Bab 6 : Ponsel
“Lo yakin nggak mau ikut?”
Regita menggeleng cepat. Dia sudah yakin dengan pilihannya. Perempuan berdiri di depan pintu apartemen Renata ditemani Gandi yang sudah berganti pakaian. Laki-laki itu menenteng paper bag yang berisi kotak kue.
“Padahal ini sebagai ucapan terimakasih gue, loh.”
“Aish, terima kasih apaan? Itu kan emang salah gue juga.”
Gandi tertawa mendengar kejujuran Regita. “Beneran yakin nggak mau ikut?” tanyanya sekali lagi.
“Wajah gue lagi nggak bisa diajak untuk berjalan-jalan.”
“Ah … I see.” Gandi mengangguk-anggukan kepalanya. “Maaf, gue malah ngambil waktu istirahat lo.”
“Udah sana. Lo harus berangkat sekarang. Nanti telat, ada yang marah lagi.”
“Ha ha ha, oke. Gue berangkat. Istirahat sana. Biar cepet sembuh!”
“Hati-hati entar kuenya jatuh lagi. Belum tentu orang yang nabrak mau bantuin lo kayak gue,” Regita mengingatkan.
“Kali ini aman,” ujar Gandi sambil mengangkat paper bag yang ditentengnya.
“Hati-hati!” seru Regita yang merasa khawatir melihat Gandi begitu enteng mengangkat paper bag-nya.
Gandi tertawa melihat reaksi Regita yang tampak lebih mengkhawatirkan kuenya. “Kalo lo khawatir segitunya, mendingan lo ikut aja.”
Regita mendengkus menyadari kesengajaan Gandi hanya demi mengajaknya. “Sudah sana pergi.” Perempuan itu membuka pintu dan langsung masuk tanpa menoleh lagi.
Gandi masih terkekeh melihat perempuan yang baru saja masuk ke unit di depan apartemennya. Dia mulai membalikkan badan dan berjalan ke arah lift.
Saat menekan tombol lift, satu lampu menunjukkan sangkar lift berada dua lantai di atasnya. Sementara lift yang satunya justru berada satu lantai di bawahnya.
Ponsel Gandi berdering tepat ketika pintu lift yang berasal dari lantai bawah terbuka. Laki-laki itu segera mengangkat telepon sambil meletakkan paper bag di lantai.
“Hallo, Kak.”
“Udah jam berapa ini? Kok belum sampe?”
“Iya, ini udah jalan, kok.”
“Udah jalan atau baru jalan? Awas aja kalau kamu telat!”
“Nggak akan telat. Bilang aja sama Bella, Om Gandi bakalan tepat waktu.”
Untuk sekejap, Gandi terdiam. Dia menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang perempuan bergaun midi dress floral. Rambut hitamnya hanya sebahu.
“Gandi! Halo! Gandi! Kamu masih di sana?”
Seruan dari kakaknya, menyadarkan Gandi yang masih memperhatikan perempuan yang baru saja keluar dari l ift.
“Iya. Udah ya. Tungguin aja.”
Setelah memutuskan panggilan dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana, Gandi kembali meraih paper bag. Dia kembali menegok ke belakang. Namun, perempuan yang membuatnya sempat teralihkan itu sudah menghilang.
Yang tadi itu bukannya Tata, ya? Pikirnya sebelum melangkah masuk ke dalam lift yang menuju lantai bawah.
***
Renata segera menjatuhkan bokongnya di atas sofa. Dia melepas sandal wedgesnya dan mulai meluruskan kaki.
“Kamu baru datang?” tanya Regita yang baru keluar dari kamarnya.
Renata hanya menganggukkan kepala. Dia mulai memijit leher dengan tangannya.
“Gimana? Gimana?” Regita segera duduk di lantai. Dia penasaran dengan apa saja yang sudah dilakukan Renata.
“Gimana apanya?”
“Ish. Rere mah gitu. Aku kan penasaran gimana tadi makan siangnya? Lagian kamu kenapa nggak balas pesan aku, sih?”
“Emang kamu ngirim pesan, Ta?” tanya Renata tak yakin.
Regita hanya memonyongkan bibirnya. Dia tahu kalau Renata hanya bertanya untuk menggodanya.
Renata terkekeh kemudian meraih tasnya. Dia mengambil gawai androidnya. Ada beberapa pesan yang masuk. Namun, hanya ada satu pesan tak terbaca dari Regita.
“Kamu cuma kirim satu pesan?”
“Re, aku tuh udah kenal kamu, ya. Kalau kamu satu pesan belum dibaca, artinya kamu lagi nggak pegang handphone. Percuma juga aku kirim pesan banyak-banyak.”
