4. Fake Sincerity

Atmosfer terasa berat dan menyesakkan, perkataan Damien tentang jiwa terus menggema di kepala Cheonsa-membuatnya sadar bahwa dia sudah terperangkap dalam permainan kegelapan ini. Satu tawa kecil lolos dari bibirnya, dan dia mendongak, menatap Damien. Jarak mereka begitu dekat, sampai-sampai dia bisa merasakan hembusan napas Damien yang dingin.

Pangeran iblis itu mendekat, senyum penuh janji terukir di wajahnya. Tangannya menyentuh helaian rambut pirang Cheonsa, menciumnya seolah benda suci. "Menjual jiwamu padaku tidak akan sia-sia, Cheonsa," bisiknya, suaranya lembut tapi penuh ancaman. "Dengan kekuatanku, balas dendammu akan terwujud lebih cepat dari yang bisa kau bayangkan."

Mata Cheonsa menyipit tajam, perhitungan menghiasi wajahnya. Dia tidak bodoh. Setiap kata Damien diperhitungkan dengan seksama. Damien ingin mengendalikannya, bukan sebagai partner, tapi sebagai boneka. Amarah perlahan membakar di dadanya. Tidak ada yang boleh memegang kendali atas dirinya selain dirinya sendiri!

Tanpa ragu, Cheonsa meraih kerah Damien, menariknya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. Seringai tersungging di bibirnya, matanya yang berkilau amethyst bersinar penuh ambisi. "Bukankah lebih baik jika kau yang menjadi alatku, Damien?" bisiknya, nada suaranya penuh tantangan. "Aku bisa memberimu lebih banyak jiwa murni daripada yang pernah kau impikan."

Damien terkekeh, terpesona oleh gadis ini. "Menarik," gumamnya. "Kau menawarkan jiwa-jiwa itu seolah kau sudah tahu bagaimana mencemari mereka."

Senyum lengkung muncul di bibirnya, menikmati ketegangan yang mulai terbentuk di antara mereka. "Kau tidak takut bermain dengan api, Cheonsa?"

Cheonsa menatap Damien dengan percaya diri. "Takut? Kau harus tahu, Damien, aku tidak pernah takut-tidak kepada kekuatan, dan tidak juga kepadamu."

Cheonsa mendorong Damien menjauh dengan satu gerakan cepat, lalu melangkah keluar dari gang dengan tenang. Sesaat dia menoleh, sinar jingga senja menerangi wajahnya yang penuh dengan kecantikan alami. "Aku menolak tawaranmu untuk menjual jiwaku."

Cheonsa menatap langit, namun pikirannya dipenuhi kegelapan. Dia tidak perlu menjual jiwanya untuk balas dendam. "Tapi jika kau ingin menjadikanku partner untuk mengumpulkan jiwa murni, aku bisa mempertimbangkannya."

Damien tertawa dalam bayang-bayang, bersandar pada dinding gelap. Dari kegelapan, Cheonsa bisa melihat mata iblis Damien menyala merah, aura gelap menyelimutinya. "Apakah kau tahu apa yang kau maksud dengan jiwa murni, Cheonsa?" tanyanya, nada suaranya mengejek.

Seolah berada di perbatasan antara cahaya dan kegelapan, Damien tetap di bayang-bayang, menggoda Cheonsa yang berdiri di bawah sinar jingga senja. "Jiwa-jiwa murni ... semakin sedikit dosa yang mereka miliki, semakin besar kekuatannya. Jiwa-jiwa seperti itu adalah kunci menuju kekuatan yang tak terbatas."

Ketika Damien melangkah keluar dari kegelapan, matanya berubah menjadi biru es. Sorotan itu membuat Cheonsa terpaku sejenak. Damien mendekat dan menyentuh pipinya dengan lembut, namun sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik yang mematikan. "Sebagai partnerku, kau yakin bisa memberikan itu padaku?"

Cheonsa merasakan sentuhan dingin yang membakar kulitnya. Membawakan jiwa-jiwa murni untuk Damien? Tidak ada yang tidak bisa dia lakukan untuk mencapai tujuannya. "Jika aku melakukannya, kau akan membantuku dalam balas dendam?" tanyanya tajam.

Damien mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Tentu saja, kita akan berkuasa bersama."

Ambisi Cheonsa sudah mengalahkan keraguannya. Dia tahu ini berbahaya, tapi ini adalah risiko yang harus dia ambil. "Baik," katanya akhirnya, suaranya penuh ketegasan. "Kita punya kesepakatan. Aku akan membawakanmu jiwa-jiwa murni, dan kau akan membantuku mendapatkan kekuatan yang kubutuhkan."

Damien mundur, masih dengan senyum licik di wajahnya. "Keputusan yang bijaksana, Putri. Kau tidak akan menyesal."

Namun, jauh di lubuk hatinya, Cheonsa tahu bahwa dia tidak akan pernah membiarkan Damien menguasainya. Dia akan selalu berada selangkah di depan

...

Cheonsa duduk di bangku jendela, menatap pekatnya langit malam sambil memegang gitar. Tangannya memetik senar, membunyikan melodi lembut untuk mengisi keheningan. Di tengah petikan gitar, suara desingan terdengar, dan ruangannya perlahan menggelap. Dia menoleh ke dalam kamar, dan di sana terdapat pusaran berwarna merah bercampur hitam bergerak seperti portal, sebelum Damien muncul dengan seringai miring di wajahnya.

