DUA PULUH TIGA
Teman-teman, aku sedang sangat burn out plus cemas belakangan ini--karena pekerjaan kantor juga dunia tulis-menulis. Karena itu aku akan update setiap hari Rabu ya, hari Sabtu/Minggu aku mau libur total T___T I really need this right now. Semoga kamu juga ya, kalau sedang lelah mental atau fisik, nggak ragu-ragu buat istirahat. Orang-orang yang menyayangimu akan memberimu ruang <3
Oh ya, kalau kamu sudah baca The Game of Love--cerita Alwin/Edna--dan A Wedding Come True--cerita Elmar/Alesha--dan dulu nggak ikut preorder sehingga nggak dapat booklet bab ekstra, ada dua cara untuk mendapatkannya:
1) Gratis: membuat review The Game of Love atau A Wedding Come True di Goodreads, blog, atau media sosialmu dan kirim linknya ke novel.vihara(at)gmail(dot)com
2) Bayar 10% dari harga buku: dengan membacanya di karyakarsa.com/ikavihara
Jangan lupa juga untuk terus mendukungku agar karyaku dibaca gratis di sini, dengan membaca buku-bukuku melalui Wattpad Paid Stories, aplikasi iPusnas, Gramedia Digital, Google Play, maupun mendapatkan di toko buku di seluruh Indonesia.
Love, Vihara(IG/FB/Twitter/TikTok ikavihara, WhatsApp 0895603879876)
***
"Kita duduk dulu, ya? Aku mau minum yang dingin-dingin," kata Halmar.
Siang ini Halmar mengajak Renae melihat para pelukis mural membuat karya. Dinding sangat panjang di bagian belakang dan samping kebun binatang dijadikan media lukis. Lima belas pembuat mural dari dalam dan luar negeri berpartisipasi. Saat ini karya mereka baru setengah jadi. Berkali-kali Renae berhenti dan mengagumi potongan gambar besar dan indah yang tercipta di depan matanya. Nanti akan dipasang papan berisi penjelasan mengenai makna atau pesan yang ingin disampaikan sang pelukis melalui gambar yang dia buat. Orang-orang pasti akan berebutan berfoto bersama lukisan-lukisan dinding yang indah tersebut.
Selain mural, juga diadakan pertunjukan seni dan pameran kerajinan. Mulai dari seni tari, tarik suara, peragaan busana, kerajinan perak, kerajinan kulit, dan banyak lagi. Renae membeli kalung perak dengan bandul huruf M—inisial Maika—dan sebuah medic bag dari kulit, handmade dan berkualitas bagus. Stan-stan makanan berjajar. Variasinya banyak sekali. Renae berjalan bersisian dengan Halmar untuk melihat-lihat sebelum membeli minuman dingin. Lalu mereka duduk di tempat teduh, di bawah pohon trembesi yang sangat besar dan rindang. Karena tidak ada kursi, selain di lokasi kuliner, mereka berdua duduk di trotoar.
"Aku nggak tahu kamu punya motor." Renae meneguk air putih dari botolnya. "Buat apa kamu punya motor di sini kalau kamu tinggal di Swedia?" Biasanya Halmar ke mana-mana menggunakan mobil milik almarhum ibunya.
"Itu mainan lama. Dulu waktu remaja aku kerja untuk mengumpulkan uang supaya bisa membelinya. Ditambah uang hadiah ulang tahun dari orangtuaku, kakek nenek, om dan tante, aku bisa punya motor itu. Umurnya sudah banyak. Elmar biasanya pakai kalau sedang ingin refreshing sendirian. Sopir Papa yang memanasi dan merawat setiap hari. Kadang dipakai sepupuku juga." Halmar memutar-mutar kaleng soda di tangannya. "Gimana menurutmu? Lebih menyenangkan naik motor atau mobil?"
