1. Tabib Muda di Desa Kitsune
The Prince's Secret (Drowning in Darkness)
Story by zhaErza
.
.
.
Cahaya mentari menyinari dunia, di sebuah pekarangan, seorang gadis mencoba menyamankan diri dengan duduk di pinggir kolam. Ia bukan tengah melihat ikan-ikan yang berenang di dalam sana atau menikmati suasana dan hangatnya sinar surya, namun ada yang lebih menarik atensi, yaitu rumput dan dedaunan kering. Sejenis akar-akaran yang sengaja dijemur di bawah terik menggunakan keranjang pipih berbahan rotan. Tangan terampilnya kini memeriksa kekeringan dedaunan, setelah merasa cukup, gadis berambut kecokelatan yang sedang dikepang pun mengangkat tiga buat keranjang sekaligus.
Benda tersebut ia bawa dengan hati-hati, masuk ke rumah yang ditinggalinya dengan seorang nenek yang telah mengasuhnya sedari kecil. Kimono bercorak sakura pun tertiup angin, saat ia melangkahkan kaki menaiki tangga dan memijak teras rumah berbahan kayu.
"Shizuka, apakah tanaman obatnya sudah cukup kering?" suara serak terdengar berserta dengan langkah kaki agak menyeret, juga dentuman tongkat memasuki indra sang gadis yang namanya baru saja disebutkan tadi. Lantas, langsung saja ia mendekati neneknya dan menjawab pertanyaan sambil memperlihatkan satu keranjang kepada wanita yang usianya hampir 70 tahun itu.
"Hm, iya, Nek. Ini lebih dari cukup."
Sang cucu tersenyum, dia adalah seorang tabib muda bernama Chizuuru Shizuka, satu-satunya keluarga dari Nenek Aiko yang merupakan seorang tabib mujarab dan terkenal hingga ke luar desa. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang letaknya cukup dekat dengan hutan dan bukit, kediaman mereka adalah satu-satunya yang berjarak paling jauh dari pusat desa, terletak di pinggir dan menanjak ke atas, tetangga paling dekat berjarak sekitar beberapa ratus meter dari rumah, namun hal itu tak masalah bagi penghuninya, karena mereka sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.
Setelah menunjukkan isi keranjang, gadis itu berlalu dan melangkah menuju ruangan tempat menyimpan ramuan-ramuan buatan mereka. Ia membuka kotak penyimanan, memindahkan dedaunan ke dalam sana, lalu menutupnya dengan rapat. Pandangan mata yang kehijauan sekilas menyisir ruangan, sebelum dua buah kaki dibawa pergi menuju luar.
Cicitan burung baru saja bersautan, Shizuka berjalan menuju neneknya yang sedang duduk di teras sambil menyesab secawan teh hijau. Dari arah luar, tiba-tiba terdenga suara tangisan takut-takut, sesaat setelahnya tiba-tiba seorang wanita datang dan mengetuk pintu yang sengaja dibuka. Mengucapkan salam terlebih dahulu setelah dipersilakan masuk, sebagai tanda hormat kepada tabib paling mujarab di Kitsune no Sato. Terlihat dua orang mendekati Shizuka dan Aiko, seorang ibu muda dan juga anak lelakinya yang berwajah merah padam, karena sehabis menangis.
"Nenek Aiko, saya bersama putra saya memohon bantuan Anda. Dia terlampau nakal, hingga telapak kakinya terkena paku dan menjadi seperti ini. Sekali lagi, saya meminta bantuan Nenek untuk mengobatinya." Ibu berumur 30 tahun itu menundukkan tubuh bersimpuh dengan kedua tangan dan lutut berada di atas lantai berbahan tatami, lalu membantu sang anak untuk naik ketika pemilik rumah menyerukan agar mereka semakin mendekat untuk diperiksa.
"Anak seusia mereka memang sangat bersemangat ya, Bibi. Sekarang, mendekatlah ke sini agar lukanya bisa saya lihat. Hari ini nenek kurang sehat, jadi saya yang akan membantu mengobatinya." Shizuka tersenyum, kemudian dengan sigab mengambil air hangat dan handuk kecil untuk membersihkan terlebih dahulu luka sang anak, ia adalah seorang tabib muda, namun terkenal layaknya sang nenek.
Dengan perlahan, ia mengusapkan handuk untuk membersihkan luka, walau begitu tetap saja ada rintihan dari anak yang sedang menjadi pasiennya. Shizuka mencoba memberi semangat dan bersabar, mengalihkan fokus anak kecil itu kepada apa saja yang ia bisa. Ia bernyanyi, terkadang mendongengkan, hingga luka itu selesai dibersihkan. Matanya menatap ramah, dan semakin menyipit ketika ia tertawa kecil.