Dia membuka kedua tangannya, mendekat ke arah Cheonsa. "Tidakkah kau mau menyambutku, Putri?" Cheonsa mendengus dan membuang wajahnya kembali menatap langit, sudah terbiasa dengan sikap narsis sang iblis.

"Aku terluka." Damien berpura-pura cemberut, menepuk dadanya. "Kau begitu dingin, Putri," katanya, mulai melangkah mendekat ke belakang Cheonsa. Perlahan, tangannya menyapu kepala, dan dagunya menempel di atas kepala Cheonsa, tangannya bergerak menyentuh kedua sisi tubuh Cheonsa. "Jadi bagaimana kau mau membawakan jiwa murni untukku?"

Cheonsa terdiam sejenak, satu tangannya menyentuh pipi Damien. Artikulasi suaranya tenang dan stabil. "Dengan lagu-laguku," katanya singkat, menatap mata biru es milik Damien yang menyimpan kegelapan. "Masukkan pesan tersembunyi, energi jahat yang mengikat jiwa. Buat orang yang menyukai lagu itu terikat jiwa denganmu tanpa mereka ketahui."

Damien mengangkat satu alis, skeptis. "Kau yakin ini akan berhasil? Tidak ada jaminan mereka akan menyukainya dan terikat padaku."

Cheonsa dapat memahami apa yang tertera di wajah Damien. Dia mencekik leher Damien, tetapi tangannya tak mencengkeram erat, hanya melingkar dan menarik wajah itu mendekat secara paksa. Cheonsa menyeringai, berbisik penuh percaya diri. "Aku akan membuat orang-orang suka dengan laguku. Sejauh ini mereka sudah melakukannya, kenapa kau begitu tak yakin? Tidak ada salahnya mencoba, 'kan?"

Damien terkesima dengan keberanian Cheonsa. Sebagai pangeran iblis, dia jarang dihadapkan pada penolakan. Dia tahu bahwa sikap Cheonsa tak tergoyahkan oleh keraguan. "Sesuai keinginanmu, Putri. Mari kita coba."

Cheonsa memandang dingin Damien, tangannya mencengkeram lebih erat hingga dia bisa merasakan buku-buku tangannya memutih. Seringai di bibir Damien semakin lebar ketika dia mendesah, napasnya tercekat, sembari memejamkan mata. "Bawakan lagunya... Aku... akan memasuk... kan mantra pengikat ji... wa di dalamnya..."

Melihat Damien di bawah cekikannya, Cheonsa tersenyum lebar. Damien tahu bagaimana memanipulasi manusia, membuat hasrat gelap mereka terpenuhi, dan dia tidak segan menggunakan cara kotor untuk melakukannya. Di tengah cekikan itu, Cheonsa melantunkan lagu, suaranya rendah, seperti berbisik, melantunkannya lembut. Suara indahnya seolah membawa daya tarik yang tak terhindarkan.

Damien merasakan saluran napasnya berhenti, kuku panjang sang gadis menancap hingga menembus kulit, cengkeraman di lehernya menguat dari waktu ke waktu. Walau begitu, kini dia dalam bentuk manusia, merasakan rasa sesak, ketidaknyamanan, kelemahan, dan itu hanya dilakukan Cheonsa. Akhirnya, dia menepuk tangan Cheonsa hingga dia melepaskan genggaman, terbatuk dengan wajah merah sebelum menatapnya dengan senyum menyeringai penuh ketertarikan.

Lantas setelah mengambil napas, Damien bergumam lembut, mengikuti alunan Cheonsa berkomat-kamit membacakan mantra. Dari bibir Cheonsa, nada notasi musik bersinar berwarna ungu lembut berjajar di udara, lantas terdapat tulisan kuno berwarna hitam milik Damien. "Obligatus anima tua in tenebris aeternis, Per verba mea, vincula tua formantur. Ex umbris ego te vinco, In nomine daemonium, spiritus tuus sub me erit." Bersamaan dengan itu, ukiran kuno dan notasi menyatu menciptakan ungu gelap yang kuat.

Damien merasakan energi magis miliknya menyatu dengan Cheonsa, dalam cara mengejutkan yang intim, seolah serpihan jiwanya dan Cheonsa menyatu. Dia bangkit, memegangi lehernya dengan jejak merah cekikan. Berdiri di depan Cheonsa, dia menilai gadis itu dari atas hingga bawah, mempertimbangkan hasil kerjasama ini.

"Aku akan menunggu jiwa yang akan kau bawakan padaku. Lebih baik kau tidak mengecewakan." Setelah melihat tatapan predator Cheonsa, Damien merasa puas. Dia tahu dia telah melakukannya dengan baik.

...

Damien menghilang dalam kegelapan, memasuki dunia iblis dengan bentuknya yang kembali ke wujud aslinya. Tubuhnya berubah menjadi merah dengan kulit kasar, sayap hitam menjulang di punggungnya, dan tanduk di kepalanya. Matanya kini sepenuhnya hitam dengan garis lurus merah di tengahnya. Sekarang jelas bahwa dia adalah Pangeran Damien dari dunia iblis, pengendali jiwa manusia.

Di tengah bayang-bayang, Damien merencanakan bagaimana memanfaatkan Cheonsa, gadis yang memikat dengan potensi luar biasa. Dia menyadari bahwa jiwa-jiwa murni yang bisa dia kumpulkan adalah kunci untuk meningkatkan kekuatan dan statusnya di dunia iblis. Jiwa yang belum ternoda memiliki energi lebih besar, dan Damien telah diajarkan sejak kecil betapa pentingnya menguasai jiwa-jiwa ini.

