25). That Warm Hug
Owen baru melepaskan cekalannya setelah dia dan Maya sampai di salah satu bangku taman yang tidak jauh dari tenda, kemudian meninggalkannya sebentar untuk mengambil obat P3K.
Maya sepertinya memilih untuk tidak bersuara, termasuk tidak mau menatap Owen setelah cowok itu kembali dengan membawa sebuah kotak segiempat. Cewek itu diam saja, membiarkan Owen berjongkok di hadapannya, mengambil sebelah kakinya, dan menyandarkannya di salah satu pahanya.
Maya mengembuskan dengusan konyol lagi, cukup keras hingga Owen memandangnya.
"Mei...."
"Gue lebih milih lo nolak gue dengan alasan yang layak, bukannya karena lo suka sama sesama jenis!" seru Maya, tiba-tiba ngegas tak terkendali. Dia menarik kembali kakinya sendiri dan membuang wajahnya ke arah lain, mengabaikan Owen yang menatapnya dengan perasaan bersalah. Lagi.
"Maaf, Mei."
"Hanya maaf? Lo nggak berniat jelasin?" tanya Maya yang masih saja galak. Sepintas dia terlihat seperti Hara yang suka marah-marah dan tanpa senyum.
"Untungnya kaki lo nggak apa-apa, hanya bengkak di jari kaki lo bagian jempol," kata Owen setelah jeda beberapa saat dan dia menarik kembali kaki Maya yang terluka ke atas pahanya lagi.
Owen bukannya tidak ingin menjelaskan, lebih tepatnya dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada Maya. Malahan cowok itu khawatir kalau dia akan sakit hati jika mendengarkan semua kebenarannya.
Kenyataannya, inti dari kebenaran yang Owen tutupi selama ini adalah tentang ketulusannya pada seorang Hara Arganta.
Owen mengambil salep dan mengoleskannya ke jempol kaki Maya yang bengkak dan segera mengipas bagian luka dengan sebelah tangannya yang bebas. Ekspresinya menunjukkan seolah-olah dia-lah yang merasakan luka tersebut.
"Owen," panggil Maya tiba-tiba, membuat yang dipanggil mendongakkan kepala ke arahnya. "Kalo dikonversikan dalam drama, gue pasti jadi peran antagonisnya, kan?"
"Mei--"
Maya tersenyum miring dan berusaha menunjukkan kalau dia sedang bercanda, tetapi sayangnya gagal hingga kesannya tampak menyedihkan. "Awalnya gue kira gue-lah pemeran utamanya. Gue suka sama cucu konglomerat keluarga Nugroho, wajahnya ganteng, sempurna, badannya tinggi trus hidungnya mancung. Walau nggak pintar-pintar amat di sekolah, tapi gue bisa melengkapi kekurangannya karena gue lebih pintar dari dia. Gue juga cantik, manis, visual gue sempurna, keluarga gue juga berasal dari golongan atas, sehingga gue sepede itu untuk bersanding sama dia.
"Saking pedenya hingga gue merasa gue-lah pemeran utamanya," lanjut Maya dengan tatapan terluka, menatap sepasang mata Owen intens setelah jeda cukup lama. "Tapi ekspektasi itu lantas hancur begitu aja waktu gue denger kebenaran yang sebenarnya."
"Maafin gue, Mei."
"Lantas, lo tau kan apa yang biasanya dilakukan sama pemeran antagonis?" tanya Maya dengan seringai di bibirnya. "Gue jadi mau tau apa reaksi lo kalo gue memainkan peran gue sebagai antagonis beneran."
"Maksud lo?" tanya Owen, sementara Maya balas menatapnya dengan tatapan menantang.
"Kalo gue ungkapin semuanya ke yang lain, menurut lo, apa yang bakal lo lakuin?"
"Lo nggak serius kan, Mei?" tanya Owen dengan tatapan tidak percaya pada Maya. "Lo lagi bercanda, kan?"
