34). There's no 'Forever'

"Ra, lo ke mana aja? Gue telepon dari tadi," adalah kalimat pertama yang menyambut Hara di saat dia baru saja membelok menuju halaman rumah.

Karena Hara tidak mau Owen curiga perihal pengetahuan prematurnya tentang kebenaran yang ditutupi, maka dia mendongakkan kepala dan menetralisir ekspresi wajahnya.

Namun, Owen menyentuh pergelangan tangannya ketika Hara sampai di depannya dan lantas kaget. "Tangan lo dingin banget, Ra! Jangan bilang lo pulang pake jalan kaki?"

"Nggak jauh kok," jawab Hara singkat, melepas tangannya sendiri dari cekalan tangan Owen yang kali ini berbeda dari biasanya. Jika biasanya dia menghentakkan tangan setiap mau lepas, kali ini dia menarik dengan gerakan perlahan seakan ada perasaan takut di dalamnya.

Benar, Hara takut. Takut jika dia tidak bisa mempertahankan sisi kuatnya.

Hanya dua minggu, Ra. Sama seperti ada tahapan klimaks dalam drama atau film, lo hanya perlu mengikuti skenarionya sampai batas waktu yang ditentukan. Dua minggu lo bakal sanggup, buktinya lo bisa bertahan sampai dua bulan lebih menggantikan Gara di sekolah, kan?

"Lo kenapa, Ra? Kayaknya lo mulai nggak sehat lagi deh. Lo keringat dingin," kata Owen cemas sembari mengulurkan tangan untuk mengecek suhu tubuh Hara, tetapi cewek itu sudah menjauhkan kepalanya secara refleks.

"Gue nggak apa-apa, Wen. Gue masuk dulu, ya."

Hara mengabaikan tatapan penuh tanya Owen dari balik punggungnya, tetapi cowok itu masih belum menyerah. Dia segera menjejerkan langkahnya di sebelah Hara yang sudah masuk ke dalam rumah, tepatnya di ruang tamu.

Ah ya, rumah ini juga termasuk dukungan materiil dari keluarga konglomerat Nugroho. Itulah sebabnya mengapa kakeknya Owen menggunakan hari ulang tahun Gara sebagai modus, padahal tujuannya adalah untuk memenuhi isi ramalan Owen yang sebentar lagi genap 18 tahun.

"Gara, lo udah pulang? Dari mana aja sih? Katanya bentar doang?" tanya Galang yang tahu-tahu menghampirinya dari ruang dapur seperti biasa. Penampilan cowok itu kelihatan uwu karena sedang memakai celemek berenda dengan motif kotak-kotak. Jika saja mood Hara sedang baik, mungkin cewek itu akan meledeknya habis-habisan, berbarengan dengan Vico yang sekarang sedang sibuk menenggak kuah langsung dari mangkuknya, minus akhlak seperti biasa karena terdengar suara berisik susulan sewaktu dia meminum kuahnya.

"Iya, ada urusan bentar."

"Lo udah makan? Gue udah siapkan soto ayam buat lo, lengkap sama kerupuknya. Gue tau lo sesuka itu sama kerupuk," tawar Galang sembari mengedipkan mata, lantas hendak menarik Hara tetapi cewek itu sudah menjauhkan tangannya dari jangkauan cowok itu.

"Gue udah makan. Gue balik ke kamar aja ya. Thanks, Galang."

Lagi-lagi, Hara melanjutkan langkah, mengabaikan tatapan penuh tanya dari Galang yang mirip dengan Owen sekarang.

"Gara kenapa, Wen? Nggak sehat lagi, ya?" tanya Galang gagal paham, tetapi ternyata ekspresi Owen sama clueless-nya. Dia mengangkat bahu dengan pasrah sembari menatap punggung Hara yang menjauh dalam perjalanannya menaiki anak tangga ke kamarnya sendiri.

"Mungkin Gara lagi galau," celetuk Vico setelah selesai menghabiskan kuah, menunjukkan ekspresi puasnya atas soto ayam buatan Galang. "Enak banget, Lang. Bagian Gara kasih gue aja, ya? Biasaaa... daripada mubazir."

Galang melempar tatapan kesal, tetapi tidak melarang ketika Vico mengambil mangkuk dan melahapnya dengan terlalu bersemangat hingga dipastikan akan membuat keturunan ningrat manapun menatapnya prihatin.

Hara kembali ke kamar, tetapi eksistensi Alka di lantai dua membuat cewek itu terpaksa mengalihkan perhatian.

Alka saat ini sedang mengganti lampu di langit-langit kamarnya sendiri, terlihat jelas dari pintu yang terbuka di hadapan cewek itu. Teknisnya, kamar Alka berada di antara kamar Vico dengan kamar Gara sehingga atensinya secara otomatis tertuju ke sana saat hendak kembali ke kamar kembarannya itu.

Walau Alka bisa mencapai lampu di langit-langit kamar dengan menggunakan tangga lipat, sepertinya dia mempunyai fobia pada ketinggian, terlihat dari betapa canggungnya dia mendongakkan kepala dan sepasang kakinya yang gemetaran hebat.

"Alka, would you like me to change the bulb?" tanya Hara, tiba-tiba merasa prihatin tetapi siapa sangka suaranya justru mengagetkan Alka di atas sana. Untung saja rasa kagetnya tidak membuat cowok itu kehilangan keseimbangan. Sebaliknya dia gemetaran hebat di atas ketinggian, mirip anak kucing yang terjebak di pohon.

