34. Ancaman dan Belenggu Hati

BAB XXXIV

Ancaman dan Belenggu Hati

"Akashi, mengenai Shizuka tadi, kau juga melihatnya bukan. Tetapi, Shizuka menjelaskan kalau ia belum bisa menguasai kekkai secara sempurna. Sementara itu yang kita lihat pada dirinya tadi, merupakan sesuatu yang sangat kuat dan menakjubkan? Apa kau mengetahui tentang wujud dari para Chizuuru yang menguasai kekkai dengan sempurna?"

Akashi mengerutkan kening, merasa mengerti dengan apa yang tengah berada di dalam pemikiran Ryunosuke.

"Aku tak terlalu tahu mengenai perubahan wujud dalam klan Chizuuru, tetapi Nona Shizuka tadi memang mengalami peningkatan energi spiritual yang sangat luar biasa, ditambah lagi dengan kekkai yang digunakan untuk menghentikan Ryunosuke-Douno sangat berbeda dengan yang biasa di saat kami berlatih." Mata hijau itu memindahkan atensi kepada Shizuka, ia kembali berkata saat melihat gelagat kebingungan yang ditampilkan wajah Shizuka. "Nona Shizuka, kemungkinan kau tadi mengeluarkan kemampuan legendaris klan Chizuuru tanpa kausadari."

Semakin larut, hawa di gurun akan turun drastis, tetapi berkat bangunan khas Kerajaan Matahari yang terbuat dari bata dan tanah liat, menjadikan tempat ini tak terlalu terpengaruh dengan cuaca ekstrem padang pasir. Di dalam ruangan, satu-satunya gadis di antara dua orang pria, kini terdiam kaku. Ada keterkejutan di wajahnya yang masih terlihat tegang. Tak percaya dengan perkataan yang terucap baik dari ketua klan Achiromaru ataupun ketua klan Hakudoshi.

Tidak terlalu mengerti dengan apa yang tengah dibicarakan, apakah benar ia bisa menguasai kekkai luar biasa milik leluhurnya itu?

"Apakah itu benar-benar terjadi?"

Kedua lelaki itu kompak mengangguk, menatap Shizuka yang masih duduk di sebelah Ryunosuke.

"Walau aku masih belum mengerti kenapa kau tiba-tiba−meski tak sengaja, tetapi bisa menggunakannya, namun aku meyakini jika pasti ada sesuatu yang membuatmu berada di dalam puncak energi spiritualmu itu, Nona Shizuka." Tatapan Akashi berpindah kepada Ryunosuke yang sekarang mengerutkan alis.

"Jadi, saat kau menghentikanku yang ingin pergi, aku langsung merasakan peningkatan drastis pada energi spiritualmu. Bukan hanya itu saja, kekkai yang kaugunakan pun menjadi sangat kuat melebihi yang kutahu, lalu wujudmu tak seperti yang sekarang ini, Shizuka."

Masih terlihat kekagetan yang pias di wajah Shizuka, gadis itu mengerutkan alis, informasi yang didapatnya kali ini sebelumnya tak diketahu, walau ia sadar menggunakan kekuatan kekkai untuk menghalau Ryunosuke, Shizuka sama sekali tak mengetahui kalau ia berubah sedrastis itu.

Shizuka jelas tak banyak tahu, bahkan baginya terlalu minim mengetahui tentang segala yang ada pada klan Chizuuru, ia hanya mendapatkan informasi dari gulungan yang dimiliki Hakudoshi yang ditemukannya di perpustakaan dahulu.

"Aku ... aku tak mengetahuinya, kukira saat itu aku seperti yang kalian lihat sekarang?"

Dahi Akashi berkerut lagi, menandakan bahwa dia tengah berpikir.

"Tidakkah ini aneh? Kau yang biasanya selalu sensitif terhadap aura di sekitarmu, tiba-tiba tak menyadarinya. Nona Shizuka, saat itu atensimu penuh teralihkan karena memikirkan Ryunosuke-Douno yang tak ingin dirinya meninggalkanmu, seperti itu bukan, Nona Shizuka?"

Mata hitam milik Ryunosuke melebar karena mendengar perkataan Akashi, memang kalau dipikir-pikir energi yang barusan meningkat dalam sekejab pun karena Shizuka bersama dirinya karena ia mengucapkan pernyataan cinta. Lalu, apa mungkin kekkai legendaris milik klan Chizuuru ini memiliki persyaratan khusus untuk menguasainya? Karena, Shizuka sendiri tadi bercerita bahwa meski telah dilatih, mereka tak mendapatkan hasil yang signifikan.

