2). Illogical Idea
Meski Hara dan Gara telah terpisah oleh jarak selama kurang lebih 8 tahun, Hara tidak pernah sekali pun melupakan Gara. Bagaimana tidak? Keduanya terlahir identik dan cewek itu yakin, rupa mereka tetap akan sama saat bertemu nanti.
Sewaktu kecil, duo kembar lebih senang memuji satu sama lain alih-alih mengejek. Alasannya hanya karena wajah mereka sama. Jika Hara mengatakan hidungnya mancung, itu berarti pujian tersebut berlaku untuk Gara, begitu pula sebaliknya.
Hara juga pernah iseng mengikat semua rambutnya ke atas hingga rambut panjangnya tidak lagi kelihatan, yang secara sukses membuat dia dan si kembar kaget dengan hasilnya. Di hadapan cermin, dia melihat ada dua Gara. Lantas sejak saat itu, Gara jadi senang menyuruh Hara menggantikan tugasnya bersih-bersih rumah setiap jadwalnya tiba dan cewek itu akan mendapatkan upah yang layak sebagai gantinya.
Tidak cukup dengan itu, keduanya sering menggunakan kesempatan tersebut untuk menjahili teman masa kecil mereka dan biasanya selalu berakhir mendapatkan kram di perut karena kebanyakan tawa.
Jika Hara diperbolehkan memilih satu momen penting untuk diulang kembali, dia tidak akan berpikir dua kali untuk mengemukakan keinginannya. Tentu saja dia akan memilih kembali ke masa kecilnya, ke masa bahagianya menghabiskan waktu bermain tanpa perlu mengetahui eksistensi ramalan konyol yang merusak semuanya.
"As expected, I always feel like I'm looking at myself in the mirror," kata suara lirih yang terdengar lemah. Suaranya juga terputus-putus dalam usahanya menahan rasa sakit karena luka di sekujur badan, terutama bagian kepalanya.
Dia, yang sedang berbaring di atas brankar adalah Gara Arganta, kembaran identik Hara Arganta.
Hara seharusnya tidak datang. Hara seharusnya tidak menunjukkan eksistensinya di sana atau setidaknya, dia seharusnya menunjukkan kebencian.
Nyatanya, Hara tampak berusaha menyembunyikan sisi lemah yang rupanya gagal karena kedua matanya telah berkaca-kaca sekarang.
Gara membuang napas pendek, matanya menunjukkan kesedihan dan luka yang mendalam karena dia tidak bisa bergerak untuk memeluk adik kembarnya.
"Sebelum terlambat, gue mau minta maaf sama lo," ucap Gara dengan suara yang putus-putus lagi dan terdengar gemetar. "Seharusnya gue lebih awal nyari lo dan--"
"Kalo lo nggak kecelakaan kayak gini, gue yakin lo nggak akan nyari gue," potong Hara dingin. "Kalo lo kira dengan cara ini bisa mengurangi jumlah dosa lo, maaf aja cara ini nggak akan efektif karena gue masih belum maafin lo."
"Ra...."
"Kalo lo bener-bener merasa bersalah sama gue, gue peringatin lo untuk cepat sembuh supaya lo bisa minta maaf dengan cara yang benar, bukannya minta maaf karena ajal lo udah tiba."
"Ra...."
"Cara gini nggak bakal mempan, Gara. Gue udah bukan anak umur 9 tahun yang--"
Namun tangan Gara terjulur ke arahnya dengan gemetar hebat hingga Hara memutuskan omongannya sendiri dan menatap cowok itu dengan horor. "Gara! Lo kenapa?"
Jemari Gara diayunkan dengan lemah, isyaratnya memanggil Hara untuk segera mendekat.
"Kalo gue mati, lo harus bantu lenyapin laptop gue soalnya ada banyak biru-biru di dalamnya."
Hara refleks memejamkan matanya kuat-kuat seakan memompa kesabaran penuh supaya bisa kuat menghadapi Gara yang level kelaknatannya semakin tidak normal sejak terakhir mereka bertemu, sementara Gara menatapnya dengan tatapan jenaka yang kentara.
"Tenang aja, gue bakal bertahan hidup demi menebus kesalahan gue," kata Gara akhirnya setelah puas menikmati situasi di mana dia bisa menyaksikan wajah Hara yang memerah karena berusaha menahan keinginan untuk tidak mengakhiri eksistensinya di tempat. "Gimanapun, thanks, Ra. Lo bersedia datang jauh-jauh buat jenguk gue."