Waktu berlalu tanpa disadari. Saat tertidur, dia tersentak merasakan energi yang memenuhi dirinya, melihat dadanya bersinar. Tanah yang dipijaknya bergetar, para pengikutnya berseru keras dari sudut istana kegelapan.

Ketika dia membuka jendela, melihat dataran di dunia iblis, dia terpaku. Kilatan cahaya emas melesat turun menghantam tanah gersang, menciptakan guncangan tepat di depan kediamannya. Dia melompat dari jendela, melebarkan sayapnya dan terbang mendekati kilatan cahaya yang seperti meteor.

Cahaya itu adalah jiwa murni yang melesat pada iblis yang membacakan mantra untuk mengikat jiwa. Tangan Damien gemetar, matanya terbelalak-jiwa murni yang sulit diperoleh para iblis kini ada dalam genggaman. Bukan hanya satu, dua, bahkan tiga jiwa murni jatuh. Dia mengulanginya sekali lagi, kini tiga jiwa murni dalam genggamannya!

Apakah menurutmu ini hal wajar? Bagi dunia iblis, ini adalah kemustahilan. Satu jiwa murni saja hanya bisa didapatkan sekali dalam keabadian iblis karena tingkat kesulitannya. Mereka harus menggoda dan merayu manusia berjiwa murni untuk terikat pada mereka tanpa merusak jiwa itu.

Damien yang masih terkejut tersadar. Cheonsa ... dia benar-benar menepati janjinya dengan kecepatan mengerikan. Ketika dia menawarkan kesepakatan, dia tak menyangka mendapatkan hasil secepat ini, hanya dalam hitungan minggu! Jiwa murni itu sulit didapatkan, tetapi dengan lagu yang dibawakan sang putri, kini semua menjadi lebih mudah.

Perlahan keraguannya menghilang, serta kekagumannya semakin tumbuh di dalam dada. Begitu menakjubkan, bagaimana seorang manusia biasa mendapatkan jiwa murni lebih dari iblis pengincar jiwa yang sudah hidup ribuan tahun.

Namun, kekaguman itu segera tergantikan oleh niat jahat yang muncul di benaknya. Melihat potensi ini, Damien berniat menguji moralitas Cheonsa. Bukankah dia harus mengujinya? Dia memang mengaku bahwa Cheonsa adalah partner, tetapi jauh di lubuk hati dia tidak mau tunduk pada manusia biasa. Bayak hal yang harus dipastikan, bisakah dia menyerah pada kegelapan sepenuhnya?

Dia tahu gadis itu baru menyanyikan lagu di acara akademi, pesta bangsawan, dan festival sekolah. Dan itu masih di dalam batasan yang aman hingga belum mencapai garis-garis batas. Senyum licik terlukis di bibirnya, dia harus mendorong Cheonsa lebih jauh. Hingga ke ujung batas yang membuat dia sepenuhnya menjadi penjahat.

Karena itu setelah mendapatkan tiga jiwa murni dia menemui Cheonsa. Dunia iblis dan manusia memiliki waktu yang berbeda sehingga kini di dunia manusia sedang siang. Kali ini dia berada di lapangan akademi. Dia kembali menggunakan wujud manusianya, menyamar jadi murid akademi, berbaur hingga akhirnya dia menemukan Cheonsa yang sedang tertawa dengan teman-temannya.

Sungguh topeng yang manis ... Cheonsa tertawa seolah dia gadis biasa, tidak seperti orang yang sudah memberikan jiwa-jiwa murni pada iblis. Melihat wajah cerah sang gadis, dia tahu Cheonsa menikmati hidupnya dan perhatian semua orang, bersembunyi di balik topeng bintang penjahat.

Damien membuat jalannya menuju Cheonsa, tangannya meraih bahu sang putri dan menciumnya lembut. Itu membuat sang empu terkesiap, juga teman-temannya yang memandang dengan mata melebar, seolah siap bergosip di belakang."Hai, Sayang. Aku sangat merindukanmu. Kau seharusnya menyambutku."

Cheonsa yang bisa merasakan aura kelam dan suara serak berbisik tahu itu Damien. Dia mengganti reaksinya menjadi tersenyum tipis, dia menoleh ke belakang dan menyentuh wajah Damien. "Oh, kau merindukanku? Ini baru beberapa minggu." Tatapan superior terlihat di dalam kilatan mata amethyst Cheonsa. Seolah tahu dia sudah melakukan bagiannya dengan baik.

Melihat keangkuhan dari cara bicara Cheonsa. Damien tertawa kecil, bagaimana manusia kecil ini bisa melakukan segala hal lebih jauh dibanding apa yang dia bayangkan. Kali ini dia menatap teman-teman Cheonsa, mata biru esnya membuat mereka terpukau-seolah masuk ke dalam jiwa mereka. Dia membungkukkan badan, menengadah dengan senyum mematikan yang membuat para gadis tersipu. "Nona-nona, bisakah saya mengambil waktu kalian bersama Cheonsa sebentar? Ada hal yang harus kami bahas."

"Te- tentu!"

Cheonsa memutar bola mata melihat teman-temannya berseru tertahan menatap kagum pada Damien. Akhirnya dia mengikuti langkah Damien menuju ruang musik yang kosong. Cheonsa melipat kedua tangan di depan dada tersenyum miring. "Kau sudah mendapatkan jiwa murni yang kau inginkan, bukan? Karena itu kau datang."

