27). Paintball Game

Awalnya Hara menduga kalau pelatihan kepemimpinan yang menjadi tradisi SMA Berdikari akan menyengsarakan murid-murid tahun terakhir demi pembentukan mental mereka, tetapi ternyata realitanya tidak semengerikan itu.

Menurut Hara, bisa jadi apa yang dikatakan salah satu instruktur benar adanya, bahwa waktu pelatihan di tahun ini lebih lama dibanding dua tahun sebelumnya, sehingga setidaknya agenda untuk beristirahat menjadi lebih banyak.

Setelah aktivitas sarapan yang mana termasuk bentuk pelayanan dari Agro Vila Harlambang, semua murid berkumpul kembali di lapangan terbuka dan berbaris rapi. Ada tumpukan seragam berwarna hijau lumut di hadapan mereka, yang dilengkapi dengan peralatan sejenis senapan di sebelahnya.

"Jangan bilang kita mau main tembak-tembakan?" bisik Vico yang berbaris di arah jam 10 dari sudut pandang Hara. "Bakal seru nih!"

"Oke, selamat pagi. Pagi ini seperti biasa kita akan melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum kita lanjut ke sesi permainan yang juga termasuk fasilitas dari vila," jelas instruktur yang berbeda dari dua instruktur lain yang membina mereka kemarin, meski awalnya Hara sempat mengira dia adalah orang yang sama karena penampilan mereka yang kurang lebih sama; berseragam lengkap dengan rambut yang sama-sama irit (karena dicukur habis). Yang membedakan mereka satu-satunya mungkin dari segi suara. "Permainan ini dipastikan bakal seru, jadi kalo kalian mau diberi waktu untuk main lebih lama, kalian harus konsisten sama pemanasannya. Jangan ada yang malas-malasan, karena akan saya kasih tambahan hukuman bagi mereka yang keras kepala. Dan sesuai janji saya kemarin, pemenang lomba pita kuning diizinkan untuk istirahat lebih awal setengah jam nanti."

Instruktur tersebut kemudian membacakan beberapa nama yang memenangkan lomba dan rupanya nama Owen dan Galang masuk di antara deretan nama lainnya, termasuk pasangan Alka dan Maya juga, yang sekarang mengangkat sebelah tangan untuk saling tos tetapi segera bertukar ekspresi canggung setelah menyadari ternyata level kedekatan mereka telah berkembang pesat sejak malam kemarin.

"Sweet banget sih kalian. Jadi gemeshhh," bisik Vico geregetan dari depan mereka. Teknisnya, Alka dan Maya berbaris di barisan paling belakang persis seperti kemarin.

Maya masih gengsian dan balas menatap Vico dengan galak sementara Alka tidak malu-malu menunjukkan kadar bucinnya. Cowok itu tidak henti-hentinya tersenyum lebar layaknya orang kasmaran, bahkan dia menatap Pak Yunus dengan penuh kasih padahal dia telah bertekad untuk mendiamkan beliau hingga masa camping berakhir.

Ah, efek cinta ternyata memang bisa membuat suasana hati sebagus itu.

Hara bersyukur pemanasan kali ini tidak separah kemarin, jadi cewek itu merasa staminanya masih cukup untuk berpartisipasi dalam permainan yang disebutkan instruktur tersebut. Mereka semua memakai rompi, lengkap dengan senjata yang ternyata bukan senapan asli, melainkan sejenis marker (penanda) yang berisi 50 buah peluru berbahan dasar cat atau mungkin mirip pewarna makanan. Permainan ini jelas minim resiko, mengingat mereka tidak hanya mengenakan kostum yang tebal, tetapi juga diwajibkan mengenakan helm serta goggles khusus, dan juga pengaman pada siku serta lutut.

Hara jadi merasa seperti sedang bersiap terjun ke dalam perang di kehidupan nyata.

"Permainan ini namanya Paintball," jelas instruktur setelah mereka semua telah selesai mengenakan kostum dan senapan telah siap di tangan masing-masing. "Paintball lazim dimainkan dengan maksud untuk membangun teamwork, melatih strategi untuk mencapai tujuan bersama, dan mengarahkan anggota dalam mencapai sasaran. Cara mainnya gampang, karena sama seperti main perang-perangan, kalian harus menyerang lawan dengan senapan ini. Jadi jelas, peserta yang sudah kena tembakan langsung dinyatakan out. Reward buat pemenang yang bertahan akan saya izinkan istirahat lebih awal malam ini."

Berbeda dengan pengelompokan kemarin yang diatur secara berpasangan, kini mereka diatur dalam pembagian kelompok yang lebih besar, yang mana tiap kelas dibagi menjadi dua kelompok sehingga jika dijumlahkan akan menjadi empat tim.

Masing-masing tim diberi penanda dengan warna yang berbeda; merah, kuning, hijau, dan biru.

