DUA

"Itu natural saja, Re, saat menghadapi musibah, orang pasti mencari sesuatu atau ... seseorang untuk disalahkan. Yang penting sekarang aku sudah tahu bahwa itu semua adalah takdir. Aku mencintaimu, Re. Mau kita punya anak atau nggak. Kita sudah lama bersama dan aku bahagia menjadi suamimu. Apa kamu sudah berhenti mencintaiku?"

"Nggak ada gunanya membahas cinta sekarang." Karena cinta saja tidak cukup untuk membuat pernikahan berjalan baik.

"Renae, perceraian kita telanjur terjadi. Nggak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya. Tapi ambillah waktu untuk berpikir lagi. Aku akan menunggumu. Nanti kita bisa memulai lagi, dari awal, bersama-sama."

"Kita nggak akan kembali bersama. Goodbye, Jeff." Bagaimana mereka bisa memiliki masa depan bersama, kalau milik Renae sudah dikubur bersama jasad anaknya enam bulan yang lalu? Tidak akan ada rumah tangga yang bahagia untuk mereka, jika ibunda Jeff bernapas di belakang leher Renae setiap waktu. Menuntut untuk segera diberi cucu.

Loving someone doesn't mean you are right for each other. Semakin cepat Renae menerima kenyataan ini, akan semakin baik.

"Aku mencintaimu, Re. Selalu mencintaimu...." Suara Jeff masih terdengar ketika Renae membuka pintu mobilnya.

***

Hari Ibu pertama bagi Renae—sebagai seorang ibu—datang tepat sepuluh bulan setelah kepergian Maika. Kalau setiap pelaku usaha memilih hari ini untuk mengeksekusi promosi Hari Ibu—iklan-iklan sudah gencar dikeluarkan jauh-jauh hari sebelumnya—Renae justru memilih menutup La Papeterie. Supaya pegawai-pegawainya bisa menghabiskan waktu bersama ibu mereka. Tidak ada diskon yang disiapkan Renae. Renae hanya menyediakan kartu-kartu ucapan selamat Hari Ibu. Yang didesain sendiri oleh Renae. Dan habis terjual hanya dalam waktu satu minggu saja.

Seandainya saja semua orang tahu seberapa banyak air mata yang keluar ketika Renae membuat kartu tersebut. Kenyataan bahwa selamanya tidak akan ada anak yang memberikan kartu seperti itu kepadanya, membuat Renae merana. Betapa Renae iri membayangkan para ibu yang menerima ucapan selamat dari anak mereka. Anak yang sehat dan bisa mencapai usia dewasa. Mungkin mereka mengisi Hari Ibu dengan memasak bersama, ke salon, makan siang, atau menyusun foto-foto lama supaya bisa diceritakan kepada generasi berikutnya.

Dengan menghapus semua akun media sosial pribadinya, Renae pikir dia akan bisa terhindar dari segala konten terkait Hari Ibu. Ternyata dia salah besar. Setiap pulang dari dan berangkat ke La Papeterie, Renae melihat spanduk di depan sebuah bengkel resmi kendaraan, yang menawarkan hadiah dan diskon untuk para ibu yang datang mereparasi kendaraan mereka pada Hari Ibu. Supermarket memasang pengumuman kontes bakat ibu dan anak dengan hadiah cukup besar.

Renae menarik napas dan memejamkan mata. Sudah setengah hari dia duduk di sini, di ruang tengah rumahnya dan termangu menatap foto di pangkuannya. Satu-satunya foto bersama Maika yang dia miliki. Hanya dua kali Renae diperbolehkan menggendong anaknya. Beruntung ibu Renae ada di sana dan sempat memotret menggunakan ponsel. Jemari Renae menyentuh bibir mungil anaknya, hidung kecilnya, lalu matanya yang terpejam.

Kepala Renae berdenyut ketika seseorang meneriakkan kata permisi dan paket berkali-kali dari depan rumah. Mau mengenang Maika, ada saja gangguannya. Minggu ini Renae tidak merasa membeli apa-apa. Juga tidak ada teman atau kenalan yang memberi tahu sedang mengirim sesuatu. Renae membuka pintu dan setelah memastikan bahwa kiriman tersebut benar untuknya, Renae membaca nama pengirim. Senyum terbit di bibir Renae melihat nama Halmar di sana.

