2. Academy

Langit gelap menghiasi malam kala itu, bintang-bintang menandakan konstelasi jauh bersinar terang, sedang bulan penuh menggantung indah. Awan tampak membiarkan langit memberikan pertunjukan fantastis, berpendar dan membiarkan pesonanya ditangkap oleh setiap mata yang memandang.

Angin berembus kuat membuat pohon-pohon kelapa di tepi pantai bergoyang, deburan ombak terhempas menuju pesisir, suara dentumannya terdengar jelas menghantam karang juga tepian. Pasir putih terkikis oleh air laut, terbawa arus bergerak masuk ke dalam kelamnya lautan. 

Di tengah keindahan langit juga pesona lautan saat malam hari. Seorang gadis terombang-ambing di pesisir pantai. Rambut pirang bergelombangnya berhamburan diterpa angin, mata amethyst itu gelap menampakkan kesedihan dan keputusasaan, kulitnya yang seputih porselen kian pucat karena suhu dingin yang menusuk.

Dia terduduk di tepi pantai, terhuyung-huyung di antara kerasnya deburan ombak yang memecah kesunyian malam. Seolah tak peduli dengan keindahan malam, sejuknya udara, hingga tubuhnya yang menggigil karena basah oleh air laut. Tatapannya terpaku jauh ke horizon, seolah mencari sesuatu yang tak pernah akan dia temukan.

Mengapa Bunda meninggalkannya? Mengapa kalian semua harus pergi? Sejauh mana dia berteriak, berseru dan mengaduh mereka semua tak akan kembali. Bunda dan para ayah, keluarga yang dia cintai. Bisakah kalian kembali? Cheonsa mohon.

"Tuhan, jika Kau benar-benar ada, selamatkan mereka ... Tolong ...."

Suaranya lemah, hampir tak terdengar. Dia terus menggumamkan doa yang sama, dengan air mata perlahan jatuh dari sudut matanya. Bibirnya gemetar, mengulang-ulang kata-kata yang tak lagi dia yakini. Ombak yang datang menghantam tubuh mungilnya, meredam suara tangisnya.

Namun, langit tetap diam. Tak ada jawaban, tak ada mukjizat. Tuhan tak menyapanya.

Apakah aku tidak pantas didengar?

Cheonsa menengadahkan tangannya ke arah langit, dalam keputusasaan terakhir. Ini doa terakhir sebelum dia menyerah sepenuhnya pada kegelapan. Dia berharap, ketika membuka mata, semua akan kembali seperti dulu. Bunda menunggunya sarapan setiap pagi, para ayah bergantian menghabiskan waktu bersamanya, rakyatnya yang mencintai dia dan keluarganya. Dia ingin kembali ke kehidupan yang sempurna, meski hanya dalam mimpi.

Sayangnya, mukjizat itu tak datang.

Keputusasaan mulai mencengkeram hatinya, menggantikan kesedihan dengan kekosongan yang tak terukur. Dan di balik kehampaan itu, perlahan tapi pasti, kegelapan mulai merayap, mencemari hatinya sepenuhnya—amarah, dendam, kebencian, dan rasa sakit merajai perasaannya.

Air mata terakhir mengering di pipinya. Tangan yang tadinya memohon kini turun, gemetar. Sadar bahwa Tuhan tak pernah berpihak padanya, Cheonsa tersadar dari ilusi harapan yang sia-sia.

Dia telah berdoa malam demi malam, tahun demi tahun, berharap ada keajaiban. Tapi sepuluh tahun berlalu tanpa satu pun jawaban. Hingga akhirnya, di malam ini, dia menyerah.

Amarahnya membesar, memenuhi hatinya dengan kebencian yang tak terbendung. Jika Tuhan tak ingin membantunya, maka dia akan memilih jalannya sendiri—jalan yang bengkok, penuh darah, dan kebencian. Jalan yang akan menjerumuskannya dalam neraka, jalan gelap seperti yang dilalui Bundanya.