Bisa kalian tebak kan Hara sekelompok sama siapa saja?

Tentu saja mereka bertujuh--Hara, Owen, Vico, Galang, Kimmy, Alka, dan Maya--sekelompok. Warna tim mereka adalah merah.

Semuanya kemudian bergerak menuju lapangan terbuka lain, yang lebih mirip hutan jadi-jadian karena ada banyak pepohonan yang tumbuh di sana. Angin semilir segera menyambut dan memainkan anak rambut mereka selagi semuanya membentuk formasi menyebar dan bersembunyi untuk melindungi diri.

Sejujurnya Hara adalah tipe yang sangat kompetitif, hanya saja entah kenapa staminanya mendadak melemah dan dia segera menjatuhkan bokongnya di salah satu pohon untuk beristirahat.

Bisa berabe kan kalau dia sampai benar-benar drop?

Hara mau tidak mau jadi teringat momen 8 tahun lalu, ketika dia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya bersama Paman Ariga di Bandung.

Lebih tepatnya, ketika dia sudah sepeka itu untuk tahu kalau eksistensinya sebagai anak dari keluarga Arganta tidak dibutuhkan lagi atau kasarnya, dibuang.

Lantas selama tiga hari berturut-turut Hara mendapat serangan demam tinggi. Staminanya jelas drop karena dia bersikeras tidak mau makan, minum, bahkan tidur.

Kecuali menangis.

Semua jenis tangisan dilakukan oleh Hara dalam satu waktu; mulai dari nangis berkaca-kaca, menetes tanpa bersuara, sesenggukan, ingusan (karena kelamaan nangis sampai mata bengkak dan hidungnya mampet), hingga jejeritan.

Hara yang berusia 9 tahun waktu itu segera menyadari sesuatu hingga kenyataan tersebut menampar wajahnya dengan telak; tidak akan ada yang berubah sekuat apa pun dia menangis karena orangtuanya dan Gara tidak mungkin kembali.

Itulah sebabnya mengapa Hara sejak saat itu tidak pernah menangis lagi karena dia sudah mencapai satu titik di mana dia telah bertekad untuk tidak mengandalkan siapa pun. Tidak terkecuali.

Tidak akan ada yang bisa mengerti dirinya karena tidak ada siapa pun yang layak untuk mendekat.

Hara membuktikan tekadnya. Dengan sisa kekuatan yang ada, bisa dibilang cewek itu berhasil memotivasi diri sendiri dan itu menjadikannya pribadi yang jauh lebih mandiri dari sebelumnya hingga tidak ada yang bisa menandinginya.

Termasuk memberinya kekuatan hingga staminanya juga tidak pernah lengah. Hingga sekarang.

"Hara, lo kenapa duduk di sini?" tanya Owen, bertanya dengan nada khawatir karena melihat wajah Hara yang pucat. "Lo sakit?"

Hara menaikkan sudut bibir, merasa konyol karena mengingat memori masa lalunya dan Owen menanyakan pertanyaan yang herannya terkait dengan apa yang diingatnya barusan. Oleh sebab itu, nada bicara cewek itu terdengar sinis tanpa disengaja, "Gue nggak pernah sakit."

Owen merasakan kejanggalan pada nada bicara Hara, tetapi dia tidak berani menanyakan lebih lanjut karena dia juga menyadari sepertinya cewek itu tidak sedang berada dalam mood yang baik.

Lagi pula Owen yakin pada firasatnya kalau Hara tidak dalam keadaan yang fit benar, mungkin energinya terkuras banyak karena pelatihan ini.

Juga, Hara sepertinya tidak cukup tidur mengingat Owen sempat merasakan kalau tidurnya gelisah semalam, seperti bergerak tidak jelas dari satu posisi ke posisi lain.

"Ra, jangan paksain diri lo ya."

"Udah gue bilang, gue nggak pernah sakit," balas Hara, dengan nada yang lebih dingin dari seharusnya.

Owen terkesiap, tetapi itu tidak membutuhkan waktu yang lama untuk kembali ke ekspresinya yang biasa. Dia tersenyum dan berpikir untuk menjaga jarak meski dia tidak akan jauh.

Owen mulai khawatir pada Hara, terbukti dari tatapannya yang sering tertuju pada cewek itu berkali-kali.

Hara tentu saja tahu gelagat Owen dan mulai jengah karenanya. Oleh karena itu, dia bangkit dan melangkah tetapi dia terpaksa harus berhenti karena Owen menahan tangannya.

"Lo mau ke mana?"

"Bukan urusan lo," jawab Hara sinis, melepas belenggu pada tangannya dengan sekali sentakan.

"Lo lagi sakit, Ra. Kenapa sih lo nggak mau ngaku?"

"Lo sama sekali nggak ada hak untuk mengerti gue."