Tetapi, apa persyaratan yang harus dilakukan untuk membangikitkan kekuatan Shizuka?

Mungkinkah bekaitan dengan perasaan Shizuka?

"Kalau begitu, kita hanya perlu mencari tahu cara agar Shizuka bisa menguasainya. Kukira mungkin ada semacam persyaratan khusus untuk mencapai kekuatan sempurna klan Chizuuru." Alis Ryunosuke mengerut, sebelah tangannya menyentuh dagu, dengan pose orang yang sedang berpikir.

"Persyaratan khusus?"

"Ya, sama seperti mata perak ini, yang hanya bisa bangkit jika kita kehilangan orang yang terkasih, cinta sangat berperngaruh untuk memperkuat mata ini."

Malan yang dingin, Akashi menghela napasnya. Mungkin pembicaraan mereka harus dihentikan terlebih dahulu, mengingat waktu menjelang pagi tak lama lagi akan hadir. Kemungkinan hanya tinggal beberapa jam dari sekarang. Ryunosuke juga tak bisa terus menerus berada di sini, jika ia tertangkap mata, habislah rencana mereka semua.

Untuk itu, Akashi menyerukan agar sebaiknya Ryunosuke kembali ke istana Hakudoshi terlebih dahulu karena masalah ini biar mereka berdua yang mengurusnya.

"Kau bilang, Sotaru yang menaruh mantera kepadamu untuk mengunci makhluk kegelapan yang bersarang di dalam tubuhmu?" kepala cokelat itu mengangguk menanggapi ucapan Ryunosuke.

"Kenapa?"

"Mungkin, aku bisa saja membantu makhluk itu keluar dari tubuhmu, dengan memakannya, tetapi dia akan menjadi bagian dari diriku, dan kau bisa membebaskan Shizuka karena Sotaru tak bisa mengekangmu lagi, dan menjadikanmu sebagai ancaman desa." Mata Ryunosuke menatap tajam, ia sepertinya masih tak rela jika Shizuka berstatus sebagai istri dari lelaki yang memimpin Kerajaan Matahari, apalagi kabar ini bisa saja menyebar ke seluruh negeri.

"Tidak, jangan lakukan itu. Bagaimana pun, perlahan hatimu akan dicemarinya, tanpa kausadari, jiwamu akan tenggelam karena Sang Kegelapan." Shizuka tidak percaya, Ryunosuke masih bersikeras untuk membebaskannya, walau taruhannya adalah diri lelaki itu sendiri. Bagaimana bisa dia melakukan hal itu, padahal Shizuka meyakini kalau pria di sampingnya ini pasti mengetahu ada risiko besar dibalik mengendalikan Sang Iblis.

Shizuka menatap nanar Ryunosuke, mata hijaunya tak percaya dan berkaca-kaca, ia tak ingin Ryunosuke berkorban sejauh ini, sudah cukup, meski dahulu lelaki itu berjanji di depan Tuan Muda Aoda akan selalu menjaganya, menaunginya di dalam perlindungan.

"Kau memang pernah berjanji di depan Tuan Muda Aoda, tetapi kumohon untuk tak membuat dirimu sendiri menderita, hanya karena ingin menyelamatkanku, Ryunosuke."

Yang ditatap terdiam, mengehela napas karena ia tahu Shizuka adalah seorang gadis yang keras kepala. Sama seperti dirinya, Shizuka pun mengkhawatirkan dan tak ingin dirinya terjebak di dalam kegelapan. Hatinya tercubit, ia telah menjadi orang yang sangat egois, sangat diyakini olehnya kalau Shizuka pun memiliki perasaan yang sama, tetapi gadis itu tak gegabah hanya karena ingin terus bersama dan terbebas dari permasalahan ini.

"Maafkan aku, Shizuka." Sang gadis menganggukkan kepala, terlihat menyunggingkan senyum tulus untuk menjawab permohonan Ryunosuke.

Sekali lagi menatap Shizuka, Ryunosuke pun naik ke atas jendela, membuka kimono-nya sebatas dada hingga menampakkan pungungnya yang telah berubah kecokelatan. Laki-laki itu melompat dan terbang dengan sepasang sayap yang keluar dari punggung. Akashi dan Shizuka menatap kepergian Ryunosuke, di malam bulan purnama.

.

.

.

Akashi, naungilah Shizuka dalam penjagaanmu.