"Menurut lo, apa gue bisa bercanda sekarang setelah sakit hati gini? Ini semua gara-gara lo, Owen! Lo yang sengaja menyembunyikan kebenarannya! Bukankah yang namanya kebenaran akan terungkap suatu saat? Gue lebih dari bersedia buat ungkapin ke siapa aja, kalo perlu sekarang juga!"
Maya beranjak. Meski masih belum lancar berjalan gara-gara lukanya, dia nemaksakan diri tetapi segera ditahan oleh Owen.
"Maya Florensia!"
"Apa gue harus lakuin ini buat dapetin perhatian dari lo?" tanya Maya sarkastik dan seringai masih saja nangkring di bibirnya. "Ahhh... gue tiba-tiba dapet ide. Gimana kalo lo pacaran sama gue supaya gue bisa tutup mulut? Ada harga yang harus dibayar, kan? Karena nggak ada yang gratis di dunia ini, termasuk cinta. Nggak ada yang namanya cinta tak bersyarat. Itu bullshit, Owen! Dan gue nggak mau sok munafik karenanya!"
"MAYA!" teriak Owen, mulai terpengaruh dengan emosinya sendiri. "Stop it! Ini jelas bukan kepribadian lo yang sebenarnya! Gue udah bilang kalo cinta nggak bisa dipaksain, sama seperti Alka yang nggak bisa paksain perasaan lo, kan?"
"Kenapa bawa-bawa nama Alka? Lo nggak berhak jadiin dia sebagai tameng buat ngelindungi lo!"
"Trus gue harus apa biar lo mau berhenti keras kepala? Pacaran sama lo? Lo pikir gue akan jatuh cinta sama lo? Nggak, Mei!" seru Owen, mengabaikan tatapan tidak percaya dari Maya sekarang. "Mau tau kenapa? Karena sedari awal yang gue sukai itu Hara, bahkan sedari SD gue udah suka sama dia. Waktu gue pisah dari dia, gue jadi terbiasa menganggap Gara sebagai Hara. Itulah sebabnya mengapa semua orang mengira gue gay. Tapi gue nggak peduli karena cukup gue yang tau perasaan gue sendiri."
Lapisan bening yang sejak awal berusaha ditahan oleh Maya, pada akhirnya berhasil mengalir tanpa bisa dicegah. Cewek itu seharusnya sudah tahu yang sebenarnya dari penuturan Galang di belakang tenda tadi, tetapi rasa nyeri yang dirasakannya semakin nyata saat mendengar langsung dari Owen.
"Kalo gue tetap mau ungkapin siapa Hara yang sebenarnya, apa yang bakal lo lakuin?" bisik Maya, terdengar terlalu pelan hingga terkesan seperti ingin menantang dirinya sendiri bagaimana efek yang akan dia rasakan jika tetap memaksakan keinginannya.
"Gue bakal benci sama lo," jawab Owen dingin, untuk pertama kalinya. "Gue nggak bakal maafin lo kalo lo bocorin rahasianya."
"Ternyata sesuka itu ya lo sama dia," respons Maya dengan tawa getir, tetapi air mata terus menetes ke pipi hingga hidungnya memerah dan matanya bengkak. Cewek itu tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengubah tangisnya menjadi sesenggukan. "Dan bodohnya gue lebih takut sama ancaman lo daripada mengikuti ego gue sendiri."
Maya melepas cekalan tangan Owen, segera membuang wajah setelah mengusap kasar jejak air mata di kedua pipinya. "Leave me alone, Owen."
"Maya...."
"Nggak lucu kan kalo gue harus kembali ke tenda dengan wajah hancur gini?" tanya Maya, memaksakan tawanya. "Tenang aja, meski gue sangat ingin memerankan peran antagonis, tapi kayaknya gue nggak bakal bisa. Hati gue masih suci, nggak layak dinodai sama dosa.
"Tinggalin gue sendiri, Owen. Oke?" lanjut Maya dengan nada tegas saat Owen masih ragu untuk meninggalkan dia sendiri.
