17). Sunday Funday

Pagi telah tiba, ditandai dengan matahari yang telah terbit dari peraduannya. Sinarnya kemudian memantul dan membiaskannya tepat ke wajah Vico yang segera mengerjapkan mata berkali-kali karena silau.

Masih malas, cowok itu mulai mencari perlindungan supaya bisa melanjutkan acara tidurnya. Tangannya meraba-raba, lantas menemukan sesuatu yang empuk yang sempat dikiranya adalah guling tetapi terasa jauh lebih nyaman dari perkiraannya.

Vico segera terlelap kembali setelah memeluknya, tetapi logika atas sesuatu yang tidak beres secara perlahan memberinya kesadaran, membuat cowok itu mengernyitkan alisnya dalam.

Sesuatu yang dipeluknya sekarang jelas bukan guling. Lagian, bagaimana bisa sebuah guling mengeluarkan aroma persis seperti Gara?

Mata Vico terbuka secara mendadak ketika pemandangan yang pertama dilihatnya di hari yang baru ini adalah posisi Gara yang sedang tidur membelakangi, sementara tangannya sedang dalam posisi memeluknya bahkan sebelah kakinya telah menimpa sisi pahanya.

Teknisnya, gaya pelukan Vico pada Gara sekarang adalah merangkul dari belakang yang mana bahasa kerennya adalah back-hug.

Vico terkesiap, mulai bingung dengan dirinya sendiri. Masalahnya adalah, cowok itu seperti memiliki keinginan untuk menarik lepas tubuh Gara dari belenggu Owen dan dia sangat ingin menggantikan posisinya.

Lebih tepatnya, Vico merasa tidak senang melihat Owen memeluk Gara semesra itu.

Apa yang terjadi? Kenapa gue jadi ketularan Owen yang suka sama sesama cowok? Bahkan cowok itu adalah orang yang sama, Gara Arganta.

Gue mulai gila. Apa karena gue kena kutukan gegara nonton film horor semalam?

Owen menggeliat dalam tidurnya, mencari posisi nyaman sementara Vico mengambil kesempatan untuk meraih bahu Gara dan membaliknya supaya dia bisa memeluk dari depan.

Arghhh! Persetan sama homo-homoan. Cuma peluk doang, nggak masalah kan? Anggap aja Gara ini guling gue.

Kini gantian Owen yang mulai merasa seperti kehilangan. Tangannya lantas meraba-raba dan saat dia sadar kalau Hara tidak lagi berada di sisinya, matanya segera terbuka dan kontan dibuat cemburu lagi karena posisi Hara yang sekarang sedang dipeluk oleh Vico.

Tangan Owen terjulur untuk menarik lengan Hara, tetapi segera dihalang oleh Vico yang rupanya turut membuka mata dan balas menatapnya dengan tatapan tidak senang.

"Apa-apaan lo?" tanya Owen kesal, rasa kantuknya mendadak menguap begitu saja. "Lepasin tangan lo!"

"Gantian dong! Lo kan udah peluk Gara semalaman. Gue masih mau tidur manja nih!" balas Vico yang malah semakin mengeratkan pelukan alih-alih melepasnya.

"Vico, lepasin tangan lo sekarang!" perintah Owen keras kepala.

"Nggak!"

"Lepasin!"

"Nggak!"

"Vico Anderson!"

"Absen!"

"VICO!"

"ARGHHH! INI APA-APAAN SIH! RIBUT BANGET PAGI-PAGI!" teriak Hara emosi, sukses membuat duo Owen dan Vico terkaget-kaget.

Hara menggeliat dan mengucek sebelah mata khas orang bangun pagi, kemudian bangkit dengan gaya malas-malasan tetapi lantas segera dibuat kaget oleh kenyataan kalau dia menghabiskan waktu semalaman di antara mereka, terbukti dari tatapan horornya.

"Ini kenapa kita bisa seranjang tidur gini?" tanya Hara tidak percaya, menatap Vico dan Owen bergantian berkali-kali, jelas membutuhkan penjelasan lebih lanjut.

"Morning, Gara. Tadi gaya tidur kita berpelukan loh," jawab Vico dengan tatapan bangga. "Pantesan wajah lo berseri-seri pagi ini karena kita udah saling memberikan kehangatan."

