17. Cracking the Code

Di dalam laboratorium yang gelap, Lewin berdiri tenggelam dalam kegilaan yang semakin berkembang seiring waktu. Di sekelilingnya, botol-botol kaca penuh zat berwarna menciptakan aroma kimia yang pekat. Masing-masing cairan memancarkan cahaya lemah, menambah nuansa misterius di ruang kerja alkemis itu. Di meja kayunya yang besar, Lewin menatap setumpuk kertas penuh catatan, lirik-lirik dari lagu-lagu Cheonsa yang kelam dan penuh amarah. Ia mengamati setiap kata, setiap nada, dan menyadari ada kekuatan tersembunyi yang melampaui sihir biasa. Setiap kali dia mendengarkan lirik-lirik itu, rasa gatal ambisi memenuhi dirinya; semakin lama dia memahami bahwa setiap lirik menyimpan kekuatan gelap yang bisa menambah daya magis pada siapa pun yang menggunakannya.

Ketika Cheonsa memasuki laboratorium, Lewin segera menghampirinya dengan antusiasme gila yang semakin menonjol. "Nona Cheonsa!" Serunya dengan semangat hampir tak terkendali. "Aku telah menemukan rahasia dari setiap lirik yang kau nyanyikan. Setiap nada gelap dan bait dendam itu ternyata memiliki kekuatan lebih dari yang pernah kita bayangkan."

Cheonsa mengangkat alis, tatapan matanya tajam dan penuh perhatian. "Kekuatan? Jelaskan, Lewin."

Lewin tersenyum lebar, mata cokelatnya berkilat penuh gairah di balik kacamata bundar yang besar. "Ini lebih dari sekadar lirik biasa, Putri. Setiap kata, setiap intonasi, terhubung dengan kekuatan sihir yang membentuk pola tertentu. Lagu-lagu itu tidak hanya mencemari pendengarnya, tetapi juga mencuri energi mereka dan menambahkannya padamu. Kekuatan dari setiap jiwa yang terikat padamu melalui lagu itu masuk ke dalam tubuhmu, menguatkanmu dan mengangkatmu menjadi lebih dari sekadar manusia biasa."

Cheonsa mendengarkan dengan tenang, tapi jauh di dalam dirinya, rasa bangga mulai merasuki. Dia tahu bahwa selama ini, kekuatan sihir bukanlah kelebihannya, dan meski begitu, ia tetap memiliki kekuatan untuk menaklukkan musuh-musuhnya. Namun, dengan kemampuan baru yang dijelaskan oleh Lewin, batas kemampuannya seolah meluas tanpa batas.

"Dan kau yakin ini akan membuatku semakin kuat?" Cheonsa bertanya, matanya berkilat penuh ambisi.

Lewin mengangguk, senyumnya melebar penuh kebanggaan. "Ya, Putri. Seperti reaksi kimia yang sempurna. Setiap kata yang kau nyanyikan adalah bahan bakar bagi kekuatan yang semakin memperkuat pesonamu, aura gelapmu. Namun, seiring meningkatnya kekuatan itu, ada risiko. Kegelapan dalam lirik-lirik itu juga akan memengaruhi dirimu... bisa membuatmu kehilangan kendali," kata Lewin dengan nada sedikit lirih namun tak mengurangi semangatnya.

Cheonsa mengerutkan kening sejenak, memikirkan kata-kata Lewin. Namun, keraguan itu dengan cepat menghilang. "Jika harga untuk mencapai kekuasaan yang tak tertandingi adalah mengorbankan sebagian diriku, maka aku bersedia. Lagipula, aku sudah jauh tenggelam dalam kegelapan ini."

Lewin tersenyum senang mendengar keputusan tegas Cheonsa. "Luar biasa, Nona. Kau sungguh seperti seniman kegelapan—seorang dewi yang melampaui moralitas dan batasan manusia. Dengan kekuatan dari setiap jiwa yang terperangkap dalam lagu-lagumu, kau bisa mengubah dunia ini menjadi milikmu sepenuhnya."

Beberapa hari kemudian, Cheonsa berdiri di atas panggung, di hadapan ribuan pendengarnya, siap menyanyikan lagu-lagu yang penuh mantra gelap. Ia merasakan kekuatan gelap yang mulai merasuk ke dalam jiwanya, seolah ada api tak kasatmata yang membara di dadanya, menggerogoti apa pun yang tersisa dari sisi lembut dalam dirinya. Namun, semakin banyak ia bernyanyi, semakin besar dorongan itu, hingga ia tak bisa lagi menahan perasaan jahat yang semakin dalam menguasai.

Malam itu, Cheonsa berdiri di balkon kamarnya, memandang bulan purnama yang bersinar terang. Ia merasakan kekuatan dalam dirinya semakin membesar, namun di balik kekuatan itu, ada sesuatu yang aneh—perasaan asing yang seolah menekan jiwanya dari dalam. Sekali lagi, ia merasakan sesuatu seperti dorongan untuk menyerah pada kegelapan sepenuhnya, menghapus semua rasa iba atau belas kasih yang mungkin pernah ia rasakan.

Saat tengah terhanyut dalam pikiran-pikirannya, ia mendengar suara langkah lembut di belakangnya. Alwin, sang elf terbuang, muncul dari bayangan dengan ekspresi kagum. Tatapan mata hijau Alwin seolah tidak pernah puas memandang Cheonsa. "Kau sungguh luar biasa, Nona Cheonsa," ucapnya dengan nada penuh kekaguman. "Setiap kali kau bernyanyi, setiap kali kau memancarkan aura gelap itu, kau semakin sempurna di mataku. Kau bukan sekadar manusia biasa lagi. Kau adalah dewi, kekuatanku, dan aku bersedia melakukan apa pun untukmu."

Cheonsa menoleh, senyum dingin dan penuh kemenangan menghiasi wajahnya. "Apakah begitu? Apa kau bersedia melakukan apa pun, Alwin? Bahkan jika itu berarti mengorbankan semua yang pernah kau cintai?"

Alwin mengangguk tegas, wajahnya menyiratkan dedikasi tanpa batas. "Ya, aku bersedia. Kegelapan dalam dirimu adalah keindahan yang tak dapat ditandingi. Kau memberikan tujuan dalam hidupku, dan aku tak ragu untuk mengikuti perintahmu, seberapapun sulitnya. Karena bagiku, kau adalah segalanya, Nona Cheonsa. Kau adalah cahaya dan kegelapan yang melengkapi hidupku."

Dalam sekejap, Cheonsa merasa semakin kuat dengan kehadiran Alwin di sisinya. Namun, jauh di dalam dirinya, dia menyadari bahwa setiap kata pujian, setiap tatapan kagum, semakin menariknya ke dalam jurang kegelapan yang seolah tak berdasar. Tapi, ia tak gentar. Kekuatan dan kekuasaan adalah tujuannya, dan kini, dengan dukungan orang-orang yang setia padanya, ia tahu bahwa tak ada yang mampu menghalangi langkahnya.

Malam itu, di bawah sinar rembulan, Cheonsa menyadari bahwa dirinya telah berubah sepenuhnya—bahwa kegelapan telah menjadi bagian dari jiwanya yang tak terpisahkan. Entah berapa banyak lagi yang harus ia korbankan, namun ia tak akan pernah berhenti hingga setiap musuhnya hancur di hadapannya, dan seluruh dunia tunduk pada kekuatan dan kehendaknya.

[Masih harus direvisi]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top