33). That Secret
Biasanya dalam drama atau film yang sering kita tonton, akan ada saatnya di mana salah satu pemeran mendapatkan petunjuk untuk mengetahui esensi dari plot cerita.
Contoh yang lumrah terjadi adalah rahasia. Itulah sebabnya mengapa rahasia bersifat sementara karena akan ada waktunya terungkap ke dunia, terlebih saat ada orang lain yang mengetahuinya.
Penyebabnya adalah komunikasi yang dicampuradukkan dengan persepsi. Pesan yang kita dapatkan tentu memberi kesan yang berbeda, terlepas dari seberapa pentingnya rahasia tersebut. Lantas, komunikasi inilah yang menjadi titik temu terbongkarnya rahasia karena persepsi sering membuat kita mengubah hal yang seharusnya adalah rahasia menjadi hal yang tidak lagi penting untuk dipertahankan.
Contoh lainnya adalah takdir atau jalan cerita yang diputuskan oleh penulis di mana akan ada masanya salah satu pemeran atau lebih mengalami sebuah kejadian seakan telah diatur oleh semesta.
Petunjuk-petunjuk inilah menjadi tujuan penulis skenario atau cerita untuk memenuhi bagian klimaks yang mana diperlukan agar menjadi layak untuk ditonton.
Dan Hara merasakan dua petunjuk itu dalam kehidupan nyatanya sekarang.
Hara mungkin saja tidak akan pernah tahu tentang eksistensi kebenaran lain jika saja dia tidak dipertemukan kembali dengan Pak Lukas. Saat itu, Hara sedang dalam perjalanan pulang mengingat hari sudah mulai gelap dan juga cewek itu sedari awal mengunjungi kembarannya hanya untuk menanyakan perihal tentang Kimmy.
Hara berjalan santai, tatapannya berfokus pada langkah kakinya sendiri hingga ada sepasang sepatu yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi karena dia mendengar namanya dipanggil.
"Hara Arganta! Itu kamu, kan?" tanya sumber suara yang bernada cukup tinggi untuk suara pria.
Yang dipanggil segera mengangkat kepala dan tatapannya langsung bertemu dengan sepasang mata milik Pak Lukas. Hara mengenalnya, tentu saja. Padahal sudah selang 8 tahun mereka tidak bertemu.
Umur Pak Lukas tidak jauh beda dengan Paman Ariga, meski setelan jas yang dikenakan mantan satpamnya itu malah membuatnya lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.
"Pak Lukas," panggil Hara, lalu mengulurkan tangan kanan untuk menjabat tangan milik Pak Lukas.
Pak Lukas tersenyum lebar. "Kamu masih ingat saya rupanya. Kamu udah sehat, kan? Waktu itu saya udah ketemu kamu cuman kamu lagi demam dan saya yang bantuin Owen hubungin dokter keluarga Nugroho."
"Iya, seperti yang Bapak liat. Saya udah sembuh, bahkan sempat jenguk Gara tadi. Hmm... Bapak lagi sibuk, nggak? Kalo sibuk, duluan aja. Saya juga udah mau pulang."
"Saya antar, ya? Kebetulan saya juga udah selesai sama urusan di sini. Sekalian saya agak lapar nih, temani saya makan malam ya? Kamu juga belum makan, kan?"
"Oh, nggak usah repot-repot, Pak. Makasih banyak."
"Jangan gitu, Ra. Bisa dibilang berkat kamu, saya bisa jadi asisten pribadi kakeknya Nugroho dalam waktu yang lama. Bahkan saya juga yang selama ini siap siaga untuk semua urusan keluarga kamu meski kamu nggak mungkin tau karena kamu kan di Bandung waktu itu."
Seharusnya, perkataan Pak Lukas bukan sesuatu yang bermakna ambigu, tetapi Hara tiba-tiba mengingat kembali penjelasan Gara tentang kebaikan kakek Owen, yang membuatnya mau tidak mau merasakan adanya suatu kejanggalan. Juga, saat mendengar bagaimana Pak Lukas menjelaskan tentang seberapa pentingnya keterlibatan pria itu dalam keluarganya, segera memancing segudang pertanyaan dalam benak cewek itu.
"Hmm... gitu ya. Oke deh kalo kesannya Bapak maksa. Saya juga nggak bisa nolak, kan?"
"Nah gitu dong, Hara," ucap Pak Lukas bersungguh-sungguh. "Tunggu di sini, ya? Saya ambil mobil dulu."
