Bab 11 : Sebenarnya ...

“Gimana kalau kita makan dulu?” tawar Gandi.
Regita menggeleng. Dia baru saja membaca pesan dari Renata.

Rereku baeek
[Ta, kamu mau ke BeautyLand?]
[Nggak salah,kan?]
[Soalnya Ervan juga ngajak aku ke sana.]

Perasaannya saat ini tidak baik-baik saja. Perempuan itu kehilangan semangatnya yang beberapa menit sebelumnya tampak bersinar.

Gandi yang sedang menyetir di sebelahnya tentu saja memperhatikan hal tersebut. Itulah alasannya dia mengajak Regita untuk makan.

“Emang lo nggak laper?”

“Nggak,” jawab Regita cuek.

“Kalau gitu, lo temenin gue makan aja.”

Tanpa memedulikan delikan protes dari Regita, Gandi membelokkan mobil masuk ke sebuah restoran cepat saji.

“Ayo turun!” ajak Gandi yang sudah memarkirkan mobil dengan aman. Dia mengajak karena melihat Regita masih duduk dan tidak membuka sabuk pengaman.

“Ini lo nungguin gue bukain safety belt?” tanya Gandi sambil menaik-naikkan alis matanya.

Regita melotot mendengar peranyaan jahil dari mulut Gandi. Dia sontak menyentil dahi laki-laki itu.

“Ish! Gue nggak ada kode-kodean gitu, ya. Udah sana kalo lo mau makan!”

“Galak amat, Bu!” Gandi mengelus dahinya yang kini terasa sangat sakit. “Ayolah, temenin gue makan. Masa’ gue makan sendiri di dalam,” bujuknya.

Regita menarik napas dan mengembuskannya pelan. Dia menatap supir mobil merah yang sudah siap turun itu dengan seksama.

“Kan tadi gue udah bilang, gue nggak lapar.”

“Makanya gue cuma minta lo nemenin gue makan.”

Gandi kemudian turun. Dia memutar melewati kap mobil dan berhenti di depan pintu sisi penumpang. Laki-laki itu mengetuk jendela tanpa henti.

Suaranya membuat Regita jadi bete. Dia mengerucutkan bibir dan terpaksa membuka pintu.

“Apa, sih?”

“Ayo, turun!”

“Nggak mau, ih!”

“Masa gue makan, lo di mobil.”

“Biarin aja. Biar lo cepet makannya.”

“Ah, elah! Lo mah gitu!”

Gandi akhirnya berjongkok di samping mobil.
“Lo lagi ada masalah, ya?”

Regita menengok. Dia kaget melihat posisi Gandi yang berjongkok.

“Lo ngapain jongkok di situ?”

“Pegel gue. Ngajakin cewek makan tapi ditolak mulu.”

Mau tidak mau Regita tersenyum mendengar ocehan Gandi yang bernada sindiran.

Sorry, deh. Bukan maksud gue gitu.” Regita akhirnya melepas sabuk pengaman. Dia mulai turun dan menyodorkan tangannya ke Gandi. “Yuk, gue temenin lo makan,” katanya.

***

“Jadi , sebenarnya lo kenapa?”

Regita yang sedang mengaduk-aduk minuman akhirnya diam. Dia menatap Gandi yang sedang menyuir-nyuir daging ayam.

“Lo nanya apaan?”

Gandi mengangkat kepalanya. “Lo kenapa?”

“Nggak kenapa-kenapa,” jawab Regita lancar.

Gandi terkekeh. Dia menghentikan kegiatannya menyuir potongan ayam menjadi lebih kecil.

“Lo cewek sejati, ya?”

Regita mendelik dan menahan napas. “Jadi, eyke bukan cewek tulen ya, Bang?” katanya menirukan gaya penunggu Taman Lawang malam hari.

Tak mampu menahan tawa. Gandi tergelak keras. Tawanya mengundang perhatian beberapa pengunjung yang lain. Beberapa bahkan ada yang bisik-bisik setelah tawa Gandi tak juga berhenti.

“Ssstt…, jangan kenceng-kenceng dong. Malu gue, diliatin banyak orang,” tegur Regita.

“Sorry, Ta. Abisnya lo lawak abis.”

“Lagian lo juga, sih. Apa coba maksudnya bilang gue cewek sejati? Ambigu tau.”

Gandi menyeruput cola di depannya sebelum ia menjawab, “Soalnya lo bilang ‘nggak kenapa-kenapa’. Padahal jelas-jelas keliatan di wajah lo, kalo lo itu lagi punya masalah.”

Regita membulatkan bibir mendengarkan penjelasan Gandi.

“Oohh, itu toh.”

So, lo mau cerita?”

Regita menghela napas panjang. Dia kembali mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.

“Gue janji bakalan jadi pendengar yang baik.” Gandi mengangkat dua jari membentuk huruf V.

“Jadi, sebenarnya ….”

***

Ervan masih melajukan mobil dengan tenang. Meskipun sebenarnya dia penasaran. Setelah panggilan telepon dari saudara Renata ditutup, gadis itu tidak banyak bersuara.

Ervan sempat melihat Renata mengirim satu pesan. Namun, sepertinya pesan itu belum terbalas. Atau memang tidak perlu dibalas.

“Aku mau isi bensin dulu ya?” kata Ervan sambil membelokkan mobil masuk ke stasiun pengisian bensin.

Renata mengangguk sambil tersenyum.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Ervan. Dia baru saja mematikan mesin dan memberitahu petugas jumlah liter yang mau dibeli.

Perempuan berambut sebahu itu menoleh. Dia mengernyit heran dengan pertanyaan laki-laki di sebelahnya.

“Maksudnya, gimana?”

“Dari tadi saya perhatikan, kamu kelihatan nggak tenang dan gelisah. Ada yang menganggu kamu?”

Renata diam. Dia memang gelisah. Sesuatu yang terjadi di luar rencana selalu membuatnya seperti itu.

“Atau kita batalkan aja acara kita hari ini?” tawar  Ervan.

“Eh, jangan!” Renata segera menolaknya. Dia sudah sengaja mengosongkan jadwalnya hari ini demi acara kencannya dengan Ervan.

“Tapi, kalau kamu gelisah begitu ….”

“Aduh, aku merusak suasana, ya?” Renata memotong kalimat Ervan. Perempuan itu meremas kedua tangannya.

Melihat hal tersebut, Ervan mengenggam tangan Renata. Perempuan itu sedikit terkejut.

“Jangan panik. Nggak ada yang bilang kalau kamu merusak suasana.” Nada suara Ervan berusaha untuk menenangkan Renata. “Gimana kalau kita mampir makan dulu.?”

Renata kembali mengangguk mengiyakan ajakan Ervan.

Mobil Ervan kembali melaju di jalan. Tidak lebih dari lima belas dia melihat sebuah plang nama dari salah satu restoran cepat saji terkenal.

“Kita makan di sana, ya?”

Renata melihat arah yang ditunjuk oleh Ervan. Pilihan aman. Dia mengangguk.

Mobil sudah diparkir dengan aman. Renata baru saja membuka sabuk pengaman ketika ia terkesiap saat melihat ke depan. Sepasang manusia baru saja melintas.

Itu, kan Tata. Dia kesini juga?

“Van, tunggu!” Renata menahan tangan Ervan yang sedang membuka sabuk pengaman,
Ervan hanya menatapnya tanpa bertanya.

“Ada yang mau saya bicarain sebelu turun.”

“Oke.” Ervan memperbaiki posisi duduknya.

Renata meneguk ludah lalu berkata, “Sebenarnya ….”




Bogor,
Sabtu, 25 September 2021






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top