13). Discovered (2)
"Kimmy, wait!" teriak seseorang, membuat yang dipanggil lantas menoleh ke belakang dan berhadapan langsung dengan Hara yang setengah berlari mendekatinya.
"Oh kenapa, Ga?" tanya Kimmy, mengira kalau Hara memanggilnya karena mempunyai urusan dengannya.
"Oh, nggak kok. Barengan ke kelas aja," jawab Hara kalem, tidak menyangka kalau jawabannya bakal memberikan damage yang tidak main-main pada Kimmy.
Masalahnya adalah, Gara tidak pernah sedekat itu dengan Kimmy hingga mau mengajaknya masuk ke kelas bersama. Bahkan, dia hampir tidak pernah memanggil nama depannya.
Yang Kimmy ingat, Gara biasanya memanggilnya dengan embel-embel 'Kimber'.
"Lebih unik aja dipanggil 'Kimber'," jawab Gara saat Kimmy protes namanya disingkat seenak jidat.
"Kalo gitu, gue singkat nama lo jadi 'Argan' boleh dong?"
"Jangan, nanti saingan sama nama Afgan," jawab Gara sembari menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan Kimmy. "Gue nggak sudi disamain sama Afgan padahal visual gue jelas lebih ambyar dari dia."
"Jadi, mau dipanggil apa?" tanya Kimmy setelah memutar bola matanya jengah.
"Gara dong. Singkatan dari Ganteng yang Rasional."
"Kalo gitu jangan panggil nama gue Kimber. Kimmy juga dong, sama kayak lo yang maunya dipanggil pake nama depan."
"Oh. Kirain."
"Kirain apa?"
"Kirain mau dipanggil 'Sayang'."
Celetukan Gara lantas dilempari buku paket tebal di kepalanya, membuat cowok itu berteriak kesakitan.
"Oh. Tumben," jawab Kimmy singkat, tetapi dia tidak protes ketika Hara berjalan mendahuluinya, jelas ajakannya tadi tidak sinkron dengan realitanya.
"Seperti yang gue bilang kemarin, gue lebih pilih berteman sama lo daripada terlibat sama mereka," kata Hara tanpa menoleh ke belakang di mana Kimmy sedang mengikuti jejaknya.
Kimmy tidak menjawab, lebih tepatnya tidak tahu harus merespons apa. Sebenarnya dia ingin bertanya apakah ada alasan tertentu atas perubahan tiba-tiba Gara yang sangat jauh berbeda dengan dirinya yang dulu, tetapi semua pertanyaan lantas diurungkannya karena tidak ingin terkesan kepo.
Lagi pula, Gara yang sekarang terkesan sangat frontal dan bermulut pedas. Ah ya, satu lagi. Tatapannya yang biasanya sarat akan tatapan jenaka telah berubah menjadi dingin dan tajam, membuat siapa saja merasa ragu untuk mendekat.
Gara yang sekarang seperti telah membangun tembok kokoh di hadapannya, sama sekali tidak membiarkan siapa pun untuk masuk.
Suasana kelas sudah mulai ramai mengingat bel masuk akan berdering sepuluh menit lagi sementara duo Hara-Kimmy telah masuk dan menduduki bangku mereka masing-masing, disusul Owen cs dan Maya.
Vico yang masih tidak puas dengan sikap Hara tadi memutar tubuh ke belakang seperti biasa untuk menghadap Hara yang balas menatap dengan jengah. Dia jelas sangat terganggu dengan eksistensinya.
"Gara."
"Setelah gue setuju sarapan bareng kalian bukan berarti kita harus mengakrabkan diri, kan?" tanya Hara frontal, mengabaikan semua orang yang kini menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Sama seperti yang sudah-sudah, akan jauh lebih baik kalo kita nggak banyak berinteraksi."
"Kenapa sih lo berubah drastis gini, Ga? Gue jadi nggak percaya lagi kalo lo kerasukan arwah atau iblis random mana aja! Gue mau Gara yang gue kenal balik lagi, nggak mau tau pokoknya!"
Hara membuka mulut, tetapi segera diurungkannya dan membuang wajah keluar jendela. Gesturnya menunjukkan kalau dia telah menutup pembicaraan secara sepihak.
