20. Kembali ke Desa

BAB XX

Kembali ke Desa

Terlihat Nawaki mengehela napasnya, ia tak bisa mengharapkan informasi dari orang semacam mereka, walau penyiksaan fisik sudah dilakukanya dan bahkan membuat dirinya berkeringat bukan main, tetap saja hal ini tak berjalan sesuai rencana. Baiklah, kalau cara kasar tak bisa, maka ia akan menggunakan cara halus.

Kembali tangannya menarik rambut Kamashita hingga membuat kepala terdongan menatap matanya. Tatapan keras itu masih diterima Nawaki, dan ia pun membalasnya dengan menyeringai dengan dengus tawa. Ia mensejajarkan wajahnya dengan sang kapten yang tertawan, lalu membuka penuh bola mata Kamashita dan dirinya. Mereka berpandangan mata hingga Kamashita berada di luar kendali tubuhnya, lelaki itu tersentak dan dia merasa terhisap pada bola mata aneh lelaki di hadapannya yang violet dan tak wajar.

"Katakan semuanya, di mana letak desa dari tempat tinggal gadis Chizuuru itu?"

"Desa ... Rumput. Wilayah pegunungan ... Kitsune, tabib Aiko ... mujarab ...."

Jambakan ia lepaskan setelah mendapatkan informasi, sang kapten memutuskan untuk bergegas menuju tempat yang sudah diketahuinya.

Terletak beberapa mil jauhnya, seorang pria berbaju zirah tengah memimpin pasukan. Sebagai seorang jendral yang telah mengetahui situasi, membuatnya berpikir ulang ketika menyadari kalau istana telah dijatuhkan musuh. Ia memutuskan menuju ke arah selatan untuk menemui rakyat mereka yang sedang mengungsi, setidaknya di sana ia bisa menemui Tuan Muda Aoda untuk membahas masalah ini. Walau Tuan Muda Ryunosuke sudah mengatakan agar Aoda tak diikut andilkan, tetapi permasalah ini harus segera ditangani oleh kejeniusan sulung Hakudoshi.

Lelaki itu memimpin pasukannya. Terdapat lebih dari lima puluh orang yang berjalan bersamanya menuju arah selatan, tempat warga desa diungsikan. Dirinya bukan menjadi pecundang perang, tidak sama sekali. Ia hanya berasumsi jika kembali ke istana, malah akan membuat keadaan mereka lebih sulit, dan sudah pasti akan membuat pasukannya ini ditangkap atau dibunuh nantinya.

Dalam benaknya, Takebi Hiro tak bisa memercayai apa yang sudah terjadi pada klan Hakudoshi. Penyerangan ini, seperti sudah direncanakan sejak dahulu. Bukankah mereka memiliki aliansi yang akan membantu untuk merebut kemenangan? Seharusnya, bantuan dari Kerajaan Matahari akan membuat para musuh menyerah dan istana menjadi aman. Kalau saja Tuan Muda Ryunosuke tidak memberikan pesan melalui elang lelaki itu, ia dan pasukannya sudah pasti akan menyusul ke istana karena mengira perang sudah dimenangkan oleh mereka.

Melalu pesan itu pulalah, Hiro memutuskan agar mereka menyusul para warga desa dan petinggi lainnya di tanah selatan. Di sana ada desa terpencil yang sebenarnya juga dinaungi Kerajaan Langit, hanya saja lokasi itu tidak banyak orang yang mengetahuinya, bahkan warga desa dan pengawal, hanya bagian tertentu saja yang tahu. Sang sulung Hakudoshi, mengatakan kalau desa itu akan digunakan jika situasi perang akan menimbulkan kerusakan desa dan istana Hakudoshi, mengungsikan penduduk ke sana adalah cara teraman untuk meminimalisir risiko. Tak ada yang mengetahui hal itu, hanya para jendral dan petinggi yang berurusan mengatur ketatanegaraan yang tahu.

"Semoga kita bisa merebut desa dan istana kembali," bisik Hiro masih menatap pengawalnya yang berjalan di belakang kudanya.