"Oke kalo gitu," jawab Owen akhirnya setelah mendapatkan ide lain dalam otaknya. Cowok itu kemudian meninggalkan area taman dan kembali ke tendanya sendiri dengan langkah lebarnya.
Owen segera menemukan sosok Alka dan menepuk bahunya yang sekarang sedang mengatur kantong tidur di dalam tenda.
Yang ditepuk segera menoleh dan sesuai dugaan Owen, cowok itu segera mencercanya dengan banyak pertanyaan.
"Gimana keadaan Maya? Loh kok dia nggak bareng lo? Di mana dia sekarang? Kakinya baik-baik aja kan?"
"Bantuin gue hibur Maya, ya?" pinta Owen dengan nada lelah. "Dia di bangku taman dekat sini, sori gue nggak bisa cerita ke lo tapi yang paling penting sekarang gue harap lo mau hibur Mei."
"My pleasure, because her happiness is my priority," jawab Alka dengan pancaran mata yang bahagia.
"Nah bener kan apa kata gue?" tanya Galang yang tiba-tiba muncul dari belakang Owen. "Akan tiba saatnya lo yang mengobati luka Maya dengan cara lo sendiri. Good luck, Bro."
*****
Maya masih duduk di bangku taman dengan posisi menundukkan punggung dan menumpu kedua siku untuk menopang wajahnya ketika ada sepasang sepatu yang berhenti di depannya.
"Gue udah bilang gue mau sendiri," keluh Maya dengan nada malas dan langsung terkejut setelah melihat siapa pemilik sepatu itu.
"Alka?"
Alka tersenyum manis, tetapi segera diabaikan oleh Maya. "Ini juga berlaku buat lo. Gue mau sendiri."
"Banyak yang bilang, berdua lebih baik daripada sendiri," jawab Alka enteng, segera duduk di sebelah Maya tanpa permisi, membuat cewek itu memutar bola matanya dengan jengah. "Apalagi cewek cantik kayak lo sendirian. Nggak cocok menurut gue."
"Nggak usah ikutan Vico ngegombal receh, deh. Gue nggak mau ilfil malam-malam."
"Lah? Kok tau gue belajar jurusnya dia?"
"Ya tau-lah! Obrolan kalian itu kentara banget, tau nggak? Waktu kalian peluk-pelukan mesra habis pemanasan tadi siang, bukannya Vico nyuruh lo gombalin gue?"
"Kedengaran, ya?" tanya Alka dengan nada minta maaf.
"Ya iyalah! Orang si Vico ngomongnya kayak toa, gitu!" seru Maya ketus yang lantas membuat Alka mencebikkan bibir.
"Tapi lo lagi sedih, kan? Ya kali aja gombalan receh bisa bikin perasaan lo lebih baik, syukur-syukur bisa baper beneran."
"Oh ya?" tanya Maya dengan nada yang sengaja dimanis-maniskan, tetapi segera berubah menjadi galak pada detik berikutnya. "Sayangnya gue nggak mau denger."
"Yahhh... sekali aja, ya. Plisss?" pinta Alka. "Setidaknya biarkan gue berusaha."
"Lo udah berusaha dari kelas X," respons Maya dengan nada datar. "Tapi gue masih aja belum balas perasaan lo. Mending lo berhenti juga supaya setidaknya lo nggak ngerasain patah hati kayak gue."
"Itu jelas beda, Mei."
"Beda apanya?"
"Gue cowok, lo cewek. Jadi menurut gue udah seharusnya kalo gue menjadi pihak yang lebih berusaha daripada lo."
"Heh, itu--"
"Gue yang akan menjadi orang yang serba duluan untuk lo. Duluan suka sama lo, duluan ngejar lo, duluan samperin lo, duluan nge-chat lo, duluan gombalin lo, duluan sayangin lo, duluan ngehibur lo, duluan meluk lo, duluan nyium lo, bahkan--"
"HEH, STOPPP!" teriak Maya, membuat Alka sukses dibuat kicep oleh pernyataannya yang disampaikan dengan cepat dan berirama hingga seperti sedang nge-rap. "Ngomong kok bukannya di-filter dulu sih, dasar...."
