Bab 1 - Please!

Astagfirullah!” Rere beristighfar sambil mengelus dadanya. Dosen muda itu baru saja membuka pintu apartemen ketika melihat sesosok manusia berdiri di depan pintu mengenakan topi hitam, kacamata hitam, dan syal hitam melingkar di leher menutupi wajah. Belum lagi jaket hoddie yang juga berwarna hitam.

“Ssstt …!” Sosok itu menempelkan telunjuk di depan syal. Meskipun Rere yakin manusia di hadapannya itu sedang menempelkan telunjuk di depan bibir.

“Jangan berisik, Re! Ini aku!” Sosok berkostum hitam itu berkata pelan.

“Tata?” Rere bertanya tak yakin. Dia menelisik lagi manusia berpakaian serba hitam di depannya. Perempuan itu yakin hitam bukanlah warna favorit saudari kembarnya.

“Iya ! Udah ah, aku mau masuk!” Tata mendorong Rere pelan dan langsung melangkah masuk ke apartemen Rere.

Rere segera menutup pintu dan menyusul Tata masuk. Gadis itu melihat saudara kembarnya sedang membuka kostum hitamnya. Mulai dari topi, kacamata, dan syal tergeletak begitu saja di lantai. Dia mendekat dan terperangah saat Tata mengangkat wajah.

“Muka kamu kenapa, Ta?”  Rere mendekat dan meraba pelan wajah Tata. Bintik-bintik merah tampak menghiasi wajah Tata secara merata.

Tata mengerucutkan bibir. Ekspresinya mirip anak kecil yang tidak dibelikan permen.

“Alergi aku kambuh, Re,” rengeknya.

“Kok bisa?” Rere meraih tangan Tata dan mengajaknya duduk di sofa. “Kamu abis makan apa? Kamu kan nggak boleh makan berry-berryan.”

“Bukan dari makanan!”

Rere masih menatap wajah Tata. Wajah yang sama persis dengan yang selalu dipantulkan cermin, tapi kini wjah itu malah dipenuhi bintik-bintik merah. Persis seperti orang kena cacar.

“Terus?”

“Aku pakai toner punya Sisil. Aku nggak tahu kalo toner dia ada alkoholnya.”

Rere mendesah pelan. Dia sedikit menyesali keputusan Tata yang memilih untuk ngekost sama teman dibanding tinggal bersamanya di apartemen.

“Kapan?”

“Semalam.”

“Kamu ngapain pake tonernya Sisil?” Rere beranjak ke dapur dan membuka kulkas. Dia menuangkan susu UHT ke dalam gelas.

“Toner aku abis. Lupa, belum beli.”

“Makanya, kamu pindah aja ke sini. Tinggal sama aku. Merek skincare kita sama.”

“Tinggal di apartemen nggak seru, Re. Aku kalo tinggal di kostan gitu, banyak temen.”

“Iya, tapi lihat kamu sekarang. Pakai skincare orang dan wajahmu merah-merah begitu.” Rere kembali ke sofa dengan membawa gelas berisi susu lalu menyerahkan gelas itu ke Tata. “Nih, minum dulu!”

Tata mengernyitkan dahi melihat susu yang disodorkan.

“Aku bukan keracunan, Re!”

“Iya tau. Tapi kamu ke apartemen aku pagi-pagi buta gini, kamu pasti belum isi perut, kan?”

Tata menggelengkan kepala. “Dingin.” Kedua tangan Tata membekap mulutnya.

Rere memutar bola matanya. “aku cuma punya susu ini. Nggak punya stok susu murni. Aku nggak tahu kamu bakalan kesini pagi-pagi.”

“Taruh dulu aja di meja. Entar kalo udah nggak dingin baru aku minum.”

Tata merebahkan tubuhnya. Dia berbaring di atas sofa lalu memejamkan mata. Sementara Rere meletakkan gelas susu di atas meja. Gadis berambut sebahu itu memungut benda-benda yang tergeletak di dekat kaki sofa. Kacamata. Syal. Topi.

Semua benda itu dibawanya ke kamar dengan pintu berwarna tosca. Kamar yang sengaja disiapkan Rere untuk Tata yang sayangnya hanya diisi dua minggu sekali. Padahal Rere sudah menatanya sesuai selera Tata. Ranjang berukuran 120x200 terletak di tengah ruangan. Dinding berwallpaper hijau zaitun. Lemari pakaian berwarna putih yang posisinya bersebelahan dengan pintu kamar mandi. Berharap saudari kembarnya mau pindah untuk tinggal bersamanya.

Tak lama Rere keluar dengan membawa selimut. “Entar siang, kita ke dokter, ya!” kata Rere lembut sambil menyelimuti Tata.

“Jangan!”  seru Tata sambil bangun dari tidurnya.
Rere menatap Tata heran. Dia curiga ketika wajah saudarinya itu tampak cengengesan.

Tata mengikat rambut panjangnya dan membentuk cepol asal-asalan. Dia menatap Rere dengan senyum tipis menghiasi wajahnya.  Bintik-bintik merah di wajah tidak menghalanginya untuk mengedip-ngedipkan mata.

“Ada apaan?”

“Jadi, Re … sebenernya pagi-pagi aku ke sini karena mau minta tolong sama kamu.”

Rere semakin menyipitkan mata karena curiga. Dia hafal tingkah laku dari Tata jika sudah seperti ini.

“Minta tolong apa?” Rere perlu mengantisipasi permintaan tolong Tata. Terakhir kali ia membantu saudarinya, Rere terpaksa harus menemani rombongan turis asing yang lebay.

“Gantiin aku, please!”

Rere berdecak kesal. Dia beranjak meninggalkan Tata yang masih menatapnya dengan raut wajah penuh harap. Namun, tangannya ditarik Tata. Membuat langkah kakinya tertahan.

“Re,” panggil Tata pelan.

Rere masih diam tak bersuara.

“Rere,” panggil Tata sekali lagi.

Rere tetap tidak mau menatap wajah Tata.

“Renata.” Kali ini Tata tidak hanya memanggil dengan nama panggilan.

Rere menghembuskan napas kesal. Tata tersenyum kecil karena berhasil membuat  Rere bereaksi.

“Renata Fiona Arsha.” Nama lengkap Rere meluncur dari Bibir Tata. Rere membalikkan badan dan menatap Tata malas.

Please!” Tata memohon.

Rere menyilangkan kedua tangannya di dada.  Dia menggelengkan kepala pelan.

Please, Re. Ini buat masa depan aku!”

“Aku nggak mau gantiin kerjaan kamu di Xplore,” kata Rere menolak. “Lagipula, kan kamu tinggal izin sakit aja sama atasan kamu. Terus fotoin wajah kamu yang bintik-bintik ini.”

Tata memejamkan mata dan berkata lirih, “Ini bukan soal kerjaan.”

Rere semakin menatap Tata dengan curiga.
“Apalgi kalo bukan kerjaan. Bukannya masa depan kamu itu Xplore?”

Tata tersenyum lebar. Ia sudah menantikan pertanyaan ini.

“Gantiin aku buat kencan buta dengan masa depanku siang ini!” kata Tata sambil tersenyum.

“Haa!” Rere tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top