"Kalau nggak hujan, ya, oke saja naik motor. Kalau hujan, pasti ribet." Seandainya Renae tahu naik motor bisa menyenangkan seperti itu, dia akan mengizinkan Jeff membeli motor gede dulu. Dulu Renae menentang keras niat Jeff, karena menurut Renae benda itu membahayakan nyawa.
"Kalau hari ini kamu nggak ingin jalan-jalan, seharusnya kamu ngasih tahu aku. Kita bisa pergi lain kali." Renae mengamati Halmar yang kembali melamun.
"Beberapa hari lalu aku bicara dengan Elmar." Halmar melempar kaleng sodanya ke mulut tempat sampah yang terbuka. Masuk dengan mulus. "Itu ... sedikit menggangguku. Hanya itu saja. Nggak ada masalah lain."
"Sedikit?" Renae tidak percaya. "Kamu melamun terus sejak tadi."
"Masalah di keluargaku rumit." Halmar tidak ingin membahas lebih jauh apa yang mengganggu pikirannya dengan seseorang yang selalu mengganggu pikirannya.
"Bukankah semua seperti itu? Bahkan dalam cerita di buku, film, TV, semua keluarga pasti dikisahkan punya masalah." Renae tidak akan bertanya apa persisnya masalah yang dihadapi Halmar dan keluarganya, atau masalah internal di antara Halmar dan keluarganya, karena Renae bukan siapa-siapa.
"Kamu berapa bersaudara, Re?"
Halmar mengubah topik pembicaraan. Meski Renae tahu, tapi dia membiarkan. Mengobrol ringan mungkin bisa memperbaiki suasana hati Halmar. Karena lebih menyenangkan bersama Halmar yang sering tertawa.
"Tiga. Aku anak kedua. Kakak dan adikku laki-laki. Ah, kita sama-sama middle child." Renae menyeringai. "Tapi nasibmu lebih baik. Nggak enak jadi satu-satunya anak perempuan dengan dua saudara laki-laki. Kakak dan adikku merasa wajib menjagaku, dan melindungiku dari semua laki-laki, yang menurut mereka nggak ada yang bisa dipercaya. Dulu kalau ada teman laki-lakiku datang ke rumah, meski mereka cuma pinjam buku kuliah, mereka berdua ikut menemui temanku."
Pesan Renae, yang ditangkap Halmar, kalau Halmar ingin dekat dengan Renae, lebih dulu harus menghadapi kakak-kakaknya. Yang pasti semakin protektif sekarang setelah melihat Renae disakiti mantan suaminya. "Tapi kamu menikah, Renae. Berarti ada laki-laki yang mendapat persetujuan kakak dan adikmu."
Renae mengangguk. "Jeff berteman sama Rand, kakakku, sejak kecil. Bertahun-tahun Jeff keluar masuk rumah kami. Waktu kami mulai pacaran, Jeff bilang kepada Rand kalau Jeff serius ingin menikah denganku. Kapan pun aku siap, Jeff mau menunggu. Rand nggak banyak mengganggu kami, karena tahu niat Jeff baik."
"Apa yang membuatmu jatuh cinta padanya?"
"Seperti yang kubilang tadi, Jeff banyak menghabiskan waktu di rumahku. Bersama kakakku. Dia laki-laki pertama di luar keluargaku yang menarik perhatianku. Mungkin aku mulai menyukainya waktu umurku delapan atau sembilan tahun.
"Waktu aku remaja, aku semakin menyukainya. Karena dia ... ganteng dan baik padaku. Dia sering mengajakku ngobrol, tapi aku gugup dan malu. Jadi aku cuma menunduk, mengangguk, menggeleng ... payah banget pokoknya. Aku patah hati waktu kakakku pindah ke Jerman buat main bola. Jeff jadi nggak pernah lagi datang ke rumah dan aku nggak punya alasan buat menemuinya.
"Sekitar tujuh tahun kemudian, waktu Rand di Indonesia, dia mengajak Jeff ke rumah. Aku ketemu lagi dengannya dan perasaanku masih sama. Cuma aku berpikir mana mungkin Jeff yang sudah dewasa, keren, dan sukses bakal punya perasaan yang sama denganku. Dia bisa mendapatkan siapa pun wanita yang dia sukai ... what?"
