3. The Demon Prince

Akademi Beevi Asmaralaya berdiri megah dengan dinding marmer putih berkilau, dihiasi pilar-pilar tinggi bersulur emas. Di depan gedung utama, hamparan taman luas dipenuhi bunga eksotis dan air mancur kristal yang memantulkan cahaya. Gedung utamanya, dengan kubah emas besar, menjadi pusat perhatian, sementara asrama dan perpustakaan penuh dengan buku langka serta laboratorium magis melengkapi fasilitas mewahnya. Akademi ini adalah tempat para bangsawan dan pewaris kerajaan ditempa menjadi pemimpin masa depan.

Bagi Cheonsa, ini adalah awal dari rencananya.

"Cheonsa Valentin."

"Iya?" jawab Cheonsa dengan tenang.

Seorang guru yang dikenal keras dalam mata pelajaran politik menatap Cheonsa tajam. Pria itu membenarkan kacamatanya, dengan senyum yang hampir merendahkan. Murid baru yang masuk di pertengahan semester itu telah menjadi pembicaraan di antara para pengajar. Reputasi jeniusnya membuat guru politik ini ingin menguji sejauh mana kecerdasan gadis yang katanya luar biasa ini.

Dengan seringai tipis, dia bertanya, "Saya punya satu pertanyaan untukmu. Jika negara Anda menghadapi ancaman militer dari negara lain, namun penting untuk menjaga hubungan dagang, bagaimana Anda akan menangani situasi ini?"

Kelas mendadak hening. Para murid saling melirik. Pertanyaan ini belum diajarkan, dan jelas sang guru mencoba menjebak Cheonsa.

Namun, Cheonsa tidak gentar. Senyum tipis tersungging di wajahnya. Matanya tajam menatap guru politik itu. Masalah semacam ini sudah dia pelajari jauh sebelum usianya sepuluh tahun, diajarkan oleh Bapak Noelani, seorang mantan profesor di akademi ini dan mentor utamanya.

"Saya akan memulai dengan diplomasi untuk menurunkan ketegangan," jawab Cheonsa tanpa ragu. "Berfokus pada perjanjian yang saling menguntungkan di bidang ekonomi dan keamanan. Saya juga akan memperkuat hubungan dagang dengan negara lain agar kita tidak terlalu bergantung pada satu negara."

Cheonsa berhenti sejenak, matanya mengamati satu persatu murid yang terdiam di sekitarnya.

"Sementara itu, saya akan memastikan pertahanan negara tetap kuat, bersiap menghadapi segala kemungkinan jika diplomasi gagal. Menjaga perdamaian itu penting, tapi kedaulatan dan keamanan tetap menjadi prioritas utama."

Wajah guru politik itu berubah. Senyum merendahkan yang semula tampak kini sirna. Cheonsa telah menjawab pertanyaan dengan sempurna—bahkan mungkin lebih baik dari yang bisa dijawab guru lainnya di akademi.

"Ehem ... baiklah, mari kita lanjutkan pelajaran," ucap guru tersebut, suaranya lebih tenang, nyaris gugup.

Sementara itu, para murid tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Cheonsa telah memukau mereka dengan jawabannya. Mereka tahu Cheonsa Valentin berasal dari Kerajaan Seth, sebuah kerajaan yang letaknya misterius. 

Namun, mereka tidak tahu bahwa Cheonsa sebenarnya adalah pewaris sah Kerajaan Citrus yang besar. Dia telah dipersiapkan untuk menjadi ratu sejak usia muda, dengan pengetahuan yang jauh melampaui murid biasa. Cheonsa memutar bola matanya dengan malas, menatap jendela dengan pandangan kosong. 

Awalnya, dia berpikir akademi ini akan menawarkan tantangan yang menarik, tetapi semua ini terlalu mudah, bahkan tak menyentuh seperempat dari potensinya. Setiap ujian dan pertanyaan terasa seperti permainan anak-anak baginya. Sesekali, dia membiarkan dirinya menguap, merasa bosan oleh dunia yang begitu kecil dibandingkan ambisinya.

...

"Cheonsa!" panggilan seorang gadis terdengar setelah kelas usai. Sekelompok gadis mendekatinya, senyum kecil menghiasi wajah mereka, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyuman itu.