"Eh apa jangan-jangan jantung lo lagi nggak stabil, ya?" tanya Alka sembari mendekatkan wajahnya dan lantas bersorak dalam hati karena telah berhasil mempraktekkan beberapa teori yang telah diajarkan sama Vico, si pakar cinta. "Karena kalo iya, gue ada kemajuan."
"Kemajuan? Lo pikir teknologi, mengalami kemajuan?" tanya Maya, masih bernada galak tetapi sepertinya tersirat nada gugup dalam suaranya juga. Entahlah, apa ini karena posisi wajah Alka yang terlalu dekat saat ini?
"Woya jelas. Nggak cuma teknologi doang yang bisa maju, tapi hubungan kita juga bisa maju," jawab Alka, lantas nyengir lebar hingga menambah visualnya. Meski dia tidak sesempurna Owen, tetapi rupanya dia mempunyai sisi manis yang juga bisa menggetarkan hati kaum hawa.
Dan sepertinya Maya termasuk, karena dia menelan salivanya dengan perlahan seakan sulit untuk melakukannya. Tetapi kembali lagi ke pertanyaan awal; apa ini karena posisi wajah Alka yang terlalu dekat saat ini?
"Jadi, apa gue boleh gombalin lo sekarang?" tanya Alka pelan dan sepertinya dia bersenang-senang dengan situasi ini. "Lo mau tau nggak apa bedanya lo sama bintang padahal sama-sama bersinar?"
Maya mendengus konyol. "Gue udah bilang, gue nggak mau denger. Pasti receh banget jatuhnya!"
"Plisss... Mei, jawab gue," pinta Alka yang bibirnya langsung manyun.
"Gue sama bintang ya beda dong. Gue kan manusia, dan bintang itu benda langit," jawab Maya dengan nada malas dan terkesan diulur-ulur, serta menatap Alka dengan tatapan datar.
"Bukan."
"Oke, trus apa?" tanya Maya geregetan hingga menggertakkan gigi, sukses membuat suaranya terdengar hampir teredam.
Alka menunjukkan senyum lebar pada Maya, dia juga sengaja mendekatkan wajahnya lagi hingga jarak di antara mereka tidak lebih dari lima sentimeter. "Lo sama bintang sama-sama bersinar, tapi bedanya bintang itu letaknya jauh hingga gue nggak bisa menggapainya, tapi gue bisa menggapai lo karena lo udah deket sama gue."
Mata Maya melebar, sebenarnya dia sudah merencanakan untuk menertawakan apa pun jawaban dari gombalan receh Alka, hanya saja entah kenapa setelah mendengar pernyataannya, cewek itu merasakan sensasi aneh dalam perutnya.
Gimana ya, kayak ada sesuatu yang janggal tetapi serasa menggelitik di saat yang sama.
Alka lantas melakukan sesuatu yang sangat tidak disangka-sangka oleh Maya karena dia mengulurkan kedua tangan dan merengkuh Maya sepenuhnya ke dalam pelukan.
Maya tidak bisa berkata-kata, apalagi ketika dia mendengar ungkapan lain dari Alka, hingga membuatnya kaget untuk yang entah kesekian kalinya.
"Jangan nangis lagi, Mei. Meski pada akhirnya lo tetap nolak gue, gue nggak bakal menyesal asalkan lo nggak sedih lagi. Gue bersedia jadi teman curhat lo, kok. Jadi jangan sungkan sama gue, ya."
Ucapan Alka terdengar klise, tetapi Maya malah merasa tersentuh dengan hiburan tersebut sampai dia berpikir kalau balasan pelukan darinya akan menjadi ucapan terima kasih yang layak.
Benar saja, ketika Maya mengulurkan tangan untuk membalas pelukan Alka, dia bisa mendengar dengusan kebahagiaan Alka yang sulit disembunyikan dari balik bahunya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top