Dia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya yang gemetar, bangkit dengan penuh tekad. Tidak ada lagi air mata. Kesedihan telah berubah menjadi dendam. Cheonsa yang dulu manis dan rapuh telah lenyap. Yang tersisa hanyalah kegelapan.

Balas dendam.

Jangan salahkan dia, Tuhan. Sekali-kali jangan, bukan salahnya dia menjadi iblis, bahkan lebih buruk daripada itu. Mereka yang membuatnya seperti ini, dia tak terlahir keji, tetapi dibuat tumbuh untuk menjadi bengis.

Dengan hati yang telah mengeras, Cheonsa bersumpah dalam diam. Mereka yang telah membunuh keluarganya akan membayar mahal. Mereka yang telah mencuri segalanya darinya tidak akan luput dari tangannya. Air matanya telah mengering; kini darah yang akan mengalir di setiap langkahnya.

...

Sudah sepuluh tahun berlalu, dan kini Cheonsa dan Celestin hidup di sebuah negeri kecil yang tersembunyi—Kerajaan Seth. Tempat ini tidak diketahui oleh banyak orang, hanya kaisar dan para pengusaha kaya yang menyewa pulau pribadi yang mengetahui keberadaannya. Negeri Seth merupakan properti warisan dari salah satu ayah Cheonsa, Daddy Arcelio, seorang miliarder yang telah meninggalkannya untuk sang putri sebagai pelindung terakhir agar sang putri hidup dengan nyaman hingga sisa hidupnya.

Kerajaan Seth terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil. Rakyatnya adalah perantau—orang-orang terpilih yang melayani keluarga kerajaan dan para pengusaha. Kehidupan di tempat ini penuh kemewahan, aman dan tenang, hampir tidak pernah ada kejahatan karena jumlah penduduk yang sedikit. Karena keberadaan Kerajaan Seth rahasia, maka tempat ini terisolasi dari dunia luar. Setiap penduduk harus menyewa herald (pembawa pesan) untuk mendapatkan informasi dari dunia luar. 

Di kastil kebesaran Kerajaan Seth kini dua pemimpin tengah duduk sarapan bersama: Putri Mahkota Cheonsa Custadio dan Putra Mahkota Celestin Custadio dari Kerajaan Citrus. Mereka kini hidup bersembunyi dari kejaran musuh dan para pengkhianat yang telah membantai keluarga kerajaan sepuluh tahun silam. 

"Bukankah sekarang waktunya kau mengatakan apa yang terjadi, Cheonsa?" Celestin, pria berumur tiga puluh tahun itu angkat suara. Dia menyugar rambut ungunya, menatap sang adik yang memainkan makanan di hadapannya.

Cheonsa mendengus, berdecak sebal mendorong piringnya sebal. Dia menatap Kak Celestin, tepat di bola mata seolah menegaskan otoritasnya. "Aku sudah bilang kita harus kembali ke Kerajaan Citrus. Aku ingin mengklaim takhta, sekarang aku sudah dua puluh tahun! Aku adalah penerus sah, Kak!"

Dalam sepuluh tahun terakhir Cheonsa selalu ingin kembali ke tanah kelahiran mereka. Banyak alasan yang dia sebutkan, tetapi Celestin mengabaikannya demi keamanan. Hingga sebulan terakhir ini Cheonsa semakin teguh dengan pendiriannya dengan niat yang lebih buruk, tentu akan membahayakan adiknya itu.

"Kau mengatakan ingin balas dendam." Celestin mengusap wajah kasar, berusaha mengalihkan pandangan agar tak bertemu mata dengan Cheonsa. Semakin dewasa dia semakin mirip dengan Bunda. Bukan hanya fisik, tetapi pikiran kejamnya ternyata diam-diam tertanam pada diri Cheonsa. Dan itu menyalahi sumpahnya untuk menjaga Cheonsa; bagaimana hasrat itu bisa membawanya dalam kehancuran.