Kerajaan Matahari bajingan!

.

.

.

Dalam kondisi menerbangkan diri bersama gadis di rengkuhannya, melakukan perjalanan malam agar tak membuat mereka terlihat mencolok, menjadikan Ryunosuke dan Shizuka hanya membutuhkan waktu dua malam Shizuka, gerangan di mana mereka harus mendaratkan kaki.

Sebuah rumah yang kelihatan kecil, namun cukup besar untuk ditinggali Shizuka dan neneknya menjadi tempat mereka untuk menapakkan kaki.

Ryunosuke menurunkan diri di depan rumah Shizuka karena gadis di rengkuhannya sudah mengatakan kalau neneknya tak berada di rumah untuk beberapa saat setelah ia meninggalkan kediaman ini, memutuskan agar sang nenek untuk tinggal di rumah keluarga Mizuki. Maka dari itu, rumah ini terlihat gulita dan menyamai malam.

Langkah demi langkah terdengar bersautan dengan beberapa hewan malam yang terlihat ikut meramaikan kehadiran mereka, Shizuka mendekati tangga yang menghubungkan antara halaman berumput dan teras, ia lalu melepas sepatunya dan naik ke lantai kayu, membuka pintu yang hanya ditutup karena desa mereka selalu aman, dan menyuruh Ryunosuke untuk ikut masuk bersamanya.

Sang gadis yang sudah hafal dengan seluk-beluk rumah, pun mencari lampu minyak untuk dijadikan sebagai penerang mereka. Ia memeriksa lemari penyimpanan dan mengambilnya beberapa untuk kemudian dihidupkan. Satu ia taruh di atas meja rendah dan yang lainnya ia sebar di beberapa tempat di rumah ini, terlihatlah wajah Ryunosuke yang diterangi pedar merah, lelaki itu masih berdiri dan menunggu Shizuka yang berusaha menghidupkan api di tunggku yang ada di ruang tengah kediamannya.

Kaki Ryunosuke berjalan mendekat dan ia duduk di hadapan tunggku yang berbentu kotak dan berada di tengah ruangan, setelah Shizuka memanggil namanya dan menuangkan teh hangat kepada tembikar dan memberkannya kepada sang bungsu Hakudoshi.

"Minumlah, Ryunosuke. Setelah ini aku akan membuat makanan untuk kita, lalu besok aku akan menjemput nenek agar kembali tinggal di sini, kami sudah sangat merepotkan keluarga Mizuki."

Sejenak, mereka menikmati waktu malam dengan secangkit teh hangat. Ryunosuke menyesapnya perlahan, meresakan cairan menenangkan itu melewati kerongkongannya. Ia lalu menatap Shizuka yang mulai menyiapkan makanan untuk dimasak, sup panci kelihatannya sangat cocok untuk cuaca malam yang dingin. Lagi pula, Shizuka tak perlu merasakan terlalu kerepotan karena makanan ini cukup mudah untuk dibuat.

Wangi dari bahan pangan yang sebelumnya mereka beli di pasar sudah menyerbak indra penciuman, asap mengepul yang keluar dari wadah pun menambah keinginan untuk segera menyantap hidangan. Saat melihat kuah sudah mendidih dan jamur, tomat, kentang, lobak, kubis, jagung dan beberapa bahan lain menggelegak bersama kuah, Shizuka pun menyediakan mangkuk untuk menaruh sup dan menyerahkannya kepada Ryunosuke.

Mereka menyantap dalam hening, mengisi perut dengan pedar kehangatan merah dari api yang berasal dari tungku. Ryunosuke menyerahkan mangkuk kepada Shizuka, dan gadis itu paham kalau lelaki Hakudoshi yang ada di depannya ini menginginkan tambahan untuk menyingkirkan rasa laparnya. Satu mangkuk lagi telah berada di tangan Ryunosuke, lelaki itu mengambil sendok tembikar dan kembali mengurusi makanan di dalam mangkuknya. Shizuka tersenyum kecil melihatnya, sepertinya Hakudoshi Ryunosuke memang menginginkan cukup banyak makanan untuk mengembalikan energi yang hilang.

