DUA PULUH ENAM

Update dari ranjang rumah sakit. Hati-hati musim hujan, jaga kebersihan, supaya nggak masuk rumah sakit huhuhu

***

Dari Halmar, Renae mendapatkan gambaran berbeda mengenai hidup pengusaha sukses. Selama ini Renae berpikir orang sukses pasti tidurnya larut malam—atau bahkan dini hari, lalu bangunnya pagi sekali, dan hampir keseluruhan waktunya digunakan untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk keluarga. Untuk kekasihnya. Mereka dinamai workaholic supaya terdengar keren. Ternyata tidak melulu seperti itu. Pandai membuat jadwal dan disiplin menjalankan jadwal tersebut adalah salah satu kunci sukses.

"Coba bikin." Halmar menyarankan. "Dengan membuat jadwal, pekerjaanmu bisa selesai dan kamu punya waktu luang untuk memanjakan dirimu sendiri."

Renae tidak menanggapi, memilih menyelesaikan sarapannya.

"Apa kamu sering roadtrip begini?" Renae menyesap kopi hitamnya.

"Pernah sama sepupu-sepupuku ke Bali. Kalau menyetir sendiri baru kali ini. Di Swedia, aku naik kereta atau bus ke mana-mana. Kalau hari cerah, aku naik sepeda. Di negara lain, kalau di kota yang kudatangi ada transportasi publik yang memadai, aku memilih naik itu. Kalau nggak ada, biasanya pakai taksi."

"Biasanya orang kaya suka pakai mobil mewah, supercar, jet pribadi." Jeff dulu begitu. Tetapi Halmar sepertinya berbeda. Ke mana-mana Halmar memakai mobil milik almarhum ibunya. Mobil yang dikendarai Halmar sekarang, kalau Renae tidak salah, milik Elmar. SUV buatan Eropa. Harganya memang mahal, tapi Elmar membeli mobil bukan untuk dikoleksi. Atau demi gengsi. Melainkan memang Elmar dan keluarganya membutuhkan alat transportasi yang luas dan aman. Elmar mau punya banyak anak, kata Alesha.

"Selama tinggal di negara maju, aku mengamati dan menyimpulkan kunci keberhasilan, atau kemajuan suatu negara, adalah kesederhanaan. Kalau sebuah negara foya-foya, boros, tidak pandai mengelola anggaran, ya, akan sulit maju. Kesederhanaan itu akan tercermin pula pada sebagian besar warga negaranya."

"Aku belum pernah dengar. Kesederhanaan seperti apa?"

"Kami naik kendaraan umum atau bersepeda. Ya, awalnya karena dipaksa."

"Dipaksa?"

"Mau bagaimana lagi kalau harga BBM dan tarif parkir dibuat mahal? Membeli atau memakai baju bekas, baju second, sudah menjadi hal biasa. Bahkan kami bangga, karena kami menyelamatkan bumi dari sampah pakaian yang membebani.

"Kami nggak pernah membandingkan siapa yang punya rumah lebih besar, lebih elit. Pajak mahal sekali. Segala jenis pajak. Tapi memang itu nggak penting. Yang penting kami punya prestasi. Kami sehat. Karena itu adalah kemewahan yang nggak dikenai pajak."

"Memang beda sama di sini." Renae meletakkan travel mug-nya di holder di pintu.

"Salah satu teman SMP-ku ada yang menjadi dirut anak perusahaan BUMN. Aku nggak kaget melihatnya memakai jam tangan seharga satu miliar lebih. Sudah begitu dipakai ke acara reuni. Sebab, sepertinya, itu memang kebiasaan."

"Sama dengan Jeff. Menurutnya apa yang kita kenakan, kita kendarai, kita makan, dan kita miliki, harus mencerminkan pendapatan kita. Belum lagi kebanyakan dari kita juga kagum melihat kemewahan. Akun-akun yang pamer kemewahan itu banyak sekali pengikutnya.

"Kenapa orang berpikir ... kelas kita naik kalau kita kaya? Orang yang disebut sukses itu yang sudah punya rumah mewah, kalau perlu banyak di mana-mana, mobilnya mahal dan berganti-ganti, sampai di dalam kota saja naik McLaren, bukannya city car. Lalu menangis waktu mobilnya terbakar karena peruntukannya nggak sesuai."

"Ya karena itu semua kelihatan oleh mata telanjang. Mudah untuk dinilai. Sedangkan ilmu, kebijaksanaan, dan apa-apa yang kamu dapat selama di sekolah atau universitas nggak kelihatan." Halmar menghentikan mobilnya di lampu merah.

