1). First Trouble
Salah seorang remaja perempuan sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah dengan berjalan kaki. Cewek itu terlihat lebih menonjol dari teman-teman yang lain karena penampilannya. Lihat saja tas punggung yang warnanya sudah pudar, belum lagi seragamnya yang terlihat agak lusuh, serta sepatunya yang sudah usang (terlihat dari lubang kecil pada bagian ujung dan ada bekas jahitan di sana-sini seakan tidak rela memutuskan kelangsungan fungsi dari sepatu tersebut).
Ditilik dari pandangan teman-temannya, cewek itu sangat tidak diharapkan untuk bergabung dengan mereka. Jangankan mengobrol, melirik pun tidak sudi.
Lantas, mengapa dia dijauhi?
Alasan sebenarnya bukan semata-mata karena penampilan atau keadaan ekonominya yang dipandang sebelah mata. Lebih tepatnya, cewek itu mempunyai karakter tsundere, yang artinya adalah dia tidak membutuhkan siapa pun di sisinya. Alih-alih mencari teman untuk sekadar ngobrol atau bercanda, cewek itu lebih suka menikmati dunianya sendiri.
Sangat disayangkan. Padahal dia bisa mendapat teman sebanyak yang dia mau dengan kemampuan akademik yang tidak bisa dianggap remeh. Ya, cewek itu pintar. IQ-nya saja melewati 200. Saking pintarnya, cewek itu mendapatkan beasiswa tambahan di atas beasiswa prestasi yang didapatnya selama ini, membuatnya berhasil bertahan di sekolah yang biaya SPP-nya sangat mahal itu.
Name tag yang tersemat di seragamnya adalah Hara Arganta. Hara, nama yang cukup feminin tetapi aslinya bertolak belakang dari karakter cewek yang seharusnya.
Selain galak pada semua orang, Hara juga tidak segan-segan melayangkan pukulan atau tamparan jika ada yang berani tidak sopan.
Termasuk sekarang ini.
Salah seorang remaja laki-laki menghalangi langkah Hara. Begitu cewek itu mendongakkan kepala dan menatap sinis cowok itu, ada beberapa komplotannya yang bergabung di belakang ketuanya dengan gaya dramatis, ngalah-ngalahin anggota geng dalam drama serial.
"Hara Arganta, urusan kita masih belum selesai. Lo pikir bisa pulang dengan damai hari ini?" tanya ketua geng itu.
"Better make it fast because I'm starving," jawab Hara dengan nada malas meski netranya yang mirip mata kucing itu masih menatap cowok itu dengan intens.
"Gue tau lo anak emas SMAN 12 karena IQ lo yang di atas rata-rata. Tapi apa lo pikir lo bisa seenaknya nolak gue? Gue kurang apa, coba?"
Hara menyeringai, lantas melanjutkan langkah hanya untuk mempersempit jarak di antara mereka. Berhubung mereka semua berada di area lapangan, maka tidak heran gerak-gerik mereka segera menarik perhatian dan semuanya otomatis membentuk kerumunan.
Pertunjukan gratis pun bisa dinikmati dengan bebas, apalagi sekarang adalah jam pulang jadi mereka bisa menonton sepuasnya tanpa perlu diawasi oleh guru.
"Mau tau?" tanya Hara dan ekspresinya menunjukkan kalau cowok di depannya itu sama sekali tidak penting. "Jason Mahendra; anak Wakil Kepala Sekolah, kaya, tinggi, mempesona, punya banyak temen, jago main basket, dan cukup pintar...."
"Nah, bener. Itu semua keunggulan gue. Lo juga mengakuinya, kan?" tanya Jason, dalam sekejap mengubah ekspresinya menjadi puas karena mengira Hara tidak jadi menolaknya. "Jadi... lo nerima gue, kan?"
"Gue belum selesai ngomong," kata Hara, membuat Jason terkesiap. "Dari semua kelebihan lo, sayangnya ada satu alasan yang membuat gue nggak bisa nerima lo."
"Apa?"
"Lo nggak layak bersanding sama gue."
"APA?" pekik Jason marah, refleks hendak menerjang Hara tetapi kedua komplotannya segera mengunci kedua lengannya sehingga cowok itu hanya bisa mengayunkan kaki ke sana kemari dengan konyol.
Hara, sementara itu, balas menatap Jason dengan seringainya yang semakin dalam. Jelas dia meremehkan cowok itu.