Kemampuan Cheonsa sungguh luar biasa, dan siapa pun di akademi ini ingin menjadikannya sekutu. Namun, Cheonsa tetap tenang, membalas senyum mereka dengan sopan. "Ada apa?" tanyanya lembut.

Para gadis itu saling melirik sejenak sebelum salah satu dari mereka berkata, "Kau tahu di akademi ada ekstrakulikuler musik, 'kan? Biasanya para putri dan wanita bangsawan masuk ke kelas musik. Kami dengar kau belum memilih ekstrakulikuler karena kau baru dua minggu di sini. Bagaimana jika kau ikut masuk?"

Cheonsa memiringkan kepala, memang benar dia baru masuk selama dua minggu dan hanya beberapa orang yang dia kenal. Dia sibuk beradaptasi, mula dari yang terasing kini memiliki kesempatan bertemu banyak orang membuatnya gugup dan bersemangat. Dia belum terpikirkan dengan ekstrakulikuler.

"Tentu, Freya." Dia mengenal gadis ini, mulai dari awal dia bersekolah, ketika melihat potensinya Freya Pregrine—seorang Putri Duke Pregrine dari wilayah barat Kerajaan Citrus langsung mengajaknya sebagai sekutu. Niat mereka memang tak murni, tetapi bukankah dia juga sama?

"Kebetulan kelas akan dilaksanakan sekarang. Aku ketua dari kelas musik, jadi aku bisa membuatmu langsung diterima." Freya merangkul tangan Cheonsa, bersikap akrab begitu juga dengan kelompoknya. Dari sepengamatan Cheonsa kelompok Freya adalah  pemimpin sosial di akademi dan memiliki pengaruh besar di antara para nona disebut juga Queen Bees

Cheonsa menyeringai mengikuti langkah Freya, tanpa kata dia sudah dianggap sebagai orang penting di akademi, ini baru dua minggu tetapi dia sudah menginjak posisi ini. Dia tak sabar untuk melihat sejauh mana dia bisa menaklukan akademi ini sebelum merebut kembali takhta!

Mereka berjalan menuju gedung musik, setibanya di sana matanya langsung menangkap berbagai instrumen, alat musik, bahkan alat pengeras suara yang terbuat dari sihir. Ruang musik ini memiliki fasilitas lengkap, tangannya tanpa sadar menyentuh sebuah piano, sudah lama dia tidak menyentuh musik ... dia langsung teringat Bunda. 

Matanya sendu menatap piano itu, setiap senggang Bunda selalu mengajaknya bermain musik, karena itu diam-diam ketika rindu pada Bunda dia suka bernyanyi, mengingat semua memori indah. Dia mengelengkan kepala, tidak boleh terbawa suasana. Dia baru membuat langkah awal, tidak ada waktu untuk goyah. 

"Cheonsa, aku bisa membantumu lolos seleksi. Tetapi, kau harus tetap mengikuti audisi. Apakah tak apa-apa?" tanya Freya. Di belakangnya para gadis menutup wajah dengan kipas, berpikir dia tak punya kemampuan dalam seni, seolah mencari cacat dalam dirinya.

Cheonsa tersadar dari lamunan. Melirik Freya dan kelompoknya. Ah ... dia kini sedang diuji, apakah dia pantas masuk dalam Queen Bees atau tidak. Cheonsa menyeringai, dia mengangguk. Menyanyi itu mudah dan suaranya tak buruk. Dia bisa lolos dalam skala kecil seperti ini. "Aku bisa, mari kita coba!" katanya percaya diri.

Pelatih dari klub musik datang, melihat Cheonsa dia langsung mengangkat sebelah alis, tangannya menunjuk Cheonsa. "Kau jenius yang dikatakan oleh para guru, ya? Kau tertarik pada musik?" Guru seni adalah seorang wanita berumur tiga puluhan dengan sanggul di kepalanya, dia tampil modis sesuai bayangan seorang yang mengerti seni. Dia menatap Cheonsa dengan kilat mata tertarik. "Mari kita lihat, apakah kau jenius juga dalam musik."

"Saya tidak akan mengecewakan Anda," punkas Cheonsa.