Kalimat itu terdengar, berulang di kepala Akashi ataupun Shizuka.

Dan setelah Ryunosuke mengatakan hal tersebut, laki-laki itu pun pergi untuk pulang ke tanah kelahirannya. Meninggalkan gadis yang dikasihinya sekali lagi, berpisah sementara untuk kebaikan mereka semua. Jendela ditutup, Akashi dan Shizuka masih berdiri, untuk beberapa saat memerhatikan benda yang berfungsi sebagai lubang angin dan cahaya.

Walau ada sebesit tak rela karena berpisah kembali, Shizuka hanya bisa menggehela napasnya untuk menyembunyikan kegelisahan hati, mata emeraldnya memandang Akashi yang berjalan dan duduk di ranjang. Laki-laki itu terlihat mengenggam sebilah pisau lipat yang disimpannya di balik jubah, kemudian menggulung lengan kimono hingga mendekati atas pundak. Pisau yang dipegang itu, lalu disayatkan di bagian otot atas lengan, hingga mengeluarkan amis yang kental, menetesi seprai putih hingga membentuk bercak-bercak kemerahan. Shizuka mendekati dengan cepat, ia tak habisa pikir kenapa Akashi sampai menyakiti diri seperti itu?

"Apa yang kaulakukan, Douno?" sang gadis musim semi mengambil saputangannya dan membersihkan luka di lengan. Mentap mata yang hampir sang penguasa dengan pandangan tidak mengerti dan menyiratkan kekhawatiran.

"Hanya sentuhan akhir, agar mereka nantinya memercayai kita." Laki-laki itu tersenyum tipis dan menelentangkan diri di atas ranjang, memejamkan mata yang lelah. "Tidurlah, Nona Shizuka, kita membutuhkan istirahat sejenak."

Walau tak terlalu memahami dengan apa yang dilakukan dan dikatakan sang ketua klan Achiromaru tadi, toh Shizuka juga mengikuti ucapan terakhir Akashi. Mereka memang harus meberikan waktu rihat untuk diri, agar besok setidaknya bisa lebih segar untuk menyambut hari.

Mereka pun akhirnya lebih memilih untuk memampirkan diri ke dunia mimpi, tidur saling membelakangi di sudut ranjang masing-masing.

Hari perlahan berganti, matahari yang berada di ufuk timur mulai malu-malu mengintip di balik bukit pasir, sebelum dengan gagah terpampang di tengah-tengah langit yang cerah.

Dari atas ranjang, Akashi mengeluh pelan, dan terbangun kala mendengar ketukan pintu yang terus terdengar selama beberapa saat. Ia membalas dengan ucapan kata singkat, masih terlentang di atas ranjang, saat ingin menggerakkan tubuh untuk duduk dan membasuh wajah, ia merasakan ada sosok yang menghalanginya, menimpah hampir sebagian dari tubuhnya.

Mata itu melebar, menatap kepala yang masih dalam keadaan nyenyak bersandar di dada dan ceruk lehernya. Tak ingin mengganggu kenyamanan sang gadis, Akashi pun dengan perlahan memindahkan Shizuka kembali ke sisi ranjang. Menyelimuti gadis itu kala ia selesai memindakhkannya.

Beberapa hari setelah malam pertama yang ditamui Hakudoshi Ryunosuke, Shizuka dan Akashi kembali dalam dunianya masing-masing. Akashi dengan rapat-rapat yang diadakan petinggi, dan Shizuka yang menjalani hari dengan profesi sebagai tabib.

Hakudoshi Ryunosuke pun telah sampai di Kerajaan Langit, ia langsung memeriksa beberapa laporan dan perkembangan desa. Rei dan para petinggi lain mulai menjelaskan banyak hal, mengenai kependudukan yang sudah ditata kembali, rakyat pun sudah memulai beraktivitas seperti sedia kala.

Sang penguasa masih duduk apik, di balik meja kerjanya, memeriksa hasil dari perundingan, gulungan-gulungan ketatanegaraan, juga perekonimian yang kembali berkembang.

Embusan napas terdengar, Ryunosuke mengangkat wajahnya, dan kembali menggulung kertas-kertas yang terbuka di atas meja. Tubuhnya ia senderkan ke dinding, kepalanya ia dongakkan sedikit, alam khayalnya bermain dan membayangkan wajah gadis yang dirindukannya.