"Lo pikir lo udah di atas angin sekarang?" tanya Jason setelah berhasil menguasai diri dan melepaskan lengannya dengan sekali sentakan kasar sementara Hara yang sudah melanjutkan langkah, terpaksa berhenti. "Gue sebenarnya nggak mau nyebarin ini, tapi gue jadi berubah pikiran soalnya lo udah keterlaluan."
Hara membalikkan tubuh lantas menghadap Jason dengan tatapan menusuk. "Bilang aja, toh semuanya bakal tau pada akhirnya."
Hara sudah bisa menduga apa yang akan disebarkan oleh Jason. Namanya juga pintar, kan? Lagi pula Jason itu anak Wakil Kepala Sekolah, jadi tidak heran jika cowok itu tahu apa yang ditutupinya selama ini.
Sebenarnya bukan sengaja menutupi semua kenyataan itu. Tepatnya, ini karena Hara tidak pernah mempunyai teman dekat. Jangankan teman dekat, teman biasa saja tidak ada. Cewek itu secara konsisten menunjukkan kalau dia sangat tidak mengharapkan ada orang lain yang berjalan bersisian dengannya.
Jason tampak seperti baru saja ditampar di bagian pipinya. Dia mengira kalau Hara bakal terpengaruh atau setidaknya memohon padanya untuk tutup mulut.
Oleh karena itu, untuk sejenak, Jason gelap mata hingga tidak menyadari kalau kata-katanya akan keterlaluan.
"Nggak heran orang tua lo lebih milih membuang lo daripada mengakui lo sebagai anak mereka. Lo lebih dari layak diperlakukan kayak gitu. Kenapa nggak sekalian aja ya lempar lo ke laut?"
Tatapan Hara seketika berubah menjadi murka. "Apa lo bilang?"
Jason sebenarnya tampak terpengaruh dengan tatapan Hara dan bergeming selama beberapa detik, tetapi setelahnya cowok itu memilih untuk mengabaikannya. "Mau gue ulangi? Oke. Gue bilang, nggak heran orang tua lo memilih untuk membuang lo alih-alih mengakui lo sebagai anak mereka. What a pity, padahal lo jenius dan dapet banyak penghargaan. Menurut gue kesannya malah jadi sia-sia. Buat apa sih punya sederet prestasi, tapi nggak bisa dibanggain ke orang tua?"
Kemudian yang terjadi sepersekian detik berikutnya adalah terjangan Hara yang diawali dengan meremas kerah seragam milik Jason, meninju rahangnya, dan diakhiri dengan ambruknya Jason ke tanah tanpa ampun. Insiden itu diperindah dengan pekikan dan tatapan syok dari semua orang.
"Lo boleh ceritain yang sebenarnya ke semua orang, tapi lo nggak layak menilai hidup gue. Mau sia-sia atau nggak, mau ironis atau nggak, mau layak atau nggak, lo sama sekali nggak berhak menilai itu semua. Itulah sebabnya mengapa gue bilang, lo nggak layak bersanding sama gue."
Nggak cuma lo, semua juga nggak layak.
Hara tidak menyuarakan kata-kata tadi, tetapi dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling seakan menganggap kalau dia telah mengucapkannya secara langsung.
Lantas, Hara membalikkan tubuh untuk melanjutkan langkahnya menuju gerbang sekolah, mengabaikan tatapan semua orang.
Termasuk mengabaikan bisik-bisik dari balik punggungnya yang dia tahu tidak akan ada bedanya dengan apa yang dinilai oleh Jason.
*****
"Paman selalu nggak mengerti jalan pikiran kamu," kata seorang pria, membuat Hara mendongak dan matanya bersinggungan dengan pria yang adalah pamannya itu.
Lebih tepatnya, pria itu adalah adik kandung mamanya yang tercinta--Ariga.
"No one will be able to, even you, Little Uncle," respons Hara yang melanjutkan acara makannya dengan kalem seakan tidak ada interupsi.
Ariga masih dengan ekspresinya yang gagal paham, tetapi sepertinya dia berusaha untuk mengatakan hal lain karena terlihat dari mulutnya yang mangap untuk berbicara, menutupnya lagi, lantas membukanya lagi. Begitu seterusnya hingga Hara menaikkan sebelah alisnya.
"Ada hal penting lain, Paman?"
Teknisnya, umur Ariga masih tergolong muda jika dipanggil sebagai paman di usianya yang baru menginjak 25 tahun, selisih 8 tahun dari keponakannya. Hanya saja, dari semua keluarga yang tidak menginginkan eksistensinya atau bahasa kasarnya membuang Hara, Ariga satu-satunya yang melindunginya.