"Aku akan mengajarkan itu kepada Sari, Rima dan yang lain. Tentang hidup sederhana. Itu penting untuk mereka yang akan masuk dunia kerja. Supaya bijak menggunakan gaji. Aku baru menyadari kita susah diminta hidup sederhana. Baru kerja sebulan, sudah mengajukan kredit untuk beli mobil. Atau HP baru.

"Nanti naik grade, mobilnya ganti. Naik lagi, ganti lagi. Begitu terus nggak ada habisnya. Banyak orang lebih memilih membagusi rumah daripada menguliahkan anak tinggi-tinggi. Supaya kalau dilihat dari luar, kelihatan mentereng. Kalau pendidikan, kan, nggak mungkin kita pajang ijazahnya di teras."

"Atau kalau jadi pejabat publik." Halmar menambahkan. "Beli Hummer pakai APBD. Rumah dinas dipugar seperti istana. Menurutku bibit korupsi dimulai dari ketidakmampuan kita untuk menahan diri supaya nggak hidup bermewah-mewah. Lihat uang negara nganggur, dipakai dulu buat membangun rumah. Katanya pinjam dulu, nanti dikembalikan. Tapi pas waktunya mengembalikan, lupa. Begitu juga orang yang melakukan penipuan umrah, investasi bodong atau apa. Atau merebut pasangan orang. Semua ingin kaya dengan cepat."

"Wow, Halmar, aku nggak pernah mikir sampai ke situ. Aku jadi maklum kenapa temanku mencurigai motifku saat aku menikah sama Jeff. Mereka nggak percaya aku menikah karena cinta. Apalagi saat aku bertemu mereka, setelah menikah, dan gaya hidupku sedikit beda dengan gaya hidupku yang dulu."

"Money is nice to have, but we mustn't be obsessed with it. Aku bukan anti dengan barang-barang mahal, aku juga memakainya, hanya saja aku nggak mau menunjuk-nunjukkan kepada orang lain. Ya, kalau gaya hidupku menjadi inspirasi, kalau malah menjadi sumber iri hati? Atau rendah diri?"

"Apalagi kamu pernah menggandeng seorang princess, iya, kan?"

Halmar tertawa. "Kalau aku nggak ingin kelihatan seperti sekarung beras saat bersamanya dan difoto paparazzi, ya, aku harus pakai bajuku yang paling bagus."

Perjalanan mereka tinggal separuh lagi. Sengaja Halmar mengajak berangkat sangat pagi, supaya mereka tidak tergesa-gesa dan bisa menikmati waktu berdua lebih lama. Daerah yang akan mereka datangi biasanya ramai pada hari libur dan akhir pekan. Oleh karena itu, Halmar menjadwalkan kencan mereka pada hari Rabu. Mereka sama-sama punya jam bekerja yang fleksibel, jadi mereka bisa mengosongkan jadwal pada hari ini.

"Media tetap menghitung kekayaanmu." Renae memperbaiki posisi duduknya.

"Ah, itu nggak seratus persen akurat. Kalau mereka tahu seberapa banyak hartaku, atau pendapatanku, aku akan ada di urutan pertama orang terkaya sejagad raya dan nggak terkejar," canda Halmar sambil menyeringai lebar dan disambut tawa lepas Renae.

"Kamu tahu, Renae," kata Halmar setelah tawa Renae reda. "Aku nggak akan memilih kencan seperti ini kalau bukan bersamamu. Duduk di mobil selama dua atau tiga jam tanpa bisa melakukan apa-apa, kecuali mengobrol, bukan kegiatan yang bisa kulakukan dengan sembarang orang.

"Aku harus benar-benar menyukai wanita itu dan yakin kami berdua nyambung. Atau aku nggak akan bisa menikmati perjalanan panjang seperti ini. Dua atau tiga jam pasti terasa sangat lama. But the right person in a journey makes the day seem shorter."

Renae mengangguk setuju. "Aku juga nggak mau pergi berdua sama laki-laki, naik mobil lama banget seperti ini, kalau bukan kamu yang mengajak. Pasti nggak ada topik menarik yang bisa dibicarakan buat mengisi waktu."

Halmar mengulurkan tangan kirinya untuk menggenggam tangan Renae. "Memang benar kata orang. Bukan masalah ke mana tujuan kita pergi, tapi menentukan siapa teman perjalanan kita itu yang penting. And I am very glad that that person is you."