Damien tertawa mendengar kata-kata Cheonsa, matanya memancarkan kekaguman dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang hampir seperti pemujaan atas keberanian dan kecerdasan sang gadis. Dia tidak bisa menahan diri, matanya menelusuri Cheonsa dari ujung kaki hingga ke wajah, lalu dengan lembut, tangannya menyentuh dagu Cheonsa, memaksa gadis itu menatap langsung ke dalam matanya.

"Benar sekali," bisiknya, suaranya rendah dan penuh godaan. "Kau melakukannya dengan sangat baik. Gadis baik sepertimu pantas mendapatkan hadiah."

Cheonsa bertanya-tanya imbalan apa yang akan diberikan oleh Damien. Matanya memperhatikan gerakan Damien saat dia perlahan membuka mulut. Dari bibirnya, sebuah kelereng hitam bercahaya merah pekat tergelincir keluar, memancarkan aura kegelapan yang menggoda.

"Bisakah aku?" bisik Damien, dengan kelereng berenergi gelap yang terjepit di antara kedua bibirnya, mendekati wajah Cheonsa.

Tanpa berkata-kata, Cheonsa membuka bibirnya, menerima pendekatan Damien. Bibir mereka bersentuhan dengan lembut, seolah waktu berhenti. Kelereng itu tergelincir dari bibir Damien, masuk ke dalam mulut Cheonsa, dan seketika gelombang energi gelap terasa merasuk ke dalam dirinya. Cheonsa memejamkan mata, merasakan kekuatan yang begitu asing namun memikat membanjiri tubuhnya.

"Aku memberikan sebagian kekuatanku padamu. Jika kamu berkeja lebih baik aku akan memberikan kekuatan yang lebih kuat." Damien setengah berbisik, mengecup bibir sang gadis. Dia menangkupkan wajah Cheonsa. "Kau memiliki akses untuk mengendalikan jiwa manusia mulai dari saat ini. Itu kekuatan yang kuberikan padamu."

Cheonsa menatap Damien, tangannya menyapu bibir lembut sang iblis. Ini ciuman pertamanya ... dan dia dapatkan adalah kekuatan untuk mengendalikan jiwa. Bukan merona atau tersipu mendapatkan sensasi sentuhan pertama dengan lawan jenis. Cheonsa merasakan kegelapan dalam dirinya semakin kuat, langkah awalnya begitu manis untuk melakukan balas dendam.

"Kau bisa memanipulasi jiwa yang terikat dengan lagumu, pesonamu meningkat hingga kini tak ada yang tida bisa terobsesi dengan dirimu. Bukan hanya satu, tapi lebih banyak dari yang kau pikirkan. Untuk saat ini itu yang bisa kuberikan." Damien tersenyum kecil, merasakan kini sebagian dari dirinya berada di dalam Cheonsa. Anehnya dia tak menyesali hal itu.

Di tengah ketegangan sensual yang membara di antara mereka, momen itu tiba-tiba terinterupsi oleh suara pintu yang terbuka perlahan. Keduanya serentak menoleh.

"Cheonsa ...," Suara dalam dan lembut memanggil dari arah pintu. Seorang pria dengan rambut ungu dan mata sewarna berdiri di ambang pintu, pandangannya langsung tertuju pada adiknya.

Damien melirik Cheonsa, bertanya dalam diam, siapa dia? Tapi, yang membuat Damien terkejut bukanlah sosok pria itu, melainkan perubahan ekspresi Cheonsa yang tiba-tiba melunak. Tanpa ragu, gadis yang tadi begitu dingin dan penuh ambisi segera berlari kecil, menghampiri pria itu dengan manis.

"Kak Celestin! Aku tidak tahu kakak akan datang!" seru Cheonsa, nadanya mendadak lembut dan penuh kehangatan. Damien hanya bisa melongo, tak percaya dengan perubahan mendadak Cheonsa. Apakah ini gadis yang sama? Gadis yang tadi penuh kegelapan kini tampak polos, seperti malaikat tak berdosa.

Cheonsa memeluk erat pria itu, senyum tulus tergambar di wajahnya, seolah-olah seluruh ambisi dan dendam yang baru saja dia tunjukkan telah lenyap. Damien tertawa kecil, tak dapat menahan rasa geli yang muncul dalam dirinya. "Menarik ... ini semakin menarik," gumamnya pelan, seringai tipis terukir di bibirnya.

"Kakak merindukanmu," bisik Celestin sambil mengecup lembut pucuk kepala Cheonsa. Tatapannya penuh kelembutan, namun ketika pandangannya beralih ke Damien, sorot matanya berubah dingin dan tajam.

Celestin mempererat pelukannya pada Cheonsa, melindungi adiknya seolah dia adalah satu-satunya hal berharga di dunia ini. Tatapan Celestin yang dingin terarah pada Damien, penuh peringatan dan ancaman tersembunyi. "Jangan pernah berpikir bisa menyentuh adikku semaumu," katanya dingin. "Bahkan jika kau menganggap dirimu kekasihnya."

Damien menahan tawa yang hampir meledak. Sikap posesif Celestin justru membuatnya semakin tertarik dengan situasi ini. "Oh, aku mengerti ...," jawab Damien, senyum licik tetap menghiasi wajahnya. "Kau tak perlu khawatir. Aku tahu ... cara menghargai batas-batas."

Momen manis itu terasa singkat saat Cheonsa merasakan pelukan hangat sang kakak. Namun, di balik itu, Damien melihat niatnya ingin menguji Cheonsa lebih jauh. Dia ingin mendorong gadis itu, menguji seberapa besar dia bersedia mengorbankan hal yang paling berharga.