Itulah sebabnya, Hara sangat respek pada Ariga. Bahkan di antara sikap dinginnya sekali pun, cewek itu tidak pernah bersikap durhaka dan senang menambah embel-embel panggilan 'Paman' setiap berbicara dengannya.
"Hmmm, sebenarnya...."
"Lebih baik terus terang atau nggak sama sekali, Paman, karena aku paling benci sama semua yang berkaitan dengan bertele-tele."
"Oke," kata Ariga setelah menarik satu tarikan napas. "Tapi kamu harus setuju. Apa pun alasannya."
Hara meletakkan sendok yang dipegangnya kemudian menatap Ariga setelah mendengus. "Apa menurut Paman, aku tipe orang yang bakal langsung setuju dengan apa pun? Bahkan tanpa tau alasannya terlebih dahulu?"
"Hmm... iya, sih. Paman malah yakin kamu bakal nolak," jawab Ariga, tetapi pada detik berikutnya seakan ada semangat yang disuntikkan padanya, pria itu melanjutkan, "Tapi ini satu-satunya solusi, Ra."
"Okay, let me see what exactly you want me to do," kata Hara akhirnya setelah membawa piring kosongnya ke bak cuci dan kembali lima menit kemudian.
Ariga menarik kursi di dekat keponakannya, lalu menatap intens. "Ra, Paman tau kamu nggak suka basa-basi jadi Paman akan langsung ke intinya. Hmm... ada kabar buruk dari Gara. Dia kecelakaan."
Hara menatap mata Ariga dengan mata yang diperlebar ke ukuran maksimal, tetapi itu hanya berlangsung sebentar seolah-olah kabar tersebut tidak begitu mempengaruhinya.
Alih-alih panik, cewek itu hanya mengembuskan napas pendek. "Jadi? Mereka bilang apa?"
'Mereka' yang dimaksud Hara tidak lain tidak bukan adalah orang tua Gara yang teknisnya adalah orang tua Hara juga. Hanya karena eksistensinya tidak diharapkan, bukankah dia tidak perlu menganggap mereka sebagai orang tua kandungnya lagi?
"Nggak bilang apa-apa, lebih tepatnya syok."
"Nggak mungkin. Pasti bilang gara-gara aku, kan?" tanya Hara skeptis. "Semua bencana akan selalu dikaitkan ke aku karena bagi mereka, aku adalah pembawa sial. Bahkan setelah berpisah selama 8 tahun, aku ragu apakah efek kesialan itu masih ada atau tidak sebab aku yang seharusnya mati, masih bernapas sampai sekarang."
"Hara--"
"Aku udah hampir akil baliq, Paman. Aku udah lebih dari mengerti karena aku yang sekarang udah beda dengan aku yang berumur 9 tahun sewaktu dibuang," potong Hara. "Kalo dulu aku akan menangis dan memohon untuk kembali ke rumah, tapi sekarang aku nggak akan kayak gitu. Aku malah nggak akan mau kembali ke sana, apalagi ketemu sama salah satu dari mereka."
"Tapi gimanapun mereka--"
"Gimanapun apanya? Keluarga, maksud Paman? Waktu mereka membuangku, apa mereka menganggap aku sebagai keluarga mereka? Jawabannya tidak. Aku juga cukup peka dengan maksud Paman ceritain semua ini ke aku, jadi lebih baik Paman hentikan semua rencana Paman. Aku nggak bakal setuju."
"Hara--"
"As I said before, no one will understand me," potong Hara lagi. Kali ini nadanya sangat menusuk dan dingin. "Sampai kapan pun."
"Baiklah, Paman nggak akan bisa paksain kamu. Paman hanya takut kamu bakal menyesal di kemudian hari. Itulah sebabnya Paman kasih tau kamu tentang kondisi Gara. Gara... waktu Paman denger kondisinya, kon-kondisinya... kondisinya udah kritis, Ra."
Hara mendongakkan kepala lagi. Lantas dia bisa melihat tatapan pamannya yang sarat akan kesedihan mendalam.
"Setidaknya temui dia sebelum semuanya terlambat, Ra. Walau gimanapun dia saudara kembar kamu. Kalian pernah menghabiskan masa kecil kalian bersama."
Hara seharusnya tetap pada pendiriannya, tetapi untuk pertama kalinya keadaan yang sekarang sedikit berbeda karena dia bisa merasakan kedua matanya mulai memanas dan dia benci dengan sisi lemahnya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top