15. Betrayal
Dalam suasana penuh ketegangan, Cheonsa duduk di ruang besar dengan cahaya redup yang hanya disinari oleh lilin-lilin yang berkerlap-kerlip. Dia menatap para sekutunya satu per satu dengan tatapan tajam. Wajah-wajah yang selama ini menjadi bagian dari rencananya kini menatap balik dengan berbagai ekspresi—kebingungan, kecemasan, hingga ketenangan yang tampak palsu. Di ruangan itu, suasana terasa berat, seolah udara pun tak mau bergerak.
Namun, di balik ketenangannya yang tampak anggun, kemarahan Cheonsa membara. Hari itu, pengkhianatan yang selama ini tak pernah diduganya telah terungkap. Ishac, sang assassin, yang selama ini berada di sisi gelapnya, telah membocorkan informasi penting—obat untuk menghentikan wabah yang disebarkan oleh Lewin. Keberhasilan yang diharapkannya untuk menaklukkan musuh-musuhnya dengan wabah kini runtuh. Rencana besarnya gagal karena satu tindakan pengkhianatan.
Cheonsa berdiri, menatap Ishac dengan tatapan dingin yang membuat suasana semakin mencekam. "Kau bocorkan rencana itu," katanya pelan, namun nada suaranya membawa ancaman yang tidak main-main. "Mengapa?"
Ishac, sang pembunuh berdarah dingin, tersenyum tipis. Dia tidak merasa takut, tidak ada rasa penyesalan dalam dirinya. Malah, dia tampak menikmati suasana mencekam ini. Mata birunya yang tajam berkilat dengan kegilaan kecil yang tersembunyi. "Kau tahu, Sayang," jawabnya santai, meskipun matanya penuh dengan kesadisan yang tersembunyi. "Aku tidak melakukannya karena aku berpihak pada musuh. Aku melakukannya karena... mengkhianati adalah bentuk hiburan bagi orang sepertiku."
Cheonsa mendengar pernyataan itu, dan di dalam dirinya kemarahan meledak seperti badai. "Hiburan?" desisnya, matanya menyala marah. "Kau menghancurkan rencana besar ini hanya untuk hiburan?"
Ishac tertawa kecil, suara tawanya seolah-olah dia sedang menikmati situasi ini. "Ya, kau benar. Sebagai assassin, aku selalu menikmati permainan ini. Kematian, pengkhianatan, semuanya adalah bagian dari pertunjukan. Dan kau, Cheonsa, adalah pusat dari segalanya."
Cheonsa menatapnya dalam diam. Tangannya mengepal kuat, sementara di benaknya, berbagai skenario menghukum Ishac bermain di pikirannya. Namun, di balik amarahnya, dia melihat sesuatu. Meskipun Ishac telah mengkhianatinya, dia tidak bisa menampik bahwa selama ini Ishac adalah salah satu sekutu yang paling berbahaya dan efektif. Dia cepat, licik, dan sangat mematikan. Potensinya terlalu besar untuk diabaikan.
Cheonsa akhirnya tersenyum dingin. "Kau pikir kau bisa bermain dengan hidupmu seperti ini?" tanyanya sambil mendekati Ishac dengan langkah anggun. "Kau mungkin menikmati pengkhianatan, tetapi kau akan lebih menikmati penderitaan, kurasa." Dia berhenti tepat di depannya, mendekatkan wajahnya dengan senyuman tipis yang mematikan.
"Aku akan memberimu pilihan, Ishac," ucapnya penuh ancaman. "Kau bisa memilih untuk menjadi milikku sepenuhnya—tunduk padaku tanpa syarat. Atau... kau akan mati dengan penderitaan yang tak bisa kau bayangkan. Aku bisa memastikan kau merasakan rasa sakit yang jauh lebih dalam dari kematian. Rasa sakit fisik dan mental yang akan membuatmu berharap kau tak pernah mengkhianatiku."
Ishac menatap Cheonsa, senyumnya tetap bertahan di bibirnya. "Dan apa yang akan terjadi jika aku memilih untuk menjadi milikmu?" tanyanya, seolah tertarik dengan permainan ini.