Setelah percakapan hangat itu, Damien melangkah lebih dekat, senyumnya tak pudar meski tatapan Kak Celestin penuh waspada. "Cheonsa," panggilnya, nada suaranya menggoda. "Kenapa tidak mencoba menyanyikan lagumu untuk kakakmu? Aku ingin tahu seberapa kuat pesonamu."

"Lagu? Lagu apa?" Kak Celestin menoleh ke arah adiknya, penuh perhatian. "Aku sudah mendengar tentang bakatmu dari kepala sekolah. Jika kau bersedia, Kakak ingin mendengarmu menyanyikan salah satu lagumu."

Cheonsa terpaku mendengar kata-kata Kak Celestin. Kak Celestin tak tahu rencananya, dan dia juga tidak berniat melibatkan sang kakak. Perlahan, matanya menatap Damien dengan keraguan, tetapi niat jahat di balik senyumnya mengusik benaknya. Dia menyadari apa yang diinginkan Damien-momen di mana dia harus menghadapi moralitasnya dan risiko kehilangan jiwa orang yang dicintainya. Apakah dia benar-benar berani?

"Beranilah, Cheonsa," desak Damien, matanya bersinar penuh tantangan. "Tunjukkan pada kakakmu seberapa jauh kau bisa pergi. Kita lihat apakah lagu-lagumu bisa membawanya terikat pada kita." Ucapan Damien semakin memprovokasi, membuat Kak Celestin semakin terlihat tertarik.

Kak Celestin sudah tahu adiknya bisa bernyanyi seperti Bunda. Namun, dia ingin melihat kemampuan adik kecilnya lebih jauh. Dengan sorot bangga, Kak Celestin meremas lembut tangan Cheonsa. "Apakah kau tidak mau bernyanyi untuk Kakakmu ini?"

Cheonsa merasakan beban moral semakin menekan. Dia menghirup napas dalam-dalam, melangkah ke panggung dengan enggan. Di hadapan sang kakak, tekanan yang mengancam semakin membesar. Dia menyalakan musik dari batu sihir, suaranya meluncur lembut, tetapi rasa bersalah mulai menyergap.

"White shirt now red, my bloody nose

Sleepin', you're on your tippy toes

Creepin' around like no one knows

Think you're so criminal ...."

Cheonsa berusaha menetralkan napasnya. Dia harus melawan rasa bersalah dalam dirinya, mengatakan bahwa kegelapan adalah tempatnya berdiri. Damien tersenyum lebar, mengetahui dia berhasil memprovokasi Cheonsa. Kak Celestin yang tak berdosa mendengarkan, mulai terpesona.

"Bruises on both my knees for you...

Don't say thank you or please..."

Cheonsa berhenti di tengah-tengah lagu, matanya menatap Kak Celestin yang rentan. Pria itu sangat menyayangi Cheonsa. Dari awal, dia sudah menjadi penggemar pertama. Sangat mudah untuk membuat jiwanya terikat. "Ayo, Cheonsa. Lanjutkan," paksa Damien, tidak henti-hentinya menguji Cheonsa, terlihat senang melihat Cheonsa menerjang rasa bersalahnya. Cheonsa menggigit bibir, meremas tangannya erat.

"I do what I want when I'm wanting to ...

My soul, so cynical ...."

Kali ini dia benar-benar berhenti. Hatinya bergetar, melihat kakaknya hampir sepenuhnya terjatuh dalam pesona yang membuatnya tak tahan. Tidak, dia tidak ingin mencemari jiwa kakaknya! Kakaknya butuh lebih baik dari ini! Cheonsa segera mematikan musik dan turun dari panggung, memeluk kakaknya. "Aku lelah, Kak. Mari kita pergi. Aku akan menyanyikan lagu yang lebih baik."

Kak Celestin yang terkejut dengan pelukan Cheonsa mengernyit, tetapi tetap memeluk Cheonsa dengan lembut dan penuh kasih sayang, tidak menyadari apa yang hampir mencemarinya. "Mari, Kakak juga ingin mendengar ceritamu selama di akademi." Cheonsa tersenyum paksa, merasa sepenuhnya bersalah.

Sebelum benar-benar pergi, dia menarik kerah Damien dan berseru tertahan. "Damien, ini salah!" Wajahnya berang, dia benci Damien yang hampir membuatnya mengikat jiwa murni sang kakak. "Kakak adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa, alasanku berbalas dendam karena pembantaian keluargaku. Dan aku akan melakukan apa pun untuk melindunginya. Sekali lagi, jika kau mengancam jiwa Kak Celestin, aku akan membunuhmu!"

Damien tersentak mendengar hal itu. Setelah mengatakannya, Cheonsa berlalu pergi merangkul Kak Celestin keluar dari ruang musik. Damien terdiam dalam keheningan, menutup mulutnya dengan tawa kecil. Astaga, dia hampir membuat masalah besar. Dia baru tahu alasan utama Cheonsa memiliki jiwa segelap itu karena keluarganya. Dia kurang berhati-hati. Sayang sekali, walau begitu, padahal tadi adalah pertunjukan yang menarik.

Namun, dia tak berhenti. Masih ada banyak cara untuk membuat Cheonsa menjadi lebih gelap dan menemukan jiwa-jiwa lebih banyak yang terikat dengannya.

...

Setelah ketegangan yang terjadi. Beberapa hari setelahnya Damien muncul di kamar Cheonsa pagi hari sekali. Dia tersenyum melihat Cheonsa yang masih tertidur lelap di atas kasur tak menyadari kehadirannya. Dilihat seperti ini, dia seperti malaikat murni yang rentan.