Cheonsa melipat kedua tangan di depan dada. Dia tetap menatap Kak Celestin, tidak berpaling barang sedetik. Kakaknya terlalu konservatif, bahkan walau memiliki dendam dia lebih memilih berpegang teguh dengan norma dan hukum. Bahkan terlalu keras pada dirinya sendiri, terlalu terkekang dengan aturan tertulis maupun tidak.

Cheonsa tahu bahwa itu bentuk perlindungan bagi Kak Celestin maupun dirinya. Kakaknya berusaha menghalangi Cheonsa dari jalan bengkok, dan kini dia menganggap itu hal yang lemah. Sudah sebulan dia membujuk sang kakak, mengatakan rencananya, meyakinkannya, bahkan membuat bukti dia bisa mengambil alih takhta. Akan tetapi nihil, pendirian Kak Celestian sekeras karang, tidak bisa digoyahkan.

Cheonsa harus melakukan pendekatan lain. Dia sudah memikirkan ide lain, akhirnya dia berusaha bersandiwara, membuat hati Kak Celestin luluh. "Aku hanya ingin keluar dari tempat terasing ini. Kakak tahu aku butuh hidup di dunia luar. Aku selama ini hidup terasing, aku hanya ingin kembali ke tanah kelahiran kita."

Kak Celestin tetap tak tergerak. Dia mengunyah makanannya mengabaikan kata-kata Cheonsa. Itu membuatnya frustrasi, tetapi dia berusaha menenangkan diri mencari celah lain. "Aku tak akan melakukan balas dendam." Itu bohong. Cheonsa merasa sedikit bersalah mengatakannya, tetapi dia tak mau berhenti hingga mendapatkan apa yang diiginkan.

"Aku menghabiskan masa mudaku di tempat ini, Kak! Masa mudaku sia-sia, aku tak punya teman, tak punya pengalaman, ataupun mengalami perasaan cinta. Aku tidak mau terjebak di sini seumur hidupku!" 

Masih hening. Kak Celestin tidak berkutik.

Cheonsa menarik napas, menggigit bibirnya mencari kata yang tepat untuk meyakinkan Kak Celestin. Hingga akhirnya dia mengucapkan kata pamungkas, yang tidak akan bisa ditolak sang kakak. "Bahkan bunda dan para ayah tidak mau melihatku seperti ini. Kakak tega merenggut masa depanku dengan membuatku terasing di tempat ini seumur hidup?"

Celestin kali ini bereaksi, dia membalas tatapan Cheonsa. Tampak keraguan di mata pria itu, terdapat getaran asing—rasa bersalah, kesedihan, dan keraguan. Cheonsa berseru dalam hati, dia berhasil membuat Kak Celestin goyah. Pria itu mengangkat kedua tangannya, menopang wajahnya dengan kedua tangan menatap Cheonsa serius. "Kau hanya ingin merasakan dunia luar?"

Untuk pertama kalinya Kak Celestin menganggap serius dan membahas topik ini! Segera saja Cheonsa mengangguk, dia tak mau melewatkan kesempatan sekecil apa pun. Jika dia ingin balas dendam yang pertama dia harus lakukan adalah keluar dari Kerajaan Seth. Untuk detail rencana balas dendam dia akan memikirkannya setelah bisa keluar. "Aku hanya ingin hidup seperti orang normal."

Kak Celestin mengamati wajah sang adik lamat-lamat, seolah mencari celah atau keraguan. Akan tetapi dia tidak menemukannya. Cheonsa benar-benar serius dengan ucapannya. Akhirnya, setelah sepuluh tahun dia mau mengambil resiko, dia sejujurnya masih cemas—trauma masa lalu menghantuinya. "Apa yang kau pikirkan?"

"Aku ingin pergi ke Akademi Beevi Asmaralaya! Tempat Kakak bersekolah, juga tempat Bapak Noelani menjadi professor dulu." Secara spontan dia mengatakan keinginannya, ini adalah satu langkah agar dia diizinkan pergi ke Kerajaan Citrus. 