Hara melepaskan dengusan keras sementara Owen membalas perkataan Vico dengan emosi, membuat cewek itu harus melepaskan dengusannya lagi untuk yang kedua kali.

"Heh, yang bener tuh gue yang meluk Gara semalaman sampai pagi! Lo sendiri yang naik-narik Gara seenak jidat lo padahal kami lagi nyaman-nyamannya tidur!"

Hara tidak percaya kalau Owen bisa emosian hanya karena perkara seperti ini, itulah sebabnya cewek itu seketika bungkam karena speechless.

Gimana ya, selama ini yang Hara tahu, Owen itu tipe-tipe cemen dan pengecut. Mana pernah dia berani debat sama orang lain, yang ada malah dia sering dibuli sama orang lain.

"Bilang aja cemburu!" ledek Vico, membuat Hara serasa tertampar. "Nggak aci banget, padahal lo tiap hari tidur sama Gara, gue cuma sekali doang! Eh tapi ternyata lo pelukable banget ya, Ga. Gue jadi ketagihan."

Sebuah sentilan di sudut kepala Vico menjadi respons Hara atas pernyataannya.

"OH MY GOSH!" teriak Vico tiba-tiba saat ekor matanya melirik jam dinding di kamar Owen. Waktu menunjukkan hampir pukul delapan. "KITA TELAT KE SEKOLAH, GARA! KITA TELAT!"

"Vico--"

"YA AMPUNNN, GARA! KENAPA LO SANTUY BANGET?? KITA BELUM SIAP-SIAP, BELUM MANDI, BELUM KERAMAS, BELUM--"

"Vico Anderson--"

"NGGAK ADA BEDANYA LO PANGGIL NAMA LENGKAP GUE, KITA HARUS SEGERA BERSIAP-SIAP, GUE--"

"VICO!" teriak Hara yang kesabarannya telah habis hingga geregetan hebat. "HARI INI HARI MINGGU, BEGOOO!"

Vico seketika dibuat bergeming dan lantas terkekeh sembari menggaruk tengkuknya dengan malu-malu. "Oh, iya ya. Muehehehe... gue mandi dulu deh kalo gitu. Nanti kita belanja bareng ya, Gara."

"Belanja?" beo Hara gagal paham.

"Biasanya karena sibuk, kita bersih-bersih sama belanja keperluan rumah di hari Minggu," jelas Owen sementara Vico mengedipkan sebelah matanya dengan nakal pada Hara dan meninggalkan kamar sembari bersenandung riang. "Berhubung masing-masing bertanggung jawab sama kebersihan kamar sendiri, setidaknya rumah ini nggak mirip kapal pecah karena hanya dibersihkan seminggu sekali."

"Oh, gitu ya. Gue bantuin deh nanti," kata Hara sementara Alka sudah bangun dan segera kembali ke kamarnya tanpa mengatakan apa-apa. Bisa dimaklumi, karena langkahnya yang terhuyung memberitahu Hara kalau cowok itu masih belum sepenuhnya sadar.

"Nggak perlu," kata Owen sambil tersenyum lebar hingga matanya melengkung. "Lo santai aja. Ini kerjaan kami, lo nggak perlu ikut campur."

"Tapi--"

"Mengingat identitas lo sekarang sebagai Gara, lo hanya akan buat mereka bingung kalo lo tiba-tiba bantuin, apalagi kalo sampai bersih-bersih," potong Owen. "Lo temenin Vico belanja aja. Oke?"

"Oh. Tumben."

"Tumben apa?"

"Tumben lo nggak cemburu. Kata Vico, lo cemburu karena gue tidurnya pelukan sama dia, kan?"

Owen tidak menjawab. Cowok itu malah beranjak dari ranjang dan meneruskan langkah menuju kamar mandi, tetapi sebelum dia sampai ke sana, Hara telah menghalanginya dengan berjalan lebih cepat dan berhenti di depannya.

"I smell something weird here. Why do you act like nothing happened?" tanya Hara sembari memicingkan mata dengan tajam sementara Owen menundukkan wajah.

"Mau jelasin apa?"