Gantian Vico membuka mulut untuk protes, tetapi tangan Galang menahannya lalu berkata, "Gara baru sembuh dari kecelakaan. Seharusnya lo maklumin dia, Vico, bukannya malah menekan dia."
"Ini nggak masuk akal deh menurut gue. Apa iya karena kecelakaan bisa bikin karakter Gara jadi tsundere gini? Ya kali kalo Gara punya kembaran. Nggak mungkin, kan?"
Pertanyaan itu otomatis memaksa beberapa penghuni bangku membelalakkan mata hingga bukaan maksimal. Siapa lagi kalau bukan Owen dan Galang? Meskipun demikian, Hara justru tampak tenang secara tidak disangka-sangka, seakan bisa menduga munculnya pertanyaan tersebut.
Karena pertanyaan Hara selanjutnya semakin memaksa duo Galang dan Owen menatapnya dengan tatapan tidak percaya untuk kedua kali. "Kalo Gara memang punya kembaran, lo lebih percaya?"
Vico melongo mendengar pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan yang lebih konyol menurutnya, sehingga dia lantas melepaskan dengusan konyol dan berkata, "Lo lucu, deh. Candaan gue, lo seriusin tapi di saat gue serius, lo malah bercanda. Gimana sih?"
"Siapa bilang gue bercanda?" tantang Hara yang lantas menunjukkan seringainya. "Gue serius. Gue—–"
Lengan Hara mendadak dicekal begitu saja oleh Owen dari sebelah kanan dan menariknya dengan sekali sentakan hingga memaksa cewek itu untuk bangkit dari bangkunya.
"Apa-apaan sih?" tanya Hara kasar, melepas cengkeraman Owen dengan sekali sentakan juga. Cekalan itu memang berhasil lepas, tetapi Owen menggunakan tangannya yang lain untuk menarik tangan Hara satunya, membuat cewek itu membuang napas kesal.
"Lo ikut gue!" perintah Owen dengan tatapan serius untuk pertama kalinya, berhasil membuat Hara menurutinya. Lebih tepatnya, dia tercengang dengan aksi Owen yang menurutnya di luar dugaan.
*****
Owen tidak melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Hara hingga mereka masuk ke dalam salah satu ruangan sempit. Isinya memuat berbagai macam peralatan olahraga; mulai dari macam-macam bola lengkap dengan net, ring, pemukul, hingga matras senam.
"Lo udah gila, ya?" tanya Owen dengan napas memburu sembari menatap Hara dengan tatapan tidak terima. "Kalo ketahuan, gimana?"
Alih-alih membalas emosi Owen, Hara melipat kedua lengan di depan dadanya dan menunjukkan seringai penuh kemenangan, "As expected from my childhood friend. You've already noticed me, haven't you?"
Ekspresi Owen seperti tertampar sekarang, sadar kalau aksinya malah membahayakan posisinya sendiri.
Hara melangkah untuk mendekati Owen yang sekarang mundur secara perlahan ke belakang, tampak seirama dengan langkah cewek itu hingga jarak keduanya cukup dekat, terbukti dari ujung sepatu mereka yang hampir bersentuhan.
Seringai Hara semakin jelas terukir di bibirnya, sekilas dia mirip dengan psikopat yang menikmati sisi lemah dari korbannya. "Sekarang jelasin ke gue. Kapan lo nyadar gue bukan Gara, hmm?"
"Hmm... Gara, gue...."
"Nggak usah panggil gue Gara lagi. Lo jelas-jelas tau gue ini Hara. Nah, jadi kapan lo tau? Apa jangan-jangan... yang semalam itu...."
Owen membuka mulut saking cengonya, tidak menyangka akan menghadapi situasi seperti ini. "Ra, gue... plis, gue nggak bermaksud—–"
"Nah, benar. Gue udah curiga waktu lo panggil gue dengan sebutan 'Ra' alih-alih 'Ga'," potong Hara setelah mengeluarkan dengusan konyol lantas mengalihkan tatapannya ke arah lain untuk mengingat insiden semalam. "Lo masih sama aja kayak dulu, Wen; ceroboh dan agak bego, sama kayak Gara."