Tangannya menggapai rambut lembut pirang milik Cheonsa, mengecup dan mengusapnya. Hal itu membangunkan Cheonsa dari tidurnya. Segera saja dia yang terkejut menendang tubuh Damien hingga pria itu hingga terjatuh ke lantai. "Mau apa kau?" Cheonsa berkata sinis, tampaknya masih kesal karena kejadian tempo hari, jadi dia tak bersalah melihat Damien terhentak di lantai.

Damien hanya tertawa mendapatkan respon demikian. Dia bangkit dari lantai, kemudian berlutut di samping ranjang Cheonsa. "Aku ingin membawamu ke suatu tempat." Damien menyeringai main-main, tampak itu bukan tujuan yang baik. "Di mana kita bisa mendapatkan jiwa murni lebih banyak."

Cheonsa yang masih setengah tersadar mendengus, membuang wajah dari Damien. "Ini tidak ada hubungannya dengan Kak Celestin, 'kan?" Damien mengangguk, jelas sekali bahwa dia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. "Aku jamin ini tidak ada hubungannya dengan keluargamu."

"Ayo, bersiap. Kau harus tampil cantik, Sayang."

Walau curiga dia tak mengatakan apa pun. Mereka masih sekutu, terlebih setelah tahu tak melibatkan Kak Celestin dia menjadi lebih tenang. Dia bergegas mandi, memakai gaun sederhana, sedikit berdandan sebelum pergi melalui teleportasi bersama Damien.

Dia bisa merasakan kegelapan yang dalam ketika memasuki sihir teleportasi milik Damien. Setelah kegelapan yang menerpa, di ujung sana terdapat secercah cahaya. Hingga akhirnya dia memejamkan mata, melihat sudah berpindah tempat.

Hal pertama yang menyambutnya adalah sebuah gerbang besar dengan palang bertuliskan 'Panti Asuhan Gerbera'. Cheonsa tertegun, ini adalah panti asuhan yang pernah dia kunjungi bersama bunda.

Pikirannya melesat, teringat memori kecil itu. Dia bisa melihat kehangatan dan keceriaan di dalamnya. Tawa anak-anak yang bermain dan riang mengisi udara. Cheonsa mulai curiga, masih berpikir bahwa Damien masih ingin mengujinya, walau dia tahu prasangka itu bukan hanya firasat terlihat dari cara Damien menatap anak-anak itu seperti melihat mangsa.

"Cheonsa," panggilnya, suara lembutnya bergetar dengan nada penuh provokasi. Dia menyentuh pundak Cheonsa dari belakang berbisik di telinganya. "Lihatlah anak-anak kecil yang tak bersalah ini. Bayangkan seberapa murni jiwa mereka."

"Apa maksudmu?" tanya Cheonsa pura-pura bodoh. Dia bisa menebak apa yang dipikirkan Damien. Iblis itu ingin dia menjerat jiwa paling murni di dunia-anak-anak. Dia berusaha mengabaikan ketidaknyamanan saat dadanya menjadi sesak, memikirkan ujian ini adalah salah satu taktik Damien untuk membuktikan bahwa apakah Cheonsa pantas mendapatkan kekuatan lebih besar.

"Bayangkan jika lagu-lagumu bisa mengikat jiwa-jiwa ini," lanjut Damien. Cheonsa bergeming, tebakannya benar. "Kau bisa mengorbankan beberapa jiwa kecil tak berdosa demi tujuan yang lebih besar-untuk membalas dendam atas keluargamu. Mereka tidak akan pernah tahu."

Dasar iblis! Cheonsa merasakan kemarahan yang menjalar, ketidakpastian mempertanyakan moralitas. Dia menggigit bibirnya, terus mengatakan hal yang sama di dalam kepala. Damien hanya mengujinya, jika dia lolos dia bisa mendapatkan kekuatan lebih besar untuk balas dendam. Namun, dia masih ragu. "Tapi mereka tidak bersalah. Tidak ada alasan untuk mengambil jiwa mereka."

Damien terkekeh melihat bagaimana partnernya goyah. Damien menarik napas, tangannya menyusuri pundak Cheonsa. Senyumnya lebar penuh kegelapan. "Benar, mereka tidak bersalah. Tapi setiap keputusan ada konsekuensinya."

Iblis itu melihat kegelapan di dalam diri Cheonsa semakin kuat. Setiap bisikannya membuat rasa dingin menjalar ke tulang belakang sang putri. "Jiwa-jiwa ini memiliki kekuatan yang sangat besar. Kau harus tegar, Cheonsa-demi mengumpulkan kekuatanmu. Balas dendam. Kau harus siap mengambil risiko."

Dia mendorong tubuh Cheonsa ke kumpulan anak kecil yang sedang bermain. Anak-anak itu terpesona dengan kecantikan Cheonsa. Mereka berebut untuk menghampirinya. "Cobalah menyanyi untuk mereka. Apa salahnya jika sedikit kegelapan membuatmu lebih kuat?"

Cheonsa merasa terjebak dalam kata-kata Damien. Iblis ini benar-benar berusaha menyingkirkan moralitasnya. Sebagai penjahat amatir, dia masih bergulat dengan hasrat dan hati nurani. Senyuman, tawa kecil, hingga tatapan polos anak-anak membuatnya bergetar.
Apakah dia benar-benar akan mencemari jiwa-jiwa kecil ini?

