39. Kematian Sang Raja
BAB XXXIX
Kematian Sang Raja
Tangan Sotaru gemetar karena kemarahan, kemudian ia menggenggam gagang pedang dengan erat, dan mengeluarkannya dari sarung pedang. Menatap sejenak Rei yang masih tidak berkutik karena dilingkupi sihir listriknya, dan berlari dengan segenap kekuatan, dengan cepat berniat menghabisi gadis Chizuuru dengan tikaman pedang.
Kubunuh kau! Tak akan kuampuni!
Gadis itu masih mencoba meyakinkan sang Hakudoshi, siatuasi yang sangat bagus, semakin dekat, dekat dan dekat.
"Mati Kau, CHIZUURU!"
Shizuka, Akashi dan Ryunosuke terbelalak, menyaksikan sesuatu yang tak akan pernah mereka lupakan seumur hidup.
Cras!
Pedang menembus dada, darah mengalir deras membasahi pasir di Gurun Neraka. Tikaman menghantam tepat pada tengah dada, sosok berlumuran cairan merah jatuh bergetar, dengan Akashi menggenggam pedang yang tertancap agar tak ditarik kembali oleh Sotaru. Sementara itu, tangan Ryunosuke sontak dengan refleks langsung menghantamkan kepalannya kepada wajah Sotaru, pukulan telak diterima. Tubuh itu terpelanting hingga terseret beberapa meter, bahkan terguling, menyebabkan tulang pada lengan dan kakinya patah. Darah keluar dari kepala dan mulut, tetapi seringai dan tawalah yang terdengar, tak ada rintihan mewakilkan rasa sakit yang mendera.
"Akashi!" Shizuka berteriak, gemetar karena menyaksikan Akashi yang melindungi dirinya dari tikaman pedang Sotaru, laki-laki yang merupakan kepala klan Achiromaru dan Raja Kerajaan Matahari itu merosot jatuh dan terduduk di pasir gurun yang terhiasi merah kental. Shizuka pun berjongkok, menyamakan tingginya dan memengangi pundak Akashi yang berhadapan langsung dengan wajah Ryunosuke, dada Ryunosuke menjadi sandaran laki-laki itu karena tak kuat menopang tubuhnya sendiri.
Amis itu keluar dari mulut dan hidung, cairan yang kental dan semakin banyak berceceran membasahi tubuh. Akashi terbatuk kecil, namun efeknya mengerikan karena darah yang terus keluar dari dua lubang di wajahnya.
Tatapan Akashi setengah terbuka, wajahnya miring ke samping, menyandar ke arah dada Ryunosuke yang menjadi topangan tubuh tak berdanya. Mulutnya sesekali terbatuk-batuk. Pasir yang diduduki Akashi mulai berubah warna dan terembas membentuk noda-noda merah.
Shizuka menggigit bibirnya, memandang dada Akashi yang tertancap sebilah pedang. Di sisi lain, Nawaki datang dengan berlari kencang, menatap sang tuan berkondisi mengerikan. Berinisiatif mengamankan Sotaru yang telah menyakiti sang Raja Kerajaan Matahari.
Air mata kembali tertetesi, Shizuka memejamkan kelopaknya.
"Suruh berhenti, suruh berhenti mereka semua, Ryunosuke!" bentakan Shizuka terdengar, kekkai seukuran dua meter teraktifkan dan masing-masing menghalau para prajurit yang sedang berperang satu lawan satu. Pasukan yang tak bisa menyentuh lawannya masing-masing pun menghentikan gerak, dan menatap Shizuka yang satu-satunya pemilik kemampuan legendaris ini. Mereka teridam, ketika gadis itu kembali berteriak meminta perban atau apapun yang bisa menghalau darah dari dada Akashi.
"Hentikan perang ini! Pasukan Kerajaan Langit mundurlah!" Ryunosuke berteriak, sedangkan Akashi memanggil salah satu bawahannya; Kitsuki Key. Mengatakan dengan suara nyaris menyerupai bisikan, agar pasukan Kerajaan Langit ditarik mundur. Sementara itu, di sisi lain Sotaru berteriak mengerikan, memaki Akashi dan mengatakan laki-laki itu tak berhak memerintah perang ini, sebelum jambakan kuat dihadiahi Nawaki dengan senang hati.