Guru seni mengangguk, mempersilakan Cheonsa naik ke panggung. Cheonsa menarik napas dalam-dalam, tangannya memegang vocalis crystal yang mengapung untuk mengeraskan suara.

"We all pretend to be the heroes on the good side."

Cheonsa mulai bernyanyi, tatapannya menatap setiap penonton. Suaranya yang menggoda menarik perhatian semua anggota klub.

"Somethings are black and you're sure.
Somethings are white and you're sure.
You're such a really good man.
However that guy is bad."

Cheonsa menyeringai, merasakan semangat saat semua mata tertuju padanya. Dia menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu.

"Because I'm a villain, why pretend that it isn't true?
It's nice to meet the demon breathing every breath you breathe."

Cheonsa menyuguhkan penampilan penuh percaya diri, menatap penonton dengan intens. Lagu gelapnya semakin mengikat perhatian mereka.

"Am I good, am I bad? ay.
What is good, what is bad? ay."

Dia mengakhiri lagu, hening sejenak sebelum tepuk tangan membanjiri panggung. Guru seni berdiri, terpukau dan memuji keahliannya. "Lirik lagumu unik, tak pernah ada lagu seperti itu. Kau akan masuk ke vokalis utama! Persiapkan dirimu, Cheonsa!

Cheonsa bisa melihat reaksi Freya dan anggota Queen Bees, tampak mereka tak menyangka dia berhasil melakukannya dengan baik. Namun, bukan itu yang menjadi fokus utama, dia merasakan adrenalin yang mengisi setiap sel, jantungnya berdentum kencang, perlahan rona merah muncul di wajahnya. Dia merasakan hal yang sudah lama dia tak rasakan.

Dia senang.

Dia senang menjadi bintang.

Tunas gelap yang sudah berada dalam hatinya kian tumbuh, rencana baru mulai menguasai pikirannya. Dia memandang semua orang yang terpesona, dia bisa memanfaatkan kemampuan ini ... lagu gelapnya. Dia bisa menggoda orang-orang dengan memanfaatkan pesona dari lagu-lagu gelap, menguasai mereka tanpa mereka sadari.

Dia menyeringai lebar, bukan karena senang akan pujian. Tetapi menemukan cara lebih halus untuk menguasai mereka, memanipulasinya, menjadikan mereka pengikut setia.

"Saya siap menjadi bagian dari klub musik."

Semua orang berseru, bersiul, bertepuk tangan. Tidak menyadari bahaya yang mengincar mereka.

...

Pesonanya sebagai seorang penyanyi mulai menyebar luas. Cheonsa tampil di acara-acara besar, bukan hanya sebagai bagian dari Queen Bees, tetapi juga sebagai primadona yang baru. Lagu-lagunya kini menjadi candu di kalangan para murid akademi. Dengan cepat, namanya melejit di antara siswa dan pengajar.

Kejutan yang lebih menyenangkan datang ketika Cheonsa menemukan tumpukan surat cinta dari para penggemarnya. Baik yang disampaikan secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, semua perhatian ini membuatnya terbuai. Dia menikmati setiap momen popularitas dan cinta itu. Kini, dia memiliki kebiasaan baru: membaca surat-surat cinta itu di taman, sembari membuka peluang bagi siapa saja untuk mendekat.

Karisma dan kecantikannya begitu memikat, membuat siapa pun bertekuk lutut. Namun, saat ini, seorang siswa tampak ingin berkencan dengannya—mungkin ini sudah yang kesekian kali. Kali ini tidak seperti biasanya perasaannya tak nyaman. Pria muda itu, yang menunjukkan ketertarikan berlebihan padanya sejak debutnya, mendekat. "Bisakah kau berkencan lagi denganku? Aku ... kesepian."

Cheonsa menatap sorot mata putus asanya, mencerminkan hasrat yang tersembunyi di balik topeng penggemar. Dia tahu, sejak awal bertemu, bahwa pria ini memiliki niat yang tidak murni. Bahkan, dia telah memanfaatkan pria itu yang memiliki akses informasi seputar Kerajaan Citrus—keponakan dari pemilik guild informasi.