Damien melihat kerentanan yang tersirat di wajah Cheonsa. Keputusasaan yang dalam, kebencian hingga rasa sakit. Dia hanya perlu mendorong sedikit lagi. "Ayo, Cheonsa. Buktikan padaku seberapa jauh kau bersedia pergi untuk kekuatan dan balas dendam. Mereka hanya anak-anak yang akan menjadi manusia berdosa. Ini hanya masalah waktu."

"Kakak cantik sekali! Kenapa orang secantik Kakak kemari?"

"Aku yang lebih dulu mendekat!"

"Tidak, tidak. Aku ingin main bersama Kakak cantik."

Anak-anak itu saling dorong mendekat ke arah Cheonsa. Mereka menarik ujung gaun Cheonsa, menatapnya dengan mata berbinar-binar penuh rasa ingin tahu. Polos. Murni. Kekuatan yang tak terbatas. Dia menarik napas dalam-dalam, tersenyum dan berjongkok di depan mereka. "Aku kemari karena ingin kalian mendengarkan laguku. Maukah kalian?"

"Tentu! Ayo, Kakak cantik. Bernyanyi, bernyanyi!"

Cheonsa menelan ludah, lalu memandang anak-anak yang menatapnya dengan mata penuh harapan. Ini bukan mereka yang bersalah. Namun, saat matanya bertemu dengan Damien, semua keraguan perlahan sirna. Dia mulai menyadari bahwa dengan mengambil langkah ini, dia bisa mengubah segalanya.

"Mendekatlah anak-anak manis." Cheonsa tersenyum, semakin banyak-banyak anak kecil yang melingkar, menantikan dirinya melakukan pertunjukan kecil. Jahat. Dia benar-benar jahat mengotori jiwa-jiwa mungil ini.

"I like it when you take control

Even if you know that you don't

Own me, I'll let you play the role

I'll be your animal."

Suaranya terdengar seperti bisikan, menghipnotis, begitu kejam dengan lirik jahat. Dia terlihat tenang, tetapi di dalam hatinya, kekacauan melanda. Dia menyadari betapa mudahnya baginya untuk mencemari jiwa-jiwa ini. Saat dia menyanyikan lirik yang seolah-olah tak berdosa, pikirannya mulai mencari cara untuk membenarkan tindakannya.

"My mommy likes to sing along with me

But she won't sing this song

If she reads all the lyrics

She'll pity the men I know."

Dia berusaha melawan rasa bersalahnya, mengabaikan suara dari hati kecilnya. Dia mengingatkan diri, hal ini bisa memberinya kekuatan, bisa membawanya lebih dekat kepada tujuan balas dendam yang selama ini diinginkan.

Damien menyaksikan Cheonsa dengan penuh kekaguman dan rasa bangga. Dia tidak hanya terpesona oleh cara lagu-lagu itu bekerja, tetapi juga oleh kemampuan Cheonsa untuk menyingkirkan perasaannya sendiri demi mencapai tujuan. Saat melihat bagaimana Cheonsa berdiri di tepi jurang kegelapan, dia tahu gadis ini bisa menjadi sekutu sejatinya dalam kegelapan.

Ketika dia menyelesaikan lagu, Cheonsa merasakan sesuatu yang gelap merayap ke dalam jiwanya, dan seolah tak ada jalan kembali. Kini dia terperangkap dalam pilihan yang sulit-mengorbankan jiwa tak berdosa demi ambisinya.

...

Cheonsa berdiri di depan cermin, menatap refleksinya yang kotor dan penuh dosa. Bayangan anak-anak kecil yang murni itu terbayang terus di benaknya, bagaimana jiwa mereka direnggut dengan mudah. "Jahat ... Kau benar-benar buruk, Cheonsa," gumamnya berbisik.

Namun, diam-diam dia berusaha mendorong penyesalan itu menjauh. Dia menarik napas. Membiarkan kegelapan menelannya. Membayangkan kekuatan lebih besar yang berada di tangannya. Menghancurkan orang-orang yang sudah membantai keluarganya.

Dia tahu, langkah berikutnya adalah meraih kekuatan yang lebih besar, tidak ada waktu untuk menyesal. Dia menyugar rambutnya, menarik napas dalam-dalam. Setelah bersama Damien, kini dunia gelapnya semakin lebar. Dia tidak puas hanya menjadi penyanyi kecil di akademi-dia ingin menjadi bintang yang memilki pengaruh lebih besar.

Damien yang melihat kilat kegelapan di mata Cheonsa menyeringai. Dia seperti melihat anak kucing yang tumbuh di bawah tangannya, walau dalam konteksnya di sini menjadi lebih gelap, kejam, hingga merengkuh kegelapan sepenuhnya. "Kau siap untuk terbang, Cheonsa? Saatnya kita keluar dari batasan akademi ini. Kau memiliki potensi yang lebih besar daripada yang kau kira."

Cheonsa menyiapkan diri untuk mendengar apa yang dikatakan Damien selanjutnya. Sesuatu yang gela di dalam dirinya membara, menghapus penyesalan tak berarti. "Apa yang ingin kau katakan?"

"Pertunjukan besar," jawab Damien, memancarkan pesona yang tak terbantahkan. Iblis itu membelai wajah Cheonsa sembari membuat sang gadis menatap cermin. "Kau akan menjadi pusat perhatian. Dengan lagu-lagu yang kau ciptakan, kau bisa merenggut jiwa-jiwa murni di luar akademi. Kali ini kita juga akan mengambil jiwa kotor dan menarik mereka untuk menjual jiwanya."