Tak butuh waktu lama, ia pun mengambil tanaman obat yang sudah tersedia, dan meramunya ke dalam sebuah alat yang memang berfungsi untuk menumbuk tanaman-tanaman tersebut. Ia menggerakkan tangannya dengan sedikit bertenaga untuk menghaluskan dedaunan akar dan lainnya, hingga menjadikan sebuah ramuan yang berbentuk seperti bubur, berlendir dan hijau. Jangan lupakan aromanya yang sama sekali tak mengenakkan, hingga sang anak menutup indra penciuman. Shizuka sendiri hanya tertawa kecil, karena melihat reaksi dari pasiennya.
Anak dan ibu baru saja berpamit diri, ketika luka yang disebabkan paku tertutup rapi dengan kain perban. Shizuka merenggangkan punggungnya yang agak lelah, karena sedari tadi harus membungkuk saat membersihkan luka, ia lalu menghela napas dan beranjak dari duduk. Bergerak dan melangkahkan diri, menuruni tangga teras rumah dan memakai sandal yang terbuat dari jerami, kemudia terdiam sebentar menikmati belaian angin dan segarnya udara.
Matahari belum cukup terik, matanya yang hijau masih bisa memandang ke angkasa sana tanpa merasakan silau, ia sedang berada di pekarangan rumah, baru saja mengambil garpu rumput untuk membersihkan daun kering yang mulai berserakan karena diembus angin. Saat tengah menggerakkan kedua tangannya dengan cekatan, gadis itu tersenyum ketika menemui wajah-wajah familier yang sering mampir di depan kediaman yang ditempatinya ini.
"Hai, Nona Shizuka. Apa kau sudah mendengar berita heboh pagi ini?" itu adalah beberapa orang yang akan selalu lewat dan memberikannya sayur dan buah-buahan segar hasil kebun mereka, pasangan suami-istri yang memang sudah menjadi langganan Shizuka, jika mereka kehabisan bahan makanan.
Gadis itu mengerutkan dahi, para ibu memang senang sekali bertukar cerita dan saling mengomentari hal-hal yang terjadi di desa mereka. Tanpa basa-basi, sang bibi langsung mengutarakan gosip terhangat yang sedang beredar di Desa Kitsune, gerobak sayur yang ditarik seekor kuda pun terhenti. Untuk memberikan keramah-tamahan, maka Shizuka tersenyum dan menjawab cukup ingin tahu, lagi pula siapa tahu kalau itu memanglah sesuatu yang menghebohkan.
"Kemarin sore, saat beberapa lelaki mencari kayu di hutan, mereka menemukan jejak serigala yang cukup dekat dengan perbatasan desa."
Shizuka cukup tercengang, karena ini adalah hal yang ganjil. Tak pernah ada serigala di daerah mereka, baik di desa maupun di hutan.
"Apa kau meyakininya, Bi? Bagaimana kalau itu hanyalah anjing hutan?" tentu saja Shizuka keheranan, desa mereka memiliki nama Kitsune no Sato, bukan tanpa alasan karena memang di pegunungan desa banyak dihuni musang-musang, bahkan kadang hewan itu sesekali dalam setahun akan menuruni bukit untuk menjelajah ke desa.
Kepala bibi penjual hasil kebun terlihat menggeleng, menggoyangkan anak rambut yang tersissa karena sanggulan di kepala. Wajah wanita itu mengerut, bibirnya yang tipis berusahah menyakinkan dan ia membulatkan matanya saat menatap Shizuka dengan serius.
"Itu memang serigala, Nona Shizuka. Lagi pula, peramal desa mengatakan mugkin itu bukanlah pembawa sesuatu yang baik. Kakek Petapa Kio bilang, serigala itu bisa jadi adalah jelmaan iblis yang bisa saja mencelakai desa. Semoga saja itu tidak terjadi."
"Ah, begitu. Itu sangat mengkhawatirkan, Bi."
"Iya, aku sarankan kita jangan pergi ke hutan sendirian, juga karena rumahmu ini yang paling dekat dengan gunung dan hutan, sebaiknya waspadalah. Bakar obor lebih banyak untuk menerangi pekarangan kalian ini."
Shizuka menganggukkan kepala, dan ia pun berpamitan karena mendengar sang nenek memanggil namanya dari dalam rumah.
"Permisi, Bi. Dan terimakasih sekali."
