7). Related

Hara sebenarnya pernah mempunyai impian menjadi salah satu siswi di SMA Berdikari sedari kecil karena selain letaknya yang dekat dengan rumah, sekolah tersebut adalah salah satu sekolah yang bergengsi dan populer. Saking minatnya, Hara sampai mengungkapkan keinginannya pada Gara dan Owen padahal saat itu mereka masih SD.

"Hara, kita kan masih SD. Masih lama banget kali. Perlu berapa tahun, ya? Hmm... berapa ya?" tanya Gara bingung sembari menghitung-hitung dengan jemarinya yang masih kecil. "Sepuluh tahun, ya?"

Kepala Gara langsung dihadiahi pukulan tanpa ampun, membuat yang dipukul segera protes. "HEIII! Ini kepala aku loh, KEPALA!"

"Aku juga tau itu kepala, meski sebenarnya lebih cocok disebut sebagai dengkul," ejek Hara tanpa merasa bersalah sama sekali sementara Gara mendelik padanya. Owen juga mencoba menghitung, alisnya sampai berkerut dengan mimik wajah yang lucu hingga Hara tertawa melihatnya.

"Susah amat sih kalian hitungnya, pantas aja kalian nggak lulus TK satu kali!" gerutu Hara sembari mengembuskan napas panjang. "Aku jadi ketiban sialnya juga karena harus ngikut kalian biar bisa lulus bareng ke depan hari."

"Mentang-mentang jenius, bisa seenaknya sombong!" protes Gara kesal, tetapi pada detik berikutnya dia tidak jadi marah karena memikirkan sesuatu. "Eh kalo udah SMA aku mau pakai motor, ah! Pasti keren! Muka aku kan ganteng."

"Kalo kamu ganteng, berarti aku cantik karena kita kembaran!" sambut Hara, sejenak melupakan topik yang baru dibahasnya tadi. Lantas, dia mengalihkan atensinya ke Owen untuk tersenyum padanya dan berkata, "Kalo kami cantik dan ganteng, berarti kamu juga karena kita kan tiga bersaudara."

Owen mengangguk, ikut tersenyum hingga matanya melengkung. "Betul, Hara. Kita sama-sama terus ya sampai SMA nanti."

"Loh kok sampai SMA?" tanya Hara tidak senang. "Jadi maksudnya selepas SMA, kita udahan ya?"

"Kalo habis SMA, berarti mau berapa tahun lagi, ya?" tanya Gara tiba-tiba, menghalangi Owen menjawab pertanyaan Hara. "Lima belas tahun lagi, ya?"

Hara mau menjitak kepala saudaranya lagi, tetapi beruntung Gara bisa menghindar dan segera memindahkan bokongnya ke sebelah kanan Owen sehingga jadinya dia yang duduk di antara duo kembaran.

Gara lantas meledek Hara dengan menjulurkan lidah dari balik tubuh Owen.

Hara melipat lengan di depan dada dengan ekspresi sombong. "Hitungnya kok masih salah-salah. Gampang kok, kita sekarang umur 9 tahun, kan? Gara-gara kalian berdua nggak lulus TK jadinya kita sama-sama lebih telat setahun dari teman yang lain. Nah, kita ini baru kelas 3 SD--berarti masih perlu 3 tahun lagi untuk selesaikan SD, trus 3 tahun SMP jadi total 6 tahun. Kesimpulannya, kita perlu 6 tahun lagi buat masuk SMA."

"Wah, hebat. Aku kebanyakan hitung dong, ya?" tanya Gara dengan ekspresi polos sementara Owen menggaruk kulit kepalanya karena masih bingung dengan penjelasan Hara.

Hara mengangguk puas lantas berkata, "Enam tahun masih lama, loh. Kita bisa main sepuasnya sebelum jadi murid SMA. Kita harus puas-puas main dulu, ya?"

Gara mengangguk. "Iya, kalo kata Mama jangan cinta-cintaan dulu. Tunggu kuliah baru boleh."

"Kuliah? Masih lama dong? Trus nikahnya kapan?" timpal Owen, sama polosnya.

Gantian Owen yang dipukuli di kepalanya, yang segera mengaduh kesakitan hingga hampir menangis. "Masih kecil udah ngomong nikah-nikah aja! Tuh, gimana mau nikah? Masih cengeng gitu!"

"Huaaa! HARA JAHAT!" Owen langsung mewek sementara Gara segera merangkulnya dan melempar tatapan kesal pada kembarannya.

"Jahat banget sih!" hardik Gara sementara Hara mengangkat kedua bahu dengan cuek dan malah menertawakan Owen yang menangis.

Hara kembali ke dunia nyata dan tatapannya masih terpancang pada plang di seberangnya yang tercetak 'SMA BERDIKARI'. Seringai getir tercetak di bibirnya seakan menertawakan realita yang dia alami.

Meski impiannya sempat pupus, toh Hara masih diberikan kesempatan untuk menginjakkan kaki di sekolah favoritnya itu. Suasana di sekolah sangat ramai mengingat SMA Berdikari menerima banyak calon murid setiap tahunnya dan akan terus bertambah secara signifikan. Cewek itu melanjutkan langkah memasuki gerbang, tidak sadar kalau Owen sedari tadi memperhatikan dan membuntutinya dari belakang.