"Gue hanya nggak mau nambah karma," jawab Hara sinis. "Selebihnya, gue tetap benci sama kalian."
"Mau seberapa brengseknya gue atau seberapa jahatnya perlakuan kami semua ke elo, kita tetap berbagi darah yang sama."
"Oh, dan itu yang membuat kalian layak membuang gue?" tanya Hara sarkastik.
"Ra, ramalan itu juga berlaku buat lo. Itulah sebabnya kami mencoba untuk mempercayainya karena kami juga nggak mau lo ketiban sial. Waktu itu lo masih terlalu kecil, Ra. Jadi persepsinya di elo itu beda. Kesannya seperti kami membuang lo, padahal kenyataannya nggak gitu."
"Tapi ngomong-ngomong, bukannya tadi lo lemah kayak hampir koid ya? Trus kenapa sekarang ngomongnya lancar banget?" tanya Hara yang mau tidak mau dibuat gagal paham karena nada bicara Gara sudah lebih lancar dan tidak ada embel-embel gemetaran atau putus-putus.
"Tadi niatnya mau drama sampai akhir, tapi gue sendiri akhirnya lupa kalo gue harus pura-pura. Jadinya ya gini deh. Yang penting setidaknya gue seneng karena lo sempat mau nangis tadi. Gue jadi terharu."
"Jadi lo nipu gue?" tanya Hara dengan nada yang dinaikkan satu oktaf. Cewek itu beranjak terlalu cepat dari kursinya dan melayangkan tinju ke perban yang membungkus beberapa anggota tubuh Gara.
"Arrgghh!! Damn it! It really hurts, Hara!" pekik Gara sambil meringis hebat, berhasil meyakinkan Hara kalau kali ini kembarannya tidak sedang berpura-pura.
"Gue kira perbannya juga bohongan."
"Lo nggak liat darahnya? Ini asli bercak darah gue, ya elah! Emang dasar tega ya lo!"
"Lo yang tega! Lo lupa siapa yang tega duluan?" sahut Hara emosi. "Gue pulang sekarang!"
"Hara, jangan pergi dong! Gue belum selesai ngomong sama lo."
"Mau ngomong apa lagi?" tanya Hara sensi. "Apa pun yang kalian omongkan nggak akan bikin gue melunak sama kalian karena gimanapun kalian udah ninggalin gue!"
"Hara, plisss... bantuin gue. Kaliii iniii aja? Ya-ya-ya? Plisss...."
"Nggak!" ketus Hara sembari membuang mukanya, bahkan lengkap dengan melipat lengan di depan dadanya.
"Haraaa...."
"Nggak!"
"Haaa~~ raaa~~" Kali ini Gara mencoba mengubah nadanya menjadi nada yang lebih berirama hingga sukses membuat cewek itu bergidik ngeri.
"Ishhh! Apa-apaan sih! Sekali nggak ya nggak!"
"Gue kasih uang jajan, mau?"
Kepala Hara kembali lagi ke Gara dengan cepat, membuat otot lehernya menegang seketika. "LO KIRA GUE ANAK SD?"
"Waktu terakhir kan emang iya. Lo masih SD. Kali aja mempan," jawab Gara kalem seakan dia tidak bersalah sama sekali. "Pokoknya bantuinnn gue, ya. Gue bakal mengabulkan apa pun permohonan lo."
"Termasuk menghilangkan eksistensi lo?"
"Yahhh katanya mau gue hidup biar bisa menebus kesalahan gue. Gimana sih ahhh!" protes Gara sambil memanyunkan bibirnya. "Lagian gitu-gitu lo kan udah lama nggak ketemu Owen. Kangen nggak sama dia?"
"Owen?" ulang Hara pelan.
Gara mengangguk. "Sebelumnya maaf lagi nih, Ra. Owen ngira lo udah lama ke surga waktu itu dan gue juga nggak pernah jelasin lebih lanjut ke dia. Nah bisa aja kan lo ketemu sama dia dan jelasin ke dia biar dia surprised gitu."
"Ngapain juga gue ketemu sama dia?" tanya Hara dengan tatapan seakan apa yang dibicarakan Gara sama sekali tidak nyambung.
"Yahhh... kalo lo setuju sama gagasan gue, lo bakal satu kelas sama dia."
"Gagasan lo? Gue nggak bilang setuju loh, ya!"
"Oh, lo harus setuju, Ra. Karena ini berkaitan dengan rumah lama kita."
"Gue nggak mau kepo. Nggak minat."