"Baiklah, aku juga mau mengantarkan ini ke yang lainnya. "
Langkah kaki bersautan, tiba-tiba dirinya merasa kekhawatiran yang berlebih. Tentu saja, seperti yang dikatakan istri penjual sayur tadi, karena rumah Shizuka yang berada paling dekat dengan gunung dan juga hutan, akan menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan jika ada hewan buas berkeliaran seperti ini. Padahal, belum pernah ada yang memasuki atau mendekati daerah pemukiman, kebanyakan hewan buas lebih suka di dalam hutan yang jarang dijejaki manusia. Mungkin, hanya sekumpulan babi liar yang turun dari gunung untuk mengacaukan kebun para petani yang sedang musim panen.
Ia harus cepat, mumpung masih tengah hari, membuat obor-obor baru dan meletakkan mengelilingi pekarangan agar serigala itu tak sampai mendekati rumah. Ia tentu saja waswas, bagaimanapun juga mereka tidak memiliki lelaki yang tinggal bersama di rumah, hanya ada dirinya dan nenekanya yang renta.
Usia yang baru menginjak 16 tahun, serta paras yang cantik, menjadikannya cukup diincar para pemuda desa, namun Shizuka secara terselubung menjelaskan kalau ia masih belum mau menikah, dengan alasan ingin membalas budi nenek yang sudah merawatnya sedari kecil. Ia tak ingin dibawa sang suami dan meninggalkan neneknya seorang diri di rumah ini.
Saat hari mulai gelap, Shizuka dengan cekatan menyalakan obor-obor di sekeliling pekarangannya, dari sini ia bisa melihat perumahan penduduk yang juga terlihat lebih terang. Matanya yang hijau terlihat lebih bersinar saat api memantulkan kilau, Shizuka memandangi sekitar sekali lagi, terutama arah gunung dan hutan. Alisnya berkerut dan dia berbicara kepada dirinya sendiri.
"Petaka buruk, ya? Tetapi, aku tak merasakan aura jahat."
Langkahnya yang terhenti, kini kembali digerakkan. Ia memasangkan api kepada kayu obor lebih cepat, sebab tadi aktivitasnya sempat terhenti karena memikirkan masalah serigala ini. Entah hanya pemikirannya, namun karena pembicaraan tadi siang dengan penjual sayur, menyebabkan perasaannya menjadi resah.
"Apa serigala itu hanya ingin mengawasi desa? Kalau iya, lantas untuk apa? Karena aku sama sekali tak bisa merasakan aura iblis. Apa itu hanya serigala biasa? Lalu, bagaimana dengan yang peramal katakan?" banyak pertanyaan yang mengganjal sekarang, ia tidak bisa menemukan jawaban, hingga seluruh pekarangan rumahnya dikelilingi obor yang menyala, menjadi lebih terang daripada malam sebelumnya.
Hawa dingin malam yang menggigit, membuat Shizuka memutuskan untuk masuk setelah memastikan sekali lagi, ia mempercepat langkahnya ketika malam semakin larut. Memasuki rumah dan menjumpai sang nenek.
"Shizuka, saatnya kita beristirahat. Apa kau masih memikirkan rumor di desa?"
Hela napas terdengar, Shizuka yang telah selesai menggelar futon, lantas membantu sang nenek untuk berbaring, ia tidak menyangkan neneknya mendengar pembicaraan mereka tadi siang. Telinga neneknya masih sangat tajam untuk ukuran wanita yang sudah tua.
Gadis itu tidak mau berbohong, maka ia pun menganggukkan kepala.
"Aku hanya sedikit cemas, karena rumah kita berdekatan dengan hutan, Nek."
"Sudahlah, serigala tidak akan mengganggu dan mendekati manusia. Mereka mungkin kehabisan makanan, itu sebabnya menjelajah hingga ke desa." Senyuman menjadi akhir pembicaraan mereka, karena Shizuka memutuskan untuk tidak meneruskan topik. Kini ia pun menggelar futon miliknya dan memilih untuk mengistirahatkan diri. Mungkin memang benar kalau serigala itu mencari tempat tinggal baru karena kehabisan makanan. Ya, setidaknya jumlah babi liar akan berkurang dengan kehadiaran pemangsa itu.
Beberapa hari setelah rumor tentang serigala, desa kembali berjalan normal setelah desas-desus itu menyebar. Tak ada yang dinamakan ancaman karena desa aman-aman saja, para penduduk mulai ke hutan mencari keperluan kayu bakar untuk memasak dan menghangatkan diri, ada juga yang mencari hewan buruan atau seperti Shizuka yang sedang berusaha menemukan tanaman obat langka.