Renata tertawa mendengar alasan saudara kembarnya. Dia kembali merebahkan diri dengan bersandar di sofa. Perempuan itu menaikkan kakinya ke atas meja.
Renata membuka pesan dari Regita. Sebuah foto muncul di room chat. Foto dari laki-laki yang baru saja ia temui. Seulas senyum muncul di wajahnya.
Regita yang melihat senyum tipis itu segera mendekat. Dia tertarik dengan senyuman yang muncul di wajah adiknya itu.
“Jadi, gimana?”
Renata segera memasang wajah datarnya. Dia menyembunyikan senyumnya dan menatap Regita.
“Gimana apanya, Ta? Dari tadi kamu nanyanya cuma ‘gimana?gimana?’”
“Ihh. Kan tadi aku udah nanya. Gimana makan siangnya? Tadi kamu udah liat fotonya, kan? Bener itu orangnya? Laki-laki yang mau dikenalin Citra?”
“He eh,” jawab Renata singkat.
Regita mengerutkan alis mendengar jawaban yang hanya terdegar satu suara itu. “Heh, jawaban apaan itu? Kok jawabnya gitu aja?”
“Karena emang cuma itu jawabannya. He eh. Iya. Muhun. Yes.” Renata beranjak bangun dan melangkah menuju kamarnya.
“Jawab yang lengkap dong.” Regita mengekori Renata. Dia ikut merebahkan diri di sebelah saudaranya yang sudah lebih dulu berbaring di kasur.
“Rere, jangan diem aja!”
“Iya, dia laki-laki yang sama dengan yang kamu kirim fotonya ke aku. Dalam pengamatanku, dia punya banyak nilai plus. Dan tenang aja, aku meninggalkan kesan yang baik. Jadi, kamu nggak usah khawatir.”
Regita terdiam mendengar penjelasan dari Renata. Dari sudut hatinya dia merasa kecewa karena laki-laki itu mendapat nilai sempurna dari kembarannya yang terkenal perfeksionis.
“Kok diam?” tanya Renata. Dia merasa heran dengan reaksi dari Regita.
“Eh, harusnya aku gimana?”
“Kesannya kamu sedih banget. Padahal menurutku laki-laki ini nggak mengecewakan loh.” Renata menatap langit-langit kamarnya sambil tersenyum.
Mendengar hal itu Regita mengubah posisinya. Dia tidak lagi telentang tapi tengkurap. Perempuan itu menatap Renata yang tampak melamun sambil senyum-senyum sendiri.
“Ada sesuatu yang menarik?” tanyanya sambil memandang Renata curiga.
“Apa?” Renata balik bertanya sambil mendelik.
“Kayaknya ada yang belum kamu ceritain, deh. Ayo cerita!”
“Nggak ada!”elak Renata. Dia bangun dan meraih ponsel terdekat sebelum kemudian membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
“Sekarang kamu keluar dulu sana! Aku mau ganti baju. Gerah!”
Regita mencibir lalu meraih ponsel yang ada di atas kasur. “Oke, aku keluar,” pamitnya.
Baru saja kedua kaki Regita menapak sempurna di luar kamar, Renata langsung menutup pintunya. Regita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pasti tadi siang ada sesuatu,” gumam Regita pada dirinya sendiri.
Tidak lama ponsel yang dipegangnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk. Dia segera menghadapkan layar kamera ke wajahnya.
+628116750xxxx
[Regita]
[Eh, maaf.]
[Maksudku Rere.]
[ini nomorku. Tolong jangan dihapus]
[kuharap kita bisa bertemu lagi lain waktu]
[Terima kasih.]
[Ervan]
Sementara itu di dalam kamar, ponsel Renata juga bergetar menandakan ada pesan masuk. Tanpa ragu perempuan berambut pendek itu membuka layar ponsel dengan pengenalan wajah.
+6281208934xxx
[Renata]
[Makasih loh udah bantuin bikin kuenya]
[Eh]
[gue lupa , lo lebih suka dipanggil tata,ya]
[oke. Gue save pake nama tata]
[perlu ditambahin kata cantik,nggak]
[lain kali bantuin gue lagi, ya]
[jangan lupa save nomor gue. Gandi]
[oke?]
Baik Renata maupun Regita hanya terdiam membaca pesan yang masuk di ponsel yang mereka pegang. Lalu keduanya menyadari bahwa ponsel mereka berdua tertukar.
“Rere!!!”
“Tata!!!”
Bogor
Senin, 13 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top