15). Childhood

Sejak kecil, Hara tidak pernah banyak menuntut. Bisa dibilang di usianya yang masih belia, dia sudah bisa mandiri secara otodidak dan melakukan semua tugas beserta kewajibannya sebagai anak tanpa harus disuruh-suruh, tidak seperti kembarannya--Gara Arganta yang harus diancam atau diomeli terlebih dahulu sebelum mengangkat bokongnya yang terasa sangat berat, ngalah-ngalahin karung beras 10 kilo.

Wajah Hara dan Gara bisa saja identik, bahkan suara mereka sama persis. Bedanya hanya pada nada suara mereka. Jika Hara terbiasa berbicara dengan nada jelas serta terkesan berwibawa, Gara sering berbicara dengan nada malas-malasan dan diulur-ulur. Tinggi badan mereka juga sebenarnya memiliki perbedaan, meski Gara lebih tinggi sekitar tiga sentimeter dari Hara.

Sepintas, mereka mungkin akan sulit dibedakan jika saja rambut Hara dinaikkan ke atas dan mengenakan pakaian Gara. Itulah sebabnya, Owen sulit membedakan mereka dan umurnya saat itu masih terlalu polos sehingga tidak bisa memperhatikan hal kecil yang bisa membantunya membedakan mereka. Padahal jika Owen lebih jeli, dia bisa mengetahui perbedaan keduanya dari nada bicara atau kepribadian mereka.

Meski karakter Hara berbanding terbalik dengan kembarannya, termasuk kapasitas otaknya yang perbedaannya hingga tiga kali lipat (mengingat sejak kecil Hara sudah diprediksi memiliki otak jenius oleh siapa saja yang mengenalnya), keduanya sama saja seperti kembaran lain yang memiliki hubungan erat dan tidak terpisahkan. Di mana ada Hara, pasti ada Gara di sampingnya, begitu pula sebaliknya. Jika ingin mencari Hara, tanya saja pada kembarannya. Jika ingin tahu di mana keberadaan Gara, tanya saja pada kembarannya.

Benar, keduanya sedekat itu. Mereka kemudian berteman baik dengan Owen Putra Nugroho, anak baru yang bergabung di kelas mereka di awal masuk kelas satu SD semester genap. Saat itu merema belum mengenal apa itu konglomerat, tetapi keduanya tahu kalau Owen itu anak orang kaya. Ke sekolah saja diantar-jemput pakai mobil panjang berwarna putih, mirip mobil luar negeri yang di dalamnya tersedia fasilitas televisi berlayar lebar dan beragam cemilan serta bisa tidur di dalamnya sesuka hati.

Hara ingat awal pertemuannya dengan Owen yang kemudian menjadi sejarah di balik persahabatan mereka. Bel pulang sekolah telah berdering setengah jam yang lalu sehingga wajar saja jika banyak murid sudah pulang ke rumah mereka masing-masing, menyisakan Hara-Gara dan Owen yang nongkrong di pos satpam dekat gerbang. Biasanya anak-anak yang telat dijemput akan dikumpulkan di sana, mengingat umur mereka yang masih kecil dan tujuannya untuk memudahkan pihak orang tua atau wali.

Hara-Gara tentu saja sedang asyik dalam dunia mereka sendiri, tidak menyadari eksistensi Owen di dekat mereka. Juga, pos satpam di sekolah mereka cukup luas, bahkan ada tempat tidur khusus dan ada mesin kopi serta kulkas mini. Fasilitasnya memang sebagus itu mengingat sekolah mereka termasuk sekolah bergengsi. Orang tua si kembar juga termasuk golongan atas meski belum sampai tahap konglomerat karena hanya memiliki perusahaan tunggal.

Oleh sebab itu, keduanya tidak sadar ketika Owen tiba-tiba keluar dari pos satpam. Mungkin dia bosan karena menunggu jemputan dan memilih untuk berkeliling. Kebetulan, satpam yang berjaga tidak berada di tempat.

"Hara, teman sekelas kamu ke mana?" tanya satpam dengan nada mencelus lima menit kemudian setelah menyadari kalau Owen tidak ada di dalam pos. Name-tag pada seragamnya terbordir Lukas.

Hara menoleh ke bangku di mana Owen duduk beberapa saat yang lalu, lantas mengangkat kedua bahunya dengan tatapan innocent. "Nggak tau, Pak. Mungkin dia ke toilet."

Namun, Owen tidak kembali. Sepuluh menit telah berlalu, membuat Lukas ketar-ketir sendiri. Pria itu lantas celingak-celinguk tidak keruan, langkahnya mondar-mandir di daerah pos sembari mengigit bibir, membuat Hara yang peka segera mengalihkan fokusnya.

"Owen masih belum kembali ya, Pak?" tanya Hara, segera meletakkan game pad-nya di dekat Gara yang masih asyik sendiri. "Mau saya bantu carikan nggak, Pak?"

"Kamu baik sekali, Nak. Tapi kamu harus kembali ya kalo nggak ketemu. Takut papa kalian udah keburu datang."

"Gara biarkan di sini aja, Pak. Jadi papa bisa tau kalo aku bakal balik," jawab Hara tenang sambil tersenyum lebar. "Saya coba nyari Owen di sekitar sini ya, Pak. Saya yakin dia nggak mungkin jauh-jauh soalnya dia kayaknya kurang pergaulan jadi menurut saya dia agak penakut."

