39). A Woman Called Joan
Hara menekan bel di dekat pintu rumah kediaman Paman Ariga selama beberapa kali sebelum pintu tersebut dibuka dari dalam dan dia harus kaget karena kepala yang menyembul keluar adalah orang lain, alih-alih Ariga si pemilik rumah.
Lebih tepatnya, kepala yang menyembul adalah milik seorang wanita yang umurnya tidak jauh dari usia Paman Ariga. Atau mungkin... lebih muda?
"Siapa lo?" tanya wanita itu dengan nada yang sedikit sinis, menatap Hara dengan tatapan sensor dari ujung kepala ke ujung kaki hingga berkali-kali.
"Yang bener, gue yang harusnya nanya. Lo siapa?" tanya Hara dengan nada yang tidak kalah sinis, malah terkesan meremehkan. Cewek itu juga membalas sensor wanita itu berkali-kali.
Wanita itu lebih dari layak disebut cantik jika saja dia tidak memberengut kesal karena kesannya jadi seperti anak kecil yang suka meledak-ledak. Penampilannya lebih dari oke karena Hara bisa langsung mengambil kesimpulan kalau dia bukan salah satu dari golongan menengah ke bawah; atasan lengan panjang bermodel sabrina berwarna army green dan celana ketat berbahan scuba berwarna hitam yang kelihatannya sangat nyaman dipakai.
Itu juga yang membuat Hara penasaran, tetapi dia masih tidak ingin menunjukkannya, termasuk menyebut nama Ariga dengan embel-embel kata 'Paman'.
"Hmm, my boy.. do you knock your head somewhere? You are the one who come and you should be the guest here, am I wrong?"
"This is Ariga Prasetya's house, isn't it?"
Wanita itu seperti tertampar ketika mendengar Hara mengetahui siapa pemilik rumah itu sehingga selama sepersekian detik dia merasa seperti sedang terintimidasi. "Kok lo bisa tau? Lo siapanya Ariga?"
"Makanya nggak salah dong gue nanya lo siapa. Karena gue lebih deket sama Ariga dari yang lo tau," jawab Hara dengan nada penuh kemenangan karena berhasil memberikan damage pada wanita itu.
Sayangnya damage tersebut menjadi rumit karena wanita itu mengolah informasi yang diberikan Hara menjadi persepsi lain. Dan jelas itu adalah salah paham.
"Sejauh yang gue kenal, Ariga itu bukan tipe penyuka sesama jenis alias homo."
"Ya iyalah! Ariga kan pria macho dan gentleman!" hardik Hara yang segera sensitif mendengar kata homo. Masalahnya selama tiga bulan penuh, topik yang sering bersinggungan padanya tidak pernah jauh dari kata homo atau gay.
"Ya ampun jantung gue," keluh wanita itu sembari mengelus bagian dadanya dengan sayang. "Kenapa teriak, sih?"
"Yang penting ini kediaman rumah Ariga Prasetya, bener kan? Karena kalo bener, Kakak bantuin gue bayar ongkos taksinya dulu. Nanti Pa--eh maksud gue, Ariga bisa lunasin."
Hara mengendikkan dagu ke arah taksi yang masih parkir di halaman rumah Ariga, jelas sedang menunggu salah satu dari mereka untuk membayar.
"Ck! Kenapa gue yang bayar? Lo siapanya Ariga?"
"Gue udah bilang, gue lebih deket sama Ariga dari yang lo tau," jawab Hara dengan nada berbahaya. "Jadi buruan bayar kalo lo nggak mau nyesel."
"Nyesel? Kenapa gue harus nyesel dengan cowok abege kayak lo?" tanya wanita itu dengan tatapan sensornya lagi, tetapi perintah Hara tidak ditolak lebih lanjut. Dia mengeluarkan dompet dan menyerahkan kartu kredit pada Hara. "Gue nggak ada uang tunai."
"Pamer nih ceritanya?" sindir Hara karena wanita itu memberikan kartu kredit yang tidak biasa. Itu adalah kartu kredit langka yang hanya digunakan oleh orang-orang tertentu atau lebih tepatnya, hanya untuk mereka yang mempunyai latar belakang konglomerat. Hara tentu tahu karena Owen biasa membayar uang bulanan mereka menggunakan kartu tersebut.
