14. Rising From The Ashes
Dalam malam yang gelap dan penuh misteri, Cheonsa berdiri di tengah ruang kebesarannya, dengan dua sekutu terkuatnya di sisi kiri dan kanan: Lewin, sang alkemis gila, dan Rehant, penyihir kegelapan yang penuh intrik. Sebuah rencana besar sedang dibangun, sebuah konspirasi yang akan mengguncang dunia mereka hingga ke akar-akarnya.
...
Serangan pertama Cheonsa dimulai dengan menyebarkan wabah di Kerajaan Citrus, tempat ia kehilangan tahtanya. Dengan senyuman dingin di bibirnya, dia menatap Lewin yang sibuk dengan ramuan di laboratoriumnya yang gelap. Botol-botol berisi cairan aneh berdenting ketika ia menyiapkan ramuan mematikan—wabah yang akan menghancurkan musuh-musuh Cheonsa. Asap beracun melayang di udara, menciptakan suasana yang tegang dan penuh bahaya.
"Aku butuh sesuatu yang lebih kuat," kata Cheonsa, matanya menyala dengan gairah balas dendam. "Aku ingin mereka merasakan penderitaan yang sama seperti yang pernah aku rasakan. Hancurkan mereka dari dalam."
Lewin menyeringai, tangannya bergerak cepat dan terampil mencampur racun yang menggelegak dan memancarkan cahaya aneh. Dia tampak semakin terpesona oleh Cheonsa, terutama setelah dia menyadari rahasia besar yang disembunyikan Cheonsa selama ini—dia adalah keturunan terakhir siluman ular, anak dari ratu tiran yang pernah berkuasa di Kerajaan Citrus. Pengetahuan itu membuat gairah ilmiah Lewin melonjak, melihat Cheonsa sebagai sosok yang hampir legendaris. Dalam eksperimen kecilnya, dia bahkan tidak segan-segan memeriksa darah Cheonsa, mengamati setiap detail tubuhnya, mencari tahu apa yang membuatnya begitu unik.
"Keturunan terakhir dari ratu tiran... Betapa mengagumkan," gumam Lewin saat jarinya dengan lembut menyentuh kulit pucat Cheonsa, mengamati jejak sihir yang mengalir dalam darahnya. "Kau adalah kunci dari kekuatan yang tak terbayangkan, Nona Cheonsa. Dan aku, akan menjadi saksi kebangkitanmu."
Cheonsa hanya tersenyum tipis, membiarkan Lewin larut dalam kegilaannya, karena dia tahu bahwa wabah yang akan disebarkan adalah langkah pertama menuju kehancuran musuh-musuhnya.
...
Setelah wabah disebarkan, fokus Cheonsa beralih pada dunia sihir. Rehant, sang penyihir kegelapan, berdiri di sampingnya, membimbing Cheonsa dalam ritual-ritual gelap yang menarik para penyihir lainnya ke dalam aliansi mereka. Rehant, dengan senyuman penuh kelicikan, mengamati bagaimana Cheonsa memanipulasi mereka dengan mudah—menggunakan daya pikatnya dan janji-janji kosong untuk mengikat mereka pada kekuatannya.
"Kau memiliki bakat yang luar biasa, Sayang," kata Rehant dengan nada lembut namun penuh dominasi. "Para penyihir ini hanyalah pion dalam permainanmu. Gunakan mereka untuk menyempurnakan lagumu, untuk membuat dunia gemetar dengan setiap nada yang kau nyanyikan."
Cheonsa mengangguk setuju, namun dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rehant tidak hanya membantu memperkuat lagunya dengan sihir, dia juga menjejalkan pikiran para penyihir dengan ilmu hitam yang mematikan, mengubah mereka menjadi alat yang bisa dikendalikan sesuai keinginannya. Dengan setiap upacara yang mereka lakukan, Cheonsa merasakan kekuatan kegelapan di dalam dirinya semakin besar—tetapi ada bagian dirinya yang terasa hilang. Namun, di bawah pengaruh Rehant, dia terus berjalan di jalur ini, mengabaikan tanda-tanda kehancuran yang mulai merayap ke dalam jiwanya.