Melihat Hara memperhatikan plang nama sekolah dengan tatapan sedih yang cukup lama, Owen sangat mengerti alasannya. Dan cowok itu mau tidak mau merasakan rasa nyeri pada ulu hatinya, meski dia sadar itu tidak sebanding dengan apa yang dirasakan oleh Hara.

Rasa sakit yang Hara rasakan, pastilah dua hingga tiga kali lipat dari yang dirasakan oleh Owen. Jelas tidak sebanding.

Dan tidak layak untuk dibandingkan.

Owen tahu akan tiba saatnya Hara mengetahui semua kebenarannya dan dia pasti akan dibenci karena dia adalah akar dari semua tragedi ini. Akar dari semua luka yang didapat oleh Hara.

Owen menatap punggung Hara yang berjalan di depannya dengan tatapan nanar. Jika saja dia bisa mengulang waktu, dia sangat tidak mengharapkan Hara menjadi seperti ini. Hara yang dikenalnya sewaktu kecil telah lama menghilang dan sepertinya tidak akan pernah kembali lagi.

Hara, gue kangen sama lo....

Owen tidak tahu apakah suara hatinya bisa didengar atau karena Hara mempunyai intuisi yang sangat hebat, yang jelas cewek itu tiba-tiba berhenti dan memutar punggungnya ke belakang sehingga keduanya sekarang berhadapan.

Tatapan mata Hara jelas galak, tetapi Owen bisa melihat ada kesedihan dan luka di dalamnya, bahkan cowok itu bisa merasakan kalau Hara Arganta sangat kesepian.

Gue bener-bener minta maaf, Ra....

Owen ingin mengatakannya, tetapi tidak bisa. Tidak, setidaknya untuk saat ini. Mengingat konsekuensi yang harus ditanggungnya di kemudian hari, dia tidak ingin Hara pergi lagi darinya.

Setidaknya untuk sekarang, Hara masih mengira kalau Owen belum tahu identitasnya aslinya.

Dengan demikian, boleh kan jika Owen melampiaskan rasa rindunya? Walau dia hanya diperbolehkan memandang Hara dalam jarak sejauh ini, cowok itu tidak akan keberatan. Ini sudah lebih dari cukup untuknya.

Hara masih menatapnya, seakan menantang Owen untuk bereaksi duluan, sementara para murid berlalu-lalang di antara mereka.

Owen kemudian melanjutkan langkah, membiarkan matanya menatap cewek itu sesuka hati sedangkan yang ditatap mulai mengernyitkan alis karena tidak mengerti akan arti tatapannya.

Keduanya masih bertahan tidak mengeluarkan suara hingga langkah Owen sampai di depan Hara. Jarak mereka terlalu dekat sekarang karena kedua ujung sepatu mereka hampir bersentuhan.

"Gara...." Owen memanggilnya lirih, dalam hati dia bersyukur karena tidak refleks memanggil nama Hara.

Hara seperti sedang melamunkan sesuatu barusan, itulah sebabnya mengapa dia kelihatan kaget saat mendengar panggilan Owen. Dia hendak membuka mulutnya, tetapi suaranya tertelan oleh suara cewek lain yang dimanis-maniskan di belakang Owen.

"Owen!" panggil seorang siswi. Dari name tag-nya, Hara membaca nama Maya Florensia.

Maya Florensia, Hara ingat nama itu.

"Alka Orlando, satu-satunya yang paling waras dari yang lain kalo dilihat dari luar, tapi jadi budak cintanya Maya Florensia dari kelas X."

Budak cinta. Kedengarannya cinta Alka Orlando bertepuk sebelah tangan. Lantas apakah itu berarti... Maya suka sama cowok lain?

Suka sama Owen Putra Nugroho?

Maya sampai di sebelah Owen, lantas dari senyumannya, Hara langsung bisa menebak kalau dugaannya benar.

Kasihan banget. Alka suka sama Maya, tapi Maya suka sama Owen, dan Owen sukanya sama Gara.

Hara tidak bisa membayangkan hubungan mengerikan ini. Lantas, pilihan untuk kembali ke kelasnya adalah keputusan yang terbaik.

"Gara, tunggu! Gue anter lo ke kelas," seru Owen yang memperlebar langkah untuk menyusul Hara, mengabaikan Maya yang auto cemberut.

"Ga, kelas kita bukan ke arah sana tapi lewat sini," kata Owen sembari menarik bahu Hara untuk menghalanginya berbelok ke sebelah kanan dan memandunya ke arah sebaliknya. Perlakuannya persis seperti insiden semalam.

Hara refleks menghentakkan bahunya sendiri hingga jemari Owen lepas. "Apa-apaan sih? Gue bisa jalan sendiri, nggak perlu dibimbing kayak gitu!"

"Oh, oke. Lo ikut gue ya," kata Owen, berusaha memahami Hara. Langkahnya kemudian mendahului, tetapi dia masih melirik Hara berkali-kali seakan Hara adalah anak kecil dan takut kalau dia akan kesasar.

Hara auto memutar bola mata, lantas bertanya dengan dingin, "Kita di kelas mana?"

"XII IPA-2."

Gantian Hara mendahului Owen sekarang, yang mana menjadi sebuah respons atas jawaban dari Owen.

Hara, jika bisa, gue berharap lo bersedia membagi luka-luka lo ke gue karena gue nggak sanggup liat lo menderita dalam dunia lo sendiri. Lo berhak sembuh, Ra, dan gue harap gue-lah orang yang bisa mengobati elo.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top