Gadis berambut cokelat ikal itu merobek baju Akashi, sosok yang terluka tak memakai zirah karena sudah terbuka paksa berkat tubuh monster yang menguasainya, pedang yang tertancap di dada kini perlahan ditarik Ryunosuke atas perintah Shizuka, menyebabkan luka menganga tertangkap oleh penglihatan sang tabib muda. Gadis itu memejamkan mata dan mengerutkan alis, dengan cepat mengambil perban di balik bajunya, dan mengumpulkan perban lain yang dimiliki Akashi sendiri ataupun pasukan ini.
Mengerikan.
"Aku akan menggunakan pertolongan pertama untuk menghentikan pendarahannya, Akashi-Douno."
Cairan kental semankin banyak mengalir, Akashi hanya bisa mengerutkan dahi untuk menahan kesadarannya.
"Ya, aku mengandalkanmu," bisik lelaki itu dengan suara gemetar.
Tangan mungil Shizuka mulai melilitkan perban, memutari bagian dada Akashi, mencoba menghentikan pendarahan dengan pertolongan pertama seadanya.
"Akashi-Douno, setelah melewati situasi ini, kita akan kembali ke istana untuk mengobatimu lebih lanjut." tatapan emerald itu masih mengarah kepada perban yang terus coba ia lilitkan. Wajah Akashi yang tertunduk dan tak ada jawaban dari pernyataan Shizuka, membuat gadis itu menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Akashi-Douno, apa kau bisa mendengarkanku, Akashi-Douno!" panik dirasakan Shizuka saat Akashi masih tak bergerak, kepalanya di posisi yang sama, dengan Ryunosuke yang memengangi tubuh laki-laki yang tengah terluka parah.
"A-aku ... mendengarmu, Nona Shi-zuka." Laki-laki itu bebicara dengan terbata, jangan ditanya volume suara yang dikeluarkan karena sangat pelan seperti bisikan. Padangan mata Akashi yang mengarah ke bawah dengan kelopak setengah terbuka, membuat Shizuka tak bisa menemukan cahaya di bola mata indah itu.
"Kau pasti akan baik-baik saja, aku akan berusaha dengan segenap yang kubisa."
"Tentu, kau ... adalah tabib terhebat ... bukan, Shizuka?"
Tarikan napas Shizuka tedengar, ketika perban telah selesai dililitkan ke tubuh Akashi. Gadis itu masih terdiam, dengan pandangan yang melebar karena menyaksikan darah yang merembas ke perban, hingga kembali membasahi dada Akashi yang terluka parah. Tangannya gemetar, ia mulai berkaca-kaca, dan teresentak kala mendapati mata Akashi sudah terpejam.
"Akashi-Douno! Kau mendengarku? Akashi-Douno, kumohon, sadarlah!" kedua tangannya menyentuh dan menggoyangkan dengan pelan lengan Akashi yang terkulai tak bertenaga.
Ryunosuke yang masih menjadi sandaran Akashi pun mengerutkan alis. Tidak mungkin?
"Ugh, kenapa ... kau berteriak-teriak, hm?" dahi Akashi berkerut saat mengatakan hal itu, namun ia tak membuka kelopaknya.
Kepala Shizuka tertunduk, ia manangis dan mengigit bibirnya agar suaranya tidak terdengar. Apa yang harus ia lakukan? Perban sepenuhnya telah tertutupi darah segar Akashi yang masih juga merembas keluar.
"Akashi?" Ryunosuke merasakan kejanggalan, laki-laki itu terlalu banyak kehilangan darahnya dan Shizuka pun tak bisa berbuat banyak karena tak ada peralatan medis yang mendukungnya.
Laki-laki yang merupakan Tuan Muda Hakudoshi pun terdiam sebentar, suasana yang awalnya ricuh dan penuh kekerasan serta pertumpahan darah mendadak sunyi. Beberapa petinggi tak percaya kalau tuan muda mereka yang selalu dibangga-banggakan itu telah melukai anak dari tuan dan nyonya besar klan Achiromaru. Laki-laki yang mereka agung-agungkan, telah menusuk dada anak sah dari kepala klan Achiromaru.