Cheonsa mendekatkan bibirnya ke telinga Ishac, suaranya berubah menjadi bisikan dingin. "Aku akan mengikatmu dengan sihir hitam. Kontrak jiwa. Jika kau berani berkhianat lagi, tubuhmu dan jiwamu akan merasakan penderitaan yang tak terbayangkan. Lebih buruk dari gila. Lebih buruk dari mati."
Ishac diam sejenak, menikmati tawaran ini. Mata birunya berkilat, merasa tertantang dan tergoda pada saat yang sama. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku setuju."
Cheonsa tersenyum penuh kemenangan. Dia mengangkat tangannya dan mulai merapalkan mantra sihir hitam. Cahaya gelap mengelilingi mereka berdua, dan segera kontrak jiwa mengikat Ishac ke dalam sumpah setia yang tak bisa dilanggar.
Namun, Cheonsa tidak berhenti di sana. Setelah mengikat Ishac, dia berdiri dan berbalik, menatap seluruh haremnya—Damien sang pangeran iblis, Alwin sang elf, Lewin sang alkemis gila, dan Eros sang ksatria terkutuk. Tatapannya keras dan mematikan.
"Kalian semua," ucapnya, suaranya menggema di ruangan itu. "Akan terikat oleh kontrak yang sama. Aku tidak akan membiarkan pengkhianatan terjadi lagi. Setiap dari kalian harus memilih: tunduk padaku sepenuhnya atau mati di tempat ini."
Damien, sang pangeran iblis, adalah yang pertama bicara. Dia menyeringai licik, meski ada bayangan ketakutan di matanya. "Kau tahu aku setia, Sayang," katanya, suaranya terdengar tenang. "Tapi jika kau ingin mengikatku dengan kontrak, aku tidak akan menolak."
"Setia?" Cheonsa tersenyum penuh penghinaan. "Tidak ada yang benar-benar setia di dunia ini, Damien. Kau hanya tunduk karena aku memegang kekuatan." Dengan tangan terangkat, dia mengucapkan mantra yang sama, mengikat Damien dalam lingkaran sihir hitam yang tak terhindarkan. Kilatan cahaya hitam memancar, dan ikatan itu terbentuk, tak bisa dipatahkan.
Alwin, yang hatinya sudah terjebak dalam cinta obsesif kepada Cheonsa, mengangguk tanpa ragu. "Apa pun untukmu, Dewiku," ujarnya penuh dedikasi. Dia tahu bahwa di bawah kekuasaan Cheonsa, dia akan tetap berada di sisinya, meskipun itu berarti kehilangan kebebasannya. Sihir hitam mengikatnya dengan mudah, mempertegas kekuasaan Cheonsa atas dirinya.
Lewin, sang alkemis gila, tertawa dengan suara yang terdengar seperti gumaman kegembiraan. "Eksperimen baru!" serunya, seolah-olah kontrak ini adalah permainan yang mengasyikkan. "Aku tidak sabar untuk melihat bagaimana ini akan berakhir!" Ketika sihir hitam mengelilinginya, dia malah memeriksa lingkaran cahaya itu dengan rasa ingin tahu yang berlebihan.
Hanya Eros, sang ksatria terkutuk, yang tampak ragu sesaat. Mata kelamnya bertemu dengan tatapan tajam Cheonsa, seolah mencari jawaban di dalam jiwanya. Namun, saat Cheonsa mendekatinya, mengucapkan kata-kata penuh kekuasaan, Eros akhirnya menyerah pada takdirnya. "Aku bersumpah untuk setia padamu, Putriku," katanya dengan suara yang bergetar. "Untuk selamanya."
Dengan mantra terakhir, Cheonsa menyelesaikan ritual yang mengikat semua sekutunya. Lingkaran sihir hitam memudar, meninggalkan bekas yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang telah terikat. Kini, tak ada lagi yang bisa lari atau berkhianat tanpa merasakan konsekuensi yang mengerikan.
Cheonsa berdiri tegak, merasakan kekuatan yang mengalir dalam dirinya. Dia menatap para pengikutnya yang terikat dengan kontrak, wajahnya memancarkan ketenangan yang mengerikan. "Mulai sekarang, kalian adalah milikku. Setiap tindakan, setiap langkah, hanya untukku. Pengkhianatan tidak akan ada lagi di antara kita."
[Masih harus direvisi]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top