"Lo tau maksud gue."

"Kasih tau spesifiknya dong, Ra. Gue nggak mau kesannya jelasin lebih dari seharusnya, kayak... kayak terakhir kali di gudang itu."

"Oh, tentang perasaan lo itu? Maksudnya tentang lo ndusel-ndusel manja sama Gara karena ngebayangin--hmmmmppffftt!"

"Jangan keras-keras dong, Ra! Kalo ketahuan gimana?" bisik Owen dengan sebelah tangan yang menempel ke mulut Hara, menutup akses cewek itu untuk berbicara. "Lagian lo ngomong enteng banget sih! Jantung gue jadi korbannya!"

Hara memang tidak bisa berbicara untuk sementara, tetapi matanya sarat akan tatapan jenaka karena matanya melengkung indah hingga mirip seperti mata kucing. Cewek itu kemudian menepuk tangan Owen sebagai isyarat untuk melepaskan tangannya. "Maksud gue, gue jelas denger pengakuan lo sendiri kalo lo meluk gue sampai pagi sebelum Vico narik gue juga. Jadi gue minta penjelasannya kenapa lo tiba-tiba bersikap kayak nggak peduli soal gue pergi belanja berdua sama dia. Bukankah seharusnya lo cemburu?"

"Hmm... cuma pergi belanja bareng aja kok. Gue rasa nggak masalah," jawab Owen pelan, masih saja menundukkan kepala untuk menyembunyikan rona pada wajahnya.

"Oh gitu. Oke kalo gitu," respons Hara sebelum bergerak untuk mengambil handuk, tetapi sebelah tangannya ditahan oleh Owen.

"Gue belum selesai," jawab Owen sembari mengangkat kepalanya dengan malu-malu. "Soalnya gue pikir Vico masih mengira lo itu Gara, jadi gue rasa gue nggak bakal kalah langkah dari dia."

"Oh... jadi maksudnya, lo satu-satunya yang bakal menangin hati gue?" tanya Hara dengan nada datar, tetapi matanya tampak bersenang-senang dengan situasi ini.

"Yaaa... nggak gitu juga, sih. Gue tau lo nggak bakal mungkin suka sama gue. Gue tau ko--"

Omongan Owen lantas dipaksa berhenti karena sentuhan pada puncak kepalanya oleh Hara secara tidak terduga.

"Lo ternyata bisa manis juga ya," puji Hara bersungguh-sungguh sembari tersenyum lebar, membuat rona pada wajah Owen semakin kentara.

Owen merasa seperti ada kupu-kupu terbang bebas dari dalam perutnya.

*****


"Karena ini hari Minggu, gue bakal masak makanan yang lumayan spesial," kata Galang memberitahu Hara dengan tatapan lembut. "Kalo makan shabu-shabu, lo mau?"

"Yeee... biasanya gue minta menu shabu-shabu, lo selalu nggak pernah setuju," celetuk Vico seperti biasa. Mereka semua telah selesai mandi dan berencana untuk membagi tugas masing-masing seperti yang diceritakan Owen pada Hara barusan.

Hara lantas menganggukkan kepalanya dan berkata, "Asal nggak banyak repotnya aja, Lang. Gue nggak terlalu doyan makan juga, sih."

"Yeee... biasanya lo yang paling gercep soal makanan," celetuk Vico lagi pada Hara, membuat cewek itu balas menatapnya dengan tatapan yang terkesan horor. "Oke, oke. Gue nggak mau lo ngamuk lagi sampai nggak mau ngomong sama gue. Gue lebih nggak suka. Nah kalo gitu, kita belanja yuk?"

Galang menyerahkan daftar belanja pada Vico dan mereka lantas berjalan bersama ke toko serba ada terdekat sembari menyantap beberapa roti isi untuk mengganjal perut.

"Lo paling suka rasa kacang merah, kan? Gue ambilin buat lo," kata Vico sambil menyerahkan bungkusan roti isi pada Hara usai membaca keterangannya.

"Kacang merah?" ulang Hara gagal paham karena ada sesuatu yang membuatnya mau tidak mau menggali memori dalam otaknya.