"Yahhh... Ra! Seenggaknya dengerin dulu dong sampai selesai."
"Oke, lima menit."
Gara mendecakkan lidahnya, hendak protes tetapi cowok itu tahu kalau dia tidak punya pilihan. "Sejak perusahaan Papa bangkrut, rumah lama kita terpaksa dijual. Lo tau tentang itu, kan?"
"Woya jelas. Itu awal dari kepercayaan kalian sama ramalan yang berujung menyalahkan gue atas insiden itu," jawab Hara dengan gigi menggertak.
"Rumah itu akhirnya dibeli kembali sama kakeknya Owen karena merasa simpatik sama kita, trus papa sama mama juga dianggap berjasa karena pernah membiarkan Owen tinggal sama kita," jelas Gara lagi seakan tidak ada interupsi. "Kakek Owen berjanji akan mengembalikan rumah itu ke kita tanpa harus membayar setelah gue genap 18 tahun. Teknisnya, gue hanya perlu waktu sekitar 6 bulan lagi untuk mendapatkan hak milik rumah itu secara resmi."
"Kenapa kakeknya Owen nggak langsung kembalikan aja? Keluarga Nugroho tiga kali lipat kayanya dari kita, saingan sama konglomerat kan?"
"Yaaa lo tau sendirilah, namanya pebisnis ya gitu. Pastinya mau memanfaatkan setiap peluang yang bisa memberikan keuntungan lebih. Makanya banyak yang kaya jadi semakin kaya," jawab Gara dengan kesabaran yang patut diacungi jempol. "Rumah itu udah lama difungsikan kakek Owen untuk disewakan kamarnya ke teman-teman sekelas gue, ya hitung-hitung tujuannya demi Owen sih supaya nggak merasa sendirian. Lo kan tau sendiri sejak kecil orang tua Owen jarang pulang ke rumah."
"Gue jadi tau rasanya gimana jadi Owen," sindir Hara pedas.
"Nah jadi gimana, Hara? Kalo lo bantu gue, rumah itu bakal kembali jadi milik kita setelah 6 bulan lagi. Lo harus bertahan jadi gue selama kurun waktu itu. Mau ya?"
"Gue berpura-pura jadi lo?"
Gara mengangguk.
"Gue jadi cowok?"
Gara mengangguk lagi.
"Selama 6 bulan?"
Gara mengangguk lagi. "Tambahannya tinggal di rumah itu juga sama teman-teman sekelas gue. Ada Owen juga, kok. Nggak usah khawatir, dia bakal jagain lo. Lagian denger dari Paman Ariga, lo jago kelahi, kan? Bukan jadi halangan dong lo tinggal di sana."
"DASAR GILA YA LO!" seru Hara yang nadanya naik satu oktaf lagi. "Gue nggak mau! Lo ngaku aja ke kakeknya Owen kalo lo kecelakaan. Masalah selesai, kan?"
"Masalahnya gue takut kakek Owen berubah pikiran, Ra. Soalnya rumah itu strategis. Jelas potensi mendapat keuntungan lebih besar daripada kembalikan ke kita. Gue yakin kakeknya Owen bakal ngambil kesempatan buat ngeles kalo tau yang sebenarnya."
"Enam bulan masih lama, Ga. Lo pasti bisa sembuh total sebelum masa itu tiba," kata Hara dengan nada yang dimanis-maniskan meski tatapannya masih galak. "Lagian gue benci berpura-pura orang lain, apalagi orang itu adalah lo."
Namun Gara menggelengkan kepalanya. "Tulang kaki gue ada yang patah, Ra, dan udah dipastikan bakal lama sembuhnya. Lo harus bantuin gue ya? Plisss... kapan lagi bisa dapetin rumah kembali tanpa bayar? Lo nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, Ra.
"Soal adaptasi sama teman-teman sekelas gue, lo nggak usah khawatir. Anggapannya, lo kecelakaan tapi hilang ingatan. Jadi mereka nggak bakal curiga. Mau ya, Ra?" tambah Gara di saat Hara masih bungkam.
"Tetap aja," bisik Hara akhirnya setelah diam selama beberapa saat. "Lo sekarang butuh gue karena ada maunya. Gue jadi merasa kayak orang bodoh karena dengan gampangnya kalian buang trus bisa kalian bujuk untuk baik-baik lagi sama kalian."
"Hara...."
"Gue muak sama kalian," kata Hara dingin. Matanya lantas memberitahu Gara tentang luka dan kesedihan yang terlalu kentara hingga cowok itu sukses dibuat kicep.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top