Belum ada kabar selama hampir seminggu sejak pertemuan terakhir mereka di Kerajaan Matahari , ada kekhawatiran di hati, namun ia memercayai kalau Akashi akan menepati janji menaungi Shizuka dalam penjagaannya seorang. Ketika lelah sudah menghampiri, Ryunosuke menggerakkan tubuh. Ia berdiri, dan memutuskan untuk mencuci mata dengan keindahan negeri.

Bejalan-jalan di sekitar istana maupun desa, dengan menggunakan kuda dan beberapa pengawal yang menjaga dan berjejer di belakangannya, Ryunosuke mulai memerhatikan sekeliling. Rakyatnya yang beraktivitas, di jalan, sawah ataupun kebun. Ada yang beberapa pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan berburu hewan liar.

Mata elangnya menangkap sesuatu yang terbang mengangkasa, mereka sedang berada di padang, dengan rumput dan ilalang yang melambai ketika digodai angin. Pohon-pohon mengeluarkan bunyi gemeresik, ikut berdansa dengan daun-daun tunggal yang berguguran.

Tangannya digunakan untuk menjadi tampungan sang elang yang merendahkan terbang, tepat bertengger di lengan Ryunosuke, sementara lelaki itu memeriksa gulungan kecil yang terselib di dekat pergelangan kaki elang.

Ia menerbangkan kembali burung bermata tajam, kemudian membuka gulungan kecil dari surat yang berasal dari Akashi.

80 persen.

Hanya itu yang tertulis di dalam surat berukuran kecil, Ryunosuke mengerutkan alisnya, menebak kemungkinan yang dimaksud adalah Shizuka telah menguasai kekuatan kekkai itu sebanyak 80 persen dari semestinya. Untuk mencapai kesempurnaan, maka dibutuhkan persyaratan khusus yang kemungkinan berkaitan dengan perasaan Shizuka. Apakah itu berkaitan dengan percintaan mereka? Ryunosuke tak terlalu bisa memprediksinya, ia hanya mengandai, tetapi melihat gadis itu yang bereaksi dahulu, maka bisa jadi. Jadi, untuk mewujudkannya, apakah dirinya harus turun tangan langsung untuk mendukung Shizuka?

.

.

.

Padang sabana yang terbentang luar, menjadi arena latihan Shizuka dan Akashi, kekkai legendaris itu sudah hampir disempurnakan. Hanya membutuhkan beberapa saat lagi, mungkin seperti yang diterangkan Ryunosuke kalau mereka harus mencari cara untuk mengetahui persyaratan khusus menuju kesempurnaan.

Akashi melihatnya, serangan pedang dihalau dengan sesatu yang seperti dinding permata hijau, penghalang yang tak bisa ditembus walau sekuat tenaga ia menghantamkan mata pedang ke arah Shizuka.

Bunyi dentingan cukup memekakkan telinga, Shizuka menarik napas, dan menghilankan kekkai yang melindungi tubuhnya, sebelah tangannya yang melakukan pose bertahan pun diturunkan.

"Kerja bagus, Nona Shizuka. Kau semakin mahir, kekkai-mu bahkan telah bekerja untuk sesuatu yang nyata."

"Ya, aku merasakan perubahan energi, Akashi-Douno."

Walau tubuh Shizuka tak terlihat perbedaan fisik, tetapi bagi seseorang seperti Akashi yang bisa merasakan auranya, tolok ukur itu benar-benar terlihat.

Mereka kembali ke istana ketika matahari beranjak siang, berada di kamar untuk sekadar membersihkan diri dan makan bersama, Shizuka merasa mantap kalau ia bisa membebaskan Akashi dengan kemampuannya, untuk sekarang yang terpenting adalah meminimalisir risiko agar Akashi tak dikendalikan Sotaru.

"Mungkin, malam nanti kita bisa memulainya, Akashi-Douno. Aku akan membebaskanmu dari iblis yang menjadikan tubuhmu sebagai wadahnya."

"Kau benar, dengan itu Sotaru tidak akan bisa menggunakanku sebagai ancaman desa lagi."

"Jadi, inikah yang kalian rencanakan, Adikku?" di sudut kamar, sorang lelaki tersenyum miring, tubuh yang sebelumnya menyandar, kini berdiri tegak dan berjalan mendekati kedua muda-mudi yang terkaku dalam duduknya.

Rambut kecokelat panjang yang diikat menjadi ciri khas dari lelaki yang sekarang sudah duduk di depan mereka, menyunggingkan lekukan yang membentuk kurva, mata sayunya menatap dengan sorot ingin tahu.