"Iya. Lo kan sering makan roti isi yang rasanya kacang merah. Lo pernah cerita kalau selera lo berubah sejak delapan tahun yang lalu. Meski gue bingung apa maksudnya, tapi gue fokus sama rasa kesukaan lo. Makanya tiap kebagian roti isi, gue auto nyariin kacang merah buat lo trus kacang hijau buat gue. Kita saling melengkapi, kan?"

Ingatan Hara seketika kembali ke masa kecilnya.

"Gara, Mama ada beliin kita roti isi. Kamu mau?" tanya Hara sembari membaca semua keterangan pada bungkusan roti isi dari dalam kantong plastik.

"Mau dong. Ada kacang hijau, kan?" tanya Gara tanpa menoleh karena sedang sibuk dalam dunia game pad-nya.

"Ada. Nih."

"Suapin dong."

"Ishhh! Manja banget sih!" protes Hara, tetapi dia membuka bungkusan roti isi rasa kacang hijau dan menyuapi kakak kembarnya. "Ngomong-ngomong, berarti kamu mirip Papa ya karena sukanya sama kacang hijau. Aku kayak Mama dong, sukanya sama kacang merah."

"Dua-duanya suka sih sebenarnya," jawab Gara, memilih tombol pause untuk menghentikan permainannya. Dia merebut roti isi dari tangan Hara. "Makan, gih. Aku makan sendiri."

Hara menurut, lalu mengambil roti isi rasa kesukaannya, kacang merah. "Trus kenapa nggak mau samaan kayak aku, suka kacang merah?"

Gara berbicara tanpa menghabiskan isi dalam mulutnya, membuat Hara memandangnya jijik. "Ya ampun, habisin dulu dong makanannya!"

Gara tergelak dan kemudian berbicara kembali setelah menelan habis roti isinya. "Soalnya kamu suka kacang merah, jadi aku nggak mau berebut."

"Loh tapi ini kan nggak cuma satu doang kacang merahnya. Masih ada tiga, nih."

Namun Gara menggeleng. "Kalo lain kali roti isi kacang merah tinggal satu, gimana? Lagian aku juga suka sama kacang hijau kok."

"Ishhh, Gara. Kamu kayak orang dewasa deh, bisa ngalah."

"Iya dong, gimanapun aku kan abang kamu. Walau lebih bego dari kamu, aku mau dibanggain sama kamu dong. Eh, keren kan omongan aku ini? Kata-kata ini aku nyontek dari sinetron loh. Hmm... judulnya apa, ya? Hmm... aku lupa... judulnya...."

Hara menoyor kepala Gara, membuat yang diintimidasi segera merajuk. Namun, keduanya tergelak bersama setelah Hara memasang ekspresi konyol untuk mengejek Gara.

Hara mendengus keras, seakan menertawakan isi dalam memori meski ada makna haru dalam dengusannya. Matanya memerah karena menahan luapan emosi selagi dia merasakan sakit pada tenggorokan, seakan mencekiknya hingga tidak bisa bernapas dengan benar.

"Ga, lo nggak apa-apa?" tanya Vico ketika ekor matanya menyadari ada yang tidak beres dari Hara.

Hara menghela napas panjang dan menengadahkan kepala ke atas untuk menahan air matanya supaya tidak tumpah, lalu berkata, "Nggak apa-apa, kok. Gue hanya teringat sekilas masa lalu gue."

"Apa ada hubungannya sama roti isi?" tanya Vico dengan nada prihatin. Bisa dibilang untuk pertama kalinya Hara merasa cowok itu ternyata bisa serius di saat yang tepat. "Meski lo nggak cerita, tapi gue tau lo selalu sedih tiap makan roti isi. Makanya sebisa mungkin gue selalu ambilin rasa kacang merah buat lo. Lo kayaknya kangen banget sama memori tentang kacang merah. Kalo ada yang mau diceritain, jangan sungkan ya?"

Gara, lo tau kenapa gue benci sama lo? Karena setelah lo nggak nyariin gue delapan tahun yang lalu, gue udah memutuskan untuk membenci lo hingga akhir. Trus kenapa sekarang gue harus tau kenyataan bahwa lo sebenarnya sesayang itu sama gue?

Bersambung



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top