...
Di tengah malam yang sunyi, di bawah sinar bulan yang pucat, Cheonsa duduk sendirian di balkon kastilnya, memandangi kegelapan yang merayap di balik cakrawala. Keheningan itu terpecah ketika Alwin, sang elf yang penuh obsesi, muncul tanpa suara. Mata hijau lumutnya berkilau dalam kegelapan, memandang Cheonsa dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Cheonsa... kau adalah keajaiban yang tak tertandingi," bisik Alwin, mendekat dengan langkah yang hampir tidak terdengar. "Kau adalah dewi kegelapan yang sempurna. Kegelapanmu tidak perlu dikendalikan... itu harus dirayakan."
Cheonsa, yang selama ini mulai meragukan dirinya sendiri, merasakan ketenangan aneh dalam kata-kata Alwin. Dalam pelukannya yang hangat dan obsesif, dia merasa diterima. Alwin mengangkat tangannya, menyentuh wajah Cheonsa dengan lembut, seolah menyentuh sesuatu yang suci. "Kau indah," katanya pelan, suara yang penuh keyakinan. "Setiap bagian dari dirimu... adalah manifestasi dari kekuatan yang tak bisa dimiliki siapa pun."
Meskipun tahu betapa obsesifnya Alwin, Cheonsa tidak menolaknya. Dia tahu bahwa Alwin adalah salah satu alat yang paling berharga baginya—seorang elf yang rela melakukan apa saja demi dirinya, bahkan jika itu berarti menghancurkan diri sendiri. Mata Alwin yang bersinar memandang Cheonsa dengan keinginan yang begitu kuat, dan dia berbisik dengan suara yang sarat emosi, "Aku akan selalu berada di sisimu. Aku akan menjadi tanganmu yang tak terlihat, yang akan membantumu meraih takhta."
Namun, meski Alwin bersumpah kesetiaan, dia mulai menunjukkan tanda-tanda kecemburuan terhadap sekutu-sekutu Cheonsa yang lain. Dia merasakan posisinya terguncang setiap kali Cheonsa berbicara atau berinteraksi dengan Rehant atau Lewin. Kecemburuan itu membuatnya semakin tergila-gila, semakin bertekad untuk menjadi yang terdekat dengan Cheonsa, bahkan jika harus mengorbankan apa pun yang menghalangi jalannya.
...
Namun, di balik kesuksesan yang dia raih, Cheonsa mulai merasakan sesuatu yang mengkhawatirkan. Semakin dia menggunakan kekuatan gelapnya, semakin dia merasakan jiwanya memudar. Bahkan ramuan Lewin yang diramu dengan hati-hati untuk menekan sisi gelapnya tidak bisa sepenuhnya menahan efek dari kekuatan yang semakin mendominasi dirinya. Di tengah malam-malam tanpa tidur, Cheonsa mulai menyadari bahwa balas dendam dan kekuasaan telah menggerogoti kemanusiaannya—sesuatu yang bahkan dia tidak yakin bisa dia kembalikan.
Di saat-saat seperti ini, bayangan Alwin muncul sebagai penyelamat gelapnya, menatapnya dengan mata yang penuh pemujaan. "Jangan takut, dewi kegelapanku," katanya dengan suara lembut yang hampir menghipnotis. "Kau sudah memilih jalan ini, dan kau tidak perlu berbalik. Aku akan mendukungmu, apa pun yang terjadi."
Dan di bawah cahaya bulan yang suram, Cheonsa mengangguk pelan, membiarkan dirinya terseret lebih jauh ke dalam jurang kekuasaan dan kegelapan. Tidak ada jalan kembali—dan dengan sekutu-sekutunya yang setia, dia tahu bahwa dia hanya tinggal selangkah lagi dari takhta yang sudah menjadi haknya. Namun, di balik senyuman kemenangan yang terpancar di wajahnya, ada sesuatu yang mulai retak, sesuatu yang bahkan dewi kegelapan seperti Cheonsa tidak bisa sepenuhnya kendalikan.
[Masih harus direvisi]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top