"Kamu pinter banget sih," puji Lukas sambil mengelus kepala Hara dengan sayang. "Oke, Bapak minta tolong sama kamu ya."

"Iya, Pak."

Hara lantas melebarkan langkah dan mencari sosok Owen dengan matanya yang tajam. Rambutnya bergoyang sementara kepalanya berputar ke kiri dan ke kanan untuk mencari sosok Owen. Tidak lama, langkahnya membawanya menuju toilet sekolah.

"Owen! Kamu di mana?" tanya Hara ketika dia sampai di toilet sebelah kiri yang mana terdapat papan bertanda khusus untuk laki-laki.

Hara mendengar isakan tangis, membuatnya segera masuk ke dalam toilet dan mendorong bilik-bilik pintu yang segera terbuka di hadapannya. Hingga ketika dia sampai di pintu terakhir yang belum dibuka, dia bisa mendengar suara tangisan yang terdengar lebih jelas.

Owen pasti terjebak di dalam toilet tersebut.

"Owen, kamu nggak apa-apa?" tanya Hara keras dari balik pintu yang masih terkunci.

Isakan tangis itu sempat mereda, tetapi lantas berubah menjadi heboh pada detik berikutnya. "Huaaa!"

Hara mengetuk pintu tersebut lantas berteriak supaya suaranya bisa didengar Owen. "OWEN! INI AKU, HARA! KAMU BISA BUKA PINTUNYA, NGGAK??"

Tidak mempan. Tangisan Owen masih saja belum mereda.

"OWEN, KAMU KENAPA? BISA BUKA PINTUNYA, NGGAK?"

"HUAAA!"

"CK! KALO NGGAK MAU BUKA, AKU TINGGALIN LOH YA! BIARIN KAMU SENDIRI DI DALAM, MAU NGGAK?"

Lantas secara menakjubkan, tangisan tersebut berhenti meski masih terdengar sesenggukan. "Jangan pergi!"

"Trus pintunya bukain, dong! Kalo nggak buka gimana bisa keluar?" tanya Hara yang mau tidak mau mulai geregetan.

Kata-kata Owen berikutnya sukses membuat Hara memutar bola matanya dengan jengah.

"Aku nggak bisa buka pintunya."

"Kenapa? Pintunya nggak sama kayak pintu rumah kamu, ya?" tanya Hara terus terang. "Atau kamu nggak pernah buka pintu di rumah?"

Owen terdiam sementara Hara mendecakkan lidahnya dengan tidak sabar.

"Cara bukanya itu pake putar di pegangan pintunya. Kamu coba deh," kata Hara, lantas terdengar bunyi yang memberitahunya kalau Owen telah beranjak dari toilet duduk dan melangkah perlahan menuju pintu.

Terdengar klik tanda pintu berhasil dibuka dan Hara bisa melihat ekspresi wajah Owen yang begitu polos setelah menyadari betapa simpelnya membuka pintu tersebut.

"Ya ampun, nangisnya sampai kencang gini karena nggak pernah buka pintu ginian, ckckckck...." Hara menatap Owen dengan tatapan penuh simpatik yang sudah berhenti menangis, tetapi matanya bengkak dan ada jejak air mata di pipinya.

"Kupikir hanya keluarga aku yang kaya, rupanya keluarga kamu lebih luar biasa kaya sampai-sampai kamu nggak bisa buka pintu sendiri," kata Hara lagi. Dia refleks menghapus jejak air mata di wajah Owen yang sekarang masih menatapnya dengan bingung. "Yang penting kamu nggak apa-apa, kan? Lain kali mau ke mana-mana ajak aku aja. Aku temani."

Owen mengangguk terpatah, lantas pasrah saja begitu Hara menarik tangannya dan menuntunnya keluar dari toilet. Keduanya berjalan beriringan menyusuri tepi lapangan untuk kembali ke pos satpam.

"Makasih ya, Hara."

"Loh kamu tau nama aku rupanya," kata Hara sembari membuang dengusan geli. "Nama lengkap aku, kamu tau?"

"Hara Arganta."

"Wah kamu tau rupanya," puji Hara takjub.

"Tau, soalnya kamu kembar sama Gara. Jadi lebih gampang ingat," jawab Owen sembari tersenyum, membuat Hara ikut tersenyum.

"Kamu inget nama lengkap kami, berarti kita bisa berteman dekat mulai sekarang. Nama kamu, Owen kan? Maaf aku nggak tau nama lengkap kamu."

"Owen Putra Nugroho."

Hara refleks menghentikan langkah, diikuti Owen yang balas menatapnya dengan bingung. "Owen putranya keluarga Nugroho ya maksudnya? Unik juga, ya. Kalo gitu, aku Hara putrinya keluarga Arganta. Salam kenal, ya."

Tangan Hara terjulur, menawarkan diri untuk mengajak Owen bersalaman yang segera disambut oleh Owen tanpa berpikir dua kali. "Salam kenal, Hara. Kamu teman pertama aku."

"Bagus, dong. Kamu juga teman pertama aku selain Gara karena dia kembaran sekaligus keluarga aku."

Hara menunjukkan senyum manisnya, membuat Owen ikut tersenyum. Gantian.

Bersambung



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top