Renae berhenti bicara karena Halmar menatapnya tajam. Seperti tatapan yang diterima Renae dari ibunya ketika Renae ketahuan membeli es saat sedang sakit radang tenggorokan.
"Kenapa kamu nggak bisa melihat semua laki-laki memperhatikanmu? Mereka nggak bisa mengalihkan pandangan. Aku harus melotot buat memperingatkan mereka semua. Hell, pasti mereka semua ingin mendekatimu. Tapi mereka nggak punya kepercayaan diri. Nggak punya keberanian. Karena kamu ... di luar jangkauan."
Renae tertawa dan menggelengkan kepala. "Jangan ngawur."
"Aku serius. Coba kamu lihat di sana." Halmar memutar bahu Renae. "Menurutmu anak-anak muda itu sedang lihatin siapa? Aku? Pohon ini? No. Kamu. Mereka itu baru melihat wajahmu saja, Renae, tapi mereka sudah terpesona. Gimana kalau mereka mengenalmu lebih jauh? Tahu kalau kamu baik dan cerdas?" They wouldn't have a chance. "Kamu ingat pertemuan pertama kita dulu?"
Renae mengangguk. Bagaimana tidak ingat, kalau hari itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, Renae merasa dirinya yang tengah tersesat, tiba-tiba mengetahui arah jalan pulang. Ketika bersentuhan dengan Halmar untuk pertama kali—berjabat tangan—Renae merasa dirinya hampir tiba di rumah.
"Kamu tahu gimana aku nggak bisa berkata-kata, sampai Alesha harus menyikutku berkali-kali? Kamu tahu kenapa?" Karena Renae menggeleng, Halmar melanjutkan. "Karena aku terpesona. Dan ... kamu mengingatkanku pada Mama. Sama seperti Mama, you have the kind of face that would still be beautiful when you are eighty. Saat itu aku berharap aku akan beruntung, bisa terus bersamamu sampai kamu tua.
"Jadi aku nggak mau lagi mendengarmu bilang kalau Jefferson, aku atau siapa pun berhak mendapatkan wanita yang lebih baik darimu. Because you are a beautiful person, outside, absolutely, and, also inside where it counts. No woman better than you."
Renae menelan ludah. Selama ini dia terbiasa berpikir seperti itu. No woman better than me. Namun pikiran tersebut lenyap bersamaan dengan datangnya kalimat-kalimat tak menyenangkan dari mantan ibu mertuanya. Kesungguhan dalam suara Halmar, yang menyebut bahwa tidak ada wanita yang lebih baik daripada Renae, membuat Renae ingin memercayai sebaris kalimat itu lagi. Tetapi Renae tahu dia harus tetap realistis. Ada satu kekurangan besar di dalam dirinya. Yang akan sulit diterima lelaki mana pun.
Seolah ingin membuktikan ucapannya, bahwa Halmar menilai Renae adalah wanita terbaik di dunia, Halmar menyentuh pipi Renae, membelai, dan mengamati wajah Renae. Pandangan Halmar berhenti di mata Renae dan bertahan selama beberapa saat. Is this okay? Melalui tatapannya Halmar mengirim pertanyaan. Renae mengangguk sebagai jawaban. Tidak peduli mereka sedang berada di pinggir jalan. Di tengah keramaian.
Telapak tangan Renae, yang tidak menggenggam botol, menyentuh dada Halmar. Detik berikutnya, Halmar mencium Renae, seolah tidak akan ada siapa pun atau apa pun yang akan bisa menghentikan mereka. Seperti ciuman mereka sebelumnya, Renae menyadari satu kekosongan dalam hidupnya—setelah pernikahannya berakhir—hanya akan bisa diisi oleh seorang kekasih. Oleh satu orang saja. Oleh Halmar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top