Cepat-cepat Renae masuk dan mengunci pintu depan. Karena penasaran dengan isi paket yang dikirimkan Halmar untuknya. Setelah kertas cokelat tebal terbuka, di dalamnya Renae mendapati kotak kayu berwarna putih. Indah sekali, dengan ukiran bunga mawar yang rumit. Dengan hati-hati Renae melepas pengait besi. Sebuah snow globe merah muda yang berkilau mengintip di antara shredded paper putih. Di dalam snow globe terdapat koala abu-abu yang lucu. Dari balik kepala koala besar, menyembul kepala mungil anak koala. Ada tulisan Mummy and Me di bagian depan fondasi snow globe. Manis sekali.

Renae membuka dan membaca kartu yang terlampir dengan hati bergetar.

Dear Renae,

I recognize it is Mother's Day, and I'm thinking about you and Maika.

Halmar

"Oh, Halmar." Renae menyentuh dadanya.

Dari semua orang terdekat Renae, siapa sangka malah Halmar yang bisa mendengar suara hati Renae hari ini. Halmar yang berada jauh di Swedia. Saat semua orang takut menyebut nama Maika, mungkin khawatir akan membuat Renae sedih teringat kejadian tidak menyenangkan tersebut, Halmar menjadi satu-satunya orang yang tidak mengingkari keberadaan Maika dan posisi Renae sebagai ibu Maika.

Sejak awal minggu ini, Renae selalu bertanya-tanya apakah hari Ibu juga diperuntukkan untuk wanita-wanita sepertinya. Yang hanya bisa memeluk foto anak mereka, bukan tubuh anak mereka. Meski sejarah menyebut hari Ibu adalah harinya kaum wanita secara keseluruhan, tidak terbatas pada ibu, tapi opini sudah telanjur dibentuk oleh reklame-reklame, bahwa hari ini dikhususkan untuk pada ibu.

Renae memeluk snow globe dan kartu tersebut di dadanya. Betapa satu kalimat dari Halmar membuat Renae harus kembali melihat hari Ibu dengan kacamata berbeda. Hari Ibu ada untuk memberi penghargaan kepada semua wanita, baik yang anaknya masih hidup maupun sudah tiada. Untuk memberi mengingat dan memberi hormat kepada para wanita yang berharap bisa menjadi ibu, namun karena satu dan lain hal, mereka tidak bisa, baik untuk sementara maupun selamanya.

"You are very remarkable man, Halmar. Very special," bisik Renae di sela air matanya.

Jika Halmar ada di hadapannya sekarang, Renae akan berlari memeluknya dan mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Namun karena Halmar tidak ada di Indonesia, mungkin Renae akan memeluk Alesha saja. Karena, walaupun Renae menolak dengan berbagai alasan, Alesha telah mengenalkan Renae kepada Halmar—adik ipar Alesha.

Speaking of the devil. Ponsel Renae—tergeletak di meja rendah di depannya—bergetar. Menampilkan nama Halmar di layar.

***

"Hei, Halmar." Sepasang mata Renae berbinar menatap Halmar.

Why does she have to be so breathtakingly beautiful? Pada pertemuan pertama mereka, Halmar mengakui—dan mengagumi—bahwa Renae adalah wanita paling cantik yang pernah dia temui. Dari dalam dan luar. Tetapi kenapa hari ini Halmar tetap kehilangan kata untuk menggambarkan betapa memesonanya Renae? Halmar hanya bisa menatap terpaku wanita luar biasa yang kini berdiri di hadapannya.

Meminta Halmar mengalihkan pandangan dari wajah Renae seperti meminta seseorang yang baru sembuh dari kebutaan untuk tidak memandang langit biru. Setelah hidup dalam kegelapan yang tidak menyenangkan, mereka haus akan warna dan tidak akan berhenti menatap segala sesuatu yang berwarna hingga dahaganya terpuaskan.

Dengan celana jeans yang membalut kaki jenjangnya seperti kulit kedua dan atasan off the sholder yang menampilkan tulang selangkanya yang sempurna, Renae akan menyebabkan kemacetan jika Renae berjalan di trotoar. Karena semua pengemudi—lebih-lebih laki-laki—akan memilih berhenti untuk mengagumi Renae daripada melanjutkan perjalanan.