Hara sengaja memberi jeda untuk menatap intens Owen yang sekarang tampaknya berhasil dibuat membeku di sudut dinding—–terlihat pasrah dan wajahnya memerah saking malunya.
"Gue sengaja menyusun strategi ini buat mengetes lo tadi," jelas Hara akhirnya setelah mengembuskan napas panjang. "Jawabannya ada dua. Kalo lo diem aja tadi, gue akan menganggap lo nggak tau identitas asli gue. Jawaban yang kedua—–karena lo menghalangi gue, gue jadi tau aksi lo tadi semata-mata untuk lindungi identitas gue. Bener, kan? Jadi kesimpulannya, jawaban kedua yang bener karena barusan lo pikir gue udah gila."
Owen mengangguk terpatah, sementara Hara melanjutkan penjelasannya yang belum selesai. "Gue nggak bego, Wen. Gue jelas sedang melakukan penipuan karena menggantikan Gara di sekolah, jadi nggak mungkin dong gue mau mengorbankan diri gue? Lo-nya aja yang terlalu bego. Kalo aja lo tadi memilih diem, gue nggak bakalan tau lo ternyata udah tau identitas gue. Nah sekarang, lebih baik lo jelasin ke gue sebelum gue—–"
Bel masuk berdering saat itu juga, memotong ancaman Hara sementara Owen tampak lega mendengarnya.
"Lo harus jelasin ke gue sekarang!" perintah Hara galak, dia bahkan menempelkan telapak tangan di dinding dekat kepala Owen dan menyangga sisi tubuhnya di sana, menghalangi akses cowok itu untuk bebas dari belenggunya.
Meski tubuh Owen lebih tinggi dari Hara, tetap saja aura yang dipancarkan cewek itu kini tidak main-main. Belum lagi tatapan mata Hara yang begitu tajam dan penuh ancaman.
"Jelasin apa?" tanya Owen pelan, tetapi segera dibuat kaget karena Hara menepuk dinding di dekat kepalanya dengan keras.
"Iya, gue ngaku. Gue udah tau dari awal kalo lo Hara, bukan Gara. Dan gue juga sebenarnya bukan gay, gue deket sama dia karena gue jadi merasa dekat sama lo. Sejak lo pergi, gue rasa kehilangan banget. Gue sukanya sama lo, bukan Gara. Kalo ngeliat Gara, gue serasa ngeliat lo, Ra. Tapi plis, jangan marah sama gue," jawab Owen dengan cepat, seperti sedang melakukan rap, diakhiri dengan menyatukan kedua telapak tangan untuk memohon ampun pada Hara.
Hara melepas tangannya dari dinding, lantas mundur beberapa langkah sehingga jarak keduanya mulai melebar.
"Sebenarnya gue minta lo jelasin tentang kapan dan bagaimana lo tau identitas gue, tetapi rupanya lo jelaskan yang lain," kata Hara, sukses membuat Owen terkesiap dan melipat bibir ke dalam mulutnya, selagi rona merah menguasai wajah hingga ke daun telinganya.
"Oke, gimanapun seperti pernyataan lo semalam, lo berhak suka sama siapa aja meski ujungnya bakal nggak dibalas, kan?" tanya Hara, meski senyum tipis tercetak di bibirnya. "Gue malah sempat percaya kalo lo itu gay, soalnya lo dulu cemen banget trus gampang mewek kayak cewek. Tapi setelah gue denger pengakuan lo, setidaknya gue merasa lega."
"Lega? Jadi artinya lo juga suka sama gue?" tanya Owen dengan pancaran mata berbinar, tetapi hanya berselang selama dua detik karena kepalanya ditoyor sesuka hati oleh Hara yang kontan merasa geregetan.
"Gue suka cowok cemen kayak lo? Apa itu mungkin?" tanya Hara kejam, membuat senyuman Owen hilang seketika dan auto mencebikkan bibirnya.
"Tapi gue jadi sadar ternyata lo setulus itu sama gue," kata Hara setelah jeda beberapa saat. Lantas, dia menatap Owen dengan intens meski tatapan tersebut sudah tidak lagi mengintimidasi seperti awal-awal. "Dan gue juga merasa ini nggak akan adil kalo gue memperlakukan lo sama seperti perlakuan gue ke Gara hanya karena gue merasa terbuang oleh keluarga gue."