Sudah sedari pagi ia menelusuri hutan, namun tanaman yang bentuknya tercetak di atas kertas sama sekali tak ditemukannya. Keringat yang sudah menjaluri seluru tubuh, membuat Shizuka terhenti sejenak, ia pun memilih untuk mengistirahatkan diri di bawah sebuah pohon. Membersihkan wajahnya menggunakan sapu tangan, Shizuka lalu meneguk air yang ia bawa di dalam kantung air.
"Sepertinya, takdir belum mau memihakku. Hmm ... setelah ini aku harus ke rumah keluarga Nakashi untuk menyembuhkan istrinya yang sakit, untung saja nenek sudah sehat sepenuhnya dan bisa ditinggal sendirian di rumah." Membereskan barang yang ia bawa, Shizuka pun memilih untuk menyudahi pemburuannya dan melangkah ke rumah keluarga Nakashi.
.
.
.
"Ini, Paman. Mimunkanlah setiap hari satu kali, untuk pemulihan istri Anda."
Sebotol ramuan baru saja diserahkan Shizuka kepada kepala keluarga Nakashi, laki-laki itu menerimanya, namun menarik tangan Shizuka dan kembali memberikannya sekantung uang.
"Nona Shizuka, saya sangat berterimakasih atas bantuan Anda. Ini, ambilan uang ini untuk membalas kebaikan Nona."
Ringisan langsung mewarnai wajah gadis berkimono lavender, bagaimana ia bisa menerima hadiah tersebut, sedang neneknya selalu mengajarkan kalau mengobati orang yang sakit adalah kewajiban mereka sebagai tabib. Lagi pula, yang menyebabkan istri kepala keluarga Nakashi melemah bukan hanya penyakitnya, tetapi juga karena ada sesuatu yang mengikuti wanita berusia 35 tahun itu. Apa makhluk kasat mata itu tertarik dengan diri sang istri, hingga ingin menempel terus kepadanya? Tetapi, jika itu terus-terusan terjadi, maka keadaan tubuh wanita Nakashi itu bisa semakin memburuk.
Saat memeriksa keadaan Nyonya Nakashi, Shizuka merasakan aura kelam. Ia pun langsung memfokuskan diri dan memejamkan mata, lalu membuka kelopaknya kembali dan yang terlihat adalah makhluk mengerikan yang menggantung di pundak wanita itu. Shizuka mengerutkan alis, dan membaca mantra pengusir iblis yang dipelajari dari seorang Miko yang tinggal di kuil desa.
"Saya hanya menjalankan kewajiban, Paman." Shizuka lantas permisi untuk segera pulang, ia ingin segera melihat keadaan neneknya, namun tiba-tiba ia merasa sang paman menarik tangannya dan memberikan sekantung uang kepadanya, hingga membuat Shizuka menghela napas.
"Ini sebagai rasa terimakasih, kumohon terimalah." Mau bagimana lagi, Shizuka hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Desa Kitsune ini sangat indah, subur dan makmur. Banyak hewan-hewan yang menghuni hutan dan pegunungan, desa yang asri dikelilingi bukit hijau dan akan berubah menjadi lautan salju saat musim dingin tiba. Orang-orang di sini pun ramah dan sopan, belum lagi mereka akan saling membantu jika ada yang berkemalangan. Itu sebabnya neneknya membawa Shizuka menempat di desa ini, dan karena memiliki pengetahuan sebagai tabib, mereka pun semakin disenangi penduduk desa Kitsune.
Melangkah melewati jalanan desa, Shizuka sesekali mengumandangkan nada, walau hanya sekadarnya saja. Matanya yang indah menatap para penduduk yang beraktivitas dan sesekali bertegur dan menyapa kepadanya, ia menganggukkan kepala dan menyunggingkan senyum untuk membalas keramahan warga. Saat beberapa meter lagi tiba di pekarangan rumah, Shizuka melihat orang-orang asing yang membawa senjata, mereka sepertinya adalah pengwal yang sedang berjaga di depan rumahnya.
Alisnya mengertuk karena melihat pemandangan langka ini, apa yang para pengawal itu lakukan di pekarangan rumah Shizuka dan Neneknya? Ia bertanya-tanya dan mempercepat langkahnya dan kemudian berlari ingin segera sampai di dalam rumah, ia semakin berdebar karena takut terjadi sesuatu kepada neneknya. Kekhawatiran tercetak jelas di wajah sang gadis.
.
.
.
Bersambung
Kimono: Pakaian tradisional Jepang.
Kitsune no Sato: Desa Kitsune (Rubah)
Tatami: Semacam matras terbuat dari jerami.
Kitsune: Musang.
Fuuton: Kasur lipat khas Jepang.
Miko: Pendeta wanita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top