Shiranue, salah satu petinggi yang ikut berperang dan juga selalu menjunjung Sotaru, kini menatap lelaki itu dengan pandangan tidak percaya. Sosok yang sekarang terbaring telungkup dan dijaga Nawaki dan Hakudoshi Rei, sosok yang masih memaki dan tertawa terbahak entah karena apa.
"Aku akan memakai energi Sang Kegelapan, untuk membantu penyembuhannya ... jadi−"
"Tidak, Ryunosuke-Douno. Sudah ... cukup." Kelopak mata Akashi terbuka setengah, berkedip beberapa kali. Ia lalu menggerakkan kepalanya, menghadapkan wajah ke arah Shizuka.
"Tetapi, Akashi-Douno ... yang dikatakan Ryunosuke benar, untuk menyelamatkanmu tak akan masalah memakai kekuatan terlarang itu!"
Senyum Akashi tersungging, laki-laki itu menggelengkan kepalanya.
"Jangan panik, Shizuka. Aku ... baik-baik saja." Telapak tangan Akashi terangkat, dan menyentuh pipi Shizuka, menggerakkan ibu jarinya untuk mengahapus air mata sang gadis. Tangan itu lalu bergerak pelan, mengarah ke leher Shizuka, mengenggam bandul berlambang matahari yang merupakan simbol dari klan Achiromaru dan Kerajaan Matahari. Dengan sekali tarik, kalung yang melingkari leher Shizuka pun terlepas, terbawa oleh genggaman tangan Akashi yang kembali jatuh tak berdaya di samping tubuh, sementara Shizuka hanya bisa melebarkan matanya.
"Jangan berwajah seperti itu. Kau telah ... bebas, Nona Shizuka. Aniue, juga korban, kumohon ... bijaksanalah, Douno. Maafkan Aku." Kelopak mata tertutup, napas laki-laki itu terhenti, detak jantungnya melambat hingga tak dapat dirasa lagi.
Hening menyelimuti, angin membelai rambut mereka yang dipenuhi keringat yang menempel, sementara Shizuka terperangah sebelum akhirnya ia menggunakan kedua tangannya kembali untuk menggoyangkan tubuh Akashi. Di depannya, Ryunosuke yang masih menjadi sandaran Akashi pun memejamkan mata, lebih dulu menerima lelaki yang keadaannya telah tak bernyawa.
"Akashi-Douno! Akashi-Douno! Tidak, kumohon buka matamu! Sadarlah, Akashi-Douno!" sang gadis bergetar, menangis dengan isakan yang menyayat hati, menjatuhkan kepalanya kepada dada Akashi dan memeluk laki-laki yang sempat beberapa bulan menjadi suaminya.
Sedang Ryunosuke yang menyaksikan pun hanya bisa menghela napas dan memejamkan mata, menyentuh bahu Shizuka dengan tangannya untuk menenangkan gadis itu, juga memberikannya kekuatan hati. Para jendral perang berteriak, memberi penghormatan terakhir kepada sang kepala klan Achiromaru, raja muda dari Kerajaan Matahari. Membuka topi baja dan bersimpuh dengan lutut, menundukkan kepala menunjukkan rasa berkabung.
Kedua belah pihak memutuskan mengikuti perintah Raja mereka, dan sepertinya kedua belah pihak akan melakukan gencatan senjata. Sotaru sudah dilumpuhkan, akan diberikan hukuman karena kepemimpinannya yang sangat bertolak belakang dengan perjanjian kerajaan terdahulu yang mengikat aliansi. Sotaru yang ditakuti, dan selalu bisa memanfaatkan kelemahan orang lain, juga sangat manipulatif dengan pemikirannya yang membuat para petinggi jatuh hati dengan harta dan kekuasaan yang dijanjikan, sekarang hanya bisa menghabiskan waktunya hingga akhir dari balik jeruji.
Rencana jangka panjang untuk merampas kekuasaan Kerajaan Langit, kini gagal total karena pengorbanan sang kepala klan muda yang mencintai kedamaian.
.
.
.