"Lagi? Bukankah kau sebelumnya mengatakan itu yang terakhir kali?" Cheonsa menjawab dengan nada dingin, karena baginya, anak ini tidak begitu berguna. Informasinya hanya seputar berita-berita sosial dan gosip di Kerajaan Citrus, tanpa akses ke ranah yang lebih dalam. Jadi, dia sudah memikirkan untuk mencampakkannya.

"Jangan pergi ... kau satu-satunya hidupku ...." pria itu berkata, menggenggam tangan Cheonsa yang beranjak dari kursi taman. Namun, Cheonsa dengan tegas melepaskan genggamannya. "Aku tak punya waktu untukmu," balasnya dengan dingin.

Meskipun ditolak, sisi gelap pria itu mulai menguasai dirinya. Seketika suasana menjadi hening sebelum dia menyeret Cheonsa ke gang kecil yang gelap di belakang gedung. "Kau tak bisa membuangku," desisnya dengan nada mengancam, napasnya mulai memburu. Tangan pria itu menghempaskan punggung Cheonsa ke dinding hingga sang gadis meringis. "Kau milikku, dan kau akan melakukan apa yang kuinginkan."

Tatapan Cheonsa beralih tenang dari keterkejutannya, meski amarah mulai memuncak di dalam diri, dia tidak suka diremehkan. "Lepaskan aku sekarang, atau kau akan menyesalinya," ancamnya, suaranya datar namun tajam. Pria itu tertawa kecil, tidak mempercayai ancaman Cheonsa.

"Kau tak bisa melawanku, Cheonsa. Kau akan menyesal menolak aku," desisnya dengan hasrat yang menjijikkan.

Cheonsa mendekat, matanya dingin dan penuh kebencian. Dia menempelkan bibirnya ke leher pemuda itu. Tubuhnya bergetar, dipenuhi nafsu dan keinginan, matanya berkilat penuh hasrat. Namun, Cheonsa memiliki taring dengan racun mematikan; sebagai keturunan siluman ular terakhir, ia dapat menggunakan racunnya kapan saja. 

Ketika taringnya menancap gelombang perasaan puas melandanya, membakar setiap inci tubuhnya dengan rasa kemenangan. Matanya berkilau seperti predator, menonton racun yang mengalir cepat, melumpuhkan tubuh pria itu. Tatapan Cheonsa tetap dingin, tetapi di dalam hatinya, ada sensasi kuasa yang tak terlukiskan—dia bisa menghancurkan siapa pun yang berani menghalanginya. Pria itu hanya awal.

"Apa yang kau lakukan ...?" Suaranya terdengar putus-putus, seketika tubuh pria itu terjatuh, kejang, matanya melebar. Racun mengalir cepat melalui sistem sarafnya, membuatnya mengeluarkan busa dari mulut.

"Kau sangat kotor. Dan itu menjijikkan." Cheonsa mengelap mulutnya dengan punggung tangan, meludah ke sembarang arah. Seringai keji muncul di bibirnya saat dia berbisik sensual di telinga pria yang hendak melecehkannya. "Kau akan lumpuh seumur hidupmu, tidak ada obat yang bisa menolongmu."

Cheonsa tertawa lepas, menikmati pertunjukan di depannya. Tidak ada yang boleh berani menyentuhnya tanpa seizin Cheonsa. Ketika dia hendak berbalik pergi, suara seseorang terdengar mengalun rendah.

"Menarik ...."

Cheonsa segera menoleh, matanya bertemu sosok pria yang berdiri tenang di ujung gang. Pria berambut merah gelap dengan mata biru tajam memandang ke arahnya, bersandar santai pada dinding. Senyuman kecil terlukis di wajahnya, seolah menikmati apa yang baru saja dia saksikan.

"Apakah kau berpikir tidak ada yang melihatmu?" Pria itu melangkah lebih dekat, tetapi Cheonsa tidak mundur. Dia tersenyum licik, menatap Cheonsa dengan rasa ingin tahu yang jelas terlihat di matanya.

Perlahan, tangannya mengangkat dagu Cheonsa, memaksanya untuk menengadah menatapnya. "Aku sudah mengamatimu sejak lama, Cheonsa. Lagu-lagumu, pesonamu yang mematikan, bahkan kemampuan rahasiamu. Aku yakin ada banyak hal lain yang kau sembunyikan di dalam kepala kecilmu itu."