"Ya ampun, lo ngagetin gue aja!" seru Alka, tetapi dia terlihat lega atas penawaran Hara. "Eh iya untung lo udah balik, Ga! Dari tadi gue juga nungguin lo nih belum balik-balik. Biasanya kan lo yang bantuin kita gantiin lampunya."

"Kenapa nggak nyuruh yang lain?" tanya Hara, tetapi dia membantu Alka menahan sisi tangga sementara cowok itu turun dengan super hati-hati.

"Fiuhhh... gue takut banget di atas tadi--eh sori, lo nanya apa? Oh, suruh yang lain? Vico lagi makan, Galang lagi masak, trus Owen sibuk nungguin lo di bawah. Lagian dia juga sama fobianya sama gue jadi daripada makin ribet, gue berusaha sendiri deh. Soalnya menurut gue, gimanapun gue benci sama ketinggian, gue nggak bisa terus-terusan bergantung sama orang lain, kan? Karena kita nggak selamanya bisa bareng terus."

Hara mau tidak mau teringat tentang memori dan kesedihannya tadi, kemudian secara otomatis menghubungkannya. "Lo bener. Pertemuan sepaket sama perpisahan, kan?"

Alka mengangguk. "Tapi karena lo udah pulang dan lo udah menawarkan diri buat nolongin gue, gue rasa gue nggak punya pilihan. Ya kan?"

Hara berpura-pura mendengus kesal tetapi seperti yang sudah-sudah, cewek itu melakukan hal di luar keinginan seakan menentang perintah dari otaknya, padahal bisa dibilang mood-nya masih terombang-ambing.

Hara memanjat tangga lipat tersebut sementara Alka menahan sisi tangga dengan waspada seakan ikut merasakan sedang berada di ketinggian dan mulai ketakutan karenanya. "Hati-hati ya, Ga."

"Gue udah biasa manjat pohon waktu kecil, Al. Lo nggak usah takut begitu," kata Hara menenangkan sebelum melemparkan senyumnya pada Alka.

Hara turun dengan lancar setelah selesai menukar lampu. Lantas, Alka menekan saklar di dekat pintu untuk mengecek.

"Akhirnya lampunya udah diganti. Thanks ya, Ga," ucap Alka bersungguh-sungguh hingga memunculkan senyum manisnya, membuat Hara ikut tersenyum.

Tepat pada saat itu, Owen serta Galang dan Vico kompak mendekati Hara dan Alka di kamarnya.

"Eh, lampunya udah ganti ya?" tanya Galang pada Alka. "Gue pikir gue bisa bantuin lo setelah free."

"Ada Gara, Lang. Kalo ada Gara, semua beres deh," puji Alka sembari merangkul sekeliling bahu Hara dan menariknya mendekat. "Gue jadi makin respek sama lo, Ga. Apalagi lo ternyata lebih jenius dari gue. Ternyata gini ya rasanya punya teman yang pinternya saingan sama gue. Gue malah seneng."

"Eh udahan peluknya," protes Vico, bertepatan dengan niatan Owen yang hendak melerai pelukan Alka dengan Hara. "Tuh kan, lo jadi ikut-ikutan gue sekarang, jadi suka grepe-grepe Gara!"

"Ya ampun, Vico. Kalo itu konteksnya, gue jelas masih normal-lah."

"Gue juga masih normal!" sahut Vico tidak mau kalah dan lantas menarik Gara lepas, kemudian gantian merangkul cewek itu dengan lebih erat, mirip balon tinggal empat yang wajib dipegang erat-erat.

Semuanya menatap Vico datar dan Hara berusaha melepaskan dirinya tetapi sia-sia saja karena pelukan cowok itu terlalu erat. "Vico, lepasin!"

"Gue kekenyangan, Ga. Kali aja abis meluk lo, perut begah gue terasa lebih baik."

"Vico Anderson!"

"Kenapa sih seneng banget panggil nama lengkap gue? Gue tau nama gue sekeren itu tapi tetep aja--Arghhh!"

Lanjutannya terpaksa dihentikan karena Hara telah menyikut sudut dada Vico dengan kekuatan yang tidak main-main. Situasi ini lantas dilatarbelakangi tepuk tangan meriah dan tatapan takjub oleh Alka, Galang, dan Owen secara kompak.

"Gue udah peringatin lo sebelumnya," kata Hara setelah melengos kesal pada Vico yang menundukkan kepalanya saking kesakitan. "Lagian gue belum mandi, lo main peluk-peluk aja. Ck!"

"Nggak mandi pun tetep wangi, Ga. Gue suka," celetuk Vico, kembali nyengir dan membuntuti langkah Hara yang melangkah keluar pintu tetapi spontan melipat bibir saat cewek itu membanting pintu tepat di depan hidungnya.

Hara kembali ke kamar Gara. Seharusnya dia segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, tetapi dia malah berjongkok sembari memeluk lututnya.

Hara mengakui sifatnya telah berubah banyak daripada awal-awal, entah kenapa. Apakah ini dimulai sejak cewek itu menerima ketulusan teman-teman dekat Gara?

Hara tidak tahu. Yang jelas, dia merasa dia tidak bisa bersikap tidak peduli lagi pada empat temannya; Vico Anderson, Galang Dawala, Alka Orlando, bahkan Owen Putra Nugroho.

Ya, meski Owen terhubung erat dengan lukanya, Hara tidak bisa lagi merasakan kebencian itu.

Meski itu juga berarti, Hara tidak bisa melanjutkan hubungannya lebih jauh seperti yang diinginkan Owen.

"'Gue suka lo'. Gue tunggu kata-kata itu."

Mungkin tiga kata itu akan menjadi penyesalan karena gue nggak bisa mengucapkannya sampai di detik terakhir kita berpisah.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top