Cheonsa menahan napas. Ide gila Damien menghantui pikirannya. Damien ... iblis itu benar-benar tak punya hati. Namun, anehnya dia merasa bersemangat, jantungnya berdentum cepat, ketegangan menyelimuti diri. "Dan bagaimana caranya kita melakukannya?"

"Simpel." Damien mengecup leher Cheonsa, memberikan kehangatan dn kenyamanan yang kontras dengan kegelapan dalam dirinya. "Kita akan mengatur pertunjukan yang mengundang siswa dan masyarakat luar. Sebuah konser besar untuk merenggut jiwa-jiwa manusia."

Mata Cheonsa terbelalak mendengar rencana itu. Dia membayangkan sorotan lampu panggung, suara gemuruh tepuk tangan, dan semua mata tertuju padanya. "Aku akan membuat pertunjukan yang tak terlupakan," ujarnya tanpa sadar membayangkan hal itu. "Setiap lirik akan memiliki pesan tersembunyi, dan saat mereka terikat, mereka akan menjadi bagian dari kekuatanku."

"Gadis pintar. Inilah yang membuatku terpesona denganmu, Sayang." Cheonsa bisa merasakan napas panas Damien di lehernya, bibir pria itu menyusuri lehernya membuat Cheonsa mendesah kecil. Tubuhnya merasakan sensasi panas dari setiap sentuhan Damien yang mematikan. "Ini akan menjadi debutmu sebagai bintang di dunia hiburan. Aku tak akan meragukan pesonamu menarik setiap jiwa, kau tak akan terkalahkan."

Cheonsa menggelengkan kepala, tidak mau terlena dan mendorong wajah Damien menjauh. Dia memandang pantulan dirinya bersama Damien di cermin. Balas dendam yang hanya ada dalam bayang-bayang kini seolah tergambar jelas dalam kepala. Kehancuran mereka, kesengsaraan, kesedihan. Dia akan meluluhlantakkan semua hal yang menghalangi jalannya.

Kini semuanya lebih jelas. Dia akan mengubah lagu-lagunya menjadi senjata, dan setiap penampilan akan menjadi kesempatan untuk merenggut jiwa-jiwa murni, mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kehilangan keluarganya. Dia akan menciptakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertunjukan-sebuah jaring kegelapan yang akan mengikatnya dan Damien lebih dekat, membawa mereka menuju ambisi yang lebih besar.

"Baiklah. Aku akan menyiapkan pertunjukan yang akan mengguncang akademi dan semua yang mendengarnya."

Damien tersenyum puas, walau didorong menjauh tetapi dia tak menyerah dan memeluk sang gadis posesif. Merasakan ikatan aneh yang membuat mereka terhubung lebih dalam. "Tatap aku, Cheonsa," bisiknya, Cheonsa menoleh ketika melihat kelereng kegelapan yang terhimpit di bibir Damien.

Damien memiliki cara licik untuk membuat Cheonsa menjadi partner yang setia. Dia selalu memberikan imbalan setimpal berupa kekuatan lebih besar dan menjaga mereka terus bergantung satu sama lain. Damien sudah mengira Cheonsa akan menciumnya untuk mendapatkan kelereng. Akan tetapi, tak begitu. Cheonsa mengambil kelerengnya dengan satu tangan dan menelannya sendiri.

Damien seperti orang bodoh terpaku dengan mulut setengah terbuka. Lantas dia tertawa membenamkan wajahnya di leher Cheonsa. "Kau membuatku berharap, Sayang. Kau seharusnya memberikanku kasih sayang sebagai partnerku."

Cheonsa mendengus, tidak tertarik dengan sikap Damien. "Aku tak peduli dengan perasaanmu. Yang kupedulikam kekuatanmu." Dia memejamkan mata, menghirup kekuatan iblis yang terserap di dalam tubuhnya.

"Kali ini bukan hanya pesona dan manipulasi jiwa. Tapi, kau dapat menyerap kekuatan dari jiwa yang sudah tercemari dengan lagu-lagumu."

Cheonsa tersenyum. Sekali lagi kekuatannya semakin bertambah. Dia tak sabar untuk merasakan kekuatan yang lebih besar. Dia merasa hatinya berdebar. Kali ini dia sudah punya rencana balas dendam yang sempurna. Menjadi penyanyi yang merenggut jiwa dan mendapatkan kekuatan.

...

"I'm the bad guy~"

Cheonsa menatap semua pasang mata yang menontonnya di atas panggung. Di debut pertamanya di masyarakat umum secara mengerikan dia menarik perhatian semua orang. Begitu mematikan, candu, hingga mengikat jiwa-jiwa manusia yang mendengarkan.

"So you're a tough guy

Like it really rough guy

Just can't get enough guy

Chest always so puffed guy."

Cheonsa menikmati semua perhatian, kekuatannya semakin kuat dari waktu ke waktu dengan Damien yang menjadi pilar kekuatan pertamanya untuk balas dendam.

"I'm that bad type

Make your mama sad type

Make your girlfriend mad tight

Might seduce your dad type

I'm the bad guy

Duh."

Dan kini di sisi lain Damien tersenyum, memejamkan mata menikmati lagu yang dibawakan Cheonsa. Dan bagaimana jiwa-jiwa manusia yang tergoda akan masuk dalam kegelapan.

Bukan saja mengumpulkan kekuatan, yang tidak diketahui keduanya kini Cheonsa akan tercatat dalam sejarah sebagai penyanyi dengan lagu kelam terbaik sepanjang masa.

Song: Bad Guy - Billie Eilish

Bersambung ....

14 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top