Pagi hari yang cerah, Shizuka dan Ryunosuke memulai aktivitas mereka dengan mandi dan sarapan. Membersihkan rumah dan halaman yang rumputnya terlihat memanjang, Ryunosuke mengurusi bagian luar rumah dan Shizuka membereskan yang ada di dalam. Cukup lama ditinggal membuat kediamannya ini terlihat cukup menyedihkan, namun sekarang terlihat lebih baik berkat usaha mereka beberapa saat yang lalu. Sore harinya, sang gadis berambut merah muda menyuruh Ryunosuke tetap di kediamannya, sementara dirinya menjemput sang nenek dari keluarga Mizuki. Shizuka membawa beberapa kimono berharga mahal untuk diserahkan kepada sang nyonya rumah, sebagai hadiah karena sudah bersedia merawat neneknya. Shizuka bersyukur ia sempat membawa kimono yang diberikan klan Hakudoshi kepadanya.

"Selamat sore, Nyonya Mizuki dan Nenek Aiko." Shizuka tersenyum dan memberi hormat sebagai sapaan kepada keluarga yang baru ditemunya ini. Sang nenek yang awalnya duduk di teras rumah dan sang nyonya yang sedang merawat tanamannya di halaman, terlihat terkejut karena kehadiran tiba-tibanya. Gadis itu langsung mendekati neneknya dan sang nyonya rumah. Berucap terimakasih sambil menyerahkan bungkusan yang berisi kimono untuk hadiah.

Mereka saling menyapa, mengobrol sebentar, dan meminum teh yang disediakan sebelum akhirnya Shizuka membantu neneknya dan sang nyonya untuk membereskan pakaian bawaan Aiko dan berpamit, sambil sekali lagi berucap terimakasih kepada pemilik rumah.

Dengan berjalan santai, Shizuka memegang tangan neneknya, membantu wanita tua itu berjalan dengan tongkat di tangan. Ia tak ingin sang nenek sampai tersandung bahkan terjatuh, jadi dengan serius ia menuntun Aiko agar selamat sampai di kediaman rumah mereka. Beberapa kali Shizuka dan neneknya disapa para warga yang sepertinya tengah menuju rumahnya untuk pulang dari hutan atau kebun di sore ini. Sebagai salah seorang yang dihormati, tentu warga akan selalu menundukkan kepala dan mengeluarkan sapaan saat bertatap muka dengan sang nenek atau dirinya.

Kediaman mereka terlihat, sekarang halaman sudah dilalu oleh mereka dan Shizuka melepaskan sepatu jerami yang dipakai sang nenek.

Saat itu, mata tua Aiko menangkap siluet tinggi dari seorang lelaki. Sejenak otaknya yang sudah mulai melemah kembali memikirkan siapa gerangan lelaki yang berada di dalam rumahnya? Tidak mungkin seorang perncuri.

"Ryunosuke! Ryunosuke, kesinilah!" Shizuka dari arah teras memanggil nama laki-laki yang terdengar asing baginya. Aiko ingin bertanya, namun ia sebaiknya menunggu karena sepertinya sang cucu akan menjelaskan kepadanya.

Tapak kaki terdengar, hingga akhirnya sosok itu keluar, Aiko yang duduk di atas bantalan pada lantai kayu teras di bawah meja rendah, kini menengadahkan kepalanya, melihat sang lelaki dengan pandangannya yang mulai merabun.

"Ah, Ryunosuke, ini nenekku. Nenek, ini Ryunosuke tamu kita, dia yang mengantarku dari kerajaan."

Kepala berambut penuh uban itu mengangguk-angguk.

Shizuka mendelik karena Ryunosuke tak bereaksi dan hanya menatap datar dirinya dan neneknya, ia lalu memberikan sebuah isyarat agar Ryunosuke membenarkan ucapannya dan berperan layaknya pengawal. Lelaki itu benar-benar sekali.

"Hm, selamat sore."