Perang berakhir, kedua belah pihak lebih memilih melakukan gencatan senjata atas perintah sang Raja Achiromaru Akashi untuk yang terakhir kalinya. Berdamai dari perang panjang yang sudah terjadi dalam kurun nyaris setengah tahun ini.
Saat itu, para terntara saling membantu setelah sekian lama terlibat baku hantam, berkumpul untuk mengistirahatkan diri, mengobati tubuh yang terluka dan menguburkan mayat-mayat sang pejuang yang berguguran di medan perang.
Matahari telah menungkik, suhu gurun turun drastis, seorang gadis memandangi awal yang kelihatan oranye, sesekali ia melirik kepada sang Raja yang terkaku dengan nyaris seluruh tubuh tertutup selimut hijau lumut. Kedua tangan Akashi yang dingin kini diletakkan menyilang di atas dada, wajah lelaki berambut cokelat pendek itu terlihat damai, seolah dengan senang hati membebaskan diri dari dunia yang fana.
Tangan yang masih menyisakan seditik darah kering karena tak dapat menemukan air dalam jumlah banyak di wilayah Gurun Neraka, kini menyentuh rambut kecokelatan sang Raja yang terpejam untuk selamanya. Shizuka menebak-nebak, sekarang gerangan apa yang tengah dirasakan hati Akashi, apakah laki-laki itu merasa bahagia karena telah bertemu dengan kedua orang tuanya yang telah tiada di surge sana atau sedih karena menginggalkannya sendirian di Kerajaan Matahari.
Desah napas di dengar Shizuka, matanya yang kehijauan kini menatap sang pewaris sah Kerajaan Langit yang bergerak duduk di sampingnya. Menyerahkan kantung air kepada wanita yang masih berwajah murung. Beberapa waktu Shizuka tak menyentuh apa pun dan hanya duduk terdiam di samping jenazah suaminya.
"Kau harus mengisi energi untuk perjalanan ke Kerajaan Matahari. Dia akan sedih jika menyaksikanmu dalam keadaan murung begini."
Shizuka diam saja, menghela napasnya. Ia tak ingin meladeni Ryunosuke yang masih bersedia untuk menenangkan atau menemaninya setelah penolakan-penolakannya sejak kehilangan sang suami. Akhirnya dengan sedikit sungkan, tangan Shizuka pun menerima uluran tangan Ryunosuke yang sejak tadi tak henti dilakukan, menawarinya makanan ataupun minuman seperti ini.
Wantia yang telah berganti marga menjadi Achiromaru itu pun meneguk air pemberian Ryunosuke. Tatapannya masih menyedihkan kala kembali melihat sosok yang telah menemaninya selama beberapa bulan ini.
"Dia pasti sudah tenang dan bahagia, kita harus mengikhlaskanya 'kan."
Tatapan Ryunosuke mengarah ke langit yang mulai menggelap, banyak obor para pasuka yang mulai dinyalakan, tenda-tenda pun telah dipasang untuk beristirahat juga api unggun.
Ketika langit hampir sepenuhnya gelap, Shiranue datang menghampiri dengan beberapa pengawal, mereka akan memindahkan jasad Akashi ke dalam tenda yang sudah di sediakan. Shizuka pun menganggukkan kepala dan mengizinkan hal itu, ia akan menemani suaminya di dalam tenda malam ini, bersama berdua untuk terakhir kalinya.
Memeriksa Shizuka karena takut wanita itu akan kembali bersedih, Ryunosuke pun kembali masuk ke dalam tenda. Menemukan Shizuka yang tetap menatap suaminya. Laki-laki itu mendekat dan mendengar suara sang tabib mujarab.
"Aku benar-benar terimakasih, karena Tuan Muda Ryunosuke mau mengabulkan keinginan suami." Suara Shizuka pelan, dan bergetar dan tak dikenali Ryunosuke, hampir-hampir dingin.
"Dia adalah laki-laki yang baik, Shizuka." Menghela napas, Ryunosuke lalu memutuskan untuk keluar karena ingin membiarkan perasaan Shizuka membaik. Lebih tepatnya memberi waktu kepada wanita itu.
"Jangan lupa santap malammu dimakan, Shizuka. Aku permisi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top