Tiga puluh menit kemudian mereka telah sampai di restoran yang Hara yakin levelnya adalah bintang lima dan mereka sudah menempati salah satu meja yang nyaman karena sofanya yang empuk. Di atas meja telah disediakan berbagai macam menu yang dipesan secara khusus oleh Pak Lukas dan pria itu menatap Hara dengan bangga.
"Ini murni pake gaji saya kok, jadi jangan merasa sungkan ya. Makan yang banyak, Hara. Kamu baru sembuh."
"Saya udah lama sembuhnya, Pak. Setengah bulan yang lalu," jawab Hara datar, tetapi cewek itu tersenyum kecil ketika mengambil sendoknya, bersiap untuk makan. "Selamat makan, Pak. Terima kasih atas hidangannya."
"Ahhh... Bapak senang bisa ketemu sama kamu lagi, Hara. Bisa dibilang kamu anak terpintar dan terbaik yang pernah saya temui. Moga aja ya anak Bapak nantinya setipe kayak kamu."
"Bapak udah menikah?" tanya Hara setelah menghabiskan isi makanan di dalam mulutnya.
"Udah," jawab Pak Lukas riang. "Pamanmu belum menikah, kan?"
"Kok Bapak bisa kenal paman saya? Apa urusan Bapak di keluarga saya sedalam itu sampai tau paman saya?"
Pak Lukas tidak segera menjawab. Sama seperti Hara yang menyantap makanannya dengan sopan, pria itu juga menghabiskan isi makanan dalam mulutnya terlebih dahulu. "Iya, dong. Peran saya kan cukup penting. Ibaratnya tuh saking pentingnya jadi berasa sedang menjalani misi yang top secret."
"Ahhh... saya tau. Ramalan itu juga, kan?" pancing Hara. "Bapak tau tentang itu juga, kan?"
Pak Lukas mengangguk semangat, tetapi berujar sedih pada detik berikutnya. "Iya, saya sebenarnya bener-bener simpatik sama nasib keluarga kalian, tapi di sisi lain saya merasa keluarga kalian juga beruntung karena didukung penuh sama keluarga Nugroho. Pak Nugroho benar-benar peduli sama kalian saking merasa bersalahnya sama ramalan itu."
"Merasa bersalah? Tapi, semuanya udah terjadi, kan? Nggak bisa kembali lagi walau bagaimanapun caranya karena waktu nggak punya fitur tombol back kayak di ponsel."
"Kamu bijak sekali, Hara. Eh apa itu berarti kamu udah tau kebenaran yang sebenarnya? Owen udah cerita ke kamu, ya? Wahhh... ternyata perkembangan kalian sedekat itu, ya. Nggak salah saya ajarin dia suapin obat ke kamu pake cara begitu. Owen memang sesuka itu sih sama kamu. Dari dulu. Bahkan setelah dia tau rahasia itu, dia makin protektif banget sama kamu. Bapak aja bisa merasakan itu semua."
"Bapak cerita lagi ke saya dong semuanya dari awal. Saya mau denger," kata Hara dengan nada seakan tidak merasakan efek apa pun, padahal dia merasakan ledakan dalam ulu hatinya.
Firasatnya mengatakan kalau ledakan tersebut akan berdampak buruk padanya, tetapi rasa penasaran itu jauh lebih besar sekarang.
"Bukannya kamu udah tau?" tanya Pak Lukas. "Saran saya sebaiknya jangan pikirin lagi ya, Hara. Walau bagaimanapun, Pak Nugroho sesayang itu sama kalian. Beliau benar-benar menyesal, tetapi sama seperti yang kamu bilang tadi, merasa bersalah aja nggak akan bisa mengembalikan waktu kan? Jadi beliau berusaha semampunya untuk menebus kesalahan 8 tahun silam meski orang tua kamu juga udah tau yang sebenarnya."
Jemari Hara bergetar tanpa bisa dicegah saat itu, tetapi dia merasa situasinya tidak akan kentara karena kedua tangannya sedari tadi berada di bawah meja, tepatnya di atas gundukan kakinya yang ikut gemetar.
"Hmm... hanya Gara yang belum tau kalo gitu kan, Pak?" tanya Hara pelan, menyerupai bisikan yang untungnya masih bisa didengar oleh Pak Lukas dan secara tidak terduga dia tidak sepeka itu untuk tahu perubahan ekspresi darinya.
