30). Smile in Silence

"Dok, jadi temen saya udah sembuh total kan?" tanya Owen pada dokter pribadinya sementara perawat melepas jarum infus dari tangan Hara. Cewek itu masih terlelap dan sebenarnya Owen juga masih mengantuk, hanya saja dia ingat kalau pagi ini dia harus menyambut kunjungan dokter dan infusnya juga harus segera dilepas.

Dokter keluarga Nugroho melepas stetoskop setelah memeriksa Hara sekilas dan beliau menurunkan kacamata sedikit untuk memperhatikan Owen lebih intens. "Tentu saja. Daya tahan pasien ini bagus sekali, bahkan dari semalam saya yakin staminanya sudah optimal."

Owen mau tidak mau diingatkan kembali insiden semalam dan wajahnya secara alamiah memerah lagi. Untung saja dokter tersebut sudah lanjut usia dan tidak sepeka itu untuk tahu kalau Owen sedang malu-malu. "Baiklah, kalo begitu saya pamit ya. Obat yang saya resepkan kemarin sudah boleh dihentikan kecuali vitaminnya. Itu pun kalau masih mau dikonsumsi."

"Baik, Dok. Terima kasih ya."

Sepeninggal dokter dan perawat, Owen sebenarnya baru saja mau berbaring kembali untuk melanjutkan mimpi, tetapi sayang harus ditunda karena ponselnya berdering.

Ternyata dari Galang, tetapi panggilan tersebut sempat membuat pemilik telepon gagal paham karena jenis panggilannya adalah panggilan video.

Owen memutuskan untuk keluar dari kamar karena khawatir suaranya akan mengganggu tidur Hara. Cowok itu menggeser layarnya, lantas ekspresinya otomatis berubah datar ketika melihat wajah yang muncul.

"Ini hp-nya Galang, kan?" tanya Owen sementara Vico memajukan wajahnya ke layar terlalu dekat seperti sedang memeriksa sesuatu.

"Gara mana?" tanya Vico. "Dia baik-baik aja, kan?"

"Masih tidur," jawab Owen singkat. "Galang mana?"

Dari kejauhan Owen mendengar suara lirih Galang yang mengomel pada Vico. "Udahan belum? Itu ponsel punya gue, bukan punya lo. Kalo mau telpon Owen, pake hp lo sendiri dong!"

"Iya-iya, pelit banget sih!" sungut Vico. "Gue cemas sama keadaan Gara. Jadi pengen cepet-cepet pulang."

"Bukan cuma lo doang yang cemas, gue juga kali. Ah udah deh, sana kemasin barang-barang lo sendiri! Gue sama Alka udah selesai dari tadi, tapi lo lelet banget! Kita tinggalin baru tau rasa!" omel Galang sebelum ponsel yang sempat diperebutkan akhirnya kembali ke pemiliknya, mengabaikan balasan Vico yang kini teredam karena suara Galang lebih keras. "Wen, gimana keadaan di sana?"

"Baik, Lang. Seperti saran lo kemarin, gue minta bantuan sama dokter keluarga gue. Kalian udah mau pulang?"

"Iya. Mungkin nyampenya pas siang nanti. Lo sama Gara mau dibeliin apa, nggak? Nanti sebelum pulang gue mampir beliin makan siang. Bahan makanan di kulkas udah kosong soalnya. Gara udah sembuh, kan?"

Di hadapan Vico dan Alka, Galang tentu saja tidak mau menerima resiko jika memanggil nama Hara.

"Iya, udah sembuh total," jawab Owen, berusaha menetralkan ekspresinya tetapi untuk tipe cowok seperti Galang, dia tentu peka dengan hal sekecil ini. Cowok itu lantas tersenyum manis yang sarat akan tatapan menggoda.

"Oh, kayaknya ada yang berbeda ya dari ekspresi lo. Gue nggak salah liat, kan?"

"Kenapa emang?" terdengar suara Vico dari kejauhan, yang dibalas tatapan sinis oleh Galang.

"Nggak usah kepo!"

"Ck! Galak amat sih! Kenapa lo jadi terdengar kayak Gara, sih?"

"Vico! Cepetan beresin barang-barang lo! Bentar lagi kita harus pulang nih!" terdengar suara Alka di baliknya, membuat Galang mengembuskan napasnya lega karena Alka mau membantunya menghadapi Vico yang sifat kekanakannya semakin menjadi-jadi. "Wen, jadi gimana? Mau gue beliin sesuatu nggak dalam perjalanan pulang?"

"Nggak usah, Lang. Nanti gue beli yang di dekat sini aja. Oke? Lo sama yang lain hati-hati di jalan aja, ya."

"Oke deh kalo gitu. See you later," kata Galang sambil melambaikan sebelah tangannya yang dibalas oleh Owen.

"See you."