Black card.
Hara membutuhkan waktu sekitar lima menit untuk mengurus transaksi ongkos taksi, sedangkan wanita tersebut mengeluarkan ponsel dan menggunakannya untuk menghubungi seseorang.
"Halo?"
"Lo masih nggak mau ke sini?" tanya wanita itu. "Gue tau lo sengaja menghindari gue."
Terdengar jeda beberapa saat dan wanita itu cukup tahu kalau apa yang ditebaknya memang benar. "Nggak kok, gue memang lagi ada urusan di luar."
"Gue nggak bego, Ariga. Tapi berhubung gue lagi baik dan juga lo ada tamu, gue akan lewatkan apa yang terjadi hari ini. Jadi gue maafin lo," kata wanita itu dengan nada sok, khas wanita tajir yang gengsinya sangat tinggi, ngalah-ngalahin ketinggian gedung pencakar langit.
Padahal jelas, siapa yang mengejar siapa.
"Tamu? Siapa?"
"I don't know his name. He said that he has a very close relationship with you. Kalo penasaran, buruan balik. Dia masih di sini kok."
"Cowok?"
"Bukan. Waria. Ya iyalah cowok! Kemampuan Bahasa Inggris gue bersertifikat loh, ya. Plis deh!" hardik wanita itu geregetan.
"Alright, Joan. Sorry. Okay, I'm on my way now."
Percakapan mereka kemudian berakhir tepat di saat Hara kembali bersamaan dengan kepergian taksi.
"Lo punya hubungan apa sih sama Ariga gue?" tanya Joan, terdengar sangat menuntut. "Untung ya lo cowok. Kalo lo cewek, mungkin gue...."
"Kenapa? Cemburu ya kalo gue cewek?" tanya Hara sambil menyeringai dan sedang berencana untuk menghubungi Ariga juga, tetapi Joan telah menahannya.
"Lo mau nelpon Ariga, kan?" tanya Joan. "Nggak usah. Gue udah telpon tadi. Dia lagi otw ke sini."
Betul saja karena tidak lama kemudian, keduanya mendengar deru mesin mobil yang mendekat dan berhenti setelah sampai di halaman rumah tersebut. Ariga keluar dari mobil dan menatap Hara dengan tatapan melotot hingga bukaan maksimal setelah sebelumnya melepas kacamata hitamnya.
Oke, fix. Paman Ariga sudah berubah banyak sejak Hara terakhir kali bertemu dengannya. Apakah ini juga berkat campur tangan keluarga Nugroho?
"Hara!" pekik Paman Ariga dan pria itu lantas berlari cepat menuju Hara untuk memeluk keponakan kesayangannya dengan erat sementara Joan yang masih berpikir kalau Hara adalah cowok, menatap dua insan di depannya dengan tatapan tidak senang dan agak risih. Gimana ya, rasanya tidak terima saja kalau Ariga memeluk Hara terlalu erat seperti itu.
Cemburu? Mungkin saja, tetapi Joan masih gengsi untuk mengakuinya.
Pada detik berikutnya, Joan tiba-tiba menyadari sesuatu. Hara? Kenapa cowok seperti dia bernama Hara?
"Hara?" ulang Joan gagal paham sembari menatap pada Ariga untuk menuntut penjelasan. "Gue nggak salah denger? Namanya Hara?"
Pelukan Ariga-Hara terlepas dan pria itu memandang Joan setelah tersenyum singkat. "Kenalin, dia keponakan gue, Hara Arganta."
"Cewek?" tanya Joan, seakan tidak percaya.
Ariga mengangguk. "Ceritanya panjang. Pokoknya, dia cewek."
"Oke, gue bakal sabar mendengar semua ceritanya," kata Joan dengan nada yang sengaja dimanis-maniskan apalagi setelah dia mendengar kalau ternyata Hara ini adalah keponakan Ariga. Itu berarti, dia harus jaga image, kan?
Meski kesannya sudah terlambat, tetapi Joan bersikap begitu innocent, seakan lima belas menit pertemuan awal mereka tidak pernah terjadi. "Hai, Hara. Gue Joan Carolina, pacarnya Ariga."
Ariga kontan meringis dengan tatapan mencela dan otomatis meralat ucapan Joan pada Hara yang mengernyitkan alisnya, "Dia bukan pacar Paman, Ra. Jangan percaya, ya?"
"Aku percaya kok," jawab Hara yang tahu-tahu melempar seringai pada Joan yang memutar bola matanya dengan kesal. "Lebih tepat disebut sebagai bucinnya Paman kali, ya? Sekali liat, aku juga langsung paham kok kalo cintanya itu one-sided love."
Joan menghentakkan kaki kesal sementara Hara mengembalikan black card padanya. "Ongkosnya cukup mahal, tapi karena lo bayarnya pake black card, gue rasa tarifnya kayak bayar uang parkir kan bagi lo?"
Joan mengangguk terpatah, tatapannya segera berubah menjadi tatapan yang tidak ada bedanya dengan bucin level tinggi, lalu berkata, "Anggap aja sebagai tanda pengenalan kita, ya?"
Hara tersenyum diam-diam karena dia cukup tahu kalau arti pandangan Joan padanya sekarang jika diartikan menjadi; please-help-me-to-win-his-heart.
"Kamu utang penjelasan sama Paman," kata Ariga, segera menarik tangan Hara untuk membawanya masuk ke dalam rumah, mengabaikan Joan yang otomatis memanyunkan bibir, tetapi dia tetap mengekori keduanya.
Meski sungkan, pada akhirnya Hara menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewatkan, termasuk isi ramalan yang sebenarnya. Paman Ariga tampak syok mendengar semua ini dan juga merasa tidak bisa percaya pada semua rezeki yang ternyata berkaitan erat dengan keluarga Nugroho.
"Itulah sebabnya Paman tiba-tiba bisa mendapat kerjaan yang lebih baik padahal kamu belum lama pindah ke Jakarta gantikan Gara," komentar Ariga dengan tatapan yang sarat akan kekecewaan yang besar. "Paman kira Paman diterima karena kemampuan Paman."
"Who says that?" tanya Joan yang untuk pertama kalinya nimbrung sejak Hara menceritakan semuanya dari posisi duduknya di sofa tunggal. Posisi duduknya begitu anggun dengan melipat sebelah kakinya ke kaki yang lain. "Lo diterima kerja di perusahaan keluarga gue murni karena kemampuan lo. Walau campur tangan itu ada, itu semata-mata hanya sebatas rekomendasi doang. Jadi jangan langsung down gitu, dong."
"Kakak kenal juga sama keluarga Nugroho?" tanya Hara meski dia sangat yakin kalau Joan mengenal keluarga Owen lebih dari itu.
"Kenal dong. Keluarga konglomerat sudah pasti saling mengenal satu sama lain dengan baik meski pemicunya berawal dan berasal dari bisnis, sekecil apa pun itu. Harusnya lo beruntung karena bisa didukung penuh sama keluarga Nugroho tanpa repot-repot minta."
"Heh, lo kira gue sematre itu?" tanya Hara yang langsung saja emosi. Cewek itu hampir saja beranjak jika saja Paman Ariga tidak menahannya.
"Bukan. Lo belum selesai denger penjelasan gue," jawab Joan yang jauh lebih kalem dari yang Hara kira, seakan dia sudah bisa menduga reaksinya seperti itu. "Gue udah hidup dalam lingkungan konglomerasi untuk durasi yang sangat lama, apalagi gue adalah pewaris tunggal Grup Carols. Itulah sebabnya, gue banyak memahami karakter pebisnis dari segala penjuru dunia, mau itu dari segi latar belakangnya hingga caranya bertahan dalam persaingan bisnis. Khusus keluarga Nugroho, sebagai partner bisnisnya, gue sangat menghormatinya karena beliau terkenal dengan tanggung jawab serta loyalitasnya yang tidak pernah main-main."
"Tell me the point," kata Hara dingin, mengabaikan ringisan Ariga yang merasa keponakannya sangat tidak sabaran. "Gue benci bertele-tele, soalnya."
"Menurut gue, Pak Hendri udah lebih dari cukup untuk menyokong kalian," kata Joan yang menuruti permintaan Hara untuk berterus terang hingga kesannya menusuk. "I mean, what's a big deal from missing your childhood? Lo hanya terlalu fokus pada kesedihan lo, tapi nggak memperhatikan orang-orang yang memberikan perhatian dan kasih sayang sama lo."
Hara ingin sekali mengajak Joan berdebat tetapi tepat pada saat itu, ponsel Ariga bergetar dan pria itu lantas bungkam saat melihat nama yang tertera di sana.
"Gara yang nelpon, Ra. Kamu yang jawab aja, gimana?"
"Gara, kembaran lo?" tanya Joan dan tidak disangka-sangka, wanita itu menarik senyum penuh kebanggaan. "Kalo dugaan gue tepat, poin yang harus lo pahami adalah ini sebagai contohnya. Lo beruntung, Hara. Karena lo punya banyak orang yang menyayangi elo."
Hara tidak menyangka dia berhasil dibuat terpekur oleh seseorang yang bahkan baru ditemuinya tidak sampai satu jam itu. Lantas secara mendadak, dia kembali diingatkan oleh beberapa teman dekat Gara yang begitu menyayanginya dengan tulus. Hingga akhir.
Seakan tidak cukup dengan penjelasannya tadi, Joan maju dan mencondongkan tubuh ke arah Hara yang duduk tidak jauh darinya itu. "'Yang lalu biarlah berlalu, kini saatnya kamu membuka lembaran baru.' Terdengar klise, tapi gue rasa motivasi itu cocok buat situasi lo sekarang. Daripada terus-terusan hidup dalam pikiran yang fokusnya ke luka lama lo, bukankah akan lebih bijak jika lo fokus pada orang-orang di sekeliling lo, yang sayang sama lo? Lo memilih pergi, tapi apakah lo pernah sekali saja berpikir bagaimana perasaan mereka yang lo tinggalkan? Jadi daripada sama-sama terluka, kenapa kalian nggak saling mengobati aja?"
Hara diam, sementara dering ponsel milik Ariga tidak berhenti, seakan menunjukkan kalau Gara tidak akan menyerah sebelum berhasil berbicara dengannya.
Maka dari itu, Hara pada akhirnya mengambil ponsel dari tangan Ariga dan mengarahkannya ke telinga setelah sebelumnya mengusap layar.
"Halo?"
Terdengar desahan lega dari ujung telepon dan itu membuat Hara harus mengakui kalau apa yang dinasihati Joan benar adanya. Wanita itu tersenyum simpul setelah melihat reaksinya. "Ra, kenapa lo pergi? Jangan pergi, plis."
Hara bisa mendengar ada isakan tangis dari seberang telepon selain Gara dan cewek itu berani bertaruh kalau Owen pastilah berada di sisi kembarannya sekarang. "Kenapa lo nggak sekolah?"
"Ra, apa sekolah lebih penting daripada tangisan gue?" tanya Gara, entah kenapa terdengar konyol dan Hara juga merasakan demikian karena bertanya seperti itu. "Gue nggak sanggup kalo harus hidup terpisah dari lo lagi, Ra. Kenapa sih lo keras kepala banget?"
"Gue...." Hara kaget sendiri karena air matanya tumpah lagi padahal dia telah bertekad untuk tidak menitikkan air mata, apalagi di depan Joan yang ternyata sama sekali tidak menertawainya. Wanita itu malah menepuk pundaknya yang tahu-tahu terasa hangat hingga berhasil memperparah tangisan Hara menjadi sesenggukan.
"Tuh kan, lo nangis," kata Gara, terdengar menuduh. "Dengerin gue, Ra. Gue janji gue bakal lebih baik lagi. Gue bakal ngurangin nakalnya gue, gue bakal lebih nurut lagi sama lo, gue bakal lebih rajin belajar, gue bakal manjain lo, gue bakal jadi kakak yang baik dan dewasa, gue bakal--"
Tetapi Hara memutuskan panggilan telepon itu dan segera menangis keras karenanya, membuat Ariga ikut merasakan kesedihan hingga kedua matanya memerah. Tanpa berpikir dua kali pria itu segera merengkuh sang keponakan ke dalam pelukannya, mengelus rambut bagian belakang Hara dengan sayang.
"Nanti Paman jelaskan ke Gara, ya. Kamu tenangin diri kamu di sini dulu sampai kamu baikan," hibur Ariga yang pelukannya segera dibalas oleh Hara. "Ahhh... kasihan keponakan Paman. Nangis aja, Ra. Keluarin semuanya ya. Ada Paman di sini."
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top