"Hara—–"
"Gimanapun lo nggak ada hubungannya sama ramalan itu," potong Hara dengan suara yang menyerupai bisikan, selagi tubuh Owen menegang di tempatnya berpijak. "Jadi nggak sepantasnya gue benci lo, begitu juga sama teman-temannya Gara. Gue nggak mau mengakui sebenarnya, tapi gue rasa gue harus mengakuinya karena kita pernah sedekat itu. Dulu."
Hara sengaja menekankan kata terakhir, membuat Owen tersadar dari lamunannya sendiri. Cowok itu tampak mempunyai beban pikiran yang bagi Hara tidak ada bedanya dengan wujud simpatik.
"Gue harus mengakui kalo nggak semua ketulusan bisa gue hindari gimanapun gue menolaknya. Gue bisa merasakan itu dari teman dekat Gara dan itu termasuk elo, Wen."
"Hara, gue...." Owen menggantung kata-katanya, tampak berusaha mengungkapkan sesuatu tetapi segera diurungkan setelah jeda beberapa detik, membuat Hara memutar bola matanya dengan jengah.
"Lebih baik terus terang daripada bertele-tele," kata Hara dengan nada memperingatkan meski pada akhirnya cewek itu tersenyum. "Oke, gue ralat. Hanya untuk kali ini aja. Gue tau lo mulai terharu karena gue nggak jadi marah sama lo. Lo pasti sempat mengira gue bakal benci lo, kan?"
Lo pasti bakal benci sama gue, Ra. Gue tau itu.
"Maafin gue, Ra." Alih-alih mengungkapkan isi hatinya, Owen memilih untuk mengucapkan maaf pada Hara yang sekarang menatapnya dengan gagal paham.
"Minta maaf? Kenapa? Lo minta maaf karena suka sama gue? Ck! Tuh kan, lo nggak berubah ya? Masih aja cemen kayak dulu!" omel Hara, tetapi bagi Owen itu adalah momen yang membahagiakan karena dia merasa Hara yang dulu sepertinya telah kembali.
Welcome back, Hara Arganta. I miss you so much.
"Ck! Nggak dulu nggak sekarang, kenapa gue selalu menjadi pihak yang peka, sih? Gue tebak, lo pasti minta dipeluk, kan? Lo selalu tunjukin ekspresi itu tiap merasa down."
Owen menatap Hara balik sembari tersenyum, meski matanya sekarang memerah karena berusaha menahan perasaan yang sepertinya akan meledak sebentar lagi. Rasa bersalah telah mendominasinya dengan sangat kuat hingga dia memilih menyerah.
Menyerah untuk mengakui kalau dia sangat membutuhkan pelukan Hara sekarang.
Anggukan terpatah Owen membuat Hara mendengus keras. Dia mengejek kelemahan Owen dan bisa dibilang dia merasa bangga karena tebakannya benar. Lantas, cewek itu mengulurkan lengan untuk menarik tangan Owen dalam sekali sentakan hingga membuat tubuh cowok itu oleng dan jatuh dalam pelukannya.
Hara lebih pendek dari Owen, tetapi tidak terlalu kentara karena bisa dibilang tubuh Hara tergolong tinggi untuk standar tinggi badan cewek pada umumnya, terbukti dari tangannya yang bisa menjangkau tengkuk Owen, lantas mengeratkan pelukan dan menyandarkan dagunya di bahu tegap cowok itu.
Sedangkan Owen, dia secara perlahan mengulurkan kedua lengan untuk memeluk pinggang Hara dan ikut mendaratkan dagunya, yang semakin mengeratkan pelukan hingga Hara merasa sedikit sesak.
Alih-alih protes, Hara memilih untuk memberikan komentar yang membuat Owen tersenyum lebar.
"Kalo kita ketahuan peluk-pelukan di sini sama guru piket trus dikasih hadiah detensi, lo yang harus tanggung jawab loh!"
Gue pengen egois, Ra. Berharap lo nggak akan tau sampai selamanya. Apa itu mungkin?
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top