"Iya, seharusnya kamu dan Gara yang belum tahu makanya saya takjub waktu sadar ternyata kamu udah tau kebenarannya lebih awal," jawab Pak Lukas tanpa sekali pun curiga. "Alasannya karena kalian masih sama-sama terluka meski dalam situasi yang berbeda; Gara masih perlu recover dari kecelakaan dan kamu masih mengalami luka batin karena ramalan itu. Bapak tau semua perkembangan kamu, makanya Bapak senang ternyata Owen mengambil peran yang besar dalam mengobati luka kamu.
"Rencananya kebenaran itu akan diungkap tepat Owen berumur 18 tahun. Nggak lama lagi, Ra. Bertepatan Gara keluar dari rumah sakit dan kamu bisa tetap sekolah di SMA Berdikari. Gara pasti udah cerita, kan? Nah jadi rencananya tepat setelah Owen ulang tahun, kamu dan Gara akan mendengar semuanya. Tidak terkecuali dan tidak akan ada yang terlewatkan, karena sedari awal ramalan itu ditujukan buat Owen dan keluarganya, jadi dia harus memenuhinya sampai dia tepat berumur 18 tahun. Ahhh... Bapak sendiri nggak menyangka di zaman modern ini masih aja ada yang percaya sama ramalan dan ternyata Pak Nugroho salah satunya padahal punya harta bejibun ya," lanjut Pak Lukas, sama sekali tidak tahu kalau Hara sudah merosot dari duduknya di sofa dan mungkin saja dia akan jatuh jika tangannya tidak menahan sisi meja dengan kedua tangannya yang sudah bertengger di sana sejak mendengar kelanjutan dari pria itu.
"Jadi... jadi... ramalannya sedari awal ditujukan buat Owen dan orang tuanya?" tanya Hara yang lagi-lagi menyerupai bisikan seolah-olah bermonolog.
"Kamu nggak apa-apa, Ra? Kok jadi pucat? Makanannya dihabisin ya, saya pesan banyak khusus buat kamu," kata Pak Lukas riang. Jelas pria itu tidak mendengar pertanyaan terakhir Hara.
"Kalo gitu, urusan yang selama ini Bapak kerjakan, apa termasuk dukungan materiil pada keluarga saya, termasuk Paman Ariga?" tanya Hara, berusaha seoptimal mungkin untuk tidak menunjukkan kelemahannya.
Tidak, tidak untuk saat ini. Lo
harus tegar, Ra. Lo harus tau semuanya. Tanpa terkecuali.
Walau gue sangat sangat sangat berharap kalo apa yang gue denger malam ini adalah bagian dari lelucon.
"Bener, Hara. Dukungan materiil sejak awal bahkan setelah perusahaan Papa kalian bangkrut, meski ini juga ada campur tangan dari Pak Nugroho. Beliau terpaksa melakukannya supaya orang tua kamu bisa percaya kalo ramalan itu memang ditujukan buat mereka."
Hara menelan saliva dengan susah payah karena tenggorokannya seperti ditahan oleh sesuatu yang sangat menyakitinya hingga dia merasa sesak. Cewek itu bahkan bernapas menggunakan mulutnya sendiri sebagai usahanya untuk mempertahankan ketegaran yang berhasil dilakukannya dengan sangat baik karena sampai sekarang Pak Lukas tidak curiga padanya.
Atau mungkin tidak sepeka itu untuk merasakan kejanggalan karena Hara memang sepintar itu dalam memanipulasi Pak Lukas.
"Yang masih saya bingung," kata Hara akhirnya setelah jeda agak lama dan Pak Lukas telah menyuapi makanan ke dalam mulutnya beberapa kali. "Mengapa keluarga kami yang ditargetkan? Sespesial apa kami hingga layak mendapatkan anugerah itu?"
Nadanya jelas bermakna sarkastik tetapi seperti yang sudah-sudah, Pak Lukas tampaknya sepositif itu menanggapi segala respons dari Hara seakan cewek itu memang telah mengetahui semuanya dari awal.
"Karena keluarga kalian setulus itu, Hara. Hanya kalian yang mau peduli dan jelas ketulusan itu bukan jenis ketulusan yang bermakna mempunyai tujuan terselubung seperti memanfaatkan kekayaan Pak Nugroho, misalnya. Kamu dan Gara juga begitu dekat sama Owen, sedekat hubungan saudara."
Hara menyeringai, lebih tepatnya menertawakan diri sendiri hingga matanya berkaca-kaca tanpa bisa dicegah.