"Sore, Nak. Siapa namamu? Jadi, Shizuka telah menyelesaikan pekerjaannya mengobati tuan muda klan kalian."

Kepala berambut hitam itu terlihat mengangguk.

"Aa, tuan muda kami sudah jauh lebih baik."

"Begitu, karena kau tamu kami, maka anggap saja seperti di rumah sendiri, Nak Ryunosuke." Aiko tersenyum dan menampakkan gigi depannya yang telah tanggal. Wanita tua itu lalu memeriksa tasnya dan memberikan sebuah botol obat untuk Ryunosuke.

"Ambilah itu, sebagai rasa terimakasih karena sudah menjaga cucuku saat keluar dari istana."

Ketika itu Ryunosuke hanya terdiam, lalu tangannya dengan perlahan bergerak untuk menerima pemberian tulus dari nenek Shizuka. Setelah ia mengulum senyum tipis, Shizuka berkata kalau obat itu bisa menyembuhkan luka luar seperti yang pernah dideritanya. Cukup berguna bagi seorang petarung seperti Ryunosuke.

Makan malam terasa sempurna bagi Shizuka, ia menghabiskan hidangan sederhada dengan lahap. Sudah cukup lama ia kehilangan selera makan karena permasalahan di istana Hakudoshi, mulai dari aura iblis mengerikan di tempat klan besar itu, tubuh Tuan Muda Aoda yang mati, ancaman Ryunosuke, hingga perang yang ingin meruntuhkan Hakudoshi.

Hanya dalam kurun waktu yang singkat, karena kebusukan lawan yang benar-benar licik, istana bisa saja jatuh ke tangan musuh.

Beberapa jam setelah makan malam, Shizuka menyiapkan futon untuk neneknya beristirahat, ia telah selesai membersihkan dapur dan mencuci piring, jadi sekarang ia hanya tinggal membimbing neneknya berjalan untuk menidurkan diri di atas futonnya.

Shizuka kira, tamunya yang dari jauh itu juga telah berada di buaian mimpi, mengingat ini sudah cukup malam. Namun, lelaki itu tak ada di dalam kamarnya yang sudah disediakan futon, entah ke mana dia? Hingga Shizuka menemukannya di bawah pohon sedang duduk di atas ayunan yang diam.

Langkah kaki terdengar, Shizuka mendekatinya.

"Hei, malam yang dingin untuk bersantai di luar rumah 'kan." Shizuka berada di sampingnya duduk di ayunan yang ada di sebelah Ryunosuke.

Wajah Ryunosuke menghadap ke rembulan yang hanya tinggal setengah saja, matanya terpejam dan ia terlihat begitu tampan.

"Besok malam, aku akan memeriksa keadaan." Ryunosuke menghadapkan kepalanya kepada Shizuka dan membuka matanya setelah mengatakan hal itu.

"Begitu, apa energimu sudah normal?"

"Hm," gumamnya, suasa begitu sunyi. Dari rumah Shizuka yang dekat dengan bukit dan di dataran yang lebih tinggi daripada kediaman warga desa lainnya, mereka bisa menyaksikan kilatan merah obor yang bentuknya seperti batang korek api yang menyala.

Suara jangkrik menemani, burung hantu sesekali meracau merdu, angin yang membelai mereka, juga ikut membuat dedaunan bergoyang dan menimbulkan bunyi gemerisik.

Cukup lama keheningan ini terjadi, Shizuka menggoyangkan tubuhnya untuk mengayunkan diri.

"Shizuka, ikutlah denganku." Lelaki itu bersuara rendah, mirip seperti bisikan.

"Maksudmu?"

Tak ada suara lagi, kembali menghening seperti beberapa saat yang lalu, Shizuka berhenti mengayunkan diri.

"Aku tak tenang ... meninggalkanmu sendiri, Shizuka. Bagaimana pun, secara tak langsung, kau telah terlibat dengan Hakudoshi. Mungkin saja, nanti ada yang mengenalimu, kami bahkan tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, hanya saja ... firasatku tak enak ketika memikirkanmu sendiri."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top