"Akashi! Akashi! Akashi! Teganya kau berencana mengkhianati kakakmu. Bersekongkol dengan wanita sialan ini?"

"Nii-sama," bisik lelaki yang merupakan adik dari Sotaru. Napas mereka putus-putus, bisa saja Sotaru melakukan sesuatu yang kejam kepada mereka, Shizuka lebih tepatnya.

"Tidak! Tidak! Akashi. Kau memakai gadis ini untuk menyingkirkan iblis yang sengaja ditanam oleh nenek kita? Kenapa kau tega melakukannya? Kau adalah senjata terkuat Kerajaan Matahari untuk saat ini, bisakah kau memikirkan bagaimana jadinya negeri ini tanpa kekuatan menakutkan yang ditanamkan di tubuhmu?" Sotaru memiringkan wajah, polos seperti anak kecil, namun hatinya lebih kejam dari iblis.

"Ah, tidak. Lebih gampangnya, bagaimana kalau kita melakukan permainan? Mana yang lebih menguntungka, Chizuuru, Akashi? Iblis yang tetap ada di dalam tubuhmu dan kau akan menjadi senjata perang melawan Hakudoshi ... atau desa di pegunungan Kitsune aku musnahkan dalam satu malam?"

Mata Shizuka terbelalak mendengarnya, kedua hal yang ditawarkan Sotaru sama sekali tidak menguntungkan pihak mereka, kenapa lelaki ini begitu kejam hingga membawa-bawa rakyat desa yang tidak bersalah.

Tiba-tiba, Akashi berdiri dari duduknya yang dekat dengan Shizuka, berjalan sempoyongan, kemudian jatuh tersungkur. Tubuh laki-laki itu bergetar dan teriakan tertahan terdengar di telinga Shizuka. Gadis itu terbelalak dan langsung mendekati Akashi yang sekarang mencengkeram tengah dadanya.

"Apa yang kaulakukan kepada Akashi-Douno?"

"Ahahah, tidak Chizuuru, kenapa kau memikirkannya. Jangan sampai pengorban tabib tua yang tinggal paling dekat dengan kawasan hutan di Pegunungan Kitsune, menjadi sia-sia belaka, Chizuuru?

Sotaru lalu berdiri, tertawa mengerikan dan meninggalkan Shizuka yang terkaku dalam duduknya. Wajahnya berubah pucat, dengan air mata yang mengalir di pipi karena mendengar pernyataan Sotaru. Sungguh bajingan lelaki itu, apa yang sudah dilakukannya, apa yang terjadi dengan neneknya? Shizuka gemetaran, seguknya tak bisa ditahan lagi, kepalanya tertunduk dan ia hanya bisa menangis pilu. Memikirkan orang tua yang sudah mengasuhkan sedari kecil, kini sudah kehilangan nyawa.

"Tidak! Nenekku, hiks."

Mata sang lelaki menatap nanar Shizuka yang masih terperosok di dalam kubangan kesedihan, ia yang masih merasakan rasa sakit yang menhujam dadanya pun dengan tangan gemetar mengenggam telapak Shizuka. Teriakan Akashi yang semakin memekakkan telinga kini kembali mengalihkan atensi Shizuka yang sebelumnya menangisi keadaan neneknya. Mata emerald itu menatap sebelah tangan Akashi yang menggenggamnya dengan gemetar. Kuku-kuku pria itu membiru dan wajahnya pucat bukan main.

"Akashi-Douno?" berbisik, mata Shizuka bersinar keemasan dan menemui banyak rantai tak akasat mata mengikat tubuh Akashi, tepat di bagian hatinya, rantai-rantai itu seperti membelenggu hati sang tuan muda. Tubuh laki-laki kembali terjatuh menyentuh lantai, Shizuka mencoba memeganginya. Mencoba memutuskan rantai besi itu dari dalam hati sang tuan muda, namun meski kilatan sudah berulang kali menyambar tangannya, rantai itu tak mau diputuskan juga.

"Ayolah, putuslah." Tangan Shizuka mengalami luka bakar, akibat dari perbenturan energi yang kuat. Kilatan itu menyakiti kulitnya, namun ia tetap berusaha untuk melepaskan belenggu rantai itu dari dalam hati Akashi.

"Maafkan ... aku, Nona Shizuka." Shizuka memeluk kepala Akashi yang tubuhnya masih gemetaran, laki-laki itu menggingit bibir untuk menahan suara ketika air matanya menetes di pipi.

Mereka menangis bersama, Shizuka dengan isak dan Akashi dalam diam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top