Owen kembali ke kamar dan hendak melanjutkan tidurnya yang sempat terhalangi, tetapi dia baru sadar kalau Hara ternyata sudah bangun.

Hara sebenarnya sudah sehat, hanya saja kesadarannya belum kembali setengah berhubung dia baru bangun tidur sehingga langkahnya sedikit sempoyongan.

Owen segera berlari menyusul Hara dan menarik tangannya. "Lo mau ke mana?"

"Haus," jawab Hara singkat. "Lo lanjut aja, gue bisa sendiri."

"Nggak. Gue yang ambilin," kata Owen ngotot dan dia mendapat ringisan gemes dari Hara sebagai gantinya.

"Gue udah sembuh, Wen."

"Kenapa sih lo nggak mau andalin gue? Meski lo baru sembuh, tapi lo kan punya gue di sini."

Hara memutar bola matanya dengan jengah. Kata-kata Owen dan juga kekeraskepalaan-nya lantas mengembalikan kesadarannya secara utuh begitu saja.

"Whatever. Itu mau lo. Gue ke toilet aja kalo gitu."

"Mau gue temani nggak?" tanya Owen dengan nada iseng dan segera mendapat hadiah pukulan di kepala, membuat cowok itu meringis.


*****


"Ra, udah laper belum? Gue beliin makanan ya?" tanya Owen pada Hara yang baru saja selesai mandi dan tengah mengeringkan rambutnya seperti biasa dengan handuk kecil. "Tapi bisanya beli di dekat sini soalnya lo bakal sendirian di rumah, jadi gue nggak boleh lama-lama."

Hara refleks menghirup banyak-banyak oksigen demi kepentingan kesabaran yang entah sudah keberapa kalinya. Menghadapi Owen dengan kepolosan yang tidak main-main jelas menguji kesabaran.

"Lo hidup di zaman apa sih, Wen?" tanya Hara dengan nada seakan Owen tidak kunjung mengerti perkalian dasar.

"Hmm... zaman modern?" jawab Owen, nadanya terdengar sangat ragu.

"Nah, bener. Trus?"

"Hmm gue nggak ngerti," jawab Owen terus terang dan innocent.

"Ck! Lo nggak pernah pesan makanan via online, githuuu?" tanya Hara lagi dengan geregetan parah hingga sengaja mengulur-ulur kata terakhirnya.

"Oh iya ya," jawab Owen dengan ekspresi seakan baru sadar, tetapi harus kembali innocent pada detik berikutnya. "Tapi gue nggak tau caranya."

"Lo nggak lagi bercanda, kan?" tanya Hara dengan tatapan tidak percaya. Lantas, tatapan tersebut berubah menjadi datar saat mengingat secuil kenangan. "Oh, I can relate. Lo bahkan pernah terkunci di toilet hanya karena nggak tau gimana buka pintunya. Gue paham sekarang."

"Apa hubungannya?" tanya Owen tidak terima.

"Oh, nggak usah debat deh. Oke, sama seperti gue bayar jasa lo semalam karena udah ngerawat gue sampai sembuh, gue akan temani lo. Kita makan di sana sekalian aja, oke? Gue ambil jaket dulu."

"Kenapa omongan lo ambigu banget sih?" bisik Owen, tetapi untungnya Hara tidak mendengar karena dia fokus mencari jaketnya.

"Eh, itu jaket gue," celetuk Owen senang karena Hara menggunakan bomber berwarna biru dongker yang pernah difungsikan menjadi selimutnya di tenda. "Jadi berasa pacaran aja. Muehehehe...."

"Dilarang baper, nanti lo yang sakit hati."

"Ya makanya bales perasaan gue dong," pinta Owen dengan manja, tetapi sukses dibuat kicep saat melihat tatapan Hara yang tidak ada bedanya dengan tatapan mata elang yang membidik mangsa.

Keduanya lantas berjalan bersama setelah Owen mengunci pintu rumah. Mereka serempak mengernyit ketika terkena sinar matahari yang menyengat dan secara refleks lebih memilih berjalan di tepian yang masih terlindung naungan tanaman tinggi.

Hingga ketika mereka telah sampai di ujung jalan untuk menyeberang, Owen segera menarik tangan Hara untuk menuntunnya, tetapi tautan di tersebut tidak lepas meski mereka telah sampai di seberangnya dengan aman.

Hara mau tidak mau mengingat tingkah minus akhlak Vico yang tanpa merasa malu untuk menunjukkan ketertarikan pada sesama jenis.

Apakah Owen juga harus seperti itu?

"Wen, mau pegang tangan gue sampai kapan?"

"Hah?" tanya Owen yang entah berpura-pura gagal paham atau memang sepolos itu, tetapi yang jelas dia mendorong pundak Hara dengan lembut ke sisi kiri, sengaja mengatur agar cewek itu aman dari kendaraan yang berlalu lalang.