Kak Celestin menghela napas, dia memejamkan mata mempertimbangkan keinginan adiknya. Memang, selama ini mereka terjebak di Kerajaan Seth dan hanya berpergian ke pulau pribadi yang mereka miliki. Cheonsa menghabiskan masa remajanya dalam pengasingan, walau dia berusaha memberikan teman bagi Cheonsa tetapi itu tak cukup. Cheonsa membutuhkan seseorang yang setara dengannya. 

Mau bagaimanapun Cheonsa seharusnya menjadi ratu masa depan. Dia tidak bisa terus mengurungnya dengan dalih melindungi sang adik. Akhirnya pria itu berdiri, menatap keluar jendela di mana laut terbentang luas. Dia mendesah, mengabaikan kekhawatiran, Cheonsa berhak bahagia. Gadis itu membutuhkan kehidupan. "Baiklah, Kakak akan mengizinkanmu dengan syarat."

Cheonsa yang mendengar itu segera bangkit dari duduknya, dia tersenyum lebar menghampiri sang kakak. Segera saja dia mengangguk kuat-kuat. "Apa syaratnya, Kak?"

"Kau tidak boleh memberitahukan identitasmu sebagai penerus Kerajaan Citrus. Kau akan kembali ke sini setelah lulus. Kemudian menjadi Ratu Kerajaan Seth sepenuhnya. Tidak ada sanggahan, ini adalah syarat jika kau mau keluar dari tempat ini." 

"Baik, aku setuju!" Lagi-lagi itu bohong, dia akan merencanakan balas dendamnya setelah sampai di Kerajaan Citrus. Maafkan dia, Kak Celestin. Namun, dia melakukan ini untuk mengambil haknya, menegakkan keadilan, menemukan jati dirinya. Cheonsa memeluk Kak Celestin erat-erat. "Aku akan hidup dengan baik, aku berjanji!"

Kak Celestin membalas pelukan adik kesayangannya. Dia mengecup pucuk kepala Cheonsa. Dia berusaha menyingkirkan ketakutannya, berpikir ini pilihan terbaik. Cheonsa berhak merasakan yang namanya kehidupan. Gadis dengan penuh potensi itu seperti mutiara yang tersembunyi, sejujurnya dia takut Cheonsa bersinar terlalu terang dan mendapat masalah. Namun, sekali lagi dia tidak boleh egois. 

"Berjanjilah kau tidak akan menjauhi masalah sekecil apa pun itu."

"Aku berjanji." Cheonsa tersenyum pahit, merasa tak nyaman mengatakan kebohongan lagi dan lagi, dia merasakan keraguan yang diam-diam merayap. Tidak! Tidak ada kata mundur. Ini hanyalah permulaan, dia akan melakukan hal buruk lebih dari ini. Dia harus mulai terbiasa. 

...

Cheonsa berdiri di depan gerbang Akademi Beevi Asmaralaya, matanya melebar melihat bangunan megah yang berdiri kokoh dengan pemandangan menakjubkan. Tempat yang selalu dia kunjungi dengan Bapak Noelani—yang kini sudah tiada. Hatinya berdegup kencang, campuran antara kegembiraan yang bengkok. Hasratnya semakin kuat untuk balas dendam, bagaimana para ayah mati di tangan musuh dengan keji. Kali ini dia akan menyusun rencana untuk menghancurkan mereka!

"Mari kita masuk, Cheonsa." Kak Celestin dengan wajah tegar—berusaha melawan kecemasan menggenggam tangan sang adik, kemudian melangkah masuk melalui gerbang. Cheonsa tersenyum manis—menyembunyikan niatnya, dengan langkah mantap mengikuti Kak Celestin. 

Hasrat gelap melingkupi hatinya seiring langkah dia memasuki akademi. Dia mengangkat wajah tinggi-tinggi, tatapannya tajam menyorot ke depan. Ini adalah langkah pertamanya, yang tentu akan disusul langkah besar lainnya. 

Song: Queen Of Mean  Sarah Jeffery

Bersambung ....

11 Oktober 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top