"Ra--"

"Plis jangan panggil gue nama itu," potong Hara, mendadak emosi. Bahkan nama itu membuatnya benci. "Nama itu milik keluarga Arganta. Gue seharusnya nggak pake nama itu."

Kali ini Owen tidak mengelak karena mendadak dia mengerti mengapa Hara bersikap demikian.

"Lo lagi drop, Ra. Itu sebabnya lo lagi sensitif. Gue juga pernah kayak--"

"Jangan samain gue sama lo. Setidaknya lo tumbuh besar bersama Gara. Lo punya temen."

"Oke, maafin gue. Gue nggak akan ngomong gitu lagi. Tapi plis, Ra. Jangan sakiti diri lo sendiri. Gue izin sama instruktur, ya? Lo harus istirahat."

"Nggak perlu lo ajarin juga gue memang mau nyerahin diri gue. Kalo abis ditembak, gue out kan? Jadi gue bisa istirahat."

"Beda, Ra. Yang kalah bukannya balik ke tenda, tapi mesti tunggu di bangku panjang. Tadi gue liat yang out pada nunggu di sana. Gue izin aja, ya?" tanya Owen sambil menarik tangan Hara lagi.

Hara ingin menarik tangannya lagi, tetapi kedatangan Galang membuat keduanya membeku sejenak.

"Kenapa, Wen?"

"Hara sakit," bisik Owen. "Gue mau izin sama instruktur biar Hara bisa istirahat."

"Lo kira instruktur itu bakal percaya?" sergah Galang tidak disangka-sangka, karena Owen sempat mengira kalau dia akan setuju dengan gagasannya. "Tadi ada beberapa teman kelas sebelah yang akhlaknya nggak kira-kira. Mereka gantian izin sama instruktur, pura-pura sakit. Jadi jangan deh, Wen. Gue punya firasat instruktur bakal ngerepotin kalian nanti. Mending kita buat Hara menang aja jadi biar dia bisa dikasih istirahat lebih awal nanti malem."

"Wah ide yang bagus," puji Owen dan dia mengalihkan atensinya ke arah Hara. "Lo sembunyi aja, ya? Gue bakal ngelindungin lo sampai lo menang nanti."

"Gue juga bakal bantu," timpal Galang, menghalangi Hara membuka mulut untuk menolak. "Jangan keras kepala, Hara. Ini solusi terbaik."

"Eh kalian lagi ngumpul di sini, ya?" tanya Vico ketika dia telah berada dalam jarak pandang di hadapan Owen dan Galang. "Peluru gue tinggal setengah tapi banyak banget yang out karena kehebatan gue. Akhirnya gue bisa main gim dalam versi nyata."

"Oke, bantu kita ngelindungin Gara, ya? Dia sakit, jadi kalo kita buat dia menang setidaknya dia bisa istirahat lebih awal," jelas Galang, bersiap dengan senapan, gayanya mendadak dramatis seakan sedang mengemban misi penting, tetapi pada detik kemudian gayanya gagal total. "Ah, sial. Pake kacamata ginian gue jadi nggak bisa ngolesin lipbalm gue!"

"Kalo lindungi Gara, gue bisa banget," respons Vico dengan dramatis yang lengkap dengan gayanya pada senapannya, tetapi seperti mengikuti jejak Galang, cowok itu juga gagal total pada detik berikutnya. "Ah... kenapa tadi gue lupa selfie dulu, ya? Kostum gue udah terlanjur kusut, nih!"

Tampaknya hanya Owen satu-satunya yang normal.

Ketiganya lantas berpencar, tetapi tidak ada yang berani terlalu jauh. Bisa dibilang mereka bertiga mempunyai kemampuan yang bagus dalam bertahan dan menembak, bahkan sebelum pihak lawan mengangkat senapan mereka.

Hara menduga ini berkat kelincahan mereka bermain gim tembak-tembakan dalam dunia online.

Hingga pada satu titik di mana peluru cat milik Vico habis dan dia terpaksa harus out dengan gaya yang cukup berlebihan hingga seakan dia sedang syuting salah satu adegan dalam drama.

"GALANG, AWASSS!" teriak Vico sekencang-kencangnya, lantas berlari secepat kilat untuk melindungi Galang dengan cara mengorbankan tubuhnya sendiri menghadap cowok itu.

Seakan ada peluru yang menembus punggungnya, mata Vico membelalak lebar ke bukaan maksimal hingga tangannya meremas bahu Galang dengan kuat.

Vico jelas memerankan dramanya dengan sangat baik. Dengan perlahan, dia menjatuhkan dirinya ke tanah dan mengatakan sesuatu dengan terbata-bata, "Ma-maafin g-gue."

Adegan tersebut diakhiri dengan memejamkan mata dengan penuh penghayatan, ngalah-ngalahin aktor muda yang sedang naik daun.

Hara, Owen, dan Galang menonton semua itu dengan tatapan super datar secara alamiah.

Bersambung


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top