Oke, fix. Sepertinya Owen sangat tahu bagaimana memperlakukan cewek secara gentle. Hara mengakuinya.

Hara mengangkat tangannya yang masih digenggam oleh Owen, membuat cowok itu mengerti apa maksudnya.

"Oh. Cuma pegangan tangan aja kan?"

"Heh—–"

"Seharusnya gue yang kesal. Waktu di tenda, gue liat lo pegangan tangan sama Vico sambil jalan."

"Heh, itu Vico yang—–"

"Kalo gitu seharusnya gue yang lebih berhak pegang tangan lo daripada dia dong. Gue lebih deket sama lo, sejak SD lagi."

Hara berhenti secara mendadak, diikuti oleh Owen mengingat kedua tangan mereka yang masih terpaut.

"Nggak lucu kalo lo cemburu hanya karena ini, Wen."

"Kalo iya, kenapa? Lo jelas tau sendiri gimana perasaan gue."

"Justru itu yang membedakan lo sama Vico."

"Maksudnya?"

Hara menggeram frustasi, memutuskan untuk melanjutkan langkahnya lagi alih-alih menjelaskan, tetapi untungnya dia tidak bersikeras untuk melepaskan tangannya.

Owen yang semula berada di belakang Hara karena berjalan duluan, segera mempercepat langkah untuk menghadang Hara di depan. Kebetulan mereka berada di bawah naungan kanopi ruko yang lebar sehingga bisa terlindung dari paparan sinar matahari.

"Jelasin ke gue," pinta Owen dan sepertinya dia salah sangka karena ekspresinya terlihat sedih. "Jadi gue nggak boleh tapi Vico boleh?"

"Ck! Lo lamban banget sih kalo mikir! Soal Vico, lebih tepatnya gue nggak punya pilihan."

"Ya berarti bener dong kan, gue nggak boleh tapi Vico boleh?" tanya Owen dengan nada bicara yang refleks dinaikkan satu oktaf, membuat Hara mendengus tawa konyol. "Dia boleh tunjukin kemesraannya sama lo tapi gue nggak boleh?"

"Owen—–"

"Dia belum tau lo cewek. Atau apa jangan-jangan lo malah berharap dia tau kalo lo cewek? Jadi kalian—–Arggggghhhh!!"

Perkataan Owen terpaksa harus berhenti karena tulang keringnya menjadi sasaran sebagai pelampiasan kekesalan Hara.

"Kenapa sih lo masih nggak ngerti juga?" tanya Hara dengan emosi memuncak, mengundang tatapan ingin tahu dari pejalan kaki lain.

"Ya makanya jelasin! Gimana gue bisa tau kalo—–"

"Justru itu! Vico bukan siapa-siapanya gue makanya gue nggak ngerasa ada feel apa kalo dia pegang tangan gue! Beda sama lo! Arrrgghhhh! Bisa gila lama-lama hadapin kalian berdua! Yang satu suka pegang-pegang, yang satunya lagi suka nuntut penjelasan sampai kesabaran gue hilang!"

Kalo sama Vico nggak ada feel? Berarti kalo sama gue....

Senyum Owen lantas terbit lagi tetapi saat dia sadar, Hara telah berjalan duluan dan tautan tangan di antara mereka telah lepas.

Owen segera menyusul, berjalan tepat di sebelahnya, dan tersenyum begitu lebar hingga menunjukkan lengkungan matanya meski cewek itu lebih tertarik pada pemandangan di depannya.

"Ra, gue akan sabar menanti tiga kata itu," kata Owen, sepertinya dia akan bertahan dengan senyuman lebarnya dalam waktu yang cukup lama.

"Tiga kata apa?" tanya Hara berpura-pura polos, padahal dia sengaja melakukannya.

"'Gue suka lo'," bisik Owen ke telinga Hara setelah sebelumnya menekuk kakinya sedikit agar bibirnya bisa disejajarkan ke telinga milik cewek itu. "Gue tunggu kata-kata itu."

Hara refleks melipat bibir, hati kecilnya menghasut dirinya untuk mengakui apa yang ingin didengar Owen tetapi sayangnya rasa gengsinya masih sebesar itu. Mungkin saja berkat karakter tsundere-nya yang masih melekat dalam dirinya. Alih-alih demikian, cewek itu menoyor kepala Owen dan berjalan mendahuluinya lagi, mengabaikan seru protes tetapi lagi-lagi Owen menjajarkan langkahnya diiringi lompatan riang, persis anak balita yang sesenang itu diajak jalan-jalan.

Gue mau bilang, tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat. Lagian lucu dong kalo kita pacarannya saat gue jadi Gara?

Owen mungkin tidak sadar kalau secara diam-diam, Hara juga ikut tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan giginya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top