengulurkan tangan dan membersihkan sisa saus di sudut bibir Renae.

"Kamu nggak perlu menghiburku."

Ibu jari Halmar menelusuri bagian bawah bibir Renae. "Itu bukan hiburan. Itu kenyataan. Kalau kamu punya kekurangan, Renae, semua sudah tertutupi kelebihanmu."

Karena kekurangan terbesar Renae—tidak berani punya anak lagi—memang tak terlihat. Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tahu. Renae tidak ingin memberi tahu siapa-siapa.

"Umm ... pulang nanti kayaknya aku harus olahraga." Renae meneliti tubuh Halmar. Tidak hanya sehat, Halmar juga atletis. Karena rajin olahraga—lari pagi, seperti kata Halmar tadi, dan lain-lain.

Menurut Renae, seorang laki-laki tidak semestinya dideskripsikan indah. Tetapi laki-laki seperti Halmar berhak mendapat pengecualian. Seolah-olah Tuhan memahat tubuh Halmar pada bahan yang sama dengan yang digunakan untuk menciptakan gunung paling tinggi dan paling menantang. Tegas dan menawan. Menjanjikan kepuasan kepada siapa saja yang berani menjelajahinya.

Dari ujung kanan, ibu jari Halmar bergerak ke ujung lainnya. Membelai bibir Renae dengan pelan dan sangat lembut. Tanpa sadar Renae mengeluarkan desah tertahan. Renae ingin bibir Halmar menggantikan jari tersebut. Tetapi Renae tahu Halmar tidak akan menciumnya di sini. Dua atau tiga orang beberapa kali lewat di sekeliling mereka. Membawa anak-anak. Berciuman di sini hanya akan membuat mereka diusir dan tidak boleh datang lagi.

"Sweet," bisik Halmar. "Aku bisa mati kalau aku dilarang mencium bibirmu lagi."

Mata Renae membelalak karena Halmar, ternyata, berani menyapukan bibirnya di atas bibir Renae. Tidak lama. Sekilas saja. Namun itu sudah cukup membuat jantung Renae meloncat keluar dari rongganya. Demi Tuhan, ini bukan ciuman pertama mereka. Tetapi kenapa setiap ciuman dari Halmar selalu terasa seperti yang pertama? Antisipasinya, debarannya, antusiasmenya, gairahnya, segalanya tetap seperti ciuman pertama.

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Halmar mengeluarkan kotak bekal lebar berwarna hitam. Semua peralatan makan Halmar maskulin. Biru atau hitam. Mungkin karena anggota keluarganya sebagian besar laki-laki, jadi ibu Halmar membeli peralatan makan berwarna gelap.

Renae menerima garpu dari Halmar lalu menusuk sepotong semangka berbentuk dadu. Perasan lemon dan irisan daun mint membuat semangka yang baru masuk ke mulut Renae bertambah segar dan rasanya tidak membosankan.

"Halmar...," desah Renae. Salad ini sempurna sekali. How perfect could one man can be? "Apa kamu nggak punya kekurangan sama sekali? Kenapa kamu bisa melakukan apa saja? Masak bisa. Bikin perusahaan bisa."

"Big macho men don't have weaknesses," jawab Halmar dengan jemawa, yang dibalas dengan tinju di lengan oleh Renae. "Tapi kalau kamu mewajibkan aku punya kekurangan hmmm ... aku punya satu. Kakiku cepat bau." Halmar menggerakkan salah satu telapak kakinya yang terbungkus kaus kaki abu-abu.

"Uhhh ... Halmar." Renae menjepit hidungnya dengan kedua jari, meskipun dia tidak mencium bau apa-apa. "Kan, aku lagi makan. Masa ngomongin kaki bau."

Halmar terbahak. "Kalau dalam interviu kerja, aku akan menjawab bahwa kekurangan terbesarku adalah nggak sabaran."

"Huh? Menurutku kamu orang paling sabar." Buktinya Halmar mau bersama Renae hingga hari ini, padahal Renae tak kunjung berani memberikan kepastian kepadanya. "Alesha juga bilang kamu sabar."

"Masa? Orang-orang di InkLive bilang aku nggak sabaran. Kalau ada proyek yang lambat sekali progresnya ... ya walau aku tahu itu akan bisa selesai pada tenggat waktu yang ditentukan...." Halmar menggelengkan kepala. "Semua pegawai InkLive tahu kalau mereka nggak ingin melihatku marah, mereka harus menyelesaikan pekerjaan sebelum waktunya."

Sekarang Halmar sangat tidak sabar ingin segera mengakui dan mengumumkan ke seantero dunia bahwa Renae adalah kekasihnya. Tetapi demi memikirkan reaksi Renae jika Halmar melakukan itu, Halmar menahan diri. Bagi Renae, satu kali kencan belum cukup untuk memberi label baru pada hubungan mereka.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top