"Kamu kenapa, Ra? Ya ampun kamu kepedasan, ya? Maaf ya Bapak nggak tau kamu nggak bisa makan makanan pedas. Ganti yang ini aja ya, Ra?" kata Pak Lukas sembari mendorong piring berisi lauk lain ke hadapan Hara.
"Maaf ya, Pak. Saya mau pulang. Saya udah pesan taksi kok, Pak. Maaf ya buru-buru," ucap Hara dan dia segera meninggalkan restoran serta Pak Lukas yang memanggilnya, tetapi sia-sia saja karena cewek itu telah berlari.
Tidak peduli seberapa cepat Hara berlari, tangisnya tidak bisa secepat itu reda. Tidak peduli seberapa kuat Hara bertahan, mentalnya ternyata terlalu lemah untuk menerima semuanya itu. Dan tidak peduli seberapa frustasinya Hara untuk berusaha mengabaikan kebenaran itu, logikanya lantas mengalir begitu saja dari otaknya, membuat semua benang yang selama ini tersimpul erat kini telah terurai.
Hara jadi mengerti mengapa selama ini dia bisa hidup bersama Paman Ariga tanpa kekurangan materi. Dia jadi mengerti alasan dia bisa bersekolah di SMA bergengsi di Bandung dan bisa sebodoh itu untuk menerima kalau dia bisa masuk ke sekolah itu karena dia pintar, termasuk beasiswa tambahan yang didapatnya.
Hara juga jadi mengerti mengapa tidak lama setelah perusahaan papanya bangkrut, papanya bisa segampang itu mendapat pekerjaan yang lebih layak dan tentunya diatur ke posisi jabatan tinggi di salah satu anak perusahaan keluarga Nugroho.
Langkah Hara berhenti tepat di halaman ruko di mana Owen pernah menekuk kakinya untuk berbisik di siang hari kala itu. Napasnya tersengal-sengal karena berlari, tetapi itu sama sekali tidak menghambatnya untuk mengingat kembali memori layaknya film dokumenter yang diputar ulang.
"Stop being so stubborn, please? Setidaknya biarin gue gantiin kekosongan yang selama ini lo jalani sendirian, Ra. Walau kesannya udah terlambat, tapi gue tulus lakuin itu semua."
"Bagi semua luka-luka lo ke gue. Lo udah bertahan selama ini dengan semua luka yang ditorehkan ke elo tanpa alasan. Gue tau ini memang nggak adil buat lo dan karena itu gue merasa bersalah. Gue-lah yang harus disalahkan, Ra. Gue-lah yang menggantikan lo mendapat kebahagiaan tumbuh bersama Gara dan orang tua lo. Dan gue juga-lah yang merebut kebahagiaan lo. So please, allow me to heal your wound by myself."
"Thank you, Ra. Dan gue nggak bohong. Mereka memang sayang sama lo. Lo punya gue, Ra. Ketulusan gue akan tetap mengalir sampai kapan pun. Lo mau tau kenapa? Karena sejak awal mula kita ketemu, gue udah menganggap lo sebagai peruntungan gue. Just like a four-leaf clover, I found you by million three-leaf ones. It means that it's just you. You're my luck. Berkat lo, gue bisa memaknai arti keluarga yang sesungguhnya. Berkat lo, gue bisa mengerti apa itu kasih sayang, termasuk kasih sayang dari orang tua lo yang nggak akan pernah gue rasain. Berkat lo, gue bisa menjadi diri gue yang sekarang. Dan berkat lo juga, gue bisa rasain apa itu cinta."
Hara kembali ke kesadarannya sendiri, tetapi air matanya telah mengalir begitu deras hingga cewek itu menangis sesenggukan.
Gue tau lo tulus sama gue, Wen. Tapi setelah gue tau semuanya, gue nggak bisa menatap ke lo lagi sama seperti sebelumnya. Lo mau tau kenapa? Karena dimulai dari sekarang, setiap melihat lo, gue akan terus mengingat semua kebenaran itu.
Dan itu mungkin berlaku sampai kapan pun.
Hara sadar dia menyakiti diri sendiri hingga berjongkok, memeluk kakinya sendiri sementara tangisnya semakin keras, mengabaikan tatapan ingin tahu dari orang-orang yang menonton dari jauh.
Tangisannya turut disaksikan secara bisu oleh langit malam yang semakin pekat, meski setidaknya masih bertabur bintang.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top