***

People never forget two things, their first love and their very first special date. Sampai kapan pun Renae tidak akan pernah melupakan hari ini. Kencan pertamanya dengan Halmar. Untuk kencan pertama mereka yang sangat istimewa, Halmar memilih Kebun Raya sebagai lokasi. Tadi begitu sampai di sini, Halmar menyewa dua sepeda. Di dalam ransel hitam di punggungnya, Halmar membawa kamera dan binocular.

Karena hari ini tengah minggu, Kebun Raya sepi. Hanya dua atau tiga kali mereka berpapasan dengan pengunjung lain. Langit cerah, udara bersih, dan sinar matahari tidak langsung mengenai tubuh—tertahan daun-daun. Waktu dan lokasi kencan mereka benar-benar sempurna.

Delapan puluh lima hektar bukan area yang sempit untuk dijelajahi, tapi Renae sama sekali tidak merasa lelah. Tubuh dan hatinya ringan sekali. Beberapa kali mereka berhenti. Di Rumah Kaca Khusus Anggrek, Halmar membelikan Renae bibit anggrek hitam seharga seratus lima puluh ribu rupiah. Mereka juga mengunjungi Toko Botani, Bank Biji, dan toko suvenir, di mana Halmar membeli setumpuk kartu pos bergambar tumbuhan asli Indonesia.

Halmar mengajari Renae melakukan birdwatching menggunakan binocular. Siapa yang menyangka mengamati dan mengenali berbagai macam jenis burung bisa romantis begini? Ketika menunjukkan kepada Renae cara memotret menggunakan kamera yang disambungkan dengan binocular, Halmar duduk di belakang Renae. Dan melingkarkan kedua lengannya di atas bahu Renae, supaya bisa membantu Renae mengubah-ubah pengaturan.

Kepala Halmar tepat berada di samping kiri kepala Renae. Beberapa kali pipi mereka bergesekan. Napas hangat Halmar, ketika menjelaskan mengenai titik fokus binocular dan kamera, membelai pipi Renae. Membuat Renae tidak bisa konsentrasi dan hanya bisa mengangguk, pura-pura mengerti. Setiap kali Renae memutar wajah, tersenyum bangga menunjukkan hasil bidikannya kepada Halmar, Halmar memujinya lalu mencium pelipis puncak kepala Renae.

Setelah puas memotret burung-burung—yang tidak akan ditemui di kota—sekarang Renae sedang menggambar dan nyaman menyandarkan punggungnya di dada Halmar. Kedua lengan Halmar memeluk pinggang Renae.

"Sejak kapan kamu bisa menggambar?" Gerakan dagu Halmar saat bicara menggelitik pucuk kepala Renae.

"Sejak kecil sudah suka. Aku selalu bawa sketch book dan pensil ke mana-mana."

"Kenapa nggak kuliah jurusan seni atau yang terkait itu?"

"Nope. Aku suka Kimia." Renae sedang menggambar sketsa induk burung yang sedang menyuapi anak-anaknya di sarang di atas pohon. "Aku ingin bebas saja menggambar sebisaku. Belajar sendiri dari banyak sumber. Nggak ada niat buat dapat uang dari menggambar. Tapi ternyata gambaranku laku dijual."

"Pasti laku. Bagus banget begini."

Selama beberapa saat tidak ada yang bersuara di antara mereka. Suara burung-burung dan desau angin mengisi kesunyian. Menyenangkan dan menenteramkan. Renae semakin mengagumi kesabaran Halmar. Sama sekali Halmar tidak terburu-buru mengakhiri bagian kencan mereka yang tidak biasa ini. Sabar menunggu Renae selesai menggambar. Kalau Jeff dulu, sudah berkeliaran sendiri karena bosan duduk melihat Renae menggambar.

Saat punya anak nanti, Renae membayangkan Halmar akan membawa mereka pergi berpetualang ke tempat baru. Mengenalkan mereka pada berbagai macam hal baru. Seperti yang mereka lakukan sekarang. Anak mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang penuh rasa ingin tahu dan ... whoa, anak mereka? Renae menggeleng, memejamkan mata, dengan hati merana, dia dan Halmar tidak akan punya anak bersama. Tidak ada masa depan untuk mereka.

***

Baca cerita ini dengan lebih lengkap, kunjungi Tokopedia ikavihara. Masih ada bonus booklet bab ekstra. Dan gratis ongkir :-) Atau WhatsApp 0895603879876. Yang nanya Shopee, saat ini belum bisa. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top