Pernah dengar cerita bahwa wanita Jawa itu ayu dan elegan? Renae adalah salah satu bukti nyata. Tidak perlu menunggu Renae mengenakan pakaian tradisional untuk melihat keanggunannya. Memakai celana seperti sekarang pun tak ada bedanya.

Untuk ukuran wanita Indonesia, Renae tinggi. Tubuh Renae ramping. Sepasang kakinya yang panjang tiada batas memancing laki-laki berfantasi, membayangkan bagaimana jika sepasang kaki indah tersebut melingkari pinggang mereka pada malam pengantin. Lekuk-lekuk tubuh Renae bisa dikenali dengan jelas, meski atasan yang dipakai tidak pas badan. Dari dada yang, hell, tidak terlalu besar tapi juga tak bisa dibilang datar, hingga ke pinggang yang kecil, tidak ada satu jengkal pun bagian tubuh Renae yang tidak membuat Halmar terpukau.

Usaha Halmar mengingatkan dirinya sendiri bahwa Renae belum siap menjalin hubungan, hanya ingin berteman, tidak akan pernah cukup untuk menghilangkan sebuah rasa di hati Halmar. Rasa yang hingga kini belum bisa dia deskripsikan dengan baik. Menamai perasaan itu cinta agaknya terlalu cepat. Mungkin tertarik lebih tepat, walau kata itu terlalu sederhana untuk bisa menggambarkan perasaan Halmar terhadap Renae. Halmar menyukai Renae sejak pandangan pertama dan ketertarikan itu ternyata—baru dia ketahui—telah berkembang pesat, sangat pesat, pada pertemuan mereka yang kesekian kali hari ini.

Wajah cantik Renae, dengan hidung mungil yang tidak terlalu mancung, mata bulat besar yang hampir menghabiskan seluruh wajahnya, dan tulang pipi sempurna, sangat sulit dihapus dari ingatan. Rambut hitam tebalnya, yang tampak lebih halus daripada sutra paling mahal di dunia dan berkilau di terkena pantulan sinar matahari, jatuh sempurna di kedua sisi wajah Renae. Halmar ingin membenamkan jemarinya di sana, dan membuktikan apakah bayangannya sesuai dengan kenyataan.

Bibir Renae tidak kalah menggoda. Penuh dan merekah. Setelah kembali ke Swedia, Halmar melanjutkan kelas memanah yang sudah satu tahun diikutinya. Baru satu pertemuan, Halmar berhenti. Sebab saat memegang busur, Halmar terus teringat pada bibir Renae dan keinginan Halmar untuk mencium Renae.

Namun bagian wajah Renae yang paling memikat—dan paling lekat di ingatan Halmar—adalah kecerdasan terpancar dari sepasang mata indahnya. Sayangnya hingga hari ini sepasang mata tersebut masih menyimpan kesedihan.

"Halmar?" Renae melambaikan tangan di depan wajah Halmar. "Kamu kenapa?"

Halmar mengerjapkan mata, lalu kembali terpaku saat Renae menghadiahinya seulas senyum.  Yang serupa senyum bidadari. Membuat dunia Halmar yang semula suram—terutama pada Hari Ibu—menjadi cerah kembali.

Halmar menelan ludah, berusaha membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Dan menyuruh dirinya untuk berhenti mengamati bibir Renae. Yang menggairahkan sekali hari ini. Warna bibir seperti buah ceri. Membuat Halmar ingin mencicipi rasa manisnya saat ini juga. Di sini. Di teras rumah yang terang benderang. Memikirkan hari masih siang dan banyak orang lewat, Halmar membunuh hasratnya.

"Hei, Halmar?" Renae menyentuh lengan Halmar.

Demi Tuhan, Halmar ingin meninju dirinya sendiri. Sudah berapa kali dia berbicara di depan para kandidat Ph.D dari seluruh dunia, peneliti dan pakar berbagai bidang keilmuan, bahkan di depan pemimpin militer negara adidaya, tapi kenapa lidahnya kelu ketika berhadapan dengan Renae?

***

Kalau kamu menyukai cerita ini, jangan lupa tinggalkan komentar untukku plus kasih bintang untuk Renae dan Halmar :-) Ajak juga teman-temanmu untuk baca. Thank you. Baca juga cerita-ceritaku yang sedang berjalan, cek di daftar bacaan/pekerjaanku.

Love, Vihara(IG/Twitter/FB/TikTok ikavihara, WhatsApp 0895603879876)



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top