Cheonsa menyentuh tangan yang berada di dagunya. Dia tahu bahwa pria asing ini adalah saksi yang harus disingkirkan. Tanpa pikir panjang, dia menarik jari pria itu dan menggigitnya, berusaha melumpuhkannya dengan racun. Namun, sayangnya, racun itu tidak bekerja.

"Kemampuanmu yang luar biasa itu tak ada artinya bagiku." Pria itu berkata pelan. Dengan jari-jarinya yang bergerak lembut di dalam mulut Cheonsa, menelusuri taring dan lidah lembut sang gadis, tidak tampak kesakitan dengan gigitan yang baru saja didapatkan. "Aku bukan manusia biasa."

Cheonsa terpaku oleh tindakan pria itu, menepis tangan yang berada di mulutnya. Air liurnya menempel di jari pria itu, yang kini dijilat tanpa rasa jijik, dengan seringai yang semakin lebar. Bajingan! Cheonsa menatap tajam sambil mengambil langkah mundur. "Siapa kau?"

Pengalamannya menghadapi musuh memang masih sedikit, tetapi dia tahu bahwa pria di depannya adalah orang yang berbahaya. Terlebih pria ini bukan manusia. "Siapa kau sebenarnya?" desak Cheonsa.

"Namaku Damien," jawabnya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Dia kembali melangkah mendekati Cheonsa hingga tubuh sang gadis terjebak di antara tubuhnya dan dinding. "Pangeran Iblis, jika kau perlu gelar resminya."

Cheonsa membelalak. Nama itu hanya sebuah legenda—atau setidaknya begitulah yang dia kira. Namun, kehadiran pria ini begitu kuat, auranya begitu berbeda dari siapa pun yang pernah dia temui sebelumnya. Dia merasa ada sesuatu yang sangat mendalam dan misterius tentang Damien, sesuatu yang memikat sekaligus menakutkan.

"Kau memiliki potensi besar, Cheonsa," lanjut Damien, "yang bahkan belum kau sadari sendiri. Aku telah mengamatimu, bukan hanya karena pesonamu yang mematikan, tetapi karena apa yang kau sembunyikan dalam dirimu. Kau adalah keturunan yang memiliki kekuatan luar biasa, kekuatan yang bisa kau gunakan untuk meraih apa pun yang kau inginkan."

Cheonsa menatapnya tajam, merasakan ketertarikan sekaligus kecurigaan. "Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Kenapa kau tertarik padaku?"

Damien tersenyum, dan tatapannya semakin dalam, seolah dia melihat ke dalam jiwanya. "Karena aku tahu kesedihan dan kemarahan yang kau pendam. Aku merasakan gelombang energi dari hatimu yang penuh dengan dendam dan hasrat. Aku bisa membantumu mengubah semua itu menjadi kekuatan yang tidak bisa dihentikan."

Cheonsa merasa jantungnya berdebar. Ada benarnya dalam apa yang dikatakan Damien; dia merasakan kegelapan itu mengalir dalam dirinya, meresap ke dalam setiap sel. Dia sudah lelah bersembunyi dan merasa tidak berdaya. "Apa yang kau tawarkan?" tanyanya, penasaran dan sedikit terpesona.

"Kekuatan," jawab Damien tegas. "Bersama-sama, kita bisa menaklukkan segala rintangan yang menghalangimu. Kau tidak perlu merasa sendirian lagi. Bersama aku, kau bisa mendapatkan semua yang kau impikan, termasuk balas dendammu."

Cheonsa merasakan daya tarik yang begitu menggoda. Tawaran itu begitu manis di telinganya, tapi dia cepat-cepat menyadarkan diri. Dalam dunia yang gelap ini, bahkan iblis pun tak bisa dipercaya. Keraguan mulai menjalar di benaknya.

Dia menatap Damien, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan di matanya. "Apa harga yang harus kutanggung?" tanyanya hati-hati. Cheonsa tahu, tidak ada kesepakatan yang datang tanpa konsekuensi.

Damien mendekat, senyum misterius terlukis di wajahnya. "Jiwa. Tidakkah kau mau menjual jiwamu padaku?"

Song: Villain - Stella Jang

Bersambung ....

12 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top