37). D-Day
"HAPPY BIRTHDAY, OWEN!" ucap ketiga teman serumah termasuk Hara waktu pagi-pagi sekali, tepatnya ketika mereka semua baru saja bangun tidur. Tidak secara alamiah sebenarnya (mengingat Vico tipe orang yang susah bangun pagi) karena mereka berempat telah sepakat dari hari H minus satu untuk mengucapkannya bersamaan di pagi hari alih-alih tengah malam.
Gagasan ini digarisbawahi secara keras oleh Galang karena menurutnya mengucapkan ulang tahun di tengah malam bukanlah ide yang bagus. Keluarga Owen toh sudah menyiapkan pesta ulang tahun sama seperti yang sudah-sudah dan ucapan di awal-awal pagi hari justru terasa lebih memorable yang lantas disetujui oleh Hara.
Semuanya menyanyikan lagu ulang tahun setelah sebelumnya membentuk lingkaran di antara Owen sebagai pusatnya, yang sekarang tersenyum begitu lebar hingga tidak ada bedanya dengan anak balita yang diberi kejutan di hari ulang tahun.
"Happy birthday to the most handsome person that I've ever met. As your housemate and seatmate from tenth grade, I feel so grateful to know you. Every single moment that we spend together is always fun and happy. I hope our friendship can stay longer, Owen Putra Nugroho," ucap Alka dengan tatapan menyejukkan yang bisa membuat hati siapa saja merasa tersentuh padahal yang berulang tahun sekarang adalah Owen.
"Karena gue nggak jago bahasa Inggris kayak Alka dan gue takut kesannya jadi garing karena salah merangkai kalimat, gue pake cara klasik deh ya," usul Vico sembari tersenyum yang juga sama gantengnya dengan Alka meski cowok itu lebih cocok dijuluki flower boy karena wajah manisnya. "Selamat ulang tahun, Owen. Moga panjang umur dan sehat selalu. Meski terdengar klise tapi gue berharap semoga lo bisa move on dari Gara dan dapet cewek baru ya biar nggak dicap gay mulu—–Ouch! It hurts, Galang!"
Karena punggung Vico baru saja digaplok keras oleh yang disebut.
"Owen lagi ulang tahun, bisa-bisanya lo nasihatin dia kayak gitu! Liat sikon dong, ah!" omel Galang galak, tetapi dia segera menetralisir ekspresi wajahnya dan berdeham ringan sebelum berkata, "Kita sepakat lebih milih ngucapinnya pagi-pagi begini biar kesannya kayak ngucapin selamat pagi sama lo tapi ternyata jatuhnya jadi spesial, kan?"
Galang si pretty boy tersenyum lebar, kedua tangannya yang sedari tadi difungsikan sebagai alas kue tart yang berbentuk bulat kecil dengan lilin angka 18, diarahkan di bawah hidung Owen. "Karena ucapan gue udah diwakilkan sama Alka dan Vico, gue bantu lo meng-amin-kan semua ucapan. Trus yang paling penting adalah, gue sangat mendukung lo sebagai temen dekat. Jadi apa pun keinginan lo, gue akan selalu berada di pihak lo. Happy birthday, my close friend."
"Thank you very much," ucap Owen bersungguh-sungguh, tersenyum lebar, bertepatan dengan matanya yang mulai berkaca-kaca karena kejutan tersebut. Hara refleks memutar bola matanya seperti biasa, tetapi faktanya dia juga mengikuti jejak Owen.
Mata Owen kemudian tertuju pada Hara, jelas mengharapkan ucapan darinya. Meski menjadi yang terakhir, tentu memberikan kesan teristimewa baginya.
"Happy birthday to my childhood friend, who has known me since the first grade in Elementary school, who makes me know that truly friends are exist, who cheers me up, who cries along, who leans on, who stands by my side, and also shares our bittersweets together. Owen Putra Nugroho, lo udah berumur 18 tahun. Jadi mulai sekarang lo nggak boleh cengeng lagi, ya."
Hara mulai menyesal karena semua kata-katanya berhasil membuatnya terbawa perasaan sedemikian rupa hingga dia sulit menahan diri untuk tidak menangis. Alhasil, air matanya tidak bisa dibendung dan pertahanannya bobol. Namun nyatanya, tangan Owen telah terlebih dahulu terjulur dan merengkuhnya ke dalam pelukan begitu saja, mengabaikan tatapan melongo teman-temannya yang lain.
Mereka tentu heran karena Hara bisa sesensitif itu, berhubung sebelumnya dia sangat jarang menunjukkan sisi lemahnya pada yang lain.
Setelah jeda beberapa waktu dan situasi sudah lebih tenang, Galang menyalakan lilin dengan korek gas yang telah dibawanya sedari tadi. Setelah selesai, dia mendekatkan kue tersebut ke bawah hidung Owen. "Now you can make some wishes and blow the candle."
Acara ulang tahun yang sederhana mungkin akan jauh lebih berkesan jika saja Vico tidak iseng mendorong kue tart ke wajah Owen dan dia tertawa lepas setelah melihat ekspresinya.
"Namanya ulang tahun nggak akan seru kalo nggak dikerjain," kata Vico ngeles, lantas berkelit ketika Owen menggeram marah dan hendak mengolesi krim kuenya juga tetapi segera menatap horor saat targetnya meleset mengenai wajah Hara gegara perlakuan berdosa Vico yang berbelok secara mendadak di balik punggungnya.
Hara jelas emosi, cewek itu mengoles jari telunjuknya dengan krim sebanyak mungkin dan segera mengarahkannya ke muka Vico setelah sebelumnya mengalungkan sebelah lengan ke sekeliling lehernya dengan kekuatan beringas hingga kepalanya ditengadahkan ke atas persis seperti terakhir kali Hara memitingnya di awal-awal interaksi mereka.
"Ampun, Gara! Gue nggak berani lagi! Plissss—–Argggghhh!" Vico menggeram ketika krim tersebut sukses menodai wajah manisnya hingga ke rambutnya.
Hara tertawa terbahak-bahak hingga kedua matanya melengkung, secara otomatis menyedot perhatian dari keempat cowok begitu saja. Semuanya refleks terpekur di tempat seakan sedang tersihir dengan pesona Hara secara tidak terduga.
Walau gimanapun, Hara itu cewek dan pesonanya tentu saja terkesan lebih glowing daripada Gara, kembarannya.
"Ini kenapa gue deg-degan gini, ya?" tanya Vico dengan tatapan horor. "Harusnya gue normal, kan? Hei, tapi gue juga liat kalian terpesona! Ayo ngaku! Gue udah nangkap basah kalian!"
Vico menuduh tiga temannya yang lain sambil menuding mereka satu persatu, sementara yang dituding segera membuang pandang.
*****
"Kalian duluan aja ya, buku paket gue ketinggalan di kamar," kata Hara pada keempat cowok ketika mereka hendak berangkat ke sekolah bersama-sama.
"Gue tungguin," kata Alka. "Masih ada waktu kok."
"Nggak apa-apa. Kalian duluan aja, ya? Gue punya kunci rumah kok jadi gue bisa kunci pintu sendiri sebelum gue nyusul."
"Hmm... oke kalo gitu. Nanti hati-hati di jalan ya, Ga. Kita bakal jalan pelan-pelan supaya lo bisa nyusul," kata Galang akhirnya sementara dia mengecek kunci rumah yang juga dimilikinya. "Ternyata usul buat kunci duplikat memang berguna, ya. Setidaknya bisa membantu banget kalo mau ngambil barang ketinggalan di rumah."
"Itu berlaku buat mereka yang nggak pelupa kayak gue," timpal Vico dengan tatapan seakan kunci tersebut sangat tidak penting. "Yuk, berangkat. Gara, kami tungguin dari depan ya? Jangan lama-lama."
Tetapi Hara tidak merespons Vico. Dia menatap keempat sahabat Gara dengan tatapan datar dan bisa dibilang cewek itu sangat hebat dalam menyembunyikan perasaannya.
Belajar dari pengalaman tadi pagi sewaktu dia tangisnya pecah setelah mengeluarkan isi hatinya, Hara tidak mau situasi tersebut terulang lagi.
Dia tidak ingin timing perpisahannya ketahuan dan lantas hancur karenanya.
Sebab Hara tidak tahan jika dia harus pergi di saat mereka tahu kalau dia benar-benar akan pergi.
Hara tidak membawa banyak barang karena sebagian besar adalah milik Gara. Satu-satunya yang dia bawa sekarang adalah ransel yang sama persis dengan yang dibawanya sewaktu pertama kali menyamar menjadi Gara. Isinya adalah beberapa perlengkapan pribadinya dan juga... ada pemberian berharga dari Owen. Satu-satunya.
Bomber berwarna biru dongker.
Hara berpikir tidak akan salah jika dia membawa bomber itu bersamanya. Karena sama seperti fungsi jaket yang memberikan kehangatan, Hara merasa setidaknya dia bisa berimajinasi sedikit kalau Owen seakan sedang memberinya kehangatan lewat jaket itu.
Tidak apa-apa, kan?
Hara menutup pintu kamar Gara di belakangnya dan mata cewek itu mengeksplorasi semua sudut dalam ruangan seakan ingin merekamnya ke dalam memori serinci mungkin hingga ke lantai dasar, termasuk dapur dan ruang tamu di mana mereka berlima selalu makan bersama. Setiap sudutnya memberikan terlalu banyak kenangan indah hingga berhasil memancing kesedihan Hara lagi.
Hara semakin tidak tahan ketika mengingat bagaimana rupa empat teman serumahnya. Mulai dari Alka Orlando yang memiliki garis wajah galak tetapi jika berinteraksi dengannya dalam waktu yang cukup lama, dia adalah pribadi yang hangat dan tidak segan-segan menunjukkan ketulusannya. Berikutnya ada Vico Anderson dengan ribuan tingkah laknat dan kocaknya yang bisa membuat siapa saja tertawa sekaligus merasa konyol dan bodoh, tetapi akan menjadi yang terdepan ketika ingin melindungi orang yang disayanginya. Juga Galang Dawala, si cowok paling peka yang pernah ditemui Hara seumur hidupnya. Jika saja dia tidak menyukai Owen terlebih dahulu, cewek itu yakin kalau dia akan segera jatuh cinta dengan cowok berparas cantik itu. Perhatiannya begitu tulus dan terasa begitu nyata hingga Hara merasa yakin kalau tidak ada lagi yang bisa menyamainya.
Terakhir, Owen Putra Nugroho. Cowok tercemen dan terpolos yang pernah Hara temui sepanjang hidupnya dan meski dia sering merasa risi, cewek itu selalu tidak bisa mengabaikannya. Dari ekspresinya yang khas setiap minta dipeluk, bagaimana tatapan innocent-nya, bagaimana tawa lebarnya hingga matanya melengkung indah, hingga ekspresi bahagianya setiap Hara menunjukkan perhatian.
Air mata Hara telah tumpah dan terus mengalir bagaimanapun dia berusaha menghapusnya. Lagi-lagi, cewek itu menangis sepaket, seperti saat dia menyadari eksistensinya tidak diharapkan; dimulai dari menangis berkaca-kaca hingga mengeluarkan suara meski dia berusaha meredamnya dengan telapak tangan.
Jika dulu Hara menangis dengan harapan ingin orang-orang yang dikasihinya kembali ke sisinya, kali ini Hara bersyukur dia menangis sendirian.
Karena dia tidak ingin orang-orang yang dikasihinya melihatnya rapuh.
Lima menit kemudian, Hara telah selesai mengunci pintu rumah lamanya dan sedang menunggu taksi jemputan ketika secara tidak terduga, ada yang menarik pergelangan tangannya dengan kuat hingga membuatnya berputar menghadapnya dan lantas dibuat kaget sekaget-kagetnya.
Karena pelakunya adalah Owen Putra Nugroho, cowok terakhir yang ingin ditemuinya di situasi seperti ini.
Matanya memerah, napasnya tersengal-sengal yang jelas membuktikan kalau dia kembali ke rumah lama milik keluarga Arganta dengan berlari, bertepatan dengan tibanya taksi jemputan yang Hara pesan beberapa menit yang lalu.
Namun, Owen masih menahan tangannya. "Jangan pergi."
Hara berpura-pura tuli, lantas dia menarik tangannya sendiri untuk lepas tetapi Owen sepertinya telah bertekad penuh untuk melarangnya pergi. Saking frustasinya, Hara bisa melihat bagaimana air mata Owen telah menetes dan segera saja dia sesenggukan.
"Jangan cengeng, Owen! Lo itu cowok!" hardik Hara meski bagian putih matanya mulai memerah lagi seakan tertular.
"Plis, Ra. Jangan pergi," lirih Owen hingga meremas kedua bahu Hara dengan begitu frustasi, mengabaikan supir yang menatap mereka dengan tatapan simpatik hingga tidak tega.
"Dek, batalkan saja taksinya. Tidak apa-apa. Lebih baik Adek pertimbangkan dulu dan diskusikan baik-baik dengan teman kamu ya," nasihat supir tersebut sebelum mengemudikan taksinya meninggalkan area halaman rumah itu. Bisa jadi, supir tersebut merasa sangat simpatik dengan tangisan Owen yang terdengar begitu memilukan hingga bisa membuat siapa saja tersentuh.
Termasuk Hara meski dia berusaha semampunya untuk tidak terpengaruh.
"Ra," panggil Owen yang masih menangis. "Gue nggak minta lo maafin gue, tapi plis jangan pergi. Biarkan gue menebus kesalahan gue sampai selesai. Plis gue mohon sama lo."
Hara menyeringai sebelum menepis tangan Owen yang menempel di bahunya. "Gue aja belum maafin keluarga gue, Wen, apalagi lo yang nggak ada hubungan darah sama gue."
"Ra...."
"Gimana caranya lo menebus kesalahan lo, hmm? Dengan cara apa lo mengembalikan masa kecil gue? Dengan cara apa lo mengembalikan kebahagiaan gue? Dan dengan cara apa... LO MEMBUAT GUE MELUPAKAN SEMUANYA?"
Mungkin dengan berteriak dan bersikap kejam bisa membuat lo merelakan kepergian gue, Wen.
Owen terkesiap. Dia sukses dibuat terpekur dan mulai merasa kurang layak untuk mempertahankan Hara di sisinya.
Bisa dibilang, strategi Hara berhasil. Cewek itu segera memesan taksi yang lain lewat ponsel, berpura-pura memutar kepalanya ke arah lain padahal dia sedang menyembunyikan luka dari Owen yang sekarang memeluk lututnya persis seperti Hara saat menangis lima menit yang lalu.
"Leave me alone, Wen," usir Hara yang sebenarnya tidak tahan melihat Owen menangis, bukan karena tidak sudi melihatnya.
"Ra... beri gue kesempatan sekali aja. Setidaknya biarin gue... biarin gue...."
"Gue udah berikan waktu lebih dari cukup, Wen," potong Hara dingin. "Eight years is more than enough, isn't it?"
"Ra... gue suka sama lo," bisik Owen yang mungkin saja saking frustasinya dalam usahanya menahan Hara untuk tetap tinggal, tetapi cewek itu mendengus ketika mendengarnya.
"Wen, coba lo pikirin deh. Udah berapa kali lo bilang lo suka sama gue? Kalo lo punya otak buat berpikir, lo harusnya sadar mengapa gue nggak pernah balas perasaan lo. Mengapa gue nggak pernah ngomong kalo gue suka sama lo juga?"
Hara merasa ada yang menghambat tenggorokannya dengan begitu hebat hingga dia merasa ulu hatinya sangat nyeri. Ternyata seperti ini rasanya mendapatkan luka besar di hati, tetapi tidak berdarah.
Hingga ketika melihat taksi online tiba di halaman rumah lamanya lagi, Hara merasa sangat lega untuk pertama kalinya.
Owen tahu usahanya tidak akan berhasil tetapi hingga akhir, dia masih mencoba memohon pada Hara dengan mengaitkan tangannya pada tangan Hara tepat ketika cewek itu berjalan melewatinya. Selama sepersekian detik, genggaman tersebut begitu erat hingga Hara merasa tangannya kebas dan dia juga bisa mendengar sebesar apa frustasi Owen yang menangis semakin keras dari balik punggungnya.
Hara ikut menangis, tetapi dia bersyukur karena posisi mereka sedang saling membelakangi dan dia menutup mulut dengan tangan yang bebas agar tangisannya tidak ketahuan. Lantas setelah merasa cukup, Hara menarik tangannya sendiri, melepas kaitan jemari mereka secara perlahan hingga jari kelingking mereka menjadi kaitan paling terakhir yang bertahan, selagi tangisan Owen terdengar semakin memilukan.
Tangan Hara masih membungkam mulutnya sendiri hingga dia berhasil masuk ke dalam taksi dan tangisannya baru dibiarkan pecah setelah mobil yang ditumpanginya telah melaju beberapa meter ke depan, mengabaikan hati kecilnya